Peraturan Pemerintah Nomor : 24 TAHUN 2018

Kategori : Lainnya

Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2018

TENTANG

PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha, perlu menerapkan pelayanan Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal serta Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  4. Perizinan Berusaha adalah pendaftaran yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan diberikan dalam bentuk persetujuan yang dituangkan dalam bentuk surat/keputusan atau pemenuhan persyaratan dan/atau Komitmen.
  5. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
  6. Pelaku Usaha adalah perseorangan atau non perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  7. Pendaftaran adalah pendaftaran usaha dan/atau kegiatan oleh Pelaku Usaha melalui OSS.
  8. Izin Usaha adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran dan untuk memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen.
  9. Izin Komersial atau Operasional adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota setelah Pelaku Usaha mendapatkan Izin Usaha dan untuk melakukan kegiatan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen.
  10. Komitmen adalah pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi persyaratan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.
  11. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
  12. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah identitas Pelaku Usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran.
  13. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  14. Tanda Daftar Perusahaan yang selanjutnya disingkat TDP adalah surat tanda pengesahan yang diberikan oleh Lembaga OSS kepada Pelaku Usaha yang telah melakukan Pendaftaran.
  15. Angka Pengenal Importir yang selanjutnya disingkat API adalah tanda pengenal sebagai importir.
  16. Nomor Induk Kependudukan yang selanjutnya disingkat NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia.
  17. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan tenaga kerja asing pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja tenaga kerja asing untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
  18. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk usaha dan/atau kegiatannya dan berlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut untuk usaha dan/atau kegiatannya.
  19. Izin Lokasi Perairan adalah izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan dibidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  20. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana rinci untuk rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
  21. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
  22. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
  23. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
  24. Analisis Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Andal adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
  25. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RKL adalah upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
  26. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
  27. Izin Mendirikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
  28. Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu.
  29. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  30. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
  31. Hari adalah hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.


Pasal 2


(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Kekuasaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diuraikan dalam berbagai urusan pemerintahan yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah.
(3) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup kewenangan pemberian Perizinan Berusaha, fasilitas, dan/atau kemudahan untuk pelaksanaan berusaha.


Pasal 3


(1) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan penyelenggaraan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
(2) Peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan sektor atau kewenangan daerah dalam Perizinan Berusaha sepanjang tidak diatur dalam undang-undang dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pemberian fasilitas dan/atau kemudahan untuk pelaksanaan berusaha.
(4) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha.

  

Pasal 4


Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
  1. jenis, pemohon, dan penerbit Perizinan Berusaha;
  2. pelaksanaan Perizinan Berusaha;
  3. reformasi Perizinan Berusaha sektor;
  4. sistem OSS;
  5. Lembaga OSS;
  6. pendanaan OSS;
  7. insentif atau disinsentif pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui OSS;
  8. penyelesaian permasalahan dan hambatan Perizinan Berusaha melalui OSS; dan
  9. sanksi.


BAB II
JENIS, PEMOHON, DAN PENERBIT PERIZINAN BERUSAHA

Bagian Kesatu
Jenis Perizinan Berusaha

Pasal 5


Jenis Perizinan Berusaha terdiri atas:
  1. Izin Usaha; dan
  2. Izin Komersial atau Operasional.


Bagian Kedua
Pemohon Perizinan Berusaha

Pasal 6


(1) Pemohon Perizinan Berusaha terdiri atas:
  1. Pelaku Usaha perseorangan; dan
  2. Pelaku Usaha non perseorangan.
(2) Pelaku Usaha perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang perorangan penduduk Indonesia yang cakap untuk bertindak dan melakukan perbuatan hukum.
(3) Pelaku Usaha non perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
  1. perseroan terbatas;
  2. perusahaan umum;
  3. perusahaan umum daerah;
  4. badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara;
  5. badan layanan umum;
  6. lembaga penyiaran;
  7. badan usaha yang didirikan oleh yayasan;
  8. koperasi;
  9. persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap);
  10. persekutuan firma (venootschap onderfirma); dan
  11. persekutuan perdata.
 

Pasal 7


Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a merupakan perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang perseroan terbatas, yang telah disahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.


Pasal 8


Perusahaan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b merupakan perusahaan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang badan usaha milik negara.


Pasal 9


Perusahaan umum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c merupakan perusahaan umum milik daerah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.


Pasal 10


Badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d merupakan badan hukum yang didirikan oleh negara dengan undang-undang.


Pasal 11


Badan layanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf e merupakan satuan kerja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menyelenggarakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang tentang perbendaharaan negara.


Pasal 12


Lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf f merupakan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang penyiaran.
 

Pasal 13


(1) Badan usaha yang didirikan oleh yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf g merupakan badan usaha yang didirikan oleh yayasan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang yayasan yang telah disahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(2) Dalam hal Perizinan Berusaha diterbitkan kepada yayasan, yayasan dimaksud harus dimaknai sebagai badan usaha.


Pasal 14


(1) Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf h merupakan koperasi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang perkoperasian yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pengesahan koperasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengesahan akta pendirian koperasi, perubahan anggaran dasar koperasi, serta pembubaran koperasi oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan mengenai pengesahan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

 

Pasal 15


(1) Persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf i merupakan persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat.
(2) Pendaftaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap), perubahan anggaran dasar persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) serta pembubaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

  

Pasal 16


(1) Persekutuan firma (venootschap onder firma) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf j merupakan persekutuan firma (venootschap onder firma) yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat.
(2) Pendaftaran persekutuan firma (venootschap onder firma) kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian persekutuan firma (venootschap onder firma), perubahan anggaran dasar persekutuan firma (venootschap onder firma) serta pembubaran persekutuan firma (venootschap onder firma) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan firma (venootschap onder firma) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

   

Pasal 17


(1) Persekutuan perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf k merupakan persekutuan perdata yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat.
(2) Pendaftaran persekutuan perdata kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian persekutuan perdata, perubahan anggaran dasar persekutuan perdata, serta pembubaran persekutuan perdata oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.


Bagian Ketiga
Penerbit Perizinan Berusaha

Pasal 18


(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diterbitkan oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Perizinan Berusaha yang kewenangan penerbitannya telah dilimpahkan atau didelegasikan kepada pejabat lainnya.


Pasal 19


(1) Pelaksanaan kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 termasuk penerbitan dokumen lain yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha wajib dilakukan melalui Lembaga OSS.
(2) Lembaga OSS berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota menerbitkan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penerbitan Perizinan Berusaha oleh Lembaga OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam bentuk Dokumen Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
(4) Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan Tanda Tangan Elektronik.
(5) Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berlaku sah dan mengikat berdasarkan hukum serta merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
(6) Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dicetak (print out).


BAB III
PELAKSANAAN PERIZINAN BERUSAHA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 20


Pelaksanaan Perizinan Berusaha meliputi:
  1. Pendaftaran;
  2. penerbitan Izin Usaha dan penerbitan Izin Komersial atau Operasional berdasarkan Komitmen;
  3. pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan pemenuhan Komitmen Izin Komersial atau Operasional;
  4. pembayaran biaya;
  5. fasilitasi;
  6. masa berlaku; dan
  7. pengawasan.


Bagian Kedua
Pendaftaran

Pasal 21


(1) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 melakukan Pendaftaran untuk kegiatan berusaha dengan cara mengakses laman OSS.
(2) Cara mengakses laman OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memasukkan:
  1. NIK dalam hal Pelaku Usaha merupakan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a;
  2. nomor pengesahan akta pendirian atau nomor pendaftaran perseroan terbatas, yayasan/badan usaha yang didirikan oleh yayasan, koperasi, persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap), persekutuan firma (venootschap onderfirma), atau persekutuan perdata;
  3. dasar hukum pembentukan perusahaan umum, perusahaan umum daerah, badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara, lembaga penyiaran publik, atau badan layanan umum.
 

