Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 125/PMK.010/2015

Kategori : KUP, PPh

Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange Of Information)


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 125/PMK.010/2015

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI
(EXCHANGE OF INFORMATION)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2014 telah diatur ketentuan mengenai tata cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information);
  2. bahwa dalam rangka lebih memperjelas cakupan Pertukaran Informasi (Exchange of Information) meliputi Pertukaran Informasi yang dilaksanakan berdasarkan Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters), dan perjanjian bilateral atau multilateral lainnya, perlu mengubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2014;
  3. bahwa berdasarkan konvensi atau perjanjian sebagaimana dimaksud dalam huruf b, negara atau yurisdiksi yang dimintakan informasi tidak boleh menolak rnemberikan informasi semata-mata karena negara atau yurisdiksi yang dimintakan informasi dimaksud tidak mempunyai kepentingan yang terkait perpajakan terhadap informasi tersebut;
  4. bahwa berdasarkan konvensi atau perjanjian sebagaimana dimaksud dalam huruf b, tidak diperkenankan negara atau yurisdiksi yang dimintakan informasi untuk menolak Pertukaran Informasi (Exchange of Information) semata-mata karena informasi yang dimintakan dimiliki/disimpan oleh bank, lembaga keuangan lainnya, orang/badan yang bertindak sebagai agen atau yang diberi kepercayaan/kuasa, atau pihak lain yang berkepentingan terhadap kepemilikan informasi tersebut;
  5. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (4) dan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan, dinyatakan bahwa penetapan pihak lain yang wajib memberikan data dan informasi serta penghimpunan data dan informasi diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information);

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION).


Pasal I


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan angka 2, angka 5, angka 6, angka 7, dan angka 8 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1


1. Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
2. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement), Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters), Persetujuan Pejabat yang Berwenang yang Bersifat Multilateral atau Bilateral (Multilateral or Bilateral Competent Authority Agreement), Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA), atau perjanjian bilateral maupun multilateral lainnya.
3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
4. Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement) yang selanjutnya disebut TIEA adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk memberikan bantuan administratif perpajakan melalui pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan .
5. Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters) yang selanjutnya disebut Konvensi adalah perjanjian multilateral atau konvensi antara Pemerintah Indonesia dengan beberapa pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk memberikan bantuan administratif satu sama lain dalam bidang perpajakan antara lain melalui pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan .
6. Otoritas Pajak Negara Mitra atau Otoritas Pajak Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya disebut sebagai Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah otoritas perpajakan pada Negara Mitra atau otoritas perpajakan pada Yurisdiksi Mitra yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam P3B, TIEA, Konvensi, Persetujuan Pejabat yang Berwenang yang Bersifat Multilateral atau Bilateral (Multilateral or Bilateral Competent Authority Agreement), Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA), atau perjanjian bilateral maupun multilateral lainnya.
7. Data dan/atau Informasi yang selanjutnya disebut Informasi adalah kumpulan angka, huruf, kata, citra, keterangan lisan, dan/atau keterangan tertulis, yang dapat berbentuk rekaman (audio/visual/audio visual), surat, dokumen, buku, catatan atau bentuk lainnya, baik dalam bentuk cetakan maupun elektronik, yang dapat memberikan petunjuk dan/atau informasi mengenai penghasilan orang pribadi atau badan yang bersumber dari pekerjaan dalam hubungan kerja, pekerjaan bebas, kegiatan usaha, modal dan/atau sumber lainnya, serta informasi mengenai kekayaan/harta termasuk informasi keuangan yang dimiliki dan/atau disimpan oleh orang pribadi atau badan, baik miliknya sendiri maupun milik orang pribadi atau badan lainnya.
8. Pertukaran Informasi atau Exchange of Information (EOI) yang selanjutnya disebut Pertukaran Informasi adalah pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan sebagai pelaksanaan P3B, TIEA, Konvensi, Persetujuan Pejabat yang Berwenang yang Bersifat Multilateral atau Bilateral (Multilateral or Bilateral Competent Authority Agreement), Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA), atau perjanjian bilateral atau multilateral lainnya, untuk mencegah penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion), dan/atau penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
   
2. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan Pertukaran Informasi dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Pertukaran Informasi dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Peraturan Perpajakan II, yang bertindak sebagai pejabat yang berwenang atau competent authority di Indonesia.
(3) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam :
a) P3B;
b) TIEA;
c) Konvensi;
d) Persetujuan Pejabat yang Berwenang yang Bersifat Multilateral atau Bilateral (Multilateral or Bilateral Competent Authority Agreement);
e) Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA); atau
f) perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
(4) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku terhadap P3B, TIEA, Konvensi, Persetujuan Pejabat yang Berwenang yang Bersifat Multilateral atau Bilateral (Multilateral or Bilateral Competent Authority Agreement), Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA), atau perjanjian bilateral maupun multilateral lainnya yang berlaku efektif sebelum, sejak, atau setelah berlakunya Peraturan Menteri ini.
   
