Peraturan Daerah Nomor : 193 TAHUN 2014

Kategori : Lainnya

Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel


PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 193 TAHUN 2014

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,


Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 125 Tahun 2005, telah diatur mengenai petunjuk pelaksanaan pemungutan Pajak Hotel;
  2. bahwa dengan berlakunya Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel, maka Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu disesuaikan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta protokol opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan (Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol to the Vienna Convention on Diplomatic Relations Concerning Acquisition of Nationality, 1961) dan Pengesahan Konvensi Wina mengenai hubungan konsuler beserta protokol opsionalnya mengenai hal memperoleh kewarganegaraan (Vienna Convention on Consuler Relations and Optional Protocol to the Vienna Convention on Consuler Relation Concerning Acquisition of Nationality, 1963);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009;
  3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman;
  4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000;
  5. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;
  6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
  7. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan;
  9. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  10. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
  11. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014;
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006;
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak;
  14. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah;
  15. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah;
  16. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Pajak Hotel;
  17. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah;
  18. Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pelayanan Pajak;
  19. Peraturan Gubernur Nomor 29 Tahun 2011 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Pajak Daerah;
  20. Peraturan Gubernur Nomor 53 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Gubernur Nomor 144 Tahun 2013;
  21. Peraturan Gubernur Nomor 68 Tahun 2013 tentang Pelayanan Terpadu Pembayaran Pendapatan Asli Daerah Melalui Bank;
  22. Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerimaan Pembayaran Pajak Daerah;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN GUBERNUR TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL.


BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :
  1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  4. Badan Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat BPKD adalah Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  5. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat Kepala BPKD adalah Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  6. Dinas Pelayanan Pajak adalah Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  7. Kepala Dinas Pelayanan Pajak adalah Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  8. Suku Dinas Pelayanan Pajak adalah Suku Dinas Pelayanan Pajak pada Kota Administrasi.
  9. Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak adalah Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak pada Kota Administrasi.
  10. Unit Pelayanan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat UPPD adalah Unit Pelayanan Pajak Daerah Dinas Pelayanan Pajak yang berada di wilayah Kecamatan.
  11. Kepala Unit Pelayanan Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Kepala UPPD adalah Kepala Unit Pelayanan Pajak Daerah yang berada di wilayah Kecamatan.
  12. Pejabat yang Ditunjuk adalah pejabat satu tingkat di bawah Kepala Dinas Pelayanan Pajak di lingkungan Dinas Pelayanan Pajak.
  13. Bank adalah Bank DKI atau bank lain yang ditunjuk oleh Gubernur.
  14. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  15. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  16. Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
  17. Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
  18. Rumah Penginapan (Wisma/Penginapan Remaja) adalah jenis usaha akomodasi untuk penginapan dalam bentuk dan klasifikasi apapun beserta fasilitasnya yang digunakan untuk umum.
  19. Pesanggrahan adalah jenis usaha akomodasi untuk tempat peristirahatan atau penginapan atau tempat pertemuan baik diusahakan/diselenggarakan oleh orang pribadi/badan atau oleh pemerintah.
  20. Motel adalah jenis usaha akomodasi yang menyediakan tempat dan fasilitas kamar untuk persinggahan dengan waktu pendek (short time) dengan tidak menyediakan atau menyediakan fasilitas penyediaan makanan dan minuman atau fasilitas lainnya.
  21. Losmen (Home Stay) adalah jenis usaha akomodasi yang mempergunakan sebagian dari rumah tinggal atau bangunan lainnya, yang dipergunakan untuk menginap dengan tidak menyediakan atau menyediakan fasilitas penyediaan makanan dan minuman atau fasilitas lainnya.
  22. Gubuk Pariwisata, Pondok Wisata, Resor Wisata, Hunian Wisata, Cottage, Guest House dan Sejenisnya adalah jenis usaha akomodasi yang dipergunakan untuk menginap dengan tidak menyediakan atau menyediakan fasilitas pelayanan, seperti fasilitas penyediaan makanan dan minuman, fasilitas konvensi atau ruang rapat, fasilitas rekreasi atau hiburan, fasilitas olahraga atau fasilitas lainnya.
  23. Rumah Kos adalah jenis usaha akomodasi yang mempergunakan rumah tinggal atau sebagian rumah tinggal atau bangunan yang dipergunakan untuk kos dengan pembayaran, baik dengan tidak menyediakan atau meyediakan fasilitas seperti rumah penginapan atau hotel atau sejenisnya.
  24. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perpajakan daerah.
  25. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) tahun takwim.
  26. Pajak yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  27. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan yang dimulai dari kegiatan penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan pembayaran pajaknya.
  28. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  29. Surat Pendaftaran Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPOPD adalah surat yang digunakan Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan melaporkan objek pajak atau usahanya ke Dinas Pelayanan Pajak.
  30. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Daerah atau bank atau melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Gubernur.
  31. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
  32. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  33. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
  34. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pajak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
  35. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  36. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  37. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perpajakan daerah tertentu yang terdapat dalam SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan yang terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penerbitannya atau Surat Keputusan Keberatan.
  38. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN atau SKPDLB.
  39. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak yang bersangkutan.
  40. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengelola data, keterangan dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  41. Dasar Pengenaan Pajak yang selanjutnya disingkat DPP adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar atas jasa pelayanan di hotel oleh subjek pajak kepada hotel.
  42. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan jasa sebagai pembayaran kepada pengusaha hotel.
  43. Harga Jual atau Harga Publish/Table Rate adalah nilai berupa uang yang diterima oleh pengusaha hotel setelah dikurangi nilai diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis.
  44. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dan usaha Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan daerah.
  45. Sanksi Administrasi adalah tanggungan atau pembebanan berupa denda, bunga dan kenaikan pajak akibat pelanggaran administrasi perpajakan.
  46. Kekhilafan Wajib Pajak adalah keadaan pada diri Wajib Pajak yang tidak sadar atau lupa atau kondisi tertentu pada diri Wajib Pajak sehingga sulit dalam menentukan pilihan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
  47. Bukan Kesalahan Wajib Pajak adalah keadaan di luar diri Wajib Pajak seperti kesalahan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh fiskus.
  48. Bon Penjualan (Bill) adalah bukti transaksi pembayaran dari Subjek Pajak kepada Wajib Pajak dan berfungsi juga sebagai bukti pungutan pajak atas jasa pelayanan hotel.
  49. Utang Pajak adalah pajak terutang yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  50. Piutang Pajak Daerah adalah jumlah Pajak Daerah yang masih harus ditagih kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang tereantum dalam STPD/SKPD/SKPDKB/SKPDKBT/Surat Keputusan Pembetulan/Surat Keputusan Keberatan/Surat Keputusan Banding/ Surat Keputusan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi.
  51. Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Wajib Pajak atau Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan surat tagihan pajak, surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus dan penagihah dengan surat paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  52. Surat Teguran, Surat Peringatan atau Surat Lain yang Sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajak atau menyampaikan SPTPD.
  53. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
  54. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan.
  55. Sengketa Pajak adalah sengketa ,yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pajak yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang pengadilan pajak dengan surat paksa.
  56. Pengadilan Pajak adalah Badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
  57. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  58. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  59. Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPMKPD adalah dokumen yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai dasar kompensasi utang pajak daerah dan/atau pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak daerah kepada Wajib Pajak.
  60. Kelebihan Pembayaran Pajak Daerah adalah pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang atau pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
  61. Pengembalian Kelebihan Pajak Daerah adalah pengembalian sejumlah kelebihan pembayaran pajak dari pajak yang seharusnya dibayar atau kelebihan pembayaran pajak atas kredit pajak atau pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
  62. Asas Timbal Balik/Reciprositas adalah perlakuan perpajakan yang sama oleh suatu negara terhadap perwakilan negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan atau ratifikasi konvensi Wina 1961.
  63. Cash Management System yang selanjutnya disebut CMS adalah jasa layanan perbankan berbasis sistem informasi yang diberikan bank kepada nasabah yang mencakup kegiatan pengelolaan, pembayaran, penagihan dan likuiditas manajemen sehingga pengelolaan keuangan nasabah menjadi lebih efektif dan efisien.


