Peraturan Pemerintah Nomor : 27 TAHUN 2017

Kategori : PPh

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2017

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 79 TAHUN 2010
TENTANG BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN
PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :  

  1. bahwa untuk meningkatkan penemuan cadangan Minyak dan Gas Bumi nasional dan menggerakkan iklim investasi serta lebih memberikan kepastian hukum pada kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi, perlu menyesuaikan dan menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;

Mengingat :    

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173);

 


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 79 TAHUN 2010 TENTANG BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI.


Pasal I


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan angka 1, angka 2, angka 4, angka 6, angka 7, dan angka 8 Pasal 1 diubah serta ditambahkan angka 20, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

 

  1. Minyak Bumi, Gas Bumi, Minyak dan Gas Bumi, Eksplorasi, Eksploitasi, Kontrak Kerja Sama, Wilayah Kerja, Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia, dan Kegiatan Usaha Hulu adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
  2. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
  3. Operator adalah Kontraktor atau dalam hal Kontraktor terdiri atas beberapa pemegang Participating Interest, salah satu pemegang participating interest yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang Participating Interest lainnya sesuai dengan Kontrak Kerja Sama.
  4. Operasi Perminyakan adalah kegiatan Eksplorasi, Eksploitasi, pengangkutan sampai dengan titik penyerahan, penutupan dan peninggalan sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site restoration) Minyak dan Gas Bumi, termasuk kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi.
  5. Lifting adalah sejumlah minyak mentah dan/atau Gas Bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point).
  6. First Tranche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau Gas Bumi yang diproduksi dari suatu Wilayah Kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil dan diterima oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan/atau Kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).
  7. Insentif Kegiatan Usaha Hulu adalah insentif yang diberikan untuk mendukung keekonomian pengembangan Wilayah Kerja.
  8. Equity to be Split adalah hasil produksi yang tersedia untuk dibagi (Lifting) antara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan Kontraktor setelah dikurangi FTP, insentif investasi (jika ada), dan pengembalian biaya operasi.
  9. Biaya Bukan Modal (Non Capital Cost) adalah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun berjalan yang mempunyai masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk survei dan intangible drilling cost.
  10. Biaya Modal (Capital Cost) adalah pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang pembebanannya pada tahun berjalan melalui penyusutan.
  11. Rencana Kerja dan Anggaran adalah suatu perencanaan kegiatan dan pengeluaran anggaran tahunan oleh Kontraktor untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pada suatu Wilayah Kerja.
  12. Kontrak Bagi Hasil adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.
  13. Kontrak Jasa adalah suatu bentuk Kontrak Kerja Sama untuk pelaksanaan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi berdasarkan prinsip pemberian imbalan jasa atas produksi yang dihasilkan.
  14. Participating Interest adalah hak dan kewajiban sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama, baik secara langsung maupun tidak langsung pada suatu Wilayah Kerja.
  15. Uplift adalah imbalan yang diterima oleh Kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi Kontraktor lain, yang ada dalam satu Kontrak Kerja Sama, dalam pembiayaan.
  16. Domestic Market Obligation yang selanjutnya disingkat DMO adalah kewajiban penyerahan bagian Kontraktor berupa minyak dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
  17. Imbalan DMO adalah imbalan yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada Kontraktor atas penyerahan minyak dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan harga yang ditetapkan oleh menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
  18. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
  19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
  20. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut SKK Migas adalah satuan kerja yang melaksanakan penyelenggaraan pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dibawah pembinaaan, koordinasi dan pengawasan Menteri.
       
2. Ketentuan ayat (1) Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 3


(1) Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko dalam rangka pelaksanaan Operasi Perminyakan berdasarkan Kontrak Kerja Sama pada suatu Wilayah Kerja.
(2) Pelaksanaan Operasi Perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan prinsip efektif dan efisien, prinsip kewajaran, serta kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik.
       
3. Ketentuan ayat (1) Pasal 4 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh Kontraktor dalam rangka Operasi Perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh SKK Migas.
(2) Atas barang dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengembalian biaya operasi tidak dapat dilakukan penilaian kembali.
     
4.  Ketentuan ayat (2) Pasal 8 dihapus, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


(1) Menteri menetapkan besaran minimum bagian negara dari suatu Wilayah Kerja yang dikaitkan dengan Lifting dalam persetujuan rencana pengembangan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(2) Dihapus.
     
5. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 10 diubah dan Pasal 10 ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10


(1) Untuk meningkatkan produksi, mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjamin adanya penerimaan negara, Menteri menetapkan besaran dan pembagian FTP.
(2) Untuk mendorong pengembangan Wilayah Kerja, Menteri dapat menetapkan bentuk dan besaran Insentif Kegiatan Usaha Hulu.
(3)  Terhadap Insentif Kegiatan Usaha Hulu berupa Imbalan DMO Holiday, Menteri dapat menetapkan insentif tersebut setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
(4) Dalam rangka membantu keekonomian Kegiatan Usaha Hulu, Menteri Keuangan memberikan insentif perpajakan dan insentif penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
6.  Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10A


Menteri dapat menetapkan besaran bagi hasil yang dinamis (sliding scale split) pada Kontrak Kerja Sama.
     
7.   Ketentuan huruf b ayat (3) Pasal 11 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1) Biaya operasi terdiri atas:
  1. biaya Eksplorasi;
  2. biaya Eksploitasi; dan
  3. biaya lain.
(2) Biaya Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
  1. biaya pengeboran terdiri atas:
    1. biaya pengeboran Eksplorasi; dan
    2. biaya pengeboran pengembangan;
  2. biaya geologis dan geofisika terdiri atas:
    1. biaya penelitian geologis; dan
    2. biaya penelitian geofisika;
  3. biaya umum dan administrasi pada kegiatan Eksplorasi; dan
  4. biaya penyusutan.
(3)  Biaya Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
  1. biaya langsung produksi untuk:
    1. Minyak Bumi; dan
    2. Gas Bumi.
  2. biaya yang terkait dengan aktifitas pemrosesan Gas Bumi sampai dengan titik penyerahan;
  3. biaya utility terdiri atas:
    1. biaya perangkat produksi dan pemeliharaan peralatan; dan
    2. biaya uap, air, dan listrik;
  4. biaya umum dan administrasi pada kegiatan Eksploitasi; dan
  5. biaya penyusutan.
(4) Biaya umum dan administrasi untuk kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf d terdiri atas:
  1. biaya administrasi dan keuangan;
  2. biaya pegawai;
  3. biaya jasa material;
  4. biaya transportasi;
  5. biaya umum kantor; dan
  6. pajak tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah.
(5) Biaya lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
  1. biaya untuk memindahkan gas dari titik produksi ke titik penyerahan; dan
  2. biaya kegiatan pasca operasi Kegiatan Usaha Hulu.
     
8. Ketentuan huruf d ayat (1) dan huruf e ayat (2) Pasal 12 diubah, serta penjelasan huruf a ayat (1) Pasal 12 dihapus, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12


(1) Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan Pajak Penghasilan harus memenuhi persyaratan:
  1. dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan Operasi Perminyakan di Wilayah Kerja Kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
  2. menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  3. pelaksanaan Operasi Perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik;
  4. kegiatan Operasi Perminyakan sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran yang telah mendapatkan persetujuan Kepala SKK Migas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
(2) Biaya yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan Operasi Perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi syarat:
  1. untuk biaya penyusutan hanya atas barang dan peralatan yang digunakan untuk Operasi Perminyakan yang menjadi milik negara;
  2. untuk biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek di Indonesia yang berasal dari luar negeri hanya untuk kegiatan yang;
    1. tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri;
    2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan
    3. tidak rutin;
  3. untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada karyawan/pekerja dalam bentuk natura/kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  4. untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  5. untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan pada masa Eksplorasi dan Eksploitasi;
  6. untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan syarat:
    1. digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;
    2. Kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan
    3. besarannya tidak melampaui batasan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri.
(3)  Batasan maksimum biaya yang berkaitan dengan remunerasi tenaga kerja asing ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri.
     
