Peraturan Pemerintah Nomor : 55 TAHUN 2016

Kategori : Lainnya

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2016

TENTANG

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka mendukung peningkatan penerimaan pajak daerah, diperlukan penguatan administrasi pemungutan pajak daerah;
  2. bahwa pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak, belum mencukupi kebutuhan daerah dalam melaksanakan pemungutan pajak daerah;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
  1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  3. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
  4. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  5. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  6. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
  7. Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
  8. Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota.
  9. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, yang selanjutnya disingkat PBB-P2, adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
  11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang selanjutnya disingkat BPHTB, adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
  12. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  13. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak, penentuan besarnya Pajak yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
  14. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
  15. Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
  16. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
  17. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
  18. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
  19. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
  20. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
  21. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
  22. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  23. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  24. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak untuk melunasi utang Pajaknya.
  25. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang Pajak dan biaya penagihan Pajak.
  26. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
  27. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  28. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  29. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
  30. Penagihan adalah serangkaian tindakan agar penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
  31. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.


BAB II
JENIS-JENIS PAJAK DAN PENGATURAN PENETAPAN PAJAK
DALAM PERATURAN DAERAH

Bagian Kesatu
Jenis Pajak yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau
Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak

Pasal 2


Jenis Pajak terdiri atas:
  1. Pajak provinsi; dan
  2. Pajak kabupaten/kota.


Pasal 3


(1) Jenis Pajak provinsi yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
  1. Pajak kendaraan bermotor;
  2. bea balik nama kendaraan bermotor; dan
  3. Pajak air permukaan.
(2) Jenis Pajak provinsi yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak terdiri atas:
  1. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor; dan
  2. Pajak rokok.
(3) Jenis Pajak kabupaten/kota yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
  1. Pajak reklame;
  2. Pajak air tanah; dan
  3. PBB-P2.
(4) Jenis Pajak kabupaten/kota yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak terdiri atas:
  1. Pajak hotel;
  2. Pajak restoran;
  3. Pajak hiburan;
  4. Pajak penerangan jalan;
  5. Pajak mineral bukan logam dan batuan;
  6. Pajak parkir;
  7. Pajak sarang burung walet; dan
  8. BPHTB.


Bagian Kedua
Pengaturan Penetapan Pajak dalam Peraturan Daerah

Pasal 4


(1) Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
  1. nama, objek Pajak, dan subjek Pajak;
  2. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan Pajak;
  3. wilayah Pemungutan;
  4. masa Pajak;
  5. penetapan;
  6. tata cara pembayaran dan penagihan;
  7. kedaluwarsa;
  8. sanksi administratif; dan
  9. tanggal mulai berlakunya.
(3) Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
  1. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok Pajak dan/atau sanksinya;
  2. tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan;
  3. tata cara penghapusan piutang Pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
  4. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan Pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.


BAB III
PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN MASA PAJAK

Bagian Kesatu
Pendaftaran Wajib Pajak

Pasal 5


(1) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) wajib mendaftarkan objek Pajak kepada Kepala Daerah dengan menggunakan:
  1. surat pendaftaran objek Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) huruf a dan huruf b; dan
  2. SPOP untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c.
(2) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g diwajibkan mendaftarkan diri kepada Kepala Daerah untuk mendapatkan nomor pokok Wajib Pajak Daerah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk:
  1. Wajib Pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pemungut Pajak bahan bakar kendaraan bermotor yang berstatus Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; dan
  2. Penyedia tenaga listrik yang berstatus Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
(4) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Kepala Daerah secara jabatan menerbitkan nomor pokok Wajib Pajak Daerah berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.


Bagian Kedua
Masa Pajak

Pasal 6


(1) Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4).
(2) Ketentuan masa Pajak dikecualikan untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf h.


BAB IV
PENETAPAN, PEMBAYARAN, PELAPORAN, DAN KETETAPAN PAJAK

Bagian Kesatu
Penetapan Pajak

Pasal 7


(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang atas jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) huruf a dan huruf b berdasarkan surat pendaftaran obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SKPD.
(2) Kepala Daerah secara jabatan dapat menerbitkan SKPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
(3) Kepala Daerah menetapkan Pajak terutang atas PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SPPT.
(4) Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPD dalam hal sebagai berikut:
  1. SPOP tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah atau oleh Pejabat yang ditunjuk sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
  2. berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.