BAB II
SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK

Pasal 2


(1) Pemungutan Pajak Hotel menggunakan sistem pajak dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (self assessment).
(2) Berdasarkan sistem pajak dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.


BAB III
OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB PAJAK

Bagian Kesatu
Objek Pajak

Pasal 3


(1) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga, hiburan dan persewaan ruangan di hotel yang disewakan oleh pihak hotel.
(2) Termasuk dalam pengertian hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
  1. Motel;
  2. Losmen (Home Stay);
  3. Hostel;
  4. Gubuk Pariwisata, Pondok Wisata, Resor Wisata, Hunian Wisata, Cottage, Guest House dan Sejenisnya;
  5. Wisma Pariwisata termasuk Wisma Pariwisata Remaja;
  6. Pesanggrahan dan sejenisnya;
  7. Rumah Penginapan termasuk Penginapan Remaja dan sejenisnya;
  8. Pelayanan apartemen/kondominium dan sejenisnya yang berdasarkan izin usahanya memberikan pelayanan seperti pelayanan di hotel; dan
  9. Rumah kos yang dimiliki orang pribadi atau badan dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh) baik yang menyatu maupun secara terpisah di wilayah Provinsi DKI Jakarta.
(3) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel.
(4) Fasilitas olahraga atau hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas olahraga atau hiburan yang disediakan dan dikelola oleh hotel untuk tamu hotel, antara lain pusat kebugaran (fitness centre), kolam renang, tenis, squash, billiar, karaoke, diskotik, pub, kafe, bar dan sejenisnya.
(5) Persewaan ruangan di hotel yang disewakan oleh pihak hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
  1. jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, seperti resepsi perkawinan, rapat-rapat, pertemuan dan sejenisnya; dan
  2. persewaan ruangan yang digunakan untuk perkantoran, drug store, salon dan lainnya.
(6) Tidak termasuk Objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :
  1. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
  2. jasa sewa apartemen, kondominium dan sejenisnya yang memberi pelayanan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h;
  3. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
  4. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
  5. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.


Bagian Kedua
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pasal 4


(1) Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.
(2) Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel.


BAB IV
DASAR PENGENAAN, TARIF DAN
CARA PERHITUNGAN PAJAK

Bagian Kesatu
DPP

Pasal 5


(1) DPP adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel.
(2) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan jasa sebagai pembayaran.
(3) Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pembayaran yang diakui dalam pembukuan atau pencatatan sebagai penerimaan hotel.


Bagian Kedua
Tarif

Pasal 6


Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).


Bagian Ketiga
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 7


Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan DPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.


Bagian Keempat
Perlakuan Diskon atau Potongan Harga

Pasal 8


(1) Wajib Pajak dapat memberikan diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenisnya dari harga jual yang berlaku.
(2) Pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
a. diskon tidak berlaku untuk pembayaran service; dan
b. diskon diberlakukan untuk :
1. kamar hotel, meliputi :
a) untuk coorporate (kerja sama dengan biro perjalanan/travel), paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari harga umum yang berlaku dengan dibuktikan surat perjanjian kerja sama antara hotel dengan coorporate; dan
b) untuk di luar coorporate, paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari harga umum yang berlaku dengan dibuktikan invoice pembayaran.
2. food & beverages, paling tinggi 15% (lima belas persen) dari harga jual yang berlaku, apabila pemberian diskon dilakukan bekerja sama dengan pihak ketiga, pihak sponsor (kartu kredit/lembaga keuangan) maka atas pemberian diskon tersebut tetap dikenakan pajak sebagai penggantian pembayaran karena diskon oleh pihak ketiga, pihak sponsor kepada pihak hotel.
(3) Perhitungan DPP atas pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut :
Contoh:
Perhitungan Pajak Hotel atas pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis :
- Harga umum yang berlaku
- Diskon 20%
- Harga jual/harga publish/table rate
- Service 10%
- Pembayaran sebelum pajak
- Pajak Hotel 10%
- Pembayaran setelah pajak
=   Rp 1.000.000,00
=   Rp    200.000,00 -
=   Rp    800.000,00
=   Rp      80.000,00 +
=   Rp    880.000,00
=   Rp      88.000,00 +
=   Rp.   968.000,00


Pasal 9


(1) Wajib Pajak yang memberikan diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis diberlakukan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang memuat:
a. tanggal, bulan, tahun surat permohonan;
b. alasan pemberian diskon/potongan harga atau nama lain yang sejenis;
c. besarnya diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis;
d. masa berlaku diskon; dan
e. dalam hal pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis berdasarkan perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga, perbankan atau lembaga keuangan lainnya (melalui kartu kredit), harus melampirkan :
  1. bukti perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga, perbankan atau lembaga keuangan lainnya; dan
  2. menyebutkan nama pihak ketiga, perbankan atau lembaga keuangan lainnya dan kartu kredit yang digunakan.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat persetujuan atas pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima.
(4) Wajib Pajak yang memberikan diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis, wajib mencatat dalam pembukuan atas setiap transaksi pembayaran pelayanan di hotel.
(5) Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan surat permohonan pemberian diskon atau potongan harga atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atau belum memperoleh persetujuan dari Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD, maka atas setiap transaksi pembayaran pada Wajib Pajak dianggap tidak ada diskon dan pajak dihitung dari jumlah harga umum yang berlaku.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian diskon diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


BAB V
MASA PAJAK DAN SAAT TERUTANG PAJAK

Bagian Kesatu
Masa Pajak

Pasal 10


(1) Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim.
(2) Bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.


Bagian Kedua
Saat Terutang Pajak

Pasal 11


(1) Pajak Hotel yang terutang terjadi pada saat pembayaran kepada pengusaha hotel atas pelayanan di hotel.
(2) Dalam hal pembayaran dilakukan sebelum pelayanan hotel diberikan, pajak terutang pada saat terjadi pembayaran.
(3) Pajak terutang atas Rumah Kos terjadi pada saat pembayaran kepada pemilik Rumah Kos.


BAB VI
PENDAFTARAN DAN PELAPORAN USAHA, PENERBITAN
DAN PENGHAPUSAN NPWPD

Bagian Kesatu
Pendaftaran dan Pelaporan Usaha

Pasal 12


(1) Setiap Wajib Pajak Hotel termasuk Wajib Pajak Rumah Kos wajib mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya dengan menggunakan SPOPD ke Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD sesuai dengan tempat kedudukan usaha Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum beroperasinya usaha.
(2) SPOPD dapat diambil pada Kantor Dinas Pelayanan Pajak atau Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD atau tempat lain yang ditunjuk atau mengunduhnya/download pada website http://dpp.jakarta.go.id/.
(3) SPOPD harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(4) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan melampirkan paling kurang :
a. Hotel dan sejenisnya :
  1. fotokopi identitas diri (KTP, SIM, Paspor) untuk Wajib Pajak perorangan atau Direktur Utama untuk Wajib Pajak berupa badan;
  2. fotokopi akte pendirian atau perubahannya;
  3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
  4. fotokopi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
  5. fotokopi surat keterangan domisili usaha;
  6. fotokopi Surat Izin Usaha (SIUP); dan
  7. fotokopi surat izin usaha hotel dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan atau Kementerian Kepariwisataan dan Ekonomi Kreatif.
b. Rumah kos, sekurang-kurangnya melampirkan :
  1. fotokopi identitas diri (KTP, SIM, Paspor) Pemilik;
  2. fotokopi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
  3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bila ada;
  4. fotokopi akte pendirian atau perubahannya bagi rumah kos yang dimiliki dalam bentuk badan hukum;
  5. fotokopi surat keterangan domisili usaha untuk rumah kos badan hukum; dan
  6. fotokopi izin rumah kos dari Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Daerah bila ada.