Pasal 22


(1) Pelaku Usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a yang telah mendapatkan akses dalam laman OSS, melakukan Pendaftaran dengan mengisi data paling sedikit:
  1. nama dan NIK;
  2. alamat tempat tinggal;
  3. bidang usaha;
  4. lokasi penanaman modal;
  5. besaran rencana penanaman modal;
  6. rencana penggunaan tenaga kerja;
  7. nomor kontak usaha dan/atau kegiatan;
  8. rencana permintaan fasilitas fiskal, kepabeanan, dan/atau fasilitas lainnya; dan
  9. NPWP Pelaku Usaha perseorangan.
(2) Pelaku Usaha non perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dan huruf c yang telah mendapatkan akses dalam laman OSS, melakukan Pendaftaran dengan mengisi data paling sedikit:
  1. nama dan/atau nomor pengesahan akta pendirian atau nomor pendaftaran;
  2. bidang usaha;
  3. jenis penanaman modal;
  4. negara asal penanaman modal, dalam hal terdapat penanaman modal asing;
  5. lokasi penanaman modal;
  6. besaran rencana penanaman modal;
  7. rencana penggunaan tenaga kerja;
  8. nomor kontak badan usaha;
  9. rencana permintaan fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan/atau fasilitas lainnya;
  10. NPWP Pelaku Usaha non perseorangan; dan
  11. NIK penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
(3) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf k menjadi syarat pendaftaran peserta jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.
(4) Jenis penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, harus diisi sesuai dengan ketentuan mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal.


Pasal 23


Dalam hal Pelaku Usaha yang melakukan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 belum memiliki NPWP, OSS memproses pemberian NPWP.


Pasal 24


(1) Lembaga OSS menerbitkan NIB setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran melalui pengisian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 secara lengkap dan mendapatkan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
(2) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk 13 (tiga belas) digit angka acak yang diberi pengaman dan disertai dengan Tanda Tangan Elektronik.


Pasal 25


(1) NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 merupakan identitas berusaha dan digunakan oleh Pelaku Usaha untuk mendapatkan Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional termasuk untuk pemenuhan persyaratan Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional.
(2) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan usaha dan/atau kegiatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Lembaga OSS dalam hal:
  1. Pelaku Usaha melakukan usaha dan/atau kegiatan yang tidak sesuai dengan NIB; dan/atau
  2. dinyatakan batal atau tidak sah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.


Pasal 26


NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku juga sebagai:
  1. TDP sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang tanda daftar perusahaan;
  2. API sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan; dan
  3. hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.


Pasal 27


TDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. NIB merupakan pengesahan TDP;
  2. NIB sebagai TDP berlaku selama jangka waktu keberlakuan NIB;
  3. Lembaga OSS merupakan kantor tempat pendaftaran perusahaan; dan
  4. basis data (data base) perusahaan pada NIB merupakan data dan akta yang sah untuk pemenuhan persyaratan pendaftaran perusahaan.


Pasal 28


Pelaku Usaha yang telah mendapatkan NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sekaligus terdaftar sebagai peserta jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.


Pasal 29


(1) Dalam hal Pelaku Usaha akan mempekerjakan tenaga kerja asing, Pelaku Usaha mengajukan pengesahan RPTKA.
(2) Pelaku Usaha dalam rangka pengajuan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengisi data pada laman OSS berupa:
  1. alasan penggunaan tenaga kerja asing;
  2. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
  3. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing;
  4. penunjukan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan; dan
  5. jumlah tenaga kerja asing.
(3) Berdasarkan data pengajuan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sistem OSS memproses pengesahan RPTKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan izin mempekerjakan tenaga kerja asing.


Pasal 30


(1) Lembaga OSS setelah menerbitkan NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, sekaligus memberikan informasi mengenai fasilitas fiskal yang akan didapat oleh Pelaku Usaha sesuai bidang usaha dan besaran rencana penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelaksanaan pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Ketiga
Penerbitan Izin Usaha dan Penerbitan Izin Komersial atau Operasional
Berdasarkan Komitmen

Pasal 31


(1) Izin Usaha wajib dimiliki oleh Pelaku Usaha yang telah mendapatkan NIB.
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. Pelaku Usaha yang tidak memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan; atau
  2. Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan.
(3) Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
  1. Pelaku Usaha yang telah memiliki atau menguasai prasarana; atau
  2. Pelaku Usaha yang belum memiliki atau menguasai prasarana.


Pasal 32


(1) Lembaga OSS menerbitkan Izin Usaha berdasarkan Komitmen kepada:
  1. Pelaku Usaha yang tidak memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a; dan
  2. Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan telah memiliki atau menguasai prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf a.
(2) Lembaga OSS menerbitkan Izin Usaha berdasarkan Komitmen kepada Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan tapi belum memiliki atau menguasai prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf b, setelah Lembaga OSS menerbitkan:
  1. Izin Lokasi;
  2. Izin Lokasi Perairan;
  3. Izin Lingkungan; dan/atau
  4. IMB,
berdasarkan Komitmen.


Pasal 33


(1) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh Lembaga OSS tanpa Komitmen dalam hal:
a. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan terletak di lokasi yang telah sesuai peruntukannya menurut RDTR dan/atau rencana umum tata ruang kawasan perkotaan;
b. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan terletak di lokasi kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, serta kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas;
c. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh Pelaku Usaha lain yang telah mendapatkan Izin Lokasi dan akan digunakan oleh Pelaku Usaha;
d. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut;
e. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan letak tanahnya berbatasan dengan lokasi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
f. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan yang diperlukan untuk melaksanakan rencana Perizinan Berusaha tidak lebih dari:
1) 25 ha (dua puluh lima hektare) untuk usaha dan/atau kegiatan pertanian;
2) 5 ha (lima hektare) untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah; atau
3) 1 ha (satu hektare) untuk usaha dan/atau kegiatan bukan pertanian; atau
g. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan yang akan dipergunakan untuk proyek strategis nasional.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan menggunakan atau memanfaatkan tanah, Pelaku Usaha mengajukan pertimbangan teknis pertanahan kepada kantor pertanahan tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan melalui sistem OSS.
(3) Kantor pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan pemeriksaan dan/atau inventarisasi atas lokasi yang telah diberikan Izin Lokasi.
(4) Berdasarkan pemeriksaan dan/atau inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kantor pertanahan menyampaikan pertimbangan teknis kepada Pelaku Usaha paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak pengajuan pertimbangan teknis diterima dari sistem OSS.
(5) Dalam hal kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kantor pertanahan dimaksud dianggap telah memberikan persetujuan pertimbangan teknis.


Pasal 34


Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b diterbitkan oleh Lembaga OSS tanpa Komitmen dalam hal:
  1. lokasi usaha dan/atau kegiatan terletak di lokasi kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, serta kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas;
  2. lokasi usaha dan/atau kegiatan merupakan lokasi yang sudah dikuasai oleh Pelaku Usaha lain yang telah mendapatkan Izin Lokasi Perairan dan akan digunakan oleh Pelaku Usaha;
  3. lokasi usaha dan/atau kegiatan berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut;
  4. lokasi usaha dan/atau kegiatan yang dipergunakan oleh usaha mikro dan usaha kecil; dan/atau
  5. lokasi usaha dan/atau kegiatan yang akan dipergunakan untuk proyek strategis nasional.


