Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 10/PJ/2017

Kategori : KUP, PPh

Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 10/PJ/2017

TENTANG

TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda sebelumnya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010;
  2. bahwa ketentuan mengenai pencegahan penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda sebelumnya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010;
  3. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
  4. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tata cara penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; 
  5. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan untuk mencegah penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda, perlu mengganti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 248);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  2. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
  3. Manfaat P3B adalah fasilitas dalam P3B yang dapat berupa tarif pajak yang lebih rendah dari tarif pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPh atau pengecualian dari pengenaan pajak di negara sumber.
  4. Wajib Pajak Luar Negeri yang selanjutnya disingkat WPLN adalah subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap atau tanpa melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
  5. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak adalah badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN.
  6. Surat Keterangan Domisili WPLN yang selanjutnya disingkat SKD WPLN adalah surat keterangan berupa formulir yang terdiri dari Form DGT-1 atau Form DGT-2 yang diisi oleh WPLN dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
  7. Certificate of Residence adalah surat keterangan dengan nama apapun yang menjelaskan status penduduk (resident) untuk kepentingan perpajakan bagi WPLN yang diterbitkan dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
  8. Pejabat yang Berwenang Mengesahkan SKD WPLN atau Competent Authority yang selanjutnya disebut Pejabat yang Berwenang adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan SKD WPLN dan/atau Certificate of Residence berdasarkan peraturan domestik di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
  9. Kustodian adalah lembaga yang telah mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang di Indonesia untuk memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
  10. Agen adalah orang pribadi atau badan yang bertindak sebagai perantara dan melakukan tindakan untuk dan/atau atas nama pihak lain.
  11. Nominee adalah orang pribadi atau badan yang secara hukum memiliki suatu harta dan/atau penghasilan (legal owner) untuk kepentingan atau berdasarkan amanat pihak yang sebenarnya menjadi pemilik harta dan/atau pihak yang sebenarnya menikmati manfaat atas penghasilan.
  12. Conduit adalah suatu perusahaan yang memperoleh Manfaat P3B sehubungan dengan penghasilan yang timbul di Indonesia, sementara manfaat ekonomi dari penghasilan tersebut dimiliki oleh orang pribadi atau badan di negara lain yang tidak akan dapat memperoleh hak pemanfaatan P3B jika penghasilan tersebut diterima langsung.


BAB II
KEWAJIBAN PEMOTONGAN ATAU PEMUNGUTAN PAJAK

Pasal 2


(1) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN,
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemotong dan/atau Pemungut Pajak melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B dalam hal:
  1. terdapat perbedaan antara ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh dan ketentuan yang diatur dalam P3B;
  2. penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
  3. penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  4. WPLN menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan tertentu lainnya;
  5. tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
  6. penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.


BAB III
TATA CARA PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN DAN
PELAPORAN PAJAK

Pasal 3


(1) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus membuat bukti, pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur tentang bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan.
(2) Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong dan/atau dipungut di Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tetap harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak.


Pasal 4


(1) Pemotong dan/atau Pemungut Pajak harus menyampaikan SKD WPLN yang telah memenuhi persyaratan administratif dan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d sebagai lampiran dalam SPT Masa untuk masa terutangnya pajak penghasilan.
(2) Dalam hal Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tidak menyampaikan SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. Manfaat P3B tidak diberikan kepada WPLN; dan
  2. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang PPh.
(3) Penyampaian SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik sesuai ketentuan yang berlaku.


BAB IV
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMOTONGAN DAN/ATAU
PEMUNGUTAN PAJAK

Pasal 5


(1) Dalam hal terjadi:
  1. kesalahan penerapan P3B; atau
  2. SKD WPLN disampaikan setelah Pemotong dan/atau Pemungut Pajak menyampaikan SPT Masa untuk masa terutangnya pajak,
WPLN tetap dapat diberikan Manfaat P3B melalui mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
(2) Manfaat P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan dalam hal terjadi penyalahgunaan P3B.
(3) SKD WPLN yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e serta persyaratan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(4) Dalam hal WPLN yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia:
  1. tidak menerima Manfaat P3B; dan
  2. Pemotong dan/atau Pemungut Pajak tidak menyampaikan SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak atas penghasilan tersebut,
WPLN tetap dapat diberikan Manfaat P3B melalui mekanisme Mutual Agreement Procedure (MAP).