Pasal 8


(1) Besarnya Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) huruf a dan huruf b dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar pengenaan Pajak.
(2) Besarnya Pajak terutang untuk PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar pengenaan Pajak setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
(3) Dasar pengenaan Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) meliputi:
  1. nilai jual kendaraan bermotor untuk Pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor;
  2. nilai perolehan air permukaan untuk pajak air permukaan;
  3. nilai sewa reklame untuk Pajak reklame;
  4. nilai perolehan air tanah untuk Pajak air tanah; dan
  5. NJOP untuk PBB-P2.
(4) Besarnya nilai perolehan air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
(5) Nilai perolehan air tanah dalam Daerah provinsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.
(6) Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.
(7) Penetapan besarnya nilai perolehan air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian teknis terkait.


Pasal 9


(1) Besarnya Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar pengenaan Pajak.
(2) Besarnya Pajak terutang untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf h dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar pengenaan Pajak setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak.
(3) Dasar pengenaan Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4):
  1. nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai untuk Pajak bahan bakar kendaraan bermotor;
  2. cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok untuk Pajak rokok;
  3. jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel untuk Pajak hotel;
  4. jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima restoran untuk Pajak restoran;
  5. jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan untuk Pajak hiburan;
  6. nilai jual tenaga listrik untuk Pajak penerangan jalan;
  7. nilai jual hasil pengambilan mineral bukan logam dan batuan untuk Pajak mineral bukan logam dan batuan;
  8. jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir untuk Pajak parkir;
  9. nilai jual sarang burung walet untuk Pajak sarang burung walet; dan
  10. nilai perolehan objek Pajak untuk BPHTB.
  

Pasal 10


(1) Jumlah pembayaran kepada hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c termasuk:
  1. Jumlah pembayaran setelah potongan harga; dan
  2. Jumlah pembayaran atas pembelian voucher menginap.
(2) Jumlah yang seharusnya dibayar kepada hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c merupakan voucher atau bentuk lain yang diberikan secara cuma-cuma dengan dasar pengenaan Pajak sebesar harga berlaku.


Pasal 11


(1) Jumlah pembayaran yang diterima restoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf d termasuk:
  1. jumlah pembayaran setelah potongan harga; dan
  2. jumlah pembelian dengan menggunakan voucher makanan atau minuman.
(2) Jumlah pembayaran yang seharusnya diterima restoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf d merupakan harga jual makanan atau minuman dalam hal voucher atau bentuk lain yang diberikan secara cuma-cuma.


Pasal 12


(1) Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf f ditetapkan:
  1. untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran, nilai jual tenaga listrik:
    1. jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk tenaga listrik yang dibayar setelah penggunaan; dan
    2. jumlah pembelian tenaga listrik.
  2. untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, nilai jual tenaga listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
(2) Berdasarkan nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik melakukan penghitungan dan Pemungutan Pajak penerangan jalan atas penggunaan tenaga listrik.


Bagian Kedua
Pembayaran Pajak Terutang

Pasal 13


(1) Wajib Pajak membayar atau menyetor Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
(2) Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) paling lama:
  1. 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimnya SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1); dan
  2. 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(3) Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya Pajak.


Bagian Ketiga
Pelaporan Pajak

Pasal 14


(1) Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) mengisi SPTPD.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat omzet dan jumlah Pajak terutang dalam satu masa Pajak.


Pasal 15


(1) Wajib Pajak menyampaikan SPTPD yang dilampiri SSPD kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4).
(2) SSPD untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf h dipersamakan sebagai SPTPD.
(3) SSPD untuk BPHTB dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
(4) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah berakhirnya masa Pajak.
(5) Kepala Daerah melakukan Penelitian atas SPTPD dan SSPD yang disampaikan oleh Wajib Pajak.


Bagian Keempat
Ketetapan Pajak

Pasal 16


(1) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4).
(2) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal:
  1. berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain, Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau
  3. kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi.
(3) Jumlah Pajak yang tercantum dalam SKPDKB yang diterbitkan dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dihitung secara jabatan.
(4) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang.
(5) SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.


Pasal 17


(1) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak.
(2) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan Pemeriksaan.
(4) Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak.
(5) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.


Pasal 18


(1) Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah.
(2) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.