Pasal 13


Pendaftaran dan pelaporan usaha hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), diatur kewenangan sebagai berikut :
a. Suku Dinas Pelayanan Pajak, untuk usaha hotel:
  1. Bintang 5 ke atas;
  2. Bintang 4;
  3. Bintang 3; dan
  4. Apartemen, kondominium dan sejenisnya yang berdasarkan izin usahanya, seperti pelayanan di hotel.
b. UPPD, untuk usaha hotel:
  1. Bintang 2;
  2. Bintang 1;
  3. Melati dan sejenisnya; dan
  4. Rumah kos.


Bagian Kedua
Penerbitan NPWPD

Pasal 14


(1) Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), diberikan NPWPD dan Surat Keputusan Pengukuhan sebagai Wajib Pajak Daerah.
(2) Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan dan tidak melaporkan usahanya, diterbitkan NPWPD secara jabatan dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
(3) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), besarannya diatur sebagai berikut :
a. Sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk :
  1. Hotel Bintang 5 ke atas;
  2. Hotel Bintang 4;
  3. Hotel Bintang 3; dan
  4. Apartemen, kondominium dan sejenisnya yang berdasarkan izin usahanya, seperti pelayanan di hotel.
b. Sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk :
  1. Hotel Bintang 2;
  2. Hotel Bintang 1;
  3. Hotel Melati;
  4. Motel;
  5. Losmen (Home stay);
  6. Hostel;
  7. Gubuk Pariwisata, Pondok Wisata, Resor Wisata, Hunian Wisata, Cottage, Guest House dan Sejenisnya;
  8. Wisma Pariwisata termasuk Wisma Pariwisata Remaja;
  9. Pesanggrahan dan sejenisnya; dan
  10. Rumah Penginapan termasuk Penginapan Remaja dan sejenisnya.
c. Sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Rumah kos.
(4) Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditagih dengan STPD.
(5) Penerbitan NPWPD secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disertai dengan pemeriksaan untuk masa pajak atau tahun pajak yang tidak didaftarkan.
(6) Penerbitan NPWPD secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diusulkan oleh Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk diterbitkan NPWPD secara jabatan dan Surat Keputusan Pengukuhan sebagai Wajib Pajak Daerah.
(7) Penerbitan NPWPD secara jabatan dan keputusan pengukuhan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) NPWPD dan Surat Keputusan Pengukuhan setelah ditandatangani oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak melalui Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD.
(9) Berdasarkan penerbitan NPWPD secara jabatan dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD menerbitkan SKPDKB.
(10) NPWPD secara jabatan dan Surat Keputusan Pengukuhan, STPD dan SKPDKB disampaikan kepada Wajib Pajak oleh Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD.


Bagian Ketiga
Penghapusan NPWPD

Pasal 15


(1) Wajib Pajak yang menghentikan atau menutup usahanya, mengajukan permohonan penghapusan NPWPD secara tertulis disertai dengan alasan dan diajukan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD.
(2) Surat permohonan penghapusan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling kurang dilampirkan :
  1. SSPD dan SPTPD untuk masa pajak sebelum dihentikan atau ditutup usahanya;
  2. rekapitulasi penggunaan bon penjualan (bill) atau struk atau dokumen lainnya yang berhubungan dengan objek pajak untuk masa pajak sebelum dihentikan atau ditutup usahanya;
  3. rekapitulasi penerimaan pajak untuk masa pajak sampai dengan penghentian atau penutupan usaha;
  4. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan tidak memiliki utang pajak tahun sebelumnya atau sampai dengan berhenti/tutup usaha;
  5. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bersedia untuk dilakukan pemeriksaan dalam rangka penghapusan NPWPD; dan
  6. keputusan pailit bila ada.
(3) Terhadap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penghapusan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pemeriksaan untuk menetapkan jumlah pajak terutang sebelum diterbitkannya keputusan penghapusan NPWPD.
(4) Jumlah pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib dibayar oleh Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD mengusulkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk pencabutan NPWPD.
(6) Surat usulan pencabutan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), paling kurang dilampirkan :
  1. surat permohonan pencabutan NPWPD dari Wajib Pajak atau kuasanya;
  2. SKPD hasil pemeriksaan dalam rangka pencabutan NPWPD; dan
  3. bukti pembayaran pajak terutang sebagaimana dimaksud pada huruf b.
(7) Berdasarkan surat usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Kepala Dinas Pelayanan Pajak memproses dan menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan NPWPD.
(8) Surat Keputusan Pencabutan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (7), disampaikan kepada Wajib Pajak melalui Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD.


Pasal 16


(1) Terhadap Wajib Pajak yang tutup usahanya dan masih memiliki utang pajak, dilakukan penagihan 'pajak dengan surat paksa sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Persyaratan dan tata cara pendaftaran, penerbitan NPWPD, NPWPD secara jabatan dan pencabutan NPWPD ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


BAB VII
SPTPD

Bagian Kesatu
Penyampaian SPTPD

Pasal 17


(1) Wajib Pajak wajib melaporkan pajak yang terutang dalam masa pajak atau tahun pajak dengan menggunakan SPTPD ke Kantor Suku, Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD atau tempat lain yang ditunjuk seperti Gerai Pajak.
(2) SPTPD dapat diambil sendiri oleh Wajib Pajak di Kantor Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD atau tempat lain yang ditunjuk atau dapat mengunduhnya/download pada website http://dpp.jakarta.go.id/.
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(4) SPTPD disampaikan dalam jangka waktu paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya dan apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib dilampirkan dokumen atau keterangan yang menjadi dasar perhitungan pajak terutang, berupa :
  1. rekapitulasi penerimaan bulanan untuk masa pajak yang bersangkutan;
  2. rekapitulasi penggunaan bon penjualan (bill) atau struk/invoice pembayaran; dan
  3. bukti setoran pajak (tindasan SSPD).
(6) SPTPD dianggap tidak disampaikan apabila SPTPD tidak ditandaiangani oleh Wajib Pajak atau. Penanggung Pajak dan/atau tidak melampirkan dokumen atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Kewajiban melampirkan dokumen atau keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf b, dikecualikan bagi Wajib Pajak yang dilakukan online system dengan sistem yang dimiliki oleh Dinas Pelayanan Pajak.
(8) Terhadap Wajib Pajak Rumah kos penyampaian SPTPD dengan melampirkan :
  1. laporan rekapitulasi pemakaian kamar kos; dan
  2. bukti setoran pajak (tindasan SSPD).


Pasal 18


(1) Berdasarkan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD harus melakukan penelitian dan verifikasi SPTPD beserta lampirannya.
(2) Penelitian dan verifikasi SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan :
  1. meneliti dan memverifikasi antara nilai DPP dengan rekapitulasi penerimaan bulanan;
  2. meneliti perhitungan nilai DPP dengan Tarif Pajak;
  3. meneliti dan memverifikasi jumlah pajak yang telah dibayar dalam SPTPD dengan SSPD pada masa pajak bersangkutan;
  4. meneliti dan memverifikasi sanksi administrasi dalam SPTPD dengan SSPD masa pajak bersangkutan; dan
  5. meneliti rekapitulasi penggunaan bon penjualan (bill).
(3) Hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam Formulir Hasil Penelitian SPTPD sebagaimana tercantum dalam Format 1 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
(4) Apabila hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakibat terdapat selisih pajak kurang bayar, maka atas selisih pajak kurang bayar tersebut ditagih dengan menerbitkan STPD.