BAB V
SKD WPLN YANG MEMENUHI PERSYARATAN ADMINISTRATIF

Pasal 6


(1) SKD WPLN memenuhi persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dalam hal:
  1. menggunakan Form DGT-1 atau Form DGT-2;
  2. diisi dengan benar, lengkap dan jelas;
  3. ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh WPLN sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  4. disahkan dengan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
  5. digunakan untuk periode yang tercantum pada SKD WPLN; dan
  6. disampaikan oleh Pemotong dan/atau Pemungut Pajak bersamaan dengan penyampaian SPT Masa, paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
(2) Penandasahan oleh Pejabat yang Berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dituangkan dalam Part III Form DGT-1 atau Part III Form DGT-2.
(3) Penandasahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digantikan dengan Certificate of Residence yang harus memenuhi ketentuan:
  1. menggunakan bahasa Inggris;
  2. berupa dokumen asli atau dokumen fotokopi yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotong dan/atau Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak;
  3. paling sedikit mencantumkan informasi mengenai nama WPLN, tanggal penerbitan, dan tahun pajak berlakunya Certificate of Residence; dan
  4. mencantumkan nama dan ditandatangani atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan oleh Pejabat yang Berwenang sesuai dengan kelaziman di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B.
(4) Dalam hal WPLN menggunakan Certificate of Residence sebagaimana dimaksud pada ayat (3), WPLN tetap wajib mengisi Form DGT-1 selain Part III atau Form DGT-2 selain Part III.
(5) Periode yang tercantum pada SKD WPLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yaitu paling lama 12 (dua belas) bulan.
(6) Form DGT-1 atau Form DGT-2 menggunakan formulir dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal 7


(1) Form DGT-1 digunakan oleh WPLN selain WPLN yang menggunakan Form DGT-2.
(2) Form DGT-2 digunakan oleh:
  1. WPLN yang menerima dan/atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen;
  2. WPLN bank; atau
  3. WPLN berbentuk dana pensiun.


BAB VI
SKD WPLN YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU
LAINNYA

Pasal 8


SKD WPLN memenuhi persyaratan tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dalam hal:
a. bagi WPLN yang menggunakan Form DGT-1, WPLN harus menyatakan dalam lembar ke-2 formulir tersebut bahwa WPLN mempunyai:
1. motif ekonomi yang relevan terkait pendirian entitas;
2. kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi;
3. aset tetap dan tidak tetap, yang cukup dan memadai untuk menjalankan kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
4. pegawai dengan keahlian tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan dalam jumlah yang cukup dan memadai; dan
5. kegiatan atau usaha aktif lainnya selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia;
b. bagi WPLN yang menggunakan Form DGT-1 dan WPLN dipersyaratkan sebagai beneficial owner berdasarkan P3B, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, WPLN harus menyatakan dalam lembar ke-3 formulir tersebut bahwa:
1. bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
2. bagi WPLN Badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit, yang harus memenuhi ketentuan:
a) mempunyai kendali untuk menggunakan, atau menikmati dana, aset, atau hak, yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
b) tidak lebih dari 50% penghasilan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
c) menanggung risiko atas aset, modal, dan/atau kewajiban yang dimiliki; dan
d) tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk memberikan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lainnya; dan
c. bagi WPLN yang menggunakan Form DGT-2, WPLN harus menyatakan dalam Part II formulir tersebut bahwa WPLN:
1. merupakan subjek pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B berdasarkan undang-undang di bidang perpajakan di negara tersebut; dan
2. tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit atas penghasilan yang diterima, dalam hal WPLN dipersyaratkan sebagai Beneficial Owner berdasarkan P3B.