Pasal 35


(1) Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c tidak dipersyaratkan untuk penerbitan Izin Usaha dalam hal:
  1. lokasi usaha dan/atau kegiatan berada dalam kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; atau
  2. usaha dan/atau kegiatan merupakan usaha mikro dan kecil, usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki Amdal, atau usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki UKL-UPL.
(2) Pelaku Usaha yang lokasi usaha dan/atau kegiatan berada dalam kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menyusun RKL-RPL rinci berdasarkan RKL-RPL kawasan.
(3) RKL-RPL rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh pengelola kawasan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan atas RKL-RPL rinci diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(5) Usaha dan/atau kegiatan yang merupakan usaha mikro dan kecil dan usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL ditetapkan oleh gubernur atau bupati/wali kota berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.


Pasal 36


IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf d tidak dipersyaratkan untuk penerbitan Izin Usaha dalam hal bangunan gedung:
  1. berada dalam kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, sepanjang pengelola kawasan telah menetapkan pedoman bangunan (estate regulation).
  2. merupakan proyek pemerintah atau proyek strategis nasional sepanjang telah ditetapkan badan usaha pemenang lelang atau badan usaha yang ditugaskan untuk melaksanakan proyek pemerintah atau proyek strategis nasional.


Pasal 37


(1) Izin Usaha berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
(2) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha dan akan mengembangkan usaha dan/atau kegiatan di wilayah lain, harus tetap memenuhi persyaratan Izin Lokasi, Izin Lokasi Perairan, Izin Lingkungan, dan IMB di masing-masing wilayah tersebut.
(3) Pelaku Usaha wajib memperbaharui informasi pengembangan usaha dan/atau kegiatan pada sistem OSS.


Pasal 38


(1) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dapat melakukan kegiatan:
  1. pengadaan tanah;
  2. perubahan luas lahan;
  3. pembangunan bangunan gedung dan pengoperasiannya;
  4. pengadaan peralatan atau sarana;
  5. pengadaan sumber daya manusia;
  6. penyelesaian sertifikasi atau kelaikan;
  7. pelaksanaan uji coba produksi (commisioning); dan/atau
  8. pelaksanaan produksi.
(2) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 namun belum menyelesaikan:
  1. Amdal; dan/atau
  2. rencana teknis bangunan gedung,
belum dapat melakukan kegiatan pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.


Pasal 39


Lembaga OSS menerbitkan Izin Komersial atau Operasional berdasarkan Komitmen untuk memenuhi:
  1. standar, sertifikat, dan/atau lisensi; dan/atau
  2. pendaftaran barang/jasa,
sesuai dengan jenis produk dan/atau jasa yang dikomersialkan oleh Pelaku Usaha melalui sistem OSS.


Pasal 40


Lembaga OSS membatalkan Izin Usaha yang sudah diterbitkan dalam hal Pelaku Usaha tidak menyelesaikan pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan/atau Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.


Pasal 41


Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional berlaku efektif setelah Pelaku Usaha menyelesaikan Komitmen dan melakukan pembayaran biaya Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.


Bagian Keempat
Pemenuhan Komitmen Izin Lokasi, Izin Lokasi Perairan, Izin Lingkungan,
dan/atau Izin Mendirikan Bangunan

Paragraf 1
Pemenuhan Komitmen Izin Lokasi

Pasal 42


(1) Pelaku Usaha wajib menyampaikan permohonan pemenuhan Komitmen Izin Lokasi paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a.
(2) Pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha melalui Lembaga OSS dengan menyampaikan persyaratan pertimbangan teknis pertanahan kepada kantor pertanahan tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan.
(3) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kantor pertanahan tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari untuk selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan.
(4) Dalam hal kantor pertanahan tempat lokasi usaha tidak memberikan pertimbangan teknis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pertimbangan teknis dianggap telah diberikan sesuai permohonan Pelaku Usaha.
(5) Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 2 (dua) Hari menyetujui pemenuhan Komitmen Izin Lokasi, dalam hal kantor pertanahan:
  1. memberikan persetujuan dalam pertimbangan teknis; atau
  2. lebih dari 10 (sepuluh) Hari tidak memberikan pertimbangan teknis.
(6) Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 2 (dua) Hari menolak pemenuhan Komitmen Izin Lokasi dalam hal kantor pertanahan memberikan penolakan dalam pertimbangan teknis.
(7) Dalam hal kantor pertanahan dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memberikan penolakan, Izin Lokasi dinyatakan batal.
(8) Dalam hal Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak memberikan persetujuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Izin Lokasi yang diterbitkan oleh Lembaga OSS efektif berlaku.


Pasal 43


(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Lokasi dan pertimbangan teknis pertanahan diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria.
(2) Peraturan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


Pasal 44


(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang belum memiliki RDTR, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan wajib menetapkan RDTR untuk Kawasan Industri atau kawasan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam rangka penetapan RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang memberikan bantuan teknis.


Pasal 45


(1) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang menyampaikan rencana tata ruang kabupaten/kota dan/atau RDTR kabupaten/kota dalam bentuk digital ke Lembaga OSS.
(2) Lembaga OSS memuat rencana tata ruang kabupaten/kota dan/atau RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sistem OSS.
(3) Rencana tata ruang kabupaten/kota dan/atau RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar penetapan tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan dalam penerbitan Izin Lokasi.


Pasal 46


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang mengatur mengenai Izin Lokasi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini.


Paragraf 2
Pemenuhan Komitmen Izin Lokasi Perairan

Pasal 47


Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan di sebagian perairan di wilayah pesisir dan/atau pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.


Pasal 48


(1) Pelaku Usaha wajib menyampaikan permohonan pemenuhan Komitmen Izin Lokasi Perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b.
(2) Pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha melalui Lembaga OSS dengan menyampaikan persyaratan Izin Lokasi Perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing.
(3) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari menyetujui atau menolak pemenuhan Komitmen Izin Lokasi Perairan.
(4) Dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberikan penolakan, Izin Lokasi Perairan dinyatakan batal.
(5) Dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah tidak memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Izin Lokasi perairan yang diterbitkan oleh Lembaga OSS efektif berlaku.


Pasal 49


(1) Dalam rangka penyelesaian Komitmen Izin Lokasi Perairan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 menggunakan data rencana tata ruang laut nasional, rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, rencana zonasi kawasan antar wilayah, dan/atau data kebijakan satu peta.
(2) Penggunaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penggunaan data secara bersama (data sharing) dan terintegrasi secara elektronik (online).

  

Paragraf 3
Pemenuhan Komitmen Izin Lingkungan

Pasal 50


Pelaku Usaha wajib memenuhi Komitmen Izin Lingkungan yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c dengan melengkapi:
  1. UKL-UPL; atau
  2. dokumen Amdal.


Pasal 51


(1) Pelaku Usaha wajib melengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a sesuai formulir UKL- UPL.
(2) Formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
  1. deskripsi rinci rencana usaha dan/atau kegiatan;
  2. dampak lingkungan yang akan terjadi; dan
  3. program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
(3) Formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk masing-masing sektor bidang usaha dan/atau kegiatan setelah mendapat pertimbangan dari menteri atau pimpinan lembaga pembina sektor bidang usaha dan/atau kegiatan terkait.


Pasal 52


(1) Dalam rangka pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a Pelaku Usaha melalui Lembaga OSS mengajukan UKL-UPL kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan Izin Lingkungan.
(2) Pengajuan UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan di sistem OSS.

 

Pasal 53


(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota melakukan pemeriksaan atas UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 ayat (1) paling lama 5 (lima) Hari sejak disampaikan oleh Pelaku Usaha.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terdapat perbaikan UKL-UPL, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota menetapkan persetujuan rekomendasi UKL-UPL dan menyampaikannya kepada Pelaku Usaha melalui sistem OSS.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat perbaikan UKL-UPL, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota menyampaikan hasil pemeriksaan kepada Pelaku Usaha melalui sistem OSS.
(4) Pelaku Usaha wajib melakukan perbaikan UKL-UPL dan menyampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota melalui sistem OSS paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya hasil pemeriksaan.
(5) Berdasarkan perbaikan UKL-UPL yang disampaikan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota menetapkan persetujuan rekomendasi UKL-UPL dan menyampaikannya kepada Pelaku Usaha melalui OSS.
(6) Penetapan persetujuan rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (5) merupakan pemenuhan Komitmen Izin Lingkungan.
(7) Dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota tidak menetapkan persetujuan rekomendasi UKL-UPL dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) persetujuan rekomendasi UKL-UPL dan Komitmen Izin Lingkungan dianggap telah dipenuhi.