Bagian Kedua
Perpanjangan atau Penundaan Penyampaian SPTPD

Pasal 19


(1) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang atau menunda penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuat secara tertulis yang disertai dengan alasan yang jelas, diberi tanggal dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4).
(4) Permohonan perpanjangan atau penundaan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus melampirkan :
  1. bukti pembayaran (SSPD) masa pajak yang bersangkutan; dan
  2. perhitungan sementara pajak terutang yang telah dibayar yang dibuat pada lembar kertas tersendiri dan ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
(5) Dalam hal perpanjangan atau penundaan penyampaian SPTPD yang mengakibatkan jumlah pajak terutang lebih besar dari jumlah pajak yang telah dibayar sebelumnya, maka atas selisih pajak terutang yang kurang dibayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.
(6) Pembayaran pajak terutang yang kurang dibayar berikut sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dengan menggunakan SSPD dan penyampaian SSPD dilakukan bersamaan dengan penyampaian SPTPD perpanjangan atau penundaan.
(7) Penyampaian SPTPD perpanjangan atau penundaan, wajib dilampirkan :
  1. rekapitulasi penerimaan bulanan untuk masa pajak yang bersangkutan;
  2. rekapitulasi penggunaan bon penjualan (bill) atau struk untuk masa pajak yang bersangkutan; dan
  3. bukti setoran pajak (tindasan SSPD) karena perpanjangan atau penundaan SPTPD.
(8) Berdasarkan permohonan perpanjangan atau penundaan SPTPD, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD mengeluarkan surat persetujuan.
(9) Bentuk Surat Permohonan Perpanjangan atau Penundaan SPTPD dan Surat Persetujuan Perpanjangan atau Penundaan SPTPD sebagaimana tercantum dalam Format 2 dan Format 3 Lampiran Peraturan Gubernur ini.

 

Bagian Ketiga
Pembetulan SPTPD

Pasal 20


(1) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan kemauan sendiri dapal membetulkan SPTPD yang telah disampaikan, dengan menyampaikan surat pernyataan tertulis kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD.
(2) Pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak sepanjang Dinas Pelayanan Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak membetulkan sendiri SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang mengakibatkan jumlah pajak terutang lebih besar dari jumlah pajak yang telah dibayar sebelumnya, maka atas selisih pajak terutang yang kurang dibayar tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, yang dihitung sejak saat berakhirnya penyampaian SPTPD sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPTPD.
(4) Surat pernyataan tertulis pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus melampirkan :
  1. bukti setoran SSPD sebelumnya;
  2. bukti setoran SSPD berikut sanksi administrasi berupa bunga karena pembetulan SPTPD;
  3. bukti SPTPD yang telah disampaikan sebelumnya;
  4. bukti SPTPD karena pembetulan;
  5. rekapitulasi penerimaan bulanan untuk masa pajak atau tahun pajak karena pembetulan SPTPD;dan
  6. rekapitulasi penggunaan bon penjualan (bill) atau struk/invoice untuk masa pajak atau tahun pajak karena pembetulan SPTPD kecuali untuk online system.
(5) Hak Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan gugur, apabila pembetulan SPTPD telah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak atau tahun pajak, atau telah dilakukan pemeriksaan oleh Dinas Pelayanan Pajak.
(6) Apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak telah melakukan pembayaran pajak beserta sanksi administrasi berupa bunga yang telah melampaui jangka waktu atau telah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), maka pajak terutang yang telah dibayar dalam SPTPD Pembetulan akan diperhitungkan kemudian sebagai pengurang dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar dalam surat ketetapan pajak.
(7) Surat pernyataan tertulis pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan masa pajak yang dilakukan pembetulan SPTPD dan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk masing-masing masa pajak yang dilakukan pembetulan.
(8) Bentuk Surat Pernyataan Pembetulan SPTPD sebagaimana tercantum dalam Format 4 Lampiran Peraturan Gubernur ini.


BAB VIII
PENETAPAN

Pasal 21


(1) Setiap Wajib Pajak Hotel wajib menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD.
(2) Pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh pembayaran atas pelayanan di hotel yang menjadi dasar pengenaan pajak.


Pasal 22


(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD, dapat menerbitkan :
a. SKPDKB dalam hal :
  1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. apabila SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dalam jangka waktu paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan dalam waktu yang ditentukan dalam surat teguran; atau
  3. apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
b. SKPDKBT, apabila ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang; atau
c. SKPDN, apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(3) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pojok pajak, ditambah, sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
(4) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(5) Kenaikan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.


Pasal 23


(1) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a adalah pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan program kegiatan pemeriksaan oleh Dinas Pelayanan Pajak dalam rangka menguji kepatuhan Wajib Pajak atau tujuan lain.
(2) Keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a adalah keterangan lain yang dapat berasal dari Dinas Pelayanan Pajak atau pihak lain atau hasil verifikasi yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 24


(1) Berdasarkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) atau berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (2), berupa temuan pemeriksaan (koreksi pajak/fiskal) yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terjadi dalam hal:
  1. pembukuan atau pencatatan diselenggarakan dengan benar atau lengkap tetapi pajak yang terutang tidak dibayar atau kurang dibayar;
  2. Wajib Pajak Rumah Kos yang dimiliki oleh orang pribadi tidak memiliki pencatatan; atau
  3. berdasarkan hasil verifikasi SSPD dengan SPTPD dalam masa pajak.
(3) Pajak yang kurang atau terlambat dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2).


Pasal 25


(1) SKPDKB dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a angka 2 dan Pasal 22 ayat (2), diatur sebagai berikut apabila :
  1. SPTPD beserta lampirannya tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam surat teguran pertama atau surat teguran kedua; atau
  2. SPTPD beserta lampirannya disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam surat teguran ketiga;
(2) Penyampaian surat teguran kepada Wajib Pajak dilakukan paling banyak 3 (tiga) surat teguran.
(3) Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memiliki jangka waktu 7 (tujuh) hari, yang dihitung sejak diterimanya surat teguran oleh Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak.
(4) Penyerahan surat teguran kepada Wajib Pajak dilakukan paling lama 3 (tiga) hari sejak ditandatangani surat teguran dan penyerahan surat teguran disertai dengan bukti tanda terima penyerahan surat teguran.


Pasal 26


(1) Wajib Pajak yang menyampaikan SPTPD beserta lampirannya dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam surat teguran pertama, tidak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% (duapersen) sebulan.
(2) Terhadap Wajib Pajak yang menyampaikan SPTPD beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat keterangan bahwa penyampaian SPTPD dimaksud tidak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga.
(3) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dilengkapi dengan bukti surat teguran dan SPTPD beserta lampirannya.
(4) Bentuk Surat Keterangan Penyampaian SPTPD Tidak Dikenakan Sanksi Administrasi Berupa Bunga sebagaimana tercantum dalam Format 5 Lampiran Peraturan Gubernur Ini.


Pasal 27


(1) SKPDKB dengan pajak terutang yang dihitung secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a angka 3 dan Pasal 22 ayat (3), apabila :
  1. SPTPD beserta lampirannya sama sekali tidak disampaikan; atau
  2. SPTPD beserta lampirannya disampaikan tetapi diisi tidak benar/tidak lengkap.
(2) SPTPD beserta lampirannya yang sama sekali tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terjadi apabila setelah disampaikan surat teguran paling banyak 3 (tiga) kali,Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD.
(3) SPTPD disampaikan tetapi diisi tidak benar/tidak lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terjadi apabila :
  1. Data transaksi yang menjadi dasar pengenaan pajak dalam isian SPTPD yang disampaikan tidak benar atau lampiran keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) dan ayat (8) tidak benar; atau
  2. Data isian SPTPD yang disampaikan diisi lidak lengkap atau tidak dilengkapi dengan lampiran keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) dan ayat (8), sehingga tidak diketahui DPP yang sebenarnya.
(4) DPP yang tidak benar/tidak lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat disebabkan karena:
  1. Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan atas transaksi/omzet usahanya; atau
  2. Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tetapi tidak benar dan/atau tidak lengkap.