BAB VII
PENYALAHGUNAAN P3B

Pasal 9


(1)  Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e terjadi dalam hal tujuan utama atau salah satu tujuan utama pengaturan transaksi adalah untuk mendapatkan Manfaat P3B serta bertentangan dengan maksud dan tujuan dibentuknya P3B.
(2)  Penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terjadi dalam hal WPLN memiliki:
  1. substansi ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi;
  2. bentuk hukum (legal form) yang sama dengan substansi ekonomi (economic substance) dalam pendirian entitas atau pelaksanaan transaksi;
  3. kegiatan usaha yang dikelola oleh manajemen sendiri dan manajemen tersebut mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi;
  4. aset tetap dan aset tidak tetap, yang cukup dan memadai untuk melaksanakan kegiatan usaha di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B selain aset yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
  5. pegawai dalam jumlah yang cukup dan memadai dengan keahlian dan keterampilan tertentu yang sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan perusahaan; dan
  6. kegiatan atau usaha aktif selain hanya menerima penghasilan berupa dividen, bunga dan/atau royalti yang bersumber dari Indonesia.
(3) Kegiatan atau usaha aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan secara aktif oleh WPLN sesuai keadaan yang sebenarnya yang ditunjukkan dengan adanya biaya yang dikeluarkan, upaya yang dilakukan, atau pengorbanan yang terjadi, yang berkaitan secara langsung dengan usaha atau kegiatan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk kegiatan signifikan yang dilakukan WPLN untuk mempertahankan kelangsungan entitas.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan antara bentuk hukum (legal form) suatu struktur/skema transaksi dengan substansi ekonomisnya (economic substance), perlakuan perpajakan diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan substansi ekonomisnya (substance over form) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a.


BAB VIII
BENEFICIAL OWNER

Pasal 10


(1) WPLN memenuhi ketentuan sebagai Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf f dalam hal:
  1. bagi WPLN orang pribadi, tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
  2. bagi WPLN badan, tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit, yang harus memenuhi ketentuan:
    1. mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia;
    2. tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain;
    3. menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki; dan
    4. tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain.
(2) Yang dimaksud dengan penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf b angka 2 yaitu seluruh penghasilan WPLN dengan nama dan dalam bentuk apapun serta dari sumber manapun, sesuai dengan laporan keuangan nonkonsolidasi WPLN.
(3)  Untuk menentukan nilai 50% penghasilan yang digunakan memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 tidak termasuk:
  1. pemberian imbalan kepada karyawan yang diberikan secara wajar dalam hubungan pekerjaan;
  2. biaya lain yang lazim dikeluarkan oleh WPLN dalam menjalankan usahanya; dan
  3. pembagian keuntungan dalam bentuk dividen kepada pemegang saham.

   

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 11


(1) Dalam hal penerima penghasilan merupakan Pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, Bank Sentral atau lembaga-lembaga tertentu yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati oleh otoritas perpajakan di Indonesia dan otoritas perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, penerapan P3B dapat dilakukan dengan tidak menggunakan Form DGT-1 atau Fonn DGT-2.
(2) Penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Certificate of Residence yang memenuhi persyaratan sesuai dengan pasal 6 ayat (3) atau surat keterangan dari otoritas perpajakan di negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang menyatakan bahwa penerima penghasilan tersebut merupakan pihak yang dapat dikecualikan dari pengenaan pajak di negara sumber atas penghasilan tertentu berdasarkan P3B,
(3) Certificate of Residence atau surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan untuk tahun pajak yang tercantum pada Certificate of Residence tersebut.


Pasal 12


Untuk dapat menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B selain ketentuan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, WPLN harus menyerahkan Certificate of Residence yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kegiatan usaha atau tempat kedudukan WPLN di Indonesia.


BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 13


Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku:
  1. SKD yang telah disahkan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 dan masa berlakunya belum terlewati, tetap dapat dipergunakan sampai dengan berakhirnya masa berlaku tersebut;
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2010, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


BAB XI
PENUTUP

Pasal 14


Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2017.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juni 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001