3. Ketentuan ayat (2) Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3


(1) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi :
a) Pertukaran Informasi berdasarkan permintaan;
b) Pertukaran Informasi secara spontan; dan
c) Pertukaran Informasi secara otomatis.
(2) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersifat resiprokal dan dilakukan dalam bentuk Pertukaran Informasi ke dalam negeri maupun Pertukaran Informasi ke luar negeri .
(3) Dalam rangka pelaksanaan Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan tax examination abroad atau simultaneous tax examinations.
   
4. Di antara Bab II dan Bab III disisipkan satu Bab, yakni Bab IIA yang berbunyi sebagai berikut:

BAB IIA
PERMINTAAN INFORMASI KEPADA
WAJIB PAJAK ATAU PIHAK LAIN

   
5. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan satu Pasal yakni Pasal 3A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3A


(1) Dalam rangka Pertukaran Informasi dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur Jenderal Pajak berdasarkan Undang-Undang dapat meminta Informasi kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang dipertukarkan.
(2) Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain :
  1. orang pribadi, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada atau bertempat tinggal di Indonesia;
  2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
  3. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar negeri yang Informasi atas badan dimaksud dimiliki dan/atau disimpan oleh orang pribadi atau badan di Indonesia;
  4. bentuk usaha tetap;
  5. nasabah lembaga jasa keuangan di Indonesia;
  6. lembaga jasa keuangan, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, instansi pemerintah, lembaga, asosiasi; dan/atau
  7. pihak lain yang berada di wilayah Indonesia.
(3) Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa lembaga jasa keuangan, dan Informasi keuangan yang bersangkutan pada lembaga jasa keuangan dimaksud menjadi objek Pertukaran Informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) .
(4) Lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f merupakan lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai otoritas jasa keuangan.
(5) Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi permintaan Informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terikat oleh kewajiban merahasiakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, melalui permintaan secara tertulis dari:
  1. Direktur Jenderal Pajak; atau
  2. Menteri Keuangan kepada Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal Informasi yang diminta terikat kerahasiaan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan .
(7) Dalam rangka Pertukaran Informasi secara otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dalam hal lembaga jasa keuangan terikat oleh kewajiban merahasiakan Informasi keuangan nasabahnya, nasabah tersebut secara sukarela memberikan persetujuan/pernyataan/surat kuasa/instruksi tertulis kepada lembaga jasa keuangan tempat nasabah dimaksud terdaftar untuk memberikan Informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui otoritas terkait.
(8) Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau ayat (6), Wajib Pajak atau pihak lain dimaksud dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 
(9) Dalam rangka kepentingan perpajakan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menggunakan Informasi yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) .
   
6. Ketentuan ayat (2) Pasal 4 diubah, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang membutuhkan Informasi menyampaikan usulan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II untuk melakukan permintaan Informasi kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Usulan permintaan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal terdapat dugaan Wajib Pajak melakukan transaksi untuk menghindari pengenaan pajak, transaksi untuk melakukan pengelakan pajak atau transaksi dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa yang tujuan utama atau salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperoleh manfaat P3B, dan Wajib Pajak:
  1. sedang dilakukan kegiatan pengawasan kepatuhan perpajakan, analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak, verifikasi, pemeriksaan, penagihan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan terhadap kewajiban perpajakannya; atau
  2. sedang dalam proses pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, keberatan, banding, peninjauan kembali, prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedure), dan/atau kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement) terhadap kewajiban perpajakannya.
(3) Permintaan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak melakukan upaya untuk mencari Informasi di dalam negeri dan meyakini bahwa Informasi dimaksud terdapat di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(4) Usulan permintaan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, setelah Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan penelitian atas pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) .
(5) Usulan permintaan Informasi yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak ditindaklanjuti oleh Direktur Peraturan Perpajakan II, dalam hal terdapat kondisi sebagai berikut:
  1. Informasi yang diminta tersedia di dalam negeri;
  2. belum melakukan upaya untuk mencari Informasi di dalam negeri dan meyakini bahwa Informasi dimaksud terdapat di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
  3. Informasi yang diminta bersifat spekulatif dan tidak memiliki hubungan yang jelas dengan dasar permintaan Informasi (fishing expedition);
  4. Informasi yang diminta tidak didasari atas kecurigaan (allegation) yang memadai;
  5. Informasi yang diminta dapat mengakibatkan terungkapnya rahasia perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian; dan/atau
  6. Informasi yang diminta berhubungan dengan rahasia negara, kebijakan publik, kedaulatan, keamanan negara, atau kepentingan nasional.
   