Pasal 28


(1) Penerbitan SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b dan Pasal 22 ayat (4), dilakukan melalui pemeriksaan dan sebelumnya kepada Wajib Pajak telah diterbitkan SKPDKB.
(2) SKPDKBT tidak diterbitkan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri novum baru sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(3) Terhadap pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan novum baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan novum baru untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.


Pasal 29


SKPDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf C, dapat diterbitkan apabila :
  1. Wajib Pajak memiliki pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi Indonesia;
  2. Pembukuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, telah diaudit oleh Akuntan Publik yang memiliki sertifikasi dari instansi yang berwenang; atau
  3. Pembukuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, telah dilakukan pengujian oleh Dinas Pelayanan Pajak.


BAB IX
PEMBAYARAN

Bagian Kesatu
Pembayaran Pajak

Pasal 30


(1) Pembayaran pajak yang terutang dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya dengan menggunakan SSPD.
(2) Apabila batas waktu pembayaran jatuh pada hari libur maka batas waktu pembayaran jatuh pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
(3) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pada Kantor Unit Perbendaharaan dan Kas Daerah BPKD atau Bank yang ditunjuk oleh Gubernur.
(4) Apabila pembayaran pajak terutang dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga keterlambatan bayar sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.


Pasal 31


(1) Pajak yang terutang dalam SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkan.
(2) SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.


Bagian Kedua
Tanggung Jawab Renteng

Pasal 32


(1) Terhadap usaha hotel yang dimiliki atau ditanggung oleh beberapa orang atau badan, maka kepada masing-masing orang atau pengurus badan, dianggap sebagai Wajib Pajak dan bertanggungjawab renteng atas pembayaran Pajak Hotel.
(2) Pemilik Hotel ikut bertanggung jawab terhadap kewajiban pembayaran Pajak Hotel atas pelayanan penyelenggaraan yang menjadi Objek Pajak Hotel oleh pihak lain di hotel, apabila pihak lain tersebut tidak memenuhi kewajiban pembayaran Pajak Hotel.


Bagian Ketiga
Hubungan Istimewa

Pasal 33


(1) Dalam hal pembayaran Pajak Hotel oleh Subjek Pajak atau Pengunjung dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau harga penggantian yang berlaku adalah harga jual atau harga penggantian yang berlaku untuk umum.
(2) Dianggap memiliki hubungan istimewa, apabila :
  1. Orang pribadi seperti pegawai hotel atau pengurus dari badan hukum pemilik atau yang menguasai hotel, baik langsung maupun tidak langsung memiliki hubungan dan berada di bawah kepemilikan atau penguasaan hotel; atau
  2. Orang pribadi atau badan hukum yang penyertaan modalnya paling kurang 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal usaha hotel yang bersangkutan.


BAB X
KEWAJIBAN PENGGUNAAN BON PENJUALAN (BILL)

Bagian Kesatu
Penggunaan Bon Penjualan (Bill)

Pasal 34


(1) Wajib Pajak wajib menggunakan bon penjualan (bill) untuk setiap transaksi pelayanan di hotel yang dilegalisasi/diperporasi oleh Dinas Pelayanan Pajak, kecuali ditetapkan lain dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(2) Bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus menggambarkan terjadinya transaksi pembayaran atas pelayanan di hotel yang menjadi dasar pajak terutang.
(3) Terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan menggunakan bon penjualan (bill) dan melegalisasi/perporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi tidak menggunakan bon penjualan (bill) dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) sebulan dari pajak yang terutang untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan terhadap penggunaan bon penjualan (bill) yang tidak diperporasi dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari pajak yang terutang dalam setiap bon penjualan (bill).
(4) Bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling kurang terdiri dari 3 (tiga) rangkap:
  1. lembar kesatu, untuk Subjek Pajak atau tamu hotel;
  2. lembar kedua, untuk Dinas Pelayanan Pajak; dan
  3. lembar ketiga, untuk Wajib Pajak.
(5) Bon penjualan (bill) paling kurang memuat :
  1. nama dan alamat hotel atau sejenisnya;
  2. tanda atau logo hotel;
  3. seri menurut alphabet (huruf), yang dibuat secara berurutan dan dimulai dari huruf awal "A"; dan
  4. nomor bon penjualan (bill) yang dibuat secara berurutan dimulai dari "00001" sampai dengan nomor "10.000".


Bagian Kedua
Legalisasi/Perporasi Bon Penjualan (Bill)

Pasal 35


(1) Legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dilakukan dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dengan melengkapi persyaratan paling kurang sebagai berikut :
  1. surat izin usaha dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan;
  2. daftar bon penjualan (bill) yang akan dilegalisasi/perporasi;dan
  3. membawa bon penjualan (bill) yang akan dilegalisasi/perporasi.
(2) Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD wajib mengadministrasikan setiap permohonan legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) dari Wajib Pajak.


Pasal 36


(1) Untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dalam rangka percepatan pelayanan pembayaran. di hotel, maka kewajiban legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dapat dikecualikan atau dibebaskan dengan mengajukan permohonan secara tertulis yang disertai dengan alasan yang jelas, kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. permohonan diajukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum usaha beroperasi atau sebelum penggunaan peralatan komputer atau mesin kas register;
b. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan bahwa :
  1. Wajib Pajak tetap menyelenggarakan pembukuan; dan
  2. Wajib Pajak bersedia untuk disambungkan (online) dengan sistem informasi yang dimiliki oleh Dinas Pelayanan Pajak sesuai dengan peraturan perpajakan daerah yang berlaku.
c. identitas diri Wajib Pajak;
d. surat izin usaha hotel dan sejenisnya dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan;
e. Wajib Pajak menyebutkan spesifikasi dan sistem atau mesin transaksi pembayaran meliputi jenis, tipe, tahun pembuatan, wajib menyimpan memory data transaksi paling kurang 5 (lima) tahun; dan
f. mekanisme kerja Sistem Pengendali Internal.
(3) Berdasarkan permohonan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Dinas Pelayanan Pajak menerbitkan surat pemberian pembebasan dari kewajiban legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan Wajib Pajak.
(4) Apabila setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan surat pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Dinas Pelayanan Pajak belum menerbitkan surat pembebasan, maka permohonan pembebasan legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat menggunakan bon penjualan (bill) yang tidak dilegalisasi/perporasi.