Pasal 54


(1) Pelaku Usaha wajib melengkapi dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b.
(2) Penyusunan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mulai dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan Izin Lingkungan.
(3) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:
  1. penyusunan Andal dan RKL-RPL;
  2. penilaian Amdal dan RKL-RPL; dan
  3. keputusan kelayakan.


Pasal 55


(1) Pelaku Usaha dalam penyusunan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, mengikutsertakan masyarakat yang terkena dampak.
(2) Pelaku Usaha selain mengikutsertakan masyarakat yang terkena dampak, dapat pula melibatkan pemerhati lingkungan hidup.
(3) Pengikutsertaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pemerhati lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
  1. pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan; dan
  2. konsultasi publik.
(4) Pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui laman OSS, media massa, dan/atau pada lokasi usaha dan/atau kegiatan.
(5) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu 5 (lima) Hari terhitung sejak pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
(6) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan secara tertulis atau melalui Lembaga OSS kepada Pelaku Usaha dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyusunan Amdal diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.


Pasal 56


(1) Pelaku Usaha menyusun Andal dan RKL-RPL berdasarkan formulir kerangka acuan.
(2) Formulir kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk masing-masing sektor bidang usaha setelah mendapat pertimbangan dari menteri atau pimpinan lembaga pembina sektor bidang usaha terkait.


Pasal 57


(1) Andal dan RKL-RPL yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diajukan kepada.
  1. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui Komisi Penilai Amdal Pusat, untuk kerangka acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal Pusat;
  2. gubernur melalui Komisi Penilai Amdal provinsi, untuk kerangka acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal provinsi; atau
  3. bupati/walikota melalui Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota, untuk kerangka acuan yang dinilai oleh Komisi Penilai Amdal kabupaten/kota.
(2) Komisi Penilai Amdal melakukan penilaian Andal dan RKL-RPL sesuai dengan kewenangannya.


Pasal 58


(1) Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya.
(2) Rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa.
  1. rekomendasi kelayakan lingkungan, atau
  2. rekomendasi ketidaklayakan lingkungan.
(3) Dalam hal rapat Komisi Penilai Amdal menyatakan bahwa dokumen Andal dan RKL-RPL perlu diperbaiki, Komisi Penilai Amdal mengembalikan dokumen Andal dan RKL-RPL kepada Pelaku Usaha selaku pemrakarsa untuk diperbaiki.

   

Pasal 59


(1) Pemrakarsa menyampaikan kembali perbaikan dokumen Andal dan RKL-RPL sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1).
(2) Berdasarkan dokumen Andal dan RKL-RPL yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Penilai Amdal melakukan penilaian akhir terhadap dokumen Andal dan RKL-RPL.
(3) Komisi Penilai Amdal menyampaikan hasil penilaian akhir berupa rekomendasi hasil penilaian akhir kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya.


Pasal 60


(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota berdasarkan rekomendasi hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) atau rekomendasi hasil penilaian akhir dari Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3), menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau ketidaklayakan lingkungan hidup.
(2) Penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemenuhan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b.
(3) Penetapan keputusan ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegagalan pemenuhan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b dan Izin Lingkungan yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c dinyatakan batal.


Pasal 61


Jangka waktu penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, penyampaian rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, penilaian akhir serta penyampaian hasil penilaian akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan penetapan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.


Pasal 62


(1) Dalam hal Pelaku Usaha dalam usaha dan/atau kegiatannya akan membangun pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, penyusunan dokumen Amdal atau UKL-UPL sekaligus dilakukan dengan penyusunan analisis dampak lalu lintas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimuat dalam Amdal atau UKL-UPL merupakan hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.


Pasal 63


Dalam hal Pelaku Usaha memerlukan izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup untuk kegiatan:
  1. menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun bahan berbahaya dan beracun dan penyusunan dokumen Amdal dilakukan termasuk pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun;
  2. pembuangan air limbah ke laut;
  3. pembuangan air limbah ke sumber air; dan/atau
  4. memanfaatkan air limbah untuk aplikasi ke tanah,
izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup tersebut diintegrasikan ke dalam Izin Lingkungan.


Pasal 64


Pengintegrasian izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup tersebut ke dalam Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dilakukan melalui:
  1. mekanisme penyusunan dan penilaian Amdal atau UKL-UPL pada tahap perencanaan usaha dan/atau kegiatan; atau
  2. perubahan Izin Lingkungan.


Pasal 65


Lembaga OSS mengumumkan Izin Lingkungan yang telah diterbitkan di sistem OSS dan dalam hal dipandang perlu dapat pula dimuat dalam media lainnya sesuai kebutuhan.


Pasal 66


(1) Pelaku Usaha wajib mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan, apabila usaha dan/atau kegiatan yang telah memperoleh Izin Lingkungan direncanakan untuk dilakukan perubahan.
(2) Perubahan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. perubahan kepemilikan usaha dan/atau kegiatan;
  2. perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
  3. perubahan yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang memenuhi kriteria:
    1. perubahan dalam penggunaan alat-alat produksi yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup;
    2. penambahan kapasitas produksi;
    3. perubahan spesifikasi teknik yang memengaruhi lingkungan;
    4. perubahan sarana usaha dan/atau kegiatan;
    5. perluasan lahan dan bangunan usaha dan/atau kegiatan;
    6. perubahan waktu atau durasi operasi usaha dan/atau kegiatan;
    7. usaha dan/atau kegiatan di dalam kawasan yang belum tercakup di dalam Izin Lingkungan;
    8. terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam rangka peningkatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan/atau
    9. terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar akibat peristiwa alam atau karena akibat lain, sebelum dan pada waktu usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan;
  4. terdapat perubahan dampak dan/atau risiko terhadap lingkungan hidup berdasarkan hasil kajian analisis risiko lingkungan hidup dan/atau audit lingkungan hidup yang diwajibkan; dan/atau
  5. tidak dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Izin Lingkungan.
(3) Pengajuan permohonan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, disampaikan kepada Lembaga OSS.
(4) Lembaga OSS menerbitkan perubahan Izin Lingkungan kepada Pelaku Usaha berdasarkan Komitmen.
(5) Pelaku Usaha wajib memenuhi Komitmen Izin Lingkungan yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c melalui:
  1. penyusunan dan penilaian dokumen Amdal baru; atau
  2. penyampaian dan penilaian terhadap adendum Andal dan RKL-RPL.
(6) Ketentuan mengenai penyusunan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 65 berlaku secara mutatis mutandis terhadap dokumen Amdal baru atau adendum Andal dan RKL-RPL.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria perubahan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara perubahan keputusan kelayakan lingkungan hidup, perubahan Rekomendasi UKL-UPL, dan penerbitan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
    

Pasal 67


(1) Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a, Lembaga OSS atas nama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya menerbitkan perubahan Izin Lingkungan.
(2) Dalam hal terjadi perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyampaikan laporan perubahan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota melalui sistem OSS.
(3) Berdasarkan laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga OSS atas nama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya menerbitkan perubahan Izin Lingkungan.


Pasal 68


(1) Proses permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan, penyusunan dokumen Amdal, serta UKL-UPL, dilakukan melalui sistem OSS.
(2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup membangun dan mengembangkan sistem untuk mendukung pelaksanaan sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup juga profesi yang bersertifikasi atau badan usaha yang berkaitan dengan penyusunan dokumen Amdal dan UKL-UPL.