BAB V
PENAGIHAN DAN PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

Bagian Kesatu
Penagihan Pajak

Pasal 19


(1) Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) dalam hal:
  1. Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
  2. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
  3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan.
(3) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya Pajak.


Pasal 20


(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) dalam hal:
  1. Dari hasil Penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
  2. SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
  3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya Pajak.

  

Pasal 21


(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai pedoman Penagihan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.


Bagian Kedua
Penghapusan Piutang Pajak

Pasal 22


(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan
(2) Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
  1. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
  2. ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(4) Pengakuan utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
(5) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
(6) Dalam hal ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Kepala Daerah.


BAB VI
KEBERATAN DAN BANDING

Pasal 23


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga
(2) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat atau tanggal pemotongan atau Pemungutan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya, pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan.
(4) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(5) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(6) Pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 24


(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).
(2) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
(3) Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
(4) Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
  1. menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Pemeriksaan sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
  2. menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
  3. menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Pemeriksaan sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
  4. menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Pemeriksaan lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.


Pasal 25


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
(2) Pengajuan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
(3) Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 26


(1) Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan.
(5) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.


BAB VII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN

Pasal 27


(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
(2) Pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat dihitung besarnya Pajak yang terutang.

  

Pasal 28


(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
  1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak yang terutang;
  2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
  3. memberikan keterangan yang diperlukan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), besarnya Pajak terutang ditetapkan secara jabatan.
(4) Ketentuan mengenai pedoman Pemeriksaan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.


BAB VIII
PENELITIAN SURAT SETORAN PAJAK DAERAH BEA PEROLEHAN HAK
ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Pasal 29


(1) Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
  1. Kesesuaian nomor objek Pajak yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan nomor objek Pajak yang tercantum dalam fotokopi SPPT atau bukti pembayaran PBB-P2 lainnya dan pada basis data PBB-P2;
  2. Kesesuaian NJOP bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP bumi per meter persegi pada basis data PBB-P2;
  3. Kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP bangunan per meter persegi pada basis data PBB-P2;
  4. Kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi nilai perolehan objek Pajak, NJOP, NJOP tidak kena Pajak, tarif, pengenaan atas objek Pajak tertentu, BPHTB terutang atau yang harus dibayar; dan
  5. Kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri.
(2) Objek Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat.
(3) Proses Penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah Pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah Pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut.


BAB IX
PENILAIAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

Pasal 30


(1) Kepala Daerah menetapkan NJOP.
(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
(3) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
(4) Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
  1. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
  2. nilai perolehan baru; atau
  3. nilai jual pengganti.
(5) Penghitungan NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dilakukan melalui penilaian.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.


BAB X
PAJAK YANG DIBAYARKAN ATAU DIPUNGUT OLEH PEMERINTAH

Pasal 31


(1) Jenis Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah meliputi:
  1. Pajak air permukaan;
  2. Pajak air tanah; dan
  3. Pajak penerangan jalan.
(2) Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Wajib Pajak yang menandatangani perjanjian dengan Pemerintah di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau di bidang kegiatan usaha lain yang menetapkan bahwa Pajak terutangnya dibebaskan dan ditanggung oleh Pemerintah.
(3) Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari jumlah tertentu yang merupakan bagian penerimaan negara atas setiap kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan sesuai dasar pengenaan Pajak yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(5) Dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b merupakan nilai perolehan air.
(6) Nilai perolehan air sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Peraturan Gubernur mengenai nilai perolehan air permukaan ditetapkan dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum; dan/atau
  2. Peraturan Bupati/Walikota mengenai nilai perolehan air tanah ditetapkan dengan berpedoman pada Peraturan Gubernur mengenai nilai perolehan air tanah.
(7) Peraturan Gubernur mengenai nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b ditetapkan berdasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(8) Besaran Pajak yang dibayarkan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan hasil perkalian antara tarif Pajak yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


Pasal 32


(1) Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dipungut bersamaan dengan Pemungutan cukai rokok oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai.
(2) Besarnya Pajak terutang untuk Pajak rokok dihitung oleh Wajib Pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai cukai rokok.
(3) Penerimaan Pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum Daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.