Pasal 37


(1) Wajib Pajak yang telah diberikan surat pembebasan dari kewajiban legaliasasi/perporasi bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dalam setiap transaksi tetap menggunakan bukti transaksi penjualan.
(2) Wajib Pajak wajib melaporkan adanya kerusakan sistem komputer atau mesin transaksi pembayaran apabila terjadi kerusakan atas sistem komputer atau mesin transaksi pembayaran kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung pada saat terjadinya kerusakan.
(3) Selama terjadinya kerusakan mesin transaksi Wajib Pajak wajib melaporkan bukti transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Apabila Wajib Pajak tidak melaporkan atau terlambat melaporkan, Kepala Dinas Pelayanan Pajak berdasarkan usulan Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dapat mencabut surat pemberian pembebasan dari kewajiban melegalisasi bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3).
(5) Dalam hal surat pemberian pembebasan dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka Wajib Pajak wajib menggunakan bon penjualan (bill) yang dilegalisasi/diperporasi.
(6) Terhadap surat pembebasan yang telah dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diberikan surat pembebasan kembali, berdasarkan hasil evaluasi pemenuhan kewajiban Pajak Hotel oleh Dinas Pelayanan Pajak.
(7) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan paling kurang 1 (satu) tahun sejak tanggal surat pencabutan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan permohonan dan tata cara pemberian pembebasan dan pencabutan dari kewajiban legalisasi/perporasi bon penjualan (bill) diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 38


(1) Wajib Pajak yang mendapat pembebasan dari kewajiban legalisasi/perporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3), diwajibkan membuat rekapitulasi transaksi pembayaran dari sistem komputerisasi atau mesin kas register secara urut dan teratur sebagai lampiran pada penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) huruf b.
(2) Kewajiban melampirkan rekapitulasi transaksi pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan apabila Wajib Pajak telah dilakukan online system sesuai dengan Peraturan Daerah.


Pasal 39


(1) Wajib Pajak rumah kos dikecualikan dari kewajiban penggunaan bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, tetapi tetap diwajibkan untuk membuat rekapitulasi pemakaian kamar kos.
(2) Rekapitulasi pemakaian kamar kos sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilampirkan pada saat penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) huruf b.


BAB XI
ON LINE SYSTEM

Pasal 40


(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan pembayaran Pajak Hotel, Kepala Dinas Pelayanan Pajak berwenang meng-online-kan data transaksi pada mesin kas register atau mesin elektronik lainnya yang dimiliki Wajib Pajak dengan sistem teknologi informasi Dinas Pelayanan Pajak.
(2) Terhadap Wajib Pajak Hotel yang di-online-kan ke dalam sistem teknologi informasi Dinas Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan dari :
  1. kewajiban menyampaikan lampiran pada SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5); dan
  2. kewajiban legalisasi/perporasi bon penjualan (bill).
(3) Terhadap Wajib Pajak Hotel kecuali Rumah Kos yang tidak bersedia di-online-kan atau berusaha menghindari online system secara Cash Management System (CMS) dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha hotel dan sanksi berupa denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) setiap bulan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan online system diatur dengan Peraturan Gubernur tersendiri.


BAB XII
PENAGIHAN

Bagian Kesatu
STPD

Pasal 41


(1) Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dapat menerbitkan STPD apabila :
  1. Pajak Hotel dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
  2. dari hasil penelitian SPTPD, terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung; atau
  3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk jangka waktu paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
(3) Surat Ketetapan Pajak Daerah yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD.
(4) Penerbitan STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan paling lama 5 (lima) hari setelah berakhirnya jatuh tempo pembayaran.
(5) Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal berakhirnya penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4).
(6) STPD memiliki jangka waktu 7 (tujuh) hari.


Pasal 42


(1) Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak yang terutang dalam SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding/Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang tidak atau kurang dibayar setelah tanggal Jatuh tempo pembayaran.
(2) Penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis dari Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD.
(3) Surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis, paling kurang memuat :
  1. nama Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  2. besarnya utang pajak;
  3. perintah untuk membayar; dan
  4. jangka waktu pelunasan utang pajak.
(4) Penerbitan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak paling lama 7 (tujuh) hari setelah berakhirnya tanggal jatuh tempo pembayaran yang tercantum dalam SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan dan Surat Keputusan Keberatan;
  2. surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya Putusan Banding dari Pengadilan Pajak;
  3. surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis memuat jumlah pajak yang terutang dan sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung sejak berakhirnya jangka waktu jatuh tempo pembayaran dalam SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding; dan
  4. penyampaian surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak disertai dengan bukti tanda terima.
(5) Apabila Wajib Pajak belum memenuhi kewajiban Pajak Hotel yang terutang setelah disampaikan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka penagihan pajak ditindaklanjuti dengan Surat Paksa.


Pasal 43


(1) Dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Pelayanan Pajak dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum sebelum diterbitkannya surat paksa.
(2) Pelaksanaan penagihan melalui bantuan aparat penegak hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan surat kuasa khusus dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD.
(3) Tata cara pelaksanaan penagihan dengan bantuan penegak hukum didasarkan pada Kerja Sama Penagihan Pajak antara Kepala Dinas Pelayanan Pajak atas nama Gubernur dengan Pihak Aparat Penegak Hukum.


Bagian Kedua
Surat Paksa

Pasal 44


Penagihan seketika dan sekaligus dan penagihan pajak dengan surat paksa dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan


Bagian Ketiga
Hak Mendahulu


Pasal 45


(1) Daerah mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Wajib Pajak atau Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
(2) Ketentuan hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa kenaikan, bunga, denda dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali :
  1. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
  2. biaya yang dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
  3. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan; atau
  4. hak lain yang ditetapkan oleh Gubernur.
(4) Hak mendahulu itu hilang setelah lampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbilkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut, surat paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi atau diberikan penundaan pembayaran.
(5) Dalam hal surat paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan surat paksa atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran, jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran.


BAB XIII
KEDALUWARSA PENAGIHAN

Pasal 46


(1) Hak untuk melakukan penagihan Pajak Hotel menjadi kedaluwarsa setelah melampui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tertangguh apabila :
  1. diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa; atau
  2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(3) Dalam hal diterbitkan surat teguran dan surat paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut.
(4) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(5) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
(6) Dalam hal adanya pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat pernyataan Wajib Pajak mempunyai utang pajak.
(7) Dalam hal adanya pengakuan utang pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).


Pasal 47


(1) Gubernur dapat menghapuskan piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa.
(2) Penghapusan piutang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. penghapusan piutang Pajak Hotel sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan nilai sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan Keputusan Gubernur tanpa persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD); dan
  2. penghapusan piutang Pajak Hotel sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan nilai di atas Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dengan Keputusan Gubernur setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB XIV
KEBERATAN DAN BANDING

Bagian Kesatu
Keberatan

Paragraf 1
Persyaratan Permohonan

Pasal 48


(1) Wajib Pajak Hotel dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD atas suatu :
  1. SKPDKB;
  2. SKPDKBT;
  3. SKPDLB; dan
  4. SKPDN.
(2) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan formal sebagai berikut :
a. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai alasan yang jelas, dengan menggunakan kop surat kecuali untuk Wajib Pajak Rumah Kos dan ditandatangani oleh Wajib Pajak, diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau badan hukum memberi kuasa harus dilengkapi dengan surat kuasa bermeterai cukup;
  2. identitas Wajib Pajak atau kuasanya;
  3. surat ketetapan pajak yang dimohonkan keberatannya;
  4. fotokopi bukti pembayaran pajak (SSPD);
  5. fotokopi SPTPD;
  6. melampirkan fotokopi akta pendirian/perubahan dalam hal Wajib Pajak berupa badan; dan
  7. melampirkan susunan direksi/organisasi bila Wajib Pajak berupa badan hukum memberi kuasa.
b. keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
c. keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak berdasarkan perhitungan pajak terutang menurut Wajib Pajak yang dinyatakan dengan menggunakan surat pernyataan kesanggupan di atas meterai cukup.
(3) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(4) Terhadap surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijawab dengan surat biasa dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat keberatan.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dalam pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Permohonan keberatan diajukan per satu surat permohonan keberatan untuk satu surat ketetapan pajak, dengan tanda bukti penerimaan masing-masing permohonan surat keberatan.
(7) Dalam hal permohonan keberatan melalui pos tercatat maka tanda bukti penerimaan surat keberatan yang diterima oleh Dinas Pelayanan Pajak atau Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD dari pos sebagai tanggal bukti penerimaan surat keberatan.