 

Pasal 69


(1) Terhadap usaha dan/atau kegiatan yang merupakan usaha mikro dan kecil dan usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki UKL-UPL, Pelaku Usaha membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.
(2) Usaha dan/atau kegiatan yang merupakan usaha mikro dan kecil dan usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur atau bupati/wali kota berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.


Pasal 70


Pemrakarsa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, harus dimaknai sebagai Pelaku Usaha.


Pasal 71


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan yang mengatur mengenai penyusunan dokumen Amdal dan UKL-UPL, penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL, serta permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini.


Paragraf 4
Pemenuhan Komitmen Izin Mendirikan Bangunan Gedung

Pasal 72


(1) Dalam rangka pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf d, Pelaku Usaha melalui Lembaga OSS mengajukan penyelesaian IMB kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan IMB.
(2) Dalam hal IMB memerlukan penyelesaian dokumen Amdal, Pelaku Usaha mengajukan penyelesaian IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Komitmen Amdal dipenuhi.
(3) Pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha dengan melengkapi:
  1. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah;
  2. data pemilik bangunan gedung; dan
  3. rencana teknis bangunan gedung.
(4) Dalam hal IMB memerlukan persyaratan Amdal, pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyelesaian dokumen Amdal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Rencana teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c harus mendapatkan pertimbangan teknis dari:
  1. tim ahli bangunan gedung atau profesi ahli bangunan gedung dalam hal IMB memerlukan persyaratan Amdal, bangunan gedung merupakan bangunan tidak sederhana untuk kepentingan umum, dan bangunan gedung khusus;
  2. profesi ahli bangunan gedung dalam hal IMB tidak memerlukan persyaratan Amdal.
(6) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a termasuk pertimbangan teknis sektor sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

  

Pasal 73


(1) Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyampaikan surat keterangan rencana kabupaten/kota dalam bentuk digital ke Lembaga OSS.
(2) Lembaga OSS memuat surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sistem OSS.
(3) Surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung untuk kegiatan berusaha.


Pasal 74


(1) Tim ahli bangunan gedung sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, harus dimaknai sebagai tim ahli bangunan gedung atau profesi ahli bangunan gedung bersertifikat.
(2) Profesi ahli bangunan gedung bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung.

 

Pasal 75


(1) Dalam rangka pengoperasian bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf c pemilik bangunan gedung wajib memiliki sertifikat laik fungsi.
(2) Sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga OSS berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung oleh profesi ahli bangunan gedung bersertifikat paling lama 3 (tiga) Hari.

  

Pasal 76


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur mengenai IMB dan sertifikat laik fungsi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini.


Bagian Kelima
Pembayaran Biaya Perizinan Berusaha

Pasal 77


(1) Segala biaya Perizinan Berusaha yang merupakan:
  1. penerimaan negara bukan pajak;
  2. bea masuk dan/atau bea keluar;
  3. cukai; dan/atau
  4. pajak daerah atau retribusi daerah,
wajib dibayar oleh Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan oleh Pelaku Usaha sebagai bagian dari pemenuhan Komitmen.
(3) Pelaku Usaha yang telah melakukan pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengunggah bukti pembayaran ke dalam sistem OSS.
(4) Pelaksanaan pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi melalui sistem OSS.
(5) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional yang telah diberikan dinyatakan batal.


Bagian Keenam
Fasilitasi Perizinan Berusaha

Pasal 78


(1) Lembaga OSS, kementerian, lembaga, dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi Perizinan Berusaha kepada Pelaku Usaha terutama usaha mikro, kecil, dan menengah.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. pelayanan informasi yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha; dan
  2. bantuan untuk mengakses laman OSS dalam rangka mendapatkan Perizinan Berusaha.
(3) Dalam rangka memberikan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga OSS, kementerian, lembaga, dan Pemerintah Daerah menyediakan tempat pelayanan dan petugas.
(4) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya.


Bagian Ketujuh
Masa Berlaku Perizinan Berusaha

Pasal 79


(1) Izin Usaha berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan usaha dan/atau kegiatannya, kecuali diatur lain dalam undang-undang.
(2) Izin Komersial atau Operasional berlaku sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur masing-masing izin.


Pasal 80


(1) Pelaku Usaha yang telah memiliki Perizinan Berusaha, dapat mengembalikannya kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha berakhir.
(2) Pengembalian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pelaku Usaha yang melekat dalam Perizinan Berusaha tersebut.


Bagian Kedelapan
Pengawasan atas Pelaksanaan Perizinan Berusaha

Pasal 81


(1) Kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan atas:
  1. pemenuhan Komitmen;
  2. pemenuhan standar, sertifikasi, lisensi dan/atau pendaftaran; dan/atau
  3. usaha dan/atau kegiatan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan ketidaksesuaian atau penyimpangan, kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
  1. peringatan;
  2. penghentian sementara kegiatan berusaha;
  3. pengenaan denda administratif; dan/atau
  4. pencabutan Perizinan Berusaha,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui sistem OSS oleh kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah kepada Lembaga OSS.
(5) Lembaga OSS berdasarkan penyampaian kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melakukan penghentian sementara atau pencabutan Perizinan Berusaha.


Pasal 82


(1) Kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dapat bekerja sama dengan profesi sesuai dengan bidang pengawasan yang dilakukan oleh kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan bidang yang diperlukan.


Pasal 83


(1) Menteri, pimpinan lembaga, gubernur dan/atau bupati/wali kota wajib melakukan pengawasan terhadap aparatur sipil negara dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsinya dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara.

   

BAB IV
REFORMASI PERIZINAN BERUSAHA SEKTOR

Pasal 84


(1) Dalam rangka percepatan pelayanan berusaha melalui sistem OSS dilakukan reformasi peraturan Perizinan Berusaha.
(2) Reformasi peraturan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. pengaturan kembali jenis perizinan, pendaftaran, rekomendasi, persetujuan, penetapan, standar, sertifikasi, atau lisensi;
  2. penahapan untuk memperoleh perizinan; dan
  3. pemberlakuan Komitmen pemenuhan persyaratan.
(3) Pengaturan kembali jenis perizinan, pendaftaran, rekomendasi, persetujuan, penetapan, standar, sertifikasi, atau lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui:
  1. pengklasifikasian;
  2. penghapusan;
  3. penggabungan;
  4. perubahan nomenklatur; atau
  5. penyesuaian persyaratan.
(4) Penahapan untuk memperoleh perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
  1. Pendaftaran;
  2. pemberian Izin Usaha; dan
  3. pemberian Izin Komersial atau Operasional.
(5) Pemberlakuan Komitmen pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan Izin Usaha atau Izin Komersial atau Operasional yang telah diterbitkan.

  

Pasal 85


Pelaksanaan reformasi peraturan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 terdiri atas Perizinan Berusaha pada:
  1. sektor ketenagalistrikan;
  2. sektor pertanian;
  3. sektor lingkungan hidup dan kehutanan;
  4. sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
  5. sektor kelautan dan perikanan;
  6. sektor kesehatan;
  7. sektor obat dan makanan;
  8. sektor perindustrian;
  9. sektor perdagangan;
  10. sektor perhubungan;
  11. sektor komunikasi dan informatika;
  12. sektor keuangan;
  13. sektor pariwisata;
  14. sektor pendidikan dan kebudayaan;
  15. sektor pendidikan tinggi;
  16. sektor agama dan keagamaan;
  17. sektor ketenagakerjaan;
  18. sektor kepolisian;
  19. sektor perkoperasian dan usaha mikro, kecil, menengah;dan
  20. sektor ketenaganukliran,
yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 86


(1) Pelaksanaan Perizinan Berusaha yang tidak termasuk dalam Pasal 85 dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sektor bersangkutan.
(2) Menteri koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian melakukan evaluasi dan reformasi atas peraturan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


Pasal 87


Ketentuan Perizinan Berusaha pada sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini diatur dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 88


(1) Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, menteri dan pimpinan lembaga menyusun dan menetapkan standar Perizinan Berusaha di sektornya masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Standar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha.
(3) Menteri dan pimpinan lembaga dalam menyusun standar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berkoordinasi dengan menteri dan pimpinan lembaga lain.
(4) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) difasilitasi oleh menteri koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian.
(5) Standar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.