9. Ketentuan huruf b, huruf j, huruf p, huruf q dan huruf r Pasal 13 diubah, serta Pasal 13 huruf l, huruf t angka (1), dan huruf w dihapus, dan penjelasan Pasal 13 huruf x dihapus, sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


Jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan Pajak Penghasilan meliputi:
a. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang Participating Interest, dan pemegang saham;
b. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama SKK Migas dan Kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia;
c. harta yang dihibahkan;
d. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat kesalahan Kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;
e. biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara;
f. insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham;
g. biaya tenaga kerja asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA);
h. biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan Operasi Perminyakan dalam rangka Kontrak Kerja Sama;
i. biaya konsultan pajak;
j. biaya pemasaran minyak dan/atau Gas Bumi bagian Kontraktor, kecuali biaya pemasaran Gas Bumi yang telah disetujui Kepala SKK Migas;
k. biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat;
l. dihapus;
m. biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing;
n. biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan Participating Interest:
o. biaya bunga atas pinjaman;
p.
  1. Pajak Penghasilan karyawan yang ditanggung Kontraktor, kecuali yang dibayarkan sebagai tunjangan pajak;
  2. Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga di dalam negeri yang ditanggung Kontraktor atau di-gross up;
q.
  1. pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kaidah keteknikan yang baik;
  2. biaya pengeluaran yang melampaui 10% (sepuluh persen) dari nilai otorisasi pembelanjaan finansial, kecuali untuk biaya-biaya tertentu sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang ditetapkan oleh Menteri;
r. surplus material yang tidak sesuai dengan perencanaan yang telah disetujui;
s. nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi akibat kelalaian Kontraktor;
t. transaksi yang:
  1. dihapus;
  2. tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal tertentu; atau
  3. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
u. bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah;
v. biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak;
w. dihapus; dan
x. biaya audit komersial.
 
10 Ketentuan ayat (4) Pasal 16 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (5), sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16


(1) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus.
(2) Penyusutan dimulai pada bulan harta tersebut digunakan (placed into service).
(3)  Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai kelompok, tarif, dan masa manfaat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) Dalam hal harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi akibat kerusakan karena faktor alamiah atau keadaan kahar, jumlah nilai sisa buku harta berwujud langsung dapat dibebankan sebagai biaya operasi.
(5) Untuk menjaga tingkat produksi, Menteri dapat menentukan penghitungan penyusutan yang berbeda sebagaimana diatur pada ayat (3).
     
11. Ketentuan ayat (2) Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19


(1) Seluruh biaya kerja, pembebanannya ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi secara komersial di Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(2) Untuk pengamanan penerimaan negara, selain penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat mengambil kebijakan terkait pengembangan lapangan, dengan berkoordinasi dengan kementerian terkait.
     
12. Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 24 diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (10), sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Dalam hal tidak terdapat FTP dan Insentif Kegiatan Usaha Hulu yang berupa Investment Credit, Equity to be Split dihitung berdasarkan Lifting dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
(2) Dalam hal terdapat FTP tetapi tidak terdapat Insentif Kegiatan Usaha Hulu yang berupa Investment Credit, Equity to be Split dihitung berdasarkan Lifting dikurangi FTP dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
(3)  Dalam hal terdapat FTP dan Insentif Kegiatan Usaha Hulu yang berupa Investment Credit, Equity to be Split dihitung berdasarkan Lifting dikurangi FTP dikurangi Insentif Kegiatan Usaha Hulu yang berupa Investment Credit dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
(4) Dalam hal tidak terdapat FTP tetapi terdapat Insentif Kegiatan Usaha Hulu yang berupa Investment Credit, Equity to be Split dihitung berdasarkan Lifting dikurangi Insentif Kegiatan Usaha Hulu yang berupa Investment Credit dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
(5) Insentif Kegiatan Usaha Hulu dan biaya operasi yang dapat dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dikonversi menjadi:
  1. Minyak Bumi, dengan harga rata-rata harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; atau
  2. Gas Bumi, dengan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan Gas Bumi.
(6) Bagian Kontraktor untuk kontrak kerja sama, dihitung berdasarkan persentase bagian Kontraktor sebelum Pajak Penghasilan yang dinyatakan dalam Kontrak Kerja Sama dikalikan dengan Equity to be Split.
(7) Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja sama dihitung berdasarkan persentase bagian Pemerintah yang dinyatakan dalam Kontrak Kerja Sama dikalikan dengan Equity to be Split yang didalamnya belum termasuk Pajak Penghasilan yang terutang oleh Kontraktor.
(8) Kontraktor wajib memenuhi kewajiban DMO dengan menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(9) Kontraktor mendapat Imbalan DMO atas penyerahan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan harga yang ditetapkan oleh Menteri.
(10) SKK Migas melakukan pengendalian dan pengawasan penghitungan bagi hasil.
     