Pasal 33


(1) Penerimaan Pajak rokok yang disetorkan ke rekening kas umum Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dibagi dengan proporsi:
  1. 30% (tiga puluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
  2. 70% (tujuh puluh persen) untuk dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(2) Penerimaan Pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
(3) Pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah.
(4) Penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain.
(5) Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan masyarakat yang didanai dari Pajak rokok diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Pajak Daerah, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 35


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar, Sendiri oleh Wajib Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5179) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.


Pasal 36


Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.


Pasal 37


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 244



 

 


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2016

TENTANG

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH

 


I. UMUM

Pada hakikatnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengatur mengenai kebijakan perpajakan dan retribusi Daerah, termasuk beberapa ketentuan pelaksanaan pemungutan Pajak. Beberapa ketentuan lain terkait proses pelaksanaan pemungutan Pajak oleh Pemerintah Daerah dapat diatur oleh Daerah sendiri dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan/atau peraturan pelaksanaan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar Pemerintah Daerah memiliki diskresi dan keleluasaan dalam membangun sistem dan prosedur pemungutan Pajak sesuai dengan kondisi dan kekhasan Daerah masing-masing dengan tetap berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam pelaksanaan pemungutan Pajak di Daerah, masih terdapat kesulitan yang dihadapi oleh Daerah terkait teknis pemungutan Pajak mengingat belum lengkapnya peraturan perundang-undangan yang mengatur teknis pemungutan Pajak. Selain itu, masih terdapat perbedaan interpretasi antara Wajib Pajak dengan Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perbedaan interpretasi tersebut antara lain ketentuan mengenai Masa Pajak, penetapan Wajib Pajak, Penelitian Pajak, dan Penagihan Pajak. Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak hanya mengatur mengenai pembagian jenis Pajak berdasarkan pemungutannya, maka untuk memberikan pedoman teknis pelaksanaan Pemungutan Pajak dan memperjelas pemaknaan berbagai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu disusun Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak.

Di samping itu, Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pengaturan yang lebih jelas terkait Pemungutan Pajak yang bersifat khusus, antara lain jenis Pajak yang pembayaran Pajak terutangnya dibebankan kepada Pemerintah yaitu untuk Wajib Pajak yang menandatangani perjanjian dengan Pemerintah di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang menetapkan bahwa Pajak terutangnya dibayarkan oleh Pemerintah.

Dasar pengenaan Pajak adalah salah satu komponen utama dalam perhitungan Pajak terutang. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengamanatkan bahwa penetapan dasar pengenaan Pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Pelaksanaan kewenangan ini haruslah sesuai dengan norma-norma dasar yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. NJOP dimaksud diperoleh melalui penilaian yang dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata, penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau nilai jual pengganti. Agar Kepala Daerah dapat menetapkan NJOP secara wajar dan bertanggung jawab, maka dalam Peraturan Pemerintah ini mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Selain itu, untuk mendukung pelaksanaan Pemungutan Pajak, memperkuat law enforcement perpajakan daerah, dan menjamin terlaksananya hak dan kewajiban Wajib Pajak, Peraturan Pemerintah ini juga mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.



Pasal 2

Cukup jelas.



Pasal 3

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan ’’Pajak kendaraan bermotor” adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.


Huruf b

Yang dimaksud dengan ”bea balik nama kendaraan bermotor” adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.


Huruf c

Yang dimaksud dengan ’’Pajak air permukaan” adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.

 

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan ’’Pajak bahan bakar kendaraan bermotor” adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor.


Huruf b

Yang dimaksud dengan ’’Pajak rokok” adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.

 

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan ’’Pajak reklame” adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.


Huruf b

Yang dimaksud dengan ’’Pajak air tanah” adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.


Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (4)

Huruf a

Yang dimaksud dengan ’’Pajak hotel” adalah Pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.


Huruf b

Yang dimaksud dengan ’’Pajak restoran” adalah Pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.


Huruf c

Yang dimaksud dengan ’’Pajak hiburan” adalah Pajak atas penyelenggaraan hiburan.


Huruf d

Yang dimaksud dengan ’’Pajak penerangan jalan” adalah Pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.


Huruf e

Yang dimaksud dengan ’’Pajak mineral bukan logam dan batuan” adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Dikecualikan dari kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan adalah:

  1. pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial;
  2. kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial; dan
  3. pengambilan mineral bukan logam dan batuan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Yang dimaksud dengan pemanfaatan secara komersial adalah pemanfaatan yang memberikan nilai tambah ekonomi baik diperjualbelikan, dimanfaatkan sendiri, atau dimanfaatkan oleh pihak lain yang bukan untuk kepentingan sosial dalam batasan volume tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.