 

Pasal 89


(1) Dalam rangka pelaksanaan standar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota mencabut dan menyatakan tidak berlaku seluruh peraturan dan/atau keputusan yang mengatur mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangannya, yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Pencabutan peraturan dan/atau keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.

  

BAB V
ONLINE SINGLE SUBMISSION

Bagian Kesatu
Sistem Online Single Submission

Pasal 90


(1) Pemerintah Pusat membangun, mengembangkan, dan mengoperasionalkan sistem OSS.
(2) Sistem OSS terintegrasi dan menjadi gerbang (gateway) dari sistem pelayanan pemerintahan yang telah ada pada kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah.
(3) Sistem OSS menjadi acuan utama (single reference) dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha.
(4) Dalam hal kementerian, lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki lebih dari 1 (satu) sistem perizinan elektronik, maka sistem OSS melakukan integrasi pada 1 (satu) pintu sistem perizinan elektronik yang ditentukan oleh kementerian, lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota.


Pasal 91


(1) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota menggunakan sistem OSS dalam rangka pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangannya masing-masing.
(2) Penggunaan sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti standar integrasi sistem OSS.
(3) Standar integrasi sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup paling sedikit:
  1. standar otentikasi dan pengaturan hak akses dari dan ke sistem OSS;
  2. standar elemen data perizinan antar sistem Perizinan Berusaha dengan sistem OSS;
  3. standar model integrasi antar sistem Perizinan Berusaha dengan sistem OSS;
  4. standar keamanan bersama dan tanda tangan digital antar sistem Perizinan Berusaha dengan sistem OSS; dan
  5. standar service level agreement antar sistem Perizinan Berusaha dengan sistem OSS.
(4) Penetapan kelayakan standardisasi integrasi sistem OSS dilakukan melalui proses uji kelayakan integrasi, yang meliputi proses penelaahan teknis dan operasi atas aspek yang mencakup:
  1. kelayakan spesifikasi standar teknis aplikasi dan data;    
  2. kelayakan standar prosedur operasi dan bisnis proses;    
  3. kelayakan standar infrastruktur sistem perizinan; dan    
  4. kelayakan standar dukungan layanan.
(5) Kelayakan standardisasi integrasi sistem OSS dituangkan dalam bentuk sertifikasi uji laik integrasi.
(6) Sertifikat uji laik integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.


Pasal 92


(1) Perangkat sistem OSS meliputi:
  1. perangkat keras;
  2. perangkat lunak;
  3. jaringan; dan
  4. perangkat pendukung.
(2) Perangkat sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beroperasi secara penuh selama 24 (dua puluh empat) jam.
(3) Perangkat sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki cadangan perangkat yang beroperasi secara berkesinambungan untuk menjaga kelangsungan operasional sistem OSS.
(4) Perangkat sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Lembaga OSS, kementerian, lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara mandiri.
(5) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika menetapkan standar perangkat sistem OSS.


Bagian Kedua
Lembaga Online Single Submission

Pasal 93


Sistem OSS dikelola oleh Lembaga OSS.


Pasal 94


(1) Lembaga OSS berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, berwenang untuk:
  1. menerbitkan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS;
  2. menetapkan kebijakan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS;
  3. menetapkan petunjuk pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha pada sistem OSS;
  4. mengelola dan mengembangkan sistem OSS; dan
  5. bekerja sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan, pengelolaan, dan pengembangan sistem OSS.
(2) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berkoordinasi dengan menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/wali kota.
(3) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) difasilitasi oleh menteri koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian.


Bagian Ketiga
Pendanaan Sistem Online Single Submission

Pasal 95


(1) Pendanaan pembangunan dan pengembangan sistem OSS dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Pendanaan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS pada kementerian/lembaga dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Pendanaan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS pada Pemerintah Daerah provinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.
(4) Pendanaan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.


Pasal 96


Pendanaan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 mencakup:
  1. penyediaan peralatan untuk pelaksanaan sistem OSS;
  2. jaringan sistem OSS; dan
  3. sumber daya manusia untuk pelaksanaan sistem OSS.


BAB VI
INSENTIF ATAU DISINSENTIF PELAKSANAAN PERIZINAN BERUSAHA
MELALUI ONLINE SINGLE SUBMISSION

Pasal 97


(1) Pemerintah Pusat dapat menetapkan insentif atau mengenakan disinsentif bagi kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang melaksanakan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS.
(2) Insentif bagi kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tambahan anggaran dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Insentif bagi pemerintah daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Dana Insentif Daerah berdasarkan penilaian atas kinerja pelayanan pelaksanaan berusaha.
(4) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
(5) Disinsentif bagi kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengurangan anggaran dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Disinsentif bagi Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penundaan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak daerah bersangkutan dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Penundaan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan setelah mempertimbangkan besaran penyaluran Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil, sanksi pemotongan dan/atau penundaan lainnya, serta kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan.
(8) Ketentuan pelaksanaan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

  

BAB VII
PENYELESAIAN PERMASALAHAN DAN HAMBATAN PERIZINAN BERUSAHA
MELALUI ONLINE SINGLE SUBMISSION

Pasal 98


(1) Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota wajib menyelesaikan hambatan dan permasalahan dibidangnya dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal peraturan perundang-undangan belum mengatur atau tidak jelas mengatur kewenangan untuk penyelesaian hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaan sistem OSS, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota berwenang untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan dimaksud sepanjang sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.


Pasal 99


(1) Dalam hal terdapat laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota sebagai pelaksana sistem OSS atau kepada Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan sistem OSS, penyelesaian dilakukan dengan mendahulukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan.
(2) Dalam hal laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia meneruskan/menyampaikan laporan masyarakat tersebut kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota untuk dilakukan pemeriksaan.
(3) Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota memeriksa laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat, baik yang diterima oleh kementerian, lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maupun yang diteruskan oleh Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak laporan masyarakat diterima.
(4) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota meminta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit lebih lanjut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
(5) Hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
  1. kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara;
  2. kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara; atau
  3. tindak pidana yang bukan bersifat administratif.
(6) Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian negara paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan.
(8) Penyelesaian hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) disampaikan oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan.
(9) Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa tindak pidana yang bukan bersifat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan, menyampaikan kepada Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk ditindak lanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
  

BAB VIII
SANKSI

Pasal 100


(1) Gubernur dan bupati/wali kota yang tidak memberikan pelayanan pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional sesuai OSS kepada Pelaku Usaha yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan terkait dikenai sanksi.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis kepada:
  1. gubernur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri; dan
  2. bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu masing-masing paling lama 2 (dua) Hari.
(4) Dalam hal gubernur dan bupati/wali kota tidak memberikan pelayanan pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut:
  1. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengambil alih penyelesaian pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional yang menjadi kewenangan   gubernur dan melimpahkannya kepada Lembaga OSS; atau
  2. gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih penyelesaian pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional yang menjadi kewenangan bupati/wali kota dan melimpahkannya kepada Lembaga OSS.


Pasal 101


(1) Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/wali kota mengenakan sanksi kepada pejabat yang tidak memberikan pelayanan OSS sesuai standar OSS.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara.


BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 102


Penggunaan data OSS antar kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian Perizinan Berusaha melalui sistem OSS, tidak dikenakan biaya.


BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 103


Perizinan Berusaha yang telah diajukan oleh Pelaku Usaha sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan belum diterbitkan Perizinan Berusahanya, diproses melalui sistem OSS sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 104


Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dan memerlukan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional yang baru untuk pengembangan usaha, diatur ketentuan sebagai berikut:
  1. pengajuan dan penerbitan Perizinan Berusaha untuk pengembangan usaha dan/atau kegiatan atau komersial atau operasional dilakukan melalui sistem OSS dengan melengkapi data, Komitmen, dan/atau pemenuhan Komitmen sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini;
  2. Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional yang telah diperoleh dan masih berlaku sesuai bidang usaha dan/atau kegiatan tetap berlaku dan didaftarkan ke sistem OSS;
  3. Pelaku Usaha diberikan NIB sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 105


(1) Dalam hal Lembaga OSS belum dapat melaksanakan pelayanan Perizinan Berusaha dan pengelolaan sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini, pelayanan Perizinan Berusaha dan pengelolaan sistem OSS dimaksud dilaksanakan oleh kementerian koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian.
(2) Pelayanan Perizinan Berusaha dan pengelolaan sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan ditetapkannya pengalihan pengelolaan sistem OSS kepada lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal berdasarkan keputusan menteri koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian.


Pasal 106


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelayanan Perizinan Berusaha dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 107


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2018
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 90




 

 

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2018

TENTANG

PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK


I. UMUM

Dalam rangka percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha, Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah untuk memulai, melaksanakan, dan mengembangkan usaha dan/atau kegiatan, perlu ditata kembali agar menjadi pendukung dan bukan sebaliknya menjadi hambatan perkembangan usaha dan/atau kegiatan. Penataan kembali dilakukan pada sistem pelayanan, dan regulasi sesuai dengan tuntutan dunia usaha, perkembangan teknologi, dan persaingan global.

Penataan kembali sistem pelayanan dilakukan terutama pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Hal ini mengingat berdasarkan Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, perusahaan penanaman modal yang akan melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. Selanjutnya pada ayat (5) diatur bahwa pelayanan terhadap izin untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan tersebut dilakukan melalui PTSP.

Pelayanan PTSP pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disempurnakan menjadi lebih efisien, melayani, dan modem. Salah satunya yang paling signifikan adalah penyediaan sistem Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission - OSS). Melalui OSS tersebut, Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran dan mengurus penerbitan Izin Usaha dan penerbitan Izin Komersial dan/atau Operasional secara terintegrasi. Melalui OSS itu pula, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menerbitkan Perizinan Berusaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha.

Penataan kembali regulasi penanaman modal dan berusaha perlu dilakukan dalam rangka memberikan dasar hukum bagi penerbitan Perizinan Berusaha yang dilakukan secara terintegrasi dan elektronik, serta penataan kembali perizinan dan/atau persyaratan lainnya bagi Pelaku Usaha yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penyempurnaan regulasi ini dilakukan berdasarkan:
  1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
  2. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan undang-undang. Selanjutnya pada ayat (2) diatur bahwa Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
  3. Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur bahwa hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota yang pelaksanaannya diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
  4. Sebagai pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diatur beberapa prinsip dasar antara lain:
    1. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 angka 2);
    2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom (Pasal 1 angka 3);
    3. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat (Pasal 1 angka 5);
    4. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan kekuasaan pemerintahan tersebut diuraikan dalam berbagai urusan pemerintahan (Pasal 5);
    5. Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan (Pasal 6);
    6. Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah dan Presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan daerah (Pasal 7);
    7. Dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah, kepala daerah wajib memberikan pelayanan perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan apabila kepala daerah tidak memberikan pelayanan perizinan dikenai sanksi administratif (Pasal 350).
Penyempurnaan regulasi dituangan dalam bentuk penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik yang mengatur ketentuan mengenai:
  1. jenis, pemohon, dan penerbit Perizinan Berusaha;
  2. pelaksanaan Perizinan Berusaha;
  3. reformasi Perizinan Berusaha sektor;
  4. sistem OSS;
  5. Lembaga OSS;
  6. pendanaan OSS;
  7. insentif atau disinsentif pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui OSS;
  8. penyelesaian permasalahan dan hambatan Perizinan Berusaha melalui OSS; dan
  9. sanksi.

Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Cukup jelas.


Pasal 3

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait” adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/wali kota sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.

 

Pasal 4

Cukup jelas.


Pasal 5

Izin pada sektor dengan nomenklatur lain yang ditujukan untuk memulai kegiatan usaha sampai sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen harus dimaknai dengan nomenklatur Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.

Izin pada sektor dengan nomenklatur lain yang ditujukan untuk melakukan kegiatan komersial atau operasional harus dimaknai dengan nomenklatur Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.

Untuk kegiatan tertentu Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini sekaligus menjadi Izin Komersial atau Operasional.

Contoh Izin Usaha Perdagangan yang merupakan Izin Usaha sekaligus merupakan Izin Komersial atau Operasional untuk kegiatan perdagangan.


Pasal 6

Cukup jelas.


Pasal 7

Cukup jelas.


Pasal 8

Cukup jelas.


Pasal 9

Cukup jelas.


Pasal 10

Contoh Badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara antara lain: Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.


Pasal 11

Cukup jelas.


Pasal 12

Lembaga penyiaran terdiri atas: lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Cukup jelas.


Pasal 15

Cukup jelas.


Pasal 16

Cukup jelas.


Pasal 17

Cukup jelas.


Pasal 18

Cukup jelas.


Pasal 19

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan “dokumen lain yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha” adalah sertifikat, rekomendasi, lisensi, hasil pengujian, dan lainnya yang diperlukan untuk mendapatkan Perizinan Berusaha.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Pasal 20


Cukup jelas.


Pasal 21

Cukup jelas.


Pasal 22

Ayat (1)


Huruf a

 

Yang dimaksud dengan “NIK” adalah nomor induk kependudukan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada setiap penduduk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi kependudukan.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan “bidang usaha” yaitu bidang usaha yang diatur dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Yang dimaksud dengan "modal” yaitu aset dalam bentuk uang atau bentuk lain bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.


Huruf f


Yang dimaksud dengan “rencana penggunaan tenaga kerja” yaitu jumlah, jenis, dan sumber tenaga kerja. Sumber tenaga kerja termasuk penggunaan tenaga kerja asing dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.


Huruf g


Yang dimaksud dengan “nomor kontak” yaitu alamat surat menyurat, nomor telepon, email, website, dan/atau kotak pos.


Huruf h


Yang dimaksud dengan “fasilitas kepabeanan” yaitu fasilitas yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang dari dan/atau ke wilayah pabean.


Huruf i


NPWP yang dimasukkan merupakan NPWP yang telah diadministrasikan pada Direktorat Jenderal Pajak.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan “bidang usaha” yaitu bidang usaha yang diatur dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).


Huruf c


Yang dimaksud dengan “jenis penanaman modal” yaitu penanaman modal dalam negeri atau penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Yang dimaksud dengan "modal” yaitu aset dalam bentuk uang atau bentuk lain bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis, yang dapat terdiri dari modal asing dan/atau modal dalam negeri.

Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.

Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum atau tidak berbadan hukum.


Huruf g


Yang dimaksud dengan “rencana penggunaan tenaga kerja” yaitu jumlah, jenis, dan sumber tenaga kerja. Sumber tenaga kerja termasuk penggunaan tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.


Huruf h


Yang dimaksud dengan “nomor kontak” yaitu alamat surat menyurat, nomor telepon, email, website, dan/atau kotak pos.