13. Ketentuan ayat (1), ayat (8), dan ayat (9) Pasal 25 diubah, di antara ayat (7) dan ayat (8) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (7a) serta ayat (10), dan ayat (11) dihapus, serta ditambahkan 2 (dua) ayat yakni ayat (12) dan ayat (13) sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi Kontraktor untuk Kontrak Bagi Hasil, dihitung berdasarkan penghasilan dalam rangka Kontrak Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dikurangi Biaya Bukan Modal tahun berjalan dikurangi penyusutan Biaya Modal tahun berjalan dikurangi biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1).
(2) Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak.
(3) Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
(4) Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Kontraktor yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau Pajak Penghasilan pada saat kontrak ditandatangani.
(5) Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), terutang Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal Kontraktor berbentuk badan hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(7) Atas pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), diterbitkan surat ketetapan Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas Bumi setelah dilakukan pemeriksaan pajak.
(7a) Penyelesaian pemeriksaan pajak atas pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) sampai dengan penerbitan surat ketetapan pajak, dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan setelah Surat Pemberitahuan Tahunan diterima secara lengkap oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(8) Sebelum surat ketetapan Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas Bumi diterbitkan, dapat diterbitkan surat keterangan pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas Bumi sementara.
(9) Ketentuan mengenai penerbitan surat ketetapan Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan surat keterangan pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas Bumi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
(10) Dihapus.
(11) Dihapus.
(12) Pajak Penghasilan atas FTP dihitung pada saat akumulasi FTP yang diterima Kontraktor lebih besar daripada sisa biaya operasi yang belum dikembalikan.
(13) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan atas FTP sebagaimana dimaksud pada ayat (12) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
     
14. Di antara Bab V dan Bab VI disisipkan 1 (satu), yakni Bab VA, sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB VA
FASILITAS PERPAJAKAN

Pasal 26A


Pada tahap Eksplorasi dalam rangka Operasi Perminyakan, Kontraktor diberikan fasilitas:
1. Pembebasan pungutan Bea Masuk atas impor barang yang digunakan dalam rangka Operasi Perminyakan;
2. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut atas :
  1. perolehan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu;
  2. impor Barang Kena Pajak tertentu;
  3. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan/atau
  4. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
yang digunakan dalam rangka Operasi Perminyakan.
3.  Tidak dilakukan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang yang telah memperoleh fasilitas pembebasan dari pungutan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada angka 1; dan/atau
4. Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 100% (seratus persen) dari Pajak Bumi dan Bangunan Migas terutang yang tercantum dalam SPPT selama masa Eksplorasi.

Pasal 26B


(1) Pada tahap Eksploitasi, termasuk kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dalam rangka Operasi Perminyakan, Kontraktor dapat diberikan fasilitas:
a. Pembebasan pungutan Bea Masuk atas impor barang yang digunakan dalam rangka Operasi Perminyakan;
b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut atas:
  1. perolehan Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu;
  2. impor Barang Kena Pajak tertentu;
  3. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan/atau
  4. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
yang digunakan dalam rangka Operasi Perminyakan;
c.   Tidak dilakukan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang yang telah memperoleh fasilitas pembebasan dari pungutan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan/atau
d. Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan atas Tubuh Bumi paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari Pajak Bumi dan Bangunan Migas terutang yang tercantum dalam SPPT.
(2)  Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan keekonomian proyek dari Menteri.

Pasal 26C


(1) Dalam hal terdapat kapasitas berlebih pada fasilitas pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan, dengan persetujuan SKK Migas, Kontraktor dapat memanfaatkan kelebihan kapasitas tersebut untuk digunakan Kontraktor lainnya berdasarkan prinsip pembebanan biaya operasi fasilitas bersama (Cost Sharing).
(2) Pembebanan Biaya Operasi Fasilitas Bersama (Cost Sharing) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dari satu Kontraktor kepada Kontraktor lainnya yang mendapat manfaat atas biaya operasi tersebut, dengan jumlah dari biaya yang dibebankan kepada masing-masing Kontraktor adalah sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan secara keseluruhan.
(3)  Pembebanan Biaya Operasi Fasilitas Bersama (Cost Sharing) oleh Kontraktor dalam rangka pemanfaatan Barang Milik Negara di bidang hulu Minyak dan Gas Bumi dikecualikan dari pemotongan Pajak Penghasilan dan tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Barang yang digunakan dan diperoleh atau dibeli Kontraktor sebagai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama merupakan Barang Milik Negara;
  2. Atas pemanfaatan Barang Milik Negara yang digunakan sebagai fasilitas bersama telah mendapat persetujuan SKK Migas; dan
  3. Pemanfaatan fasilitas bersama tersebut tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan dan/atau laba.