Paragraf 2
Kewenangan Penyelesaian Keberatan

Pasal 49


(1) Pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), diatur dengan kewenangan penyelesaian keberatan, sebagai berikut :
  1. Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk keberatan dengan jumlah ketetapan pajak (pokok pajak berikut sanksi administrasi) di atas Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Surat Ketetapan Pajak;
  2. Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak untuk keberatan dengan jumlah ketetapan pajak (pokok pajak berikut sanksi administrasi) di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per Surat Ketetapan Pajak; dan
  3. Kepala UPPD untuk keberatan dengan jumlah ketetapan pajak (pokok pajak berikut sanksi administrasi) sampai dengan Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) per Surat Ketetapan Pajak.
(2) Batas kewenangan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dengan Keputusan Gubernur berdasarkan usulan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Paragraf 3
Keputusan Keberatan

Pasal 50


(1) Berdasarkan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49, Dinas Pelayanan Pajak atau Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD, memproses permohonan keberatan pajak dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. melakukan penelitian persyaratan permohonan keberatan pajak dari Wajib Pajak dengan menggunakan Formulir Penelitian Persyaratan Permohonan Keberatan Pajak Hotel sebagaimana tercantum dalam Format 6 Lampiran Peraturan Gubernur ini;
  2. menerbitkan surat penolakan yang disertai dengan alasan penolakan, apabila permohonan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2);
  3. memproses keberatan apabila persyaratan permohonan telah terpenuhi;
  4. dalam hal pada proses keberatan memerlukan dokumen atau bukti pendukung/pelengkap keberatan, maka dibuat surat permintaan dokumen atau bukti dimaksud sampai dianggap cukup untuk proses keberatan;
  5. dalam hal tertentu penyelesaian kcberatan dapat dilakukan melalui rapat Tim Keberatan yang bertugas memberikan pertimbangan dan saran untuk diambil suatu keputusan;
  6. Tim Keberatan sebagaimana dimaksud pada huruf e, dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak; dan
  7. jangka waktu penyelesaian keberatan tidak melampaui waktu 12 (dua belas) bulan.
(2) Dalam hal adanya permintaan atas dokumen atau bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan keberatan dari Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan dokumen atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan, sebagai dasar proses penyelesaian keberatan.
(4) Jangka waktu 12 (dua belas) bulan dihitung sejak seluruh dokumen atau bukti yang harus dilengkapi oleh Wajib Pajak terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal permohonan keberatan yang tidak atau kurang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan Pasal 48 ayat (2) huruf b dan ayat (4), Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan sepanjang masih dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b.


Pasal 51


(1) Dalam Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan keberatan diterima Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk, harus memberi jawaban atas permohonan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak atau kuasanya, yang dituangkan dalam surat keputusan keberatan.
(2) Surat keputusan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),dapat berupa :
  1. menerima seluruhnya;
  2. menerima sebagian;
  3. menolak; atau
  4. menambah besarnya pajak terutang.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui dan Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan keputusan, maka permohonan keberatan dianggap dikabulkan.
(4) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan surat keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan dan ditagih dengan STPD.
(5) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding pada Pengadilan Pajak, maka sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (4),tidak dikenakan.
(6) STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak diterbitkan apabila Wajib Pajak yang mengajukan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (5), terlebih dahulu telah memberitahukan secara tertulis dengan meterai cukup paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat keputusan keberatan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD.
(7) Wajib Pajak yang mengajukan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (6), harus, menyampaikan bukti tanda terima pendaftaran banding dari Pengadilan Pajak sebagai bukti pendukung surat pemberitahuan dimaksud.
(8) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan tanda bukti pendaftaran banding sebagaimana dimaksud pada ayat (7), atas sanksi denda sebesar 50% (lima puluh persen) tetap ditagih dengan STPD.


Pasal 52


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan, diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Bagian Kedua
Banding

Pasal 53


Permohonan, persyaratan, tata cara dan pelaksanaan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XV
PEMBUKUAN

Pasal 54


(1) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun, wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia atau prinsip pembukuan yang berlaku secara umum.
(2) Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet di bawah Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun, dapat dibebaskan dari kewajiban pembukuan, akan tetapi tetap diwajibkan menyelenggarakan pencatatan nilai peredaran usaha yang menjadi dasar penghitungan pajak.
(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara teratur setiap hari berdasarkan tanggal, jenis transaksi dan nilai transaksi sesuai dengan penggunaan bon penjualan (bill) atau struk/mesin register.
(4) Untuk Wajib Pajak Rumah Kos, pencatatan dibuat secara teratur setiap bulan sesuai dengan pemakaian kamar.


Pasal 55


(1) Pembukuan atau pencatatan harus mencerminkan kegiatan usaha yang sebenarnya dengan menggunakan satuan mata uang rupiah.
(2) Pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, seperti bon penjualan (bill) atau struk/mesin register merupakan dasar perhitungan pajak terutang wajib disimpan selama 5 (lima) tahun.


BAB XVI
PEMERIKSAAN

Pasal 56


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk, berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel.
(2) Wajib Pajak yang diperiksa wajib :
  1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha sebagai dasar penghitungan jumlah pajak terutang;
  2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu serta memberi bantuan kepada petugas pemeriksa guna kelancaran pemeriksaan;
  3. memberi kesempatan kepada petugas untuk melakukan pemeriksaan kas (kas opname) dan stock opname atas ketersediaan dan penggunaan bon penjualan (bill), jika tidak mendapatkan pembebasan/pengecualian atas penggunaan bon penjualan (bill);
  4. dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan menggunakan proses pengolahan data secara elektronik baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan melalui pihak lain, harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengunduh/download data yang berkaitan dengan objek pemeriksaan; dan
  5. memberikan keterangan lain yang diperlukan secara lengkap dan jelas.
(3) Dalam hal pemeriksa mengalami kesulitan pada saat pemeriksaan untuk menghitung jumlah pajak terutang, karena Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka pajak dapat dihitung secara jabatan.
(4) Apabila Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan yang berkaitan dengan pembukuan, pencatatan atau dokumen serta keterangan yang diminta oleh pemeriksa, maka untuk kepentingan pemeriksaan kewajiban tersebut ditiadakan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa memberi kuasa untuk memenuhi ketentuan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka pemberian kuasa harus dengan surat kuasa bermeterai cukup yang ditandatangani oleh Wajib Pajak.


Pasal 57


(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), dilakukan dalam hal:
  1. pelaksanaan program pemeriksaan yang dilakukan oleh Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk;
  2. berdasarkan keterangan lain terdapat pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
  3. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD setelah ditegur secara tertulis dan/atau kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a angka 2 dan angka 3.
(2) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), meliputi :
  1. pemeriksaan dalam rangka permohonan kelebihan pembayaran Pajak Daerah;
  2. pemeriksaan dalam rangka permohonan keberatan pajak atas dasar perhitungan pajak terutang menurut Wajib Pajak;
  3. pemeriksaan dalam rangka penerbitan NPWPD secara jabatan yang usahanya telah beroperasi lebih dari 1 (satu) tahun sejak tanggal izin usaha hotel diterbitkan oleh instansi yang berwenang;dan
  4. pemeriksaan lainnya dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perpajakan daerah.