Huruf i


Yang dimaksud dengan “fasilitas kepabeanan” yaitu fasilitas yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang dari dan/atau ke wilayah pabean.


Huruf j


Cukup jelas.


Huruf k


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Pasal 23

Dalam hal pelaku usaha yang mendaftar belum memiliki NPWP, OSS yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak memproses pemberian NPWP.


Pasal 24

Cukup jelas.


Pasal 25

Cukup jelas.


Pasal 26

Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


API terdiri atas angka pengenal importir umum (API-U) dan angka pengenal importir produsen (API-P).

API-U diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan pendaftaran di bidang usaha perdagangan dan dipergunakan oleh Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

API-P diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan pendaftaran di bidang usaha selain perdagangan dan dipergunakan oleh Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal Pelaku Usaha melakukan usaha lebih dari 1 (satu) bidang usaha dan salah satunya bidang usaha perdagangan maka Pelaku Usaha diberikan pilihan menentukan jenis API.


Huruf c


Hak akses kepabeanan diberikan kepada Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai pengusaha barang kena cukai dan/atau menggunakan fasilitas kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 27

Cukup jelas.


Pasal 28

Cukup jelas.


Pasal 29

Cukup jelas.


Pasal 30

Cukup jelas.


Pasal 31

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “prasarana” adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu usaha dan/atau kegiatan. Contoh: gedung, pabrik, unit pengolahan limbah dan lahan.


Ayat (3)


Yang dimaksud dengan “menguasai” termasuk sewa, pinjam meminjam, atau bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 32

Cukup jelas.


Pasal 33

Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan “kawasan ekonomi khusus” adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

Yang dimaksud dengan “kawasan industri” adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri.

Yang dimaksud dengan “kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas” adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai.

Dalam rangka penerbitan Izin Lokasi di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menyusun zonasi wilayah untuk usaha dan/atau kegiatan.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Huruf f


Cukup jelas.


Huruf g


Yang dimaksud dengan “proyek strategis nasional“ adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.

Daftar proyek strategis nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Pasal 34

Cukup jelas.


Pasal 35

Cukup jelas.


Pasal 36

Cukup jelas.


Pasal 37

Cukup jelas.


Pasal 38

Cukup jelas.


Pasal 39

Yang dimaksud dengan “Komitmen” antara lain berupa pemenuhan standar obat dan makanan yang dibuktikan dengan pemeriksaan terhadap sarana produksi dalam rangka pemenuhan “Good Manufacturing Practice (GMP)” oleh lembaga yang berwenang.

Yang dimaksud dengan “standar, sertifikat, dan/atau lisensi” antara lain berupa sertifikat kelayakan pengolahan (SKP), sertifikat produksi alat kesehatan dan sertifikat hygiene dan sanitasi, dan/atau lisensi personel bandar udara.

Yang dimaksud dengan “pendaftaran barang/jasa” antara lain berupa izin edar obat, izin edar alat kesehatan, pendaftaran barang kesehatan, keselamatan, dan keamanan lingkungan (K3L).


Pasal 40

Cukup jelas.


Pasal 41

Cukup jelas.


Pasal 42

Cukup jelas.


Pasal 43

Cukup jelas.


Pasal 44

Cukup jelas.


Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Cukup jelas.

 
Pasal 47

Cukup jelas.


Pasal 48

Cukup jelas.


Pasal 49

Cukup jelas.


Pasal 50

Cukup jelas.


Pasal 51

Cukup jelas.


Pasal 52

Cukup jelas.


Pasal 53

Cukup jelas.


Pasal 54

Cukup jelas.


Pasal 55

Cukup jelas.


Pasal 56

Cukup jelas.


Pasal 57

Cukup jelas.


Pasal 58

Cukup jelas.


Pasal 59

Cukup jelas.


Pasal 60

Cukup jelas.


Pasal 61

Cukup jelas,


Pasal 62

Cukup jelas.


Pasal 63

Yang dimaksud dengan “bahan berbahaya dan beracun” yaitu zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.


Pasal 64

Cukup jelas.


Pasal 65

Cukup jelas.


Pasal 66

Cukup jelas.


Pasal 67

Cukup jelas.


Pasal 68

Cukup jelas.


Pasal 69

Cukup jelas.


Pasal 70

Cukup jelas.


Pasal 71

Cukup jelas.


Pasal 72

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Pertimbangan teknis sektor diperlukan untuk fungsi bangunan gedung tertentu antara lain seperti bangunan gedung rumah sakit.


Pasal 73

Cukup jelas.


Pasal 74

Cukup jelas.


Pasal 75

Cukup jelas.


Pasal 76

Cukup jelas.


Pasal 77

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Fasilitasi pembayaran biaya melalui sistem OSS tergantung kesiapan sistem dan mekanisme penerimaan negara bukan pajak, bea masuk dan/atau bea keluar, cukai, dan/atau pajak daerah atau retribusi daerah.

Pelaksanaan pembayaran biaya untuk daerah dapat bekerjasama dengan pihak perbankan.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Pasal 78

Cukup jelas.


Pasal 79

Cukup jelas.


Pasal 80

Cukup jelas.


Pasal 81

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Pengawasan oleh kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah meliputi pengecekan:

  1. kesesuaian usaha dan/atau kegiatan;
  2. keabsahan dokumen; dan/atau
  3. kesesuaian standar, sertifikat, lisensi dan/atau pendaftaran.

Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.


Pasal 83

Cukup jelas.


Pasal 84

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Reformasi jenis perizinan yang menyangkut penghapusan atau penggabungan dilakukan terhadap perizinan yang tidak diperintahkan oleh Undang-Undang atau perizinan tersebut dinilai sudah tidak diperlukan atau tidak efektif apabila dilakukan.

Perizinan Berusaha yang berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukan penghapusan, penggabungan, atau perubahan nomenklatur Perizinan Berusaha namun sebelumnya telah ditetapkan sebagai penerimaan negara bukan pajak, pajak daerah atau retribusi daerah, Pelaku Usaha tetap melakukan pembayaran atas penerimaan negara bukan pajak, pajak daerah, atau retribusi daerah berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Pasal 85

Perizinan Berusaha pada sektor keuangan berupa Perizinan Berusaha untuk perbankan dan non perbankan dilakukan di luar OSS oleh Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Perizinan Berusaha pada sektor pertambangan, minyak dan gas bumi dilakukan di luar OSS oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan, minyak, dan gas bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 86

Cukup jelas.


Pasal 87

Cukup jelas.


Pasal 88

Cukup jelas.


Pasal 89

Cukup jelas.


Pasal 90

Cukup jelas.


Pasal 91

Cukup jelas.


Pasal 92

Cukup jelas


Pasal 93

Cukup jelas.


Pasal 94

Cukup jelas.


Pasal 95

Cukup jelas.


Pasal 96

Cukup jelas


Pasal 97

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Yang dimaksud dengan “bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dapat berupa:

  1. peningkatan tunjangan kinerja;
  2. peningkatan kapasitas SDM; dan/atau
  3. peningkatan sarana dan prasarana yang terkait dengan peningkatan pelayanan Perizinan Berusaha.

Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Yang dimaksud dengan “bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dapat berupa:

  1. pengurangan anggaran;
  2. pengurangan atau penundaan tunjangan kinerja; dan/atau
  3. penajaman/refocusing anggaran.

Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Ayat (8)


Cukup jelas.


Pasal 98

Cukup jelas.


Pasal 99

Cukup jelas.


Pasal 100

Cukup jelas.


Pasal 101

Cukup jelas.


Pasal 102

Cukup jelas.


Pasal 103

Cukup jelas.


Pasal 104

Cukup jelas.


Pasal 105

Cukup jelas.


Pasal 106

Cukup jelas.


Pasal 107

Cukup jelas.



 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6215