Pasal 26D


Pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf f bukan objek Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 26E


Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A, Pasal 26B, Pasal 26C, dan Pasal 26D diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
     
15. Diantara ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 27 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan (2a), sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27


(1) Atas penghasilan lain Kontraktor berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
(1a) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final yang berasal dari Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai Pajak Penghasilan.
(2)   Atas penghasilan Kontraktor dari pengalihan Participating Interest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf b dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif:
  1. 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Participating Interest selama masa Eksplorasi; atau
  2. 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Participating Interest selama masa Eksploitasi.
(2a) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenai Pajak Penghasilan.
(3)   Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan sepanjang untuk melakukan kewajiban pengalihan Participating Interest sesuai Kontrak Kerja Sama kepada perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam Kontrak Kerja Sama.
(4)   Ketentuan mengenai tata cara pemotongan dan pembayaran atas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
     
16. Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 30 diubah, serta ditambahkan ayat (4) dan ayat (5), sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Untuk perhitungan pajak, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan besarnya biaya pada tahapan Eksplorasi dan tahapan Eksploitasi setiap tahunnya di bidang usaha hulu Minyak Bumi dan Gas Bumi setelah mendapat rekomendasi dari SKK Migas.
(2) Sebelum menghitung besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dan/atau auditor Pemerintah atas nama Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan.
(3) Dalam hal besaran biaya yang direkomendasikan SKK Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan besaran biaya hasil pemeriksaan auditor Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), auditor Pemerintah dan SKK Migas wajib menyelesaikan perbedaan tersebut.
(4)  Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dalam Pasal 25 ayat (7) diatur dalam pedoman pelaksanaan pemeriksaan bersama.
(5)  Hal-hal terkait penyampaian rekomendasi, penyelesaian perbedaan besaran biaya hasil pemeriksaan, dan pedoman pelaksanaan pemeriksaan bersama diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
     
17. Ketentuan huruf d ayat (1) dan ayat (2) Pasal 31 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31


(1) Setiap Kontraktor pada suatu Wilayah Kerja wajib:
  1. mendaftarkan diri untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak;
  2. melaksanakan pembukuan;
  3. menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh);
  4. membayar angsuran pajak dalam tahun berjalan untuk setiap bulan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya, dan dihitung atas penghasilan kena pajak dari Lifting yang sebenarnya dari bagian Kontraktor dalam suatu bulan takwim;
  5. memenuhi ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal terjadi pengalihan Participating Interest atau pengalihan saham, Kontraktor wajib melaporkan nilainya kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi serta Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal pengalihan Participating Interest hak dan kewajiban perpajakan beralih kepada Kontraktor yang baru.
(4)  Bentuk dan isi SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
     
18.  Ketentuan Pasal 34 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34


(1) SKK  Migas wajib  menerbitkan pedoman pengendalian biaya operasi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
(2) SKK Migas wajib menyampaikan laporan pembukuan mengenai pelaksanaan pengembalian biaya operasi kepada Menteri Keuangan dan Menteri secara periodik setiap tahun dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
       
19.   Pasal 35 dihapus.
       
20.   Diantara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37A


Kontrak Kerja Sama yang telah ditandatangani sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Kontrak Kerja Sama yang telah ditandatangani setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan dengan tetap memenuhi kewajibannya untuk hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur secara tegas dalam Kontrak Kerja Sama mengenai:
  1. besaran bagian penerimaan negara;
  2. persyaratan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan norma pembebanan biaya operasi;
  3. biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan;
  4. penunjukkan pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis;
  5. penerbitan surat ketetapan Pajak Penghasilan;
  6. pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang pada kegiatan Eksplorasi dan kegiatan Eksploitasi;
  7. Pajak Penghasilan Kontraktor berupa volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dari bagian Kontraktor; dan
  8. penghasilan di luar Kontrak Kerja Sama berupa Uplift dan/atau pengalihan Participating Interest.
     
21. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 38A, Pasal 38B, Pasal 38C dan Pasal 38D, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38A

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
  1. Kontrak Kerja Sama yang telah ditandatangani sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
  2. Kontrak Kerja Sama yang telah ditandatangani setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
  3. Kontraktor Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dapat memilih untuk mengikuti ketentuan Kontrak Kerja Sama atau melakukan penyesuaian secara keseluruhan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dengan menyesuaikan Kontrak Kerja Sama dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 38B

 

  1. Terhadap Kontrak Kerja Sama yang telah ditandatangani setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
  2. Kontraktor Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dengan menyesuaikan Kontrak Kerja Sama dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 38C


Kontrak Kerja Sama baru atau perpanjangan Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mematuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
     
22. Pasal 39 dihapus.


Pasal II


  1. Semua frasa “Badan Pelaksana” sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, harus dimaknai dengan “SKK Migas”.
  2. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Juni 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY   

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 118




 


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2017

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 79 TAHUN 2010
TENTANG BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN
PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI

 


I.   UMUM
 
Dengan adanya paradigma yang berkembang di dalam pengelolaan Minyak dan Gas Bumi adalah bertujuan untuk meningkatkan ketahanan energi, mendorong berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang membantu tersedianya barang strategis, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sehingga untuk mendukung hal tersebut perlu fleksibilitas dalam penentuan bagi hasil, pemberian insentif dalam Kegiatan Usaha Hulu baik insentif fiskal maupun non fiskal.
   
Selain itu, dalam rangka meningkatkan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi dan meningkatkan penemuan cadangan Minyak dan Gas Bumi nasional serta iklim investasi serta lebih memberikan kepastian hukum pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman sehingga perlu dilakukan perubahan.
   
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 1

Cukup jelas.


Angka 2

Pasal 3

Ayat (1)

Dalam hal kontrak kerja sama di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi, Pemerintah menyediakan sumber daya alamnya sedangkan Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi. Konsekuensinya bahwa Kontraktor tidak diperkenankan membebankan biaya bunga maupun biaya royalti dan sejenisnya ke dalam biaya operasi yang dapat dikembalikan.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Angka 3

Pasal 4

Ayat (1)

Pada dasarnya seluruh pengeluaran atas barang dan peralatan yang dibeli oleh Kontraktor merupakan milik negara, sehingga pegeluaran tersebut merupakan biaya operasi yang dapat dikembalikan oleh Pemeritah kepada Kontraktor berdasarkan harga perolehan.


Ayat (2)

Cukup jelas.

Angka 4

Pasal 8

Angka 5

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Bentuk Insentif Kegiatan Usaha Hulu antara lain berupa investment credit, Imbalan DMO, dan depresiasi dipercepat.

Yang dimaksud dengan Investment Credit adalah tambahan pengembalian Biaya Modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi, yang diberikan sebagai insentif untuk pengembangan lapangan minyak dan/atau Gas Bumi tertentu.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Bentuk insentif penerimaan negara bukan pajak antara lain berupa kebijakan dalam pemanfaatan barang milik negara yang digunakan oleh Kontraktor dalam Operasi Perminyakan dan kemudahan lainnya.


Angka 6

Pasal 10A

Penetapan besaran bagi hasil yang dinamis dimaksudkan untuk pembagian keuntungan dan resiko terhadap perubahan-perubahan yang mempengaruhi kegiatan Minyak dan Gas Bumi, antara lain: perubahan harga Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tingkat produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, rasio antara penerimaan (revenue) dan biaya Operasi Perminyakan.


Angka 7

Pasal 11

Ayat (1)

Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan adalah sama dengan biaya yang akan dikembalikan oleh Pemerintah kepada Kontraktor dalam rangka Kontrak Kerja Sama, demikian pula sebaliknya. Prinsip ini biasa dikenal dengan nama uniformity principle.


Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan biaya yang menjadi dasar dalam penghitungan bagi hasil dan penghitungan Penghasilan Kena Pajak.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang termasuk biaya yang terkait dengan aktifitas pemrosesan Gas Bumi sampai dengan titik penyerahan antara lain biaya pemrosesan Liquefied Natural Gas (LNG).


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Yang termasuk biaya penyusutan antara lain berupa:

  1. fasilitas produksi;
  2. gedung kantor, gudang, perumahan;
  3. mesin dan peralatan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Huruf a

Termasuk dalam biaya pemindahan gas dari titik produksi ke titik penyerahan adalah biaya untuk pemasaran.

Huruf b

Cukup jelas.


Angka 8

Pasal 12

Ayat (1)

Huruf a

Dihapus.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan "biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek" adalah biaya yang terkait langsung dengan kegiatan Operasi Perminyakan di Indonesia dengan syarat:

  1. tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri;
  2. tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan
  3. tidak rutin.

Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Ayat (3)

Peraturan Menteri Keuangan paling sedikit mengatur mengenai waktu pemberlakuan remunerasi.


Angka 9

Pasal 13

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Harta yang dihibahkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya karena harta tersebut merupakan milik negara.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f.

Cukup jelas.


Huruf g

Cukup jelas.


Huruf h

Cukup jelas.


Huruf i

Cukup jelas.


Huruf j

Cukup jelas.


Huruf k

Cukup jelas.


Huruf l

Dihapus.


Huruf m

Cukup Jelas.


Huruf n

Biaya yang terkait dengan merger dan akuisisi antara lain:

  1. biaya personal dan konsultan yang berkaitan dengan due diligence;
  2. biaya eksternal untuk press release, promosi, dan penggantian logo perusahaan;
  3. biaya yang terkait dengan separation program dan retention program, biaya yang berkaitan dengan teknologi sistem informasi (sepanjang sistem yang lama belum sepenuhnya didepresiasikan), biaya yang terkait dengan perpindahan kantor, dan biaya yang timbul karena perubahan kebijakan tentang proyek yang sedang berjalan;

Huruf o

Yang dimaksud dengan "bunga atas pinjaman" adalah bunga atas pinjaman untuk membiayai Operasi Perminyakan.


Huruf p

Cukup jelas.


Huruf q

Cukup jelas.


Huruf r

Cukup jelas.


Huruf s

Yang dimaksud dengan "kelalaian Kontraktor" adalah kelalaian berat (gross negligance) atau perbuatan salah yang disengaja (willful misconduct) yang telah melalui proses penyelesaian perselisihan berdasarkan Kontrak Kerja Sama terkait.


Huruf t

Angka 1

Dihapus.


Angka 2

Yang dimaksud dengan “tidak melalui proses tender” dalam ketentuan ini adalah seluruh pengadaan barang dan jasa wajib melalui proses tender sesuai kebutuhan yang berlaku, namun untuk pengadaan barang dan jasa untuk keperluan darurat dapat tidak melalui proses tender.


Angka 3

Cukup jelas.


Huruf u

Cukup jelas.


Huruf v

Cukup jelas.


Huruf w

Dihapus.


Huruf x

Dihapus.


Angka 10

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "placed into Service" adalah saat dimulainya suatu harta berwujud digunakan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh penyelenggara pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Angka 11

Pasal 19

Cukup jelas.


Angka 12

Pasal 24

Cukup jelas.


Angka 13

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "tarif pajak" sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah pemberlakuan tarif pajak sesuai besaran tarif pajak yang dipilih oleh Kontraktor yaitu tarif pajak yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani atau tarif pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku dan dapat berubah setiap saat.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Yang dimaksud dengan "surat ketetapan Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas Bumi" adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah dilakukan pemeriksaan.


Ayat (7a)

Cukup jelas.


Ayat (8)

Yang dimaksud dengan "surat keterangan pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan Gas Bumi sementara" adalah surat keterangan pembayaran Pajak Penghasilan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebelum dilakukan pemeriksaan yang kegunaannya antara lain untuk kepentingan internal manajemen kantor pusat.


Ayat (9)

Cukup jelas.


Ayat (10)

Dihapus.


Ayat (11)

Dihapus.


Ayat (12)

Cukup jelas.


Ayat (13)

Cukup jelas.


Angka 14

Pasal 26A

Cukup jelas.


Pasal 26B

Cukup jelas.


Pasal 26C

Cukup jelas.


Pasal 26D

Cukup jelas.


Pasal 26E

Cukup jelas.


Angka 15

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (1a)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (2a)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Participating Interest dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Angka 16

Pasal 30

Cukup jelas.


Angka 17

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Jika interest pada suatu Wilayah Kerja dimiliki oleh Kontraktor A, Kontraktor B, dan Kontraktor C kemudian interest Kontraktor A dialihkan kepada Kontraktor D, maka kewajiban perpajakan atas interest tersebut menjadi kewajiban Kontraktor D sejak pengalihan interest tersebut berlaku efektif.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Angka 18

Pasal 34

Cukup jelas.


Angka 19

Cukup jelas.


Angka 20

Pasal 37A

Cukup jelas.


Angka 21

Pasal 38A

Cukup jelas.


Pasal 38B

Cukup jelas.


Pasal 38C

Cukup jelas.


Angka 22

Cukup jelas.



Pasal II

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6066