Pasal 58


(1) Pemeriksaan, meliputi :
a. Pemeriksaan Sederhana, terdiri dari :
  1. Pemeriksaan Sederhana Kantor; dan
  2. Pemeriksaan Sederhana Lapangan.
b. Pemeriksaan Lengkap.
(2) Pemeriksaan sederhana kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, adalah pemeriksaan yang dilakukan di kantor pemeriksa, yang meliputi jenis pajak tertentu dan untuk tahun pajak berjalan, dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot yang sederhana.
(3) Pemeriksaan sederhana lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat usaha Wajib Pajak, yang meliputi jenis pajak tertentu untuk tahun pajak berjalan atau tahun-tahun pajak sebelumnya, dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot yang sederhana.
(4) Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat domisili Wajib Pajak atau di tempat lokasi usaha Wajib Pajak, yang meliputi seluruh jenis Pajak Daerah, tahun pajak berjalan dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya, dengan menerapkan prosedur teknis pemeriksaan dengan bobot mendalam.


Pasal 59


(1) Pemeriksaan sederhana kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a angka 1, dilakukan dengan cara :
  1. meminjam dan memeriksa buku-buku, catatan dan dokumen yang berhubungan dengan Objek Pajak yang diperiksa serta dokumen pendukung lainnya, termasuk keluaran (print out) dari media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya;
  2. meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan SSPD dan SPTPD; dan
  3. meminta keterangan lisan dan atau tertulis dari Wajib Pajak yang diperiksa jika diperlukan.
(2) Atas peminjaman buku-buku dan dokumen pendukung lainnya yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara jelas dan terinci jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan jenisnya.
(3) Pemeriksa wajib mengembalikan buku-buku, catatan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a setelah kegiatan pemeriksaan selesai dilakukan.


Pasal 60


(1) Pemeriksaan sederhana lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a angka 2, dilakukan dengan cara :
  1. meminjam dan memeriksa buku-buku, catatan, dan dokumen yang berhubungan dengan Objek Pajak yang diperiksa serta dokumen pendukung lainnya, termasuk data berupa keluaran dari sistem komputerisasi atau mesin elektronik lainnya;
  2. meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan SSPD dan SPTPD;
  3. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak yang diperiksa jika diperlukan;
  4. memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan atau tempat-tempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut;
  5. pemeriksa dapat melakukan penyegelan tempat atau ruangan,  apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf d, atau Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya menghindar atau menolak pada saat pemeriksaan; dan
  6. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
(2) Atas peminjaman buku-buku dan dokumen pendukung lainnya yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara jelas dan terinci jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan jenisnya.
(3) Pemeriksa wajib mengembalikan buku-buku, catatan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a setelah kegiatan pemeriksaan selesai dilakukan.


Pasal 61


(1) Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan cara :
  1. meminjam dan memeriksa buku-buku, catatan dan dokumen yang berhubungan dengan Objek Pajak yang diperiksa serta dokumen pendukung lainnya, termasuk data berupa keluaran dari sistem komputerisasi atau mesin elektronik lainnya;
  2. memeriksa tanda pelunasan pajak dan keterangan lainnya sebagai bukti pelunasan kewajiban perpajakan daerah;
  3. melakukan pemeriksaan secara keseluruhan, menyangkut setiap pos dalam laporan keuangan yang akan diperiksa guna menentukan kepatuhan Wajib Pajak atau tujuan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pajak Daerah;
  4. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis Wajib Pajak yang diperiksa;
  5. menggunakan berbagai metode, prosedur dan teknik analisis guna membuktikan kewajaran atau kebenaran atas dokumen yang diperiksa;
  6. memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan atau tempat-tempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut;
  7. pemeriksa dapat melakukan penyegelan tempat atau ruangan, apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf f atau Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya menghindar atau menolak pada saat pemeriksaan; dan
  8. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
(2) Atas peminjaman buku-buku dan dokumen pendukung lainnya yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara jelas dan terinci jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan jenisnya.
(3) Pemeriksa wajib mengembalikan buku-buku, catatan dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, setelah kegiatan pemeriksaan selesai dilakukan.


Pasal 62


(1) Metode atau cara pemeriksaan meliputi :
  1. kas opname;
  2. pengamatan langsung di tempat lokasi usaha Wajib Pajak secara diam-diam (Silent Operation/SO); dan
  3. data pembanding yang sejenisnya.
(2) Metode atau cara pemeriksaan melalui kas opname sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling kurang dilakukan atas :
  1. kas hasil transaksi pembayaran pada hari dilakukan pemeriksaan;
  2. data transaksi pembayaran pada mesin cash register atau mesin elektronik lainnya; dan/atau
  3. bukti struk atau penggunaan bon penjualan (bill) pada hari dilakukan pemeriksaan.
(3) Pemeriksaan melalui kas opname atau uji petik dilakukan paling kurang untuk 3 (tiga) kali kunjungan dalam sehari selama 5 (lima) hari, dengan waktu dan hari yang berbeda.
(4) Hasil kas opname atau uji petik digunakan sebagai data analisa nilai perolehan penerimaan/omzet hasil nilai rata-rata perolehan penerimaan/omzet per hari. .
(5) Metode atau cara pemeriksaan melalui pengamatan langsung di tempat lokasi usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa pengamatan diam-diam (Silent Operation/SO), antara lain mencakup :
  1. tarif kamar;
  2. jumlah kamar;
  3. klasifikasi/jenis kamar dan harga kamar (room rate);
  4. jumlah fasilitas hotel yang disediakan;
  5. jumlah pengunjung/tamu yang menginap di hotel; dan/atau
  6. penggunaan bon penjualan (bill).
(6) Pemeriksaan melalui Silent Operation (SO) dilakukan 1 (satu) kali per hari untuk paling kurang 3 (tiga) hari baik terus menerus atau dalam waktu yang berselang.
(7) Hasil pengamatan langsung di lokasi usaha Wajib Pajak secara diam-diam (Silent Operation/SO) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, digunakan sebagai analisa nilai perolehan penerimaan/omzet sebagai dasar hasil nilai rata-rata perolehan penerimaan/omzet per hari.
(8) Metode atau cara pemeriksaan melalui data pembanding yang sejenisnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, antara lain meliputi :
  1. jenis hotel dan klasifikasi hotel yang sama;
  2. lokasi usaha yang sama dalam wilayah Kecamatan/Kota Administrasi;
  3. tarif kamar yang sama;
  4. jumlah kamar yang sama; dan/atau
  5. fasilitas hotel yang sama.
(9) Hasil data pembanding sebagaimana dimaksud pada ayat (8), digunakan sebagai analisa nilai perolehan penerimaan/omzet sebagai dasar hasil nilai rata-rata perolehan penerimaan/omzet per hari.
(10) Pelaksanaan pemeriksaan melalui metode atau cara pemeriksaan dilakukan secara prioritas sesuai dengan urut metode atau cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
(11) Dalam hal metode atau cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, belum memberikan kecukupan data atau masih diperlukan kedalaman data, maka pemeriksaan kas opname atau uji petik dilengkapi dengan metode atau cara pemeriksaan melalui pengamatan diam-diam (Silent Operation/SO) atau data pembanding.


Pasal 63


(1) Pemeriksaan dapat dilaksanakan apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya tidak ada di tempat tetapi ada pegawainya yang mempunyai kewenangan yang terbatas, untuk bertindak mewakili Wajib Pajak, maka pemeriksa dapat menunda sementara pemeriksaan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat pemberitahuan pemeriksaan diterima oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya.
(2) Dalam hal pemeriksaan dilanjutkan setelah dilakukan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya tetap tidak berada di tempat, maka Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya dapat dianggap menolak untuk diperiksa dan pemeriksaan tetap dilanjutkan dengan menggunakan cara atau metode sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) dengan terlebih dahulu menerbitkan Berita Acara bahwa Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya menolak untuk diperiksa.


Pasal 64


(1) Pemeriksa dalam melaksanakan tugas pemeriksaan berpedoman pada norma pemeriksaan, antara lain:
  1. memiliki tanda pengenal pemeriksa;
  