Huruf f

Yang dimaksud dengan ’’Pajak parkir” adalah Pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.


Huruf g

Yang dimaksud dengan ’’Pajak sarang burung walet” adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.


Huruf h

Cukup jelas.



Pasal 4

Cukup jelas.



Pasal 5

Ayat (1)

Pendaftaran objek Pajak dimaksudkan untuk membantu Kepala Daerah dalam menetapkan pajak terutang.
Termasuk dalam pendaftaran objek Pajak antara lain:

  1. pemanfaatan air permukaan dan air tanah; dan
  2. penyelenggaraan reklame.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “nomor pokok wajib Pajak Daerah” adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 6

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Masa Pajak” adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “keterangan lain” antara lain pengajuan dari Wajib Pajak.



Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Yang dimaksud dengan “kementerian teknis terkait” adalah:

  1. kementerian teknis yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum untuk nilai perolehan air permukaan; dan
  2. kementerian teknis yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral untuk nilai perolehan air tanah.



Pasal 9

Cukup jelas.



Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “bentuk lain” antara lain berupa undangan dari pihak hotel kepada penerima jasa hotel baik secara tertulis ataupun lisan.



Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “bentuk lain” antara lain berupa undangan dari pihak restoran kepada penerima jasa restoran baik secara tertulis maupun lisan.



Pasal 12

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “tenaga listrik yang berasal dari sumber lain” adalah tenaga listrik yang diperoleh dari penyedia tenaga listrik.
Yang dimaksud dengan “jumlah pembelian tenaga listrik” adalah jumlah yang dibayarkan oleh pengguna tenaga listrik atas pembelian tenaga listrik prabayar.


Huruf b

Penghitungan nilai jual tenaga listrik untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan tenaga listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual tenaga listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 13

Cukup jelas.



Pasal 14

Cukup jelas.



Pasal 15

Cukup jelas.



Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “keterangan lain” antara lain


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ’’dihitung secara jabatan” adalah penghitungan besarnya Pajak terutang yang dilakukan oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.



Pasal 17

Cukup jelas.



Pasal 18

Cukup jelas.



Pasal 19

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Contoh untuk Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda adalah jika permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.



Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Contoh untuk Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda adalah jika permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 21

Cukup jelas.



Pasal 22

Cukup jelas.



Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Penangguhan jangka waktu pelunasan Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan menyebabkan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan tidak diberlakukan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.


Ayat (6)

Cukup jelas.



Pasal 24

Cukup jelas.



Pasal 25

Cukup jelas.



Pasal 26

Cukup jelas.



Pasal 27

Ayat (1)

Kewajiban pelaksanaan pembukuan atau pencatatan ini berlaku untuk Wajib Pajak atas jenis Pajak yang berasal dari kegiatan usaha.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 28

Ayat (1)

Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain dalam hal:

  1. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
  2. pencocokan data dan/atau alat keterangan; atau
  3. Pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 29

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “nomor objek Pajak” adalah nomor identitas objek Pajak PBB-P2 sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Kebenaran penghitungan BPHTB adalah kebenaran penghitungan formulasi secara matematis.


Huruf e

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “waris” adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang menjadi berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.
Yang dimaksud dengan “hibah wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi meninggal dunia.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis” adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak dengan cara membandingkannya dengan objek Pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “nilai perolehan baru” adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “nilai jual pengganti” adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek Pajak tersebut.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.



Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dibayarkan oleh Pemerintah” adalah pembayaran yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dibebaskan dan ditanggung oleh Pemerintah” adalah kondisi di mana Wajib Pajak dibebaskan dari kewajiban untuk membayar Pajak terutang dan Pemerintah menanggung kewajiban pembayaran Pajak dimaksud sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau di bidang kegiatan usaha lain.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Ayat (9)

Cukup jelas.



Pasal 32

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “instansi Pemerintah” adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan yang ditunjuk sebagai Pemungut Pajak.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “pihak/instansi lain” antara lain Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.


Ayat (5)

Cukup jelas.



Pasal 34

Cukup jelas.



Pasal 35

Cukup jelas.



Pasal 36

Cukup jelas.



Pasal 37

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5950