7. Ketentuan ayat (3) dan ayat (6) Pasal 5 diubah , sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Direktur Peraturan Perpajakan II menerima permintaan Informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan penelitian terhadap permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) .
(3) Penelitian terhadap permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk menguji pemenuhan ketentuan sebagai berikut:
  1. permintaan Informasi ditandatangani oleh pejabat yang berwenang atau competent authority di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
  2. terdapat dugaan bahwa permintaan Informasi berkenaan dengan transaksi yang dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak, melakukan pengelakan pajak, atau memanfaatkan struktur/skema sedemikian rupa yang tujuan utama atau salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperoleh manfaat P3B; dan
  3. dipenuhinya ketentuan sebagaimana tercantum dalam P3B, TIEA, Konvensi, Persetujuan Pejabat yang Berwenang yang Bersifat Multilateral atau Bilateral (Multilateral or Bilateral Competent Authority Agreement), Persetujuan antar Pemerintah (Intergovernmental Agreement/IGA), atau perjanjian bilateral maupun multilateral lainnya.
(4) Dalam hal permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra belum jelas, Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan tambahan kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang bersangkutan .
(5) Permintaan Informasi yang diterima dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tidak dapat dipenuhi dalam hal
  1. perlu dilakukan tindakan administratif yang bertentangan dengan praktik administrasi atau ketentuan peraturan perundang-undangan ;
  2. dalam kondisi serupa, Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tidak menyediakan Informasi yang diminta pada saat Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tersebut berkedudukan sebagai negara yang diminta Informasi; dan/atau
  3. Informasi yang diminta berhubungan dengan rahasia negara, kebijakan publik, kedaulatan, keamanan negara, atau kepentingan nasional.
(6) Dalam hal permintaan Informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan tidak diperlukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, dan/atau tidak terdapat kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan/atau huruf c, permintaan Informasi tersebut ditindaklanjuti sebagai berikut:
  1. untuk Informasi yang sudah tersedia di dalam aplikasi pemanfaatan Informasi, dan Direktur Peraturan Perpajakan II memiliki kewenangan untuk mengakses dan menggunakan Informasi tersebut, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Informasi tersebut kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
  2. untuk Informasi yang belum tersedia atau sudah tersedia tetapi Direktur Peraturan Perpajakan II tidak dapat mengakses Informasi tersebut, Direktur Peraturan Perpajakan II meminta Informasi dimaksud kepada unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
(7) Dalam hal unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak telah menyampaikan Informasi yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Informasi dimaksud kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
   
8. Ketentuan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 6 diubah , sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


(1) Pertukaran Informasi secara spontan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dilakukan atas data konkret yang diterima/diperoleh dari Wajib Pajak atau pihak lain termasuk data konkret yang berasal dari kegiatan:
  1. pengawasan kepatuhan perpajakan;
  2. analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak;
  3. verifikasi;
  4. pemeriksaan;
  5. penagihan;
  6. pemeriksaan bukti permulaan;
  7. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
  8. pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak;
  9. keberatan;
  10. banding;
  11. peninjauan kembali; atau
  12. prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedure), atau kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement),
terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
(2) Pertukaran Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa didahului permintaan Informasi dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(3) Data konkret sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipertukarkan dalam hal terdapat:
  1. indikasi hilangnya potensi pajak yang signifikan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
  2. pembayaran kepada Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang diduga tidak dilaporkan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
  3. pengurangan atau pembebasan pajak di Indonesia yang diterima oleh Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang dapat menambah kewajiban perpajakan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan/atau
  4. transaksi antara Wajib Pajak Indonesia dengan Wajib Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra melalui satu atau lebih negara lain, sedemikian rupa sehingga mengakibatkan berkurangnya nilai pajak yang terutang dari Wajib Pajak dimaksud di Indonesia dan/atau di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
(4) Unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang memperoleh/menerima data konkret sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Peraturan Perpajakan II .
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Direktur Peraturan Perpajakan II, Informasi yang diberikan oleh unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Peraturan Perpajakan II :
  1. tidak menyampaikan Informasi dimaksud kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
  2. menyampaikan pemberitahuan kepada unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang memberikan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian Direktur Peraturan Perpajakan II Informasi yang diberikan oleh unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Informasi dimaksud kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
   
9. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 8


(1) Pertukaran Informasi secara otomatis meliputi:
  1. Pertukaran Informasi secara otomatis untuk data pemotongan/pemungutan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada subjek pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
  2. Pertukaran Informasi secara otomatis untuk Informasi keuangan nasabah .
(2) Informasi yang dipertukarkan secara otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
a. Identitas Wajib Pajak atau pihak lain termasuk:
  1. nama;
  2. nomor kartu identitas ;
  3. nomor paspor;
  4. Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri atau nomor identitas lainnya untuk kepentingan perpajakan bagi Wajib Pajak luar negeri;
  5. tanggal lahir; dan
  6. alamat di dalam negeri dan/atau di luar negeri.
b. Identitas Wajib Pajak dalam negeri sebagai pemotong/pemungut pajak, yaitu :
  1. nama Wajib Pajak;
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. tanggal lahir Wajib Pajak orang pribadi atau tanggal pendirian Wajib Pajak badan; dan
  4. alamat Wajib Pajak.
c. penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, antara lain :
  1. dividen;
  2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
  3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
  5. imbalan dan penghargaan;
  6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
  7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
  8. keuntungan karena pembebasan utang;
  9. penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  10. penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3 c) Undang-Undang Pajak Penghasilan; dan/atau
  11. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
d. jumlah penghasilan bruto, jumlah penghasilan neto, dan jumlah pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas penghasilan;
e. masa pajak dan/atau tahun pajak atas diperolehnya penghasilan;
f. tarif pemotongan dan/atau pemungutan pajak;
g. tanggal pemotongan dan/atau pemungutan pajak;
h. tanggal penyetoran pajak;
i. nomor bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak; dan/atau
j. informasi lainnya .
(3) Dalam rangka pelaksanaan Pertukaran Informasi secara otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, unit di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang mengelola dan mengadministrasikan Informasi perpajakan harus memberikan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Peraturan Perpajakan II .
(4) Informasi keuangan nasabah yang dipertukarkan secara otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a. identitas nasabah, termasuk:
  1. nama;
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. nomor rekening;
  4. nomor identitas untuk kepentingan perpajakan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan/atau
  5. alamat di dalam negeri dan/atau luar negeri.
b. identitas lembaga jasa keuangan, termasuk:
  1. nama;
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  3. alamat.
c. saldo akhir atau nilai (termasuk nilai kontrak asuransi atau anuitas kontrak, nilai tunai atau surrender value) pada akhir tahun kalender, atau dalam hal rekening ditutup pada suatu tahun kalender, yang dilaporkan adalah saldo akhir atau nilai akhir pada saat penutupan ;
d. bagi bank kustodian atau perantara pedagang efek:
  1. total dana yang diperoleh dari penjualan atau penjualan kembali (redemption) atas efek yang dibayarkan atau dikreditkan ke rekening selama tahun kalender;
  2. jumlah bruto bunga, dividen, penghasilan dalam negeri lainnya yang dihasilkan oleh aset-aset yang berada dalam rekening yang dibayarkan atau dikreditkan ke dalam rekening selama tahun kalender.
e. jumlah bruto bunga dan/atau penghasilan dalam negeri lainnya yang dibayarkan atau dikreditkan ke pemegang rekening selama tahun kalender; dan
f. informasi lainnya sebagaimana diatur dalam perjanjian bilateral atau multilateral mengenai Pertukaran Informasi secara otomatis untuk Informasi keuangan nasabah .
(5) Dalam rangka pelaksanaan Pertukaran Informasi secara otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b , Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak sesuai ketentuan sebagai berikut:
  1. nasabah memberikan persetujuan/pernyataan/surat kuasa/instruksi tertulis kepada lembaga jasa keuangan tempat nasabah tersebut terdaftar untuk memberikan Informasi keuangan nasabah sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (4) kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui otoritas terkait;
  2. berdasarkan persetujuan/pernyataan/surat kuasa/instruksi tertulis dari nasabah kepada lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (5) huruf a, lembaga jasa keuangan memberikan Informasi keuangan nasabah tersebut kepada otoritas terkait;
  3. otoritas terkait sebagaimana dimaksud pada huruf b memberikan Informasi keuangan nasabah tersebut kepada Direktur Peraturan Perpajakan II yang bertindak sebagai pejabat yang berwenang atau competent authority di Indonesia.
(6) Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
   
10. Bab VIII dihapus.
   
11. Pasal 14 dihapus.
   
12. Mengubah Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III , dan Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information) sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal II


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

BAMBANG P.S. BRODJONEGORO


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 Juli 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 1016