Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 71/PMK.04/2018

Kategori : Lainnya

Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Di Bidang Kepabeanan, Cukai, Dan Perpajakan


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 71/PMK.04/2018

TENTANG

PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK
DI BIDANG KEPABEANAN, CUKAI, DAN PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa sesuai ketentuan Pasal 88 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, diatur Menteri menyusun dan menetapkan standar perizinan berusaha pada sektornya masing-masing yang mencakup norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
  2. bahwa untuk menindaklanjuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk lebih mengoptimalkan pelayanan di bidang kepabeanan, cukai dan perpajakan, perlu mengatur ketentuan mengenai pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik di bidang kepabeanan, cukai, dan perpajakan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik di Bidang Kepabeanan, Cukai, dan Perpajakan;
 
Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK DI BIDANG KEPABEANAN, CUKAI, DAN PERPAJAKAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
2. Pelaku Usaha adalah perseorangan atau non perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
3. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah identitas Pelaku Usaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS setelah Pelaku Usaha melakukan pendaftaran.
4. Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran di bidang cukai.
5. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
6. Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
7. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor yang selanjutnya disingkat KITE, adalah:
  1. pembebasan bea masuk serta Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang tidak dipungut; atau
  2. pengembalian bea masuk yang telah dibayar,
atas impor atau pemasukan barang dan bahan yang berasal dari luar daerah pabean untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
8. Tempat Penimbunan Pabean yang selanjutnya disingkat TPP adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di kantor pabean, yang berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
9. Pengusaha Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah penyelenggara pos yang memperoleh ijin usaha dari instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat, dokumen, dan paket sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos.
10. Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan yang selanjutnya disingkat PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas kuasa importir atau eksportir.
11. Kawasan Perdagangan Bebas atau Free Trade Zone yang selanjutnya disingkat FTZ adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai.
12. Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.


BAB II
PELAYANAN ONLINE SINGLE SUBMISSION (OSS)

Pasal 2


(1) Pelaku Usaha yang akan melakukan pemenuhan kewajiban kepabeanan harus melakukan registrasi kepabeanan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapatkan akses kepabeanan.
(2) Untuk dapat melakukan registrasi kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha harus memiliki NIB.

 

Pasal 3


(1) Pelaku Usaha yang telah memiliki NIB yang diterbitkan oleh sistem OSS dan berlaku sebagai akses kepabeanan diperlakukan sebagai Pelaku Usaha yang telah melakukan registrasi kepabeanan.
(2) Akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk akses kepabeanan sebagai importir dan/atau eksportir.


Pasal 4


(1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memberikan pelayanan perizinan melalui sistem OSS yang meliputi:
  1. registrasi kepabeanan;
  2. perizinan TPB;
  3. perizinan KITE; dan
  4. perizinan NPPBKC.
(2) Pelayanan perizinan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dapat dilakukan melalui sistem OSS


BAB III
PENDAFTARAN DAN KONFIRMASI STATUS WAJIB PAJAK

Pasal 5


(1) Dalam hal Pelaku Usaha yang melakukan pendaftaran untuk memperoleh NIB belum memiliki NPWP, Pelaku Usaha dapat melakukan pendaftaran untuk diberikan NPWP secara elektronik melalui:
  1. Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) yang terintegrasi dengan sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak, untuk Wajib Pajak Badan; atau
  2. OSS yang terintegrasi dengan sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak,
disertai dengan dokumen yang dipersyaratkan.
(2) Dokumen yang dipersyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan NPWP serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
(3) Dalam hal dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum terpenuhi, Pelaku Usaha harus menyampaikan kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal terdaftar.
(4) Dalam hal pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diproses melalui sistem OSS, Pelaku Usaha dapat melakukan pendaftaran untuk dapat diberikan NPWP melalui aplikasi yang tersedia untuk administrasi NPWP di Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur tentang tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan NPWP serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
(5) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini harus memperoleh keterangan status wajib pajak (KSWP) dengan status valid.
(6) Dalam hal keterangan status wajib pajak (KSWP) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berstatus valid, Pelaku Usaha ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau perpajakan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pemberian NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 6


(1) Dalam rangka mendapatkan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Pelaku Usaha harus menyampaikan data secara lengkap dan benar.
(2) Dalam hal terdapat perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha harus menyampaikan perubahan data, yang dapat dilakukan melalui sistem OSS.


BAB IV
REGISTRASI KEPABEANAN

Pasal 7


(1) Persetujuan registrasi kepabeanan diberikan paling lama 3 (tiga) jam terhitung sejak persyaratan dipenuhi.
(2) Persetujuan registrasi kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Pelaku Usaha secara elektronik.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi Pelaku Usaha yang telah memiliki NIB yang berlaku sebagai akses kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2).


Pasal 8


Untuk melakukan registrasi kepabeanan, Pelaku Usaha harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. telah memiliki pegawai yang berkualifikasi Ahli Kepabeanan, bagi pemohon PPJK;
  2. telah memiliki surat izin terkait kegiatan usaha pengangkutan atau jasa pengangkutan laut atau udara, bagi pemohon pengangkut;
  3. telah memiliki surat keputusan penetapan sebagai TPS yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, bagi pemohon pengusaha TPS;
  4. telah memiliki surat keputusan persetujuan melakukan kegiatan kepabeanan sebagai PJT yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, bagi pemohon PJT;
  5. telah memiliki surat keputusan penetapan sebagai TPP yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, bagi pemohon pengusaha TPP; atau
  6. telah memiliki izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan perdagangan bebas, bagi pemohon pengusaha dalam FTZ.


BAB V
FASILITAS TPB

Pasal 9


(1) Untuk mendapatkan izin penyelenggara/pengusaha TPB, Pelaku Usaha yang bermaksud menjadi penyelenggara/pengusaha TPB mengajukan permohonan kepada Menteri c.q. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai.
(2) Pelaku Usaha yang bermaksud menjadi penyelenggara/pengusaha TPB harus:
  1. telah mendapatkan NIB dan memiliki izin usaha; dan
  2. memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai kawasan berikat, gudang berikat, toko bebas bea, tempat penyelenggaraan pameran berikat, tempat lelang berikat, kawasan daur ulang berikat, atau pusat logistik berikat.
(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa:
  1. izin usaha perdagangan, izin usaha pergudangan, izin usaha pengelolaan kawasan, izin usaha industri, atau izin lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan kawasan, untuk permohonan menjadi penyelenggara TPB;
  2. izin usaha industri, untuk permohonan menjadi pengusaha kawasan berikat atau pengusaha di kawasan berikat;
  3. izin usaha perdagangan atau izin usaha industri, untuk permohonan menjadi pengusaha gudang berikat atau pengusaha di gudang berikat;
  4. izin usaha perdagangan, untuk permohonan menjadi penyelenggara toko bebas bea sekaligus pengusaha toko bebas bea;
  5. izin usaha perdagangan, izin usaha pergudangan, izin usaha pengelolaan kawasan, izin usaha industri, izin usaha transportasi, izin usaha forwarding, atau izin lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan kawasan, untuk permohonan menjadi pengusaha pusat logistik berikat atau pengusaha di pusat logistik berikat; dan/atau
  6. izin usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tempat penyelenggaraan pameran berikat, tempat lelang berikat, atau kawasan daur ulang berikat, untuk permohonan menjadi tempat penyelenggaraan pameran berikat, tempat lelang berikat, atau kawasan daur ulang berikat.
(4) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha Pelaku Usaha atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk:
  1. melakukan pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan lokasi; dan
  2. menerbitkan berita acara pemeriksaan lokasi.
(5) Pemeriksaan dokumen, pemeriksaan lokasi, dan penerbitan berita acara pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung setelah pernyataan kesiapan pemeriksaan lokasi dalam permohonan.

 

Pasal 10


(1) Pelaku Usaha yang bermaksud menjadi penyelenggara/pengusaha TPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), harus melakukan pemaparan proses bisnis dan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b, kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai.
(2) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh direksi dan/atau wakil anggota direksi perusahaan.
(3) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling cepat pada hari kerja berikutnya atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal penerbitan berita acara pemeriksaan.
(4) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri memberikan:
  1. persetujuan dengan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai izin penyelenggara/pengusaha TPB; atau
  2. penolakan dengan menerbitkan surat penolakan yang disertai dengan alasan penolakan.
(5) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lama 1 (satu) jam setelah pemaparan selesai dilakukan.
(6) Dalam hal pemaparan tidak dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri memberikan penolakan dengan menerbitkan surat penolakan yang disertai dengan alasan penolakan.
(7) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperlakukan sebagai Pelaku Usaha yang telah melakukan registrasi kepabeanan.


BAB VI
FASILITAS KITE

Pasal 11


(1) Untuk dapat ditetapkan sebagai perusahaan penerima fasilitas KITE, Pelaku Usaha harus mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha badan usaha.
(2) Pelaku Usaha yang akan ditetapkan sebagai penerima fasilitas KITE harus:
  1. telah mendapatkan NIB dan memiliki izin usaha industri; dan
  2. memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai fasilitas KITE.


Pasal 12


Dalam hal Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) mempunyai lebih dari 1 (satu) lokasi pabrik, permohonan untuk memperoleh penetapan sebagai penerima fasilitas KITE diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang mengawasi lokasi pabrik yang mempunyai volume kegiatan impor barang dan bahan paling besar.


Pasal 13


(1) Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai yang mengawasi lokasi pabrik atau lokasi kegiatan usaha Pelaku Usaha atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk:
  1. melakukan pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan lokasi; dan
  2. menerbitkan berita acara pemeriksaan lokasi.
(2) Pemeriksaan dokumen, pemeriksaan lokasi, dan penerbitan berita acara pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah pernyataan kesiapan pemeriksaan lokasi dalam permohonan.
(3) Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat ( 1), harus melakukan pemaparan mengenai proses bisnis dan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai.
(4) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan oleh direksi dan/atau wakil anggota direksi perusahaan.
(5) Pemaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling cepat pada hari kerja berikutnya atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal penerbitan berita acara pemeriksaan lokasi.
(6) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri memberikan:
  1. persetujuan dengan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan penerima fasilitas KITE; atau
  2. penolakan dengan menerbitkan surat penolakan yang disertai dengan alasan penolakan.
(7) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan paling lama 1 (satu) jam setelah pemaparan selesai dilakukan.
(8) Dalam hal pemaparan tidak dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai memberikan penolakan dengan menerbitkan surat penolakan yang disertai dengan alasan penolakan.
 
 

BAB VII
PEMBERIAN NPPBKC

Pasal 14


(1) Setiap Pelaku Usaha yang akan menjalankan kegiatan sebagai:
  1. pengusaha pabrik;
  2. pengusaha tempat penyimpanan;
  3. importir barang kena cukai;
  4. penyalur; dan/atau
  5. pengusaha tempat penjualan eceran,
wajib memiliki NPPBKC.
(2) Persyaratan memiliki NPPBKC sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu:
  1. memiliki izin usaha dari instansi terkait;
  2. mengajukan permohonan untuk memperoleh NPPBKC;
  3. menyampaikan data registrasi pengusaha barang kena cukai; dan
  4. menyerahkan surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan:
    1. tidak keberatan untuk dibekukan atau dicabut NPPBKC yang telah diberikan dalam hal nama pabrik, tempat penyimpanan, importir, penyalur, atau tempat penjualan eceran yang bersangkutan memiliki kesamaan nama, baik tulisan maupun pengucapannya dengan nama pabrik, tempat penyimpanan, importir, penyalur, atau tempat penjualan eceran lain yang telah mendapatkan NPPBKC sebelumnya/terdahulu; dan
    2. bertanggung jawab penuh terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan di pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir, tempat usaha penyalur atau tempat penjualan eceran dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja di pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir, tempat usaha penyalur, atau tempat penjualan eceran.


Pasal 15


(1) Untuk memperoleh NPPBKC, Pelaku Usaha yang akan menjalankan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) harus mengajukan:
  1. permohonan pemeriksaan lokasi, bangunan, atau tempat usaha yang akan digunakan sebagai pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir, tempat usaha penyalur, atau tempat penjualan eceran; dan
  2. permohonan mendapatkan NPPBKC.
(2) Permohonan pemeriksaan dan ketentuan lokasi, bangunan, atau tempat usaha yang akan digunakan sebagai pabrik, tempat penyimpanan, tempat usaha importir, tempat usaha penyalur, atau tempat penjualan eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemberian, pembekuan, dan pencabutan NPPBKC.
(3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pejabat Bea dan Cukai pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai sesuai dengan wilayah pengawasannya melakukan pemeriksaan lokasi paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pernyataan kesiapan pemeriksaan lokasi dalam permohonan.
(4) Hasil pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan ke dalam berita acara pemeriksaan lokasi.
(5) Permohonan mendapatkan NPPBKC sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan setelah:
  1. memiliki NIB; dan
  2. dilakukan pemeriksaan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap permohonan untuk memperoleh NPPBKC dan memberikan keputusan menyetujui atau menolak permohonan NPPBKC paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung setelah tanggal diterimanya permohonan dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d secara lengkap.
(7) Keputusan menyetujui atau menolak permohonan untuk memperoleh NPPBKC sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Kantor Bea dan Cukai memberikan:
  1. persetujuan dengan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian NPPBKC dan piagam NPPBKC; atau
  2. penolakan dengan menerbitkan surat penolakan yang disertai dengan alasan penolakan.

     

BAB VIII
PENUGASAN INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW

Pasal 16


Pelaksanaan pelayanan perizinan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini dilakukan secara elektronik melalui portal Indonesia National Single Window (INSW) yang terintegrasi dengan sistem OSS.


BAB IX
PERTUKARAN/AKSES DATA OSS

Pasal 17


(1) Untuk kepentingan pendataan, kepentingan perizinan, dan pengelolaan fiskal di bidang kepabeanan, cukai dan perpajakan, dapat diberikan akses atau pertukaran data/informasi melalui Indonesia National Single Window (INSW) yang terintegrasi dengan sistem OSS.
(2) Pelaksanaan pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menghasilkan informasi yang bersifat umum dan khusus.
(3) Informasi yang bersifat umum, dan informasi yang bersifat khusus sesuai permintaan, dapat dipertukarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 18


Ketentuan perizinan di bidang kepabeanan, cukai dan perpajakan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.


BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
  1. izin yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin dimaksud;
  2. Pelaku Usaha yang telah mengajukan permohonan perizinan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum mendapatkan persetujuan, proses penyelesaiannya menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat pengajuan permohonan perizinan; dan
  3. NPWP yang telah diterbitkan melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) atau sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan berlaku dan merupakan sarana administrasi perpajakan yang dapat digunakan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
 

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20


Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
  
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 






Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2018
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Juli 2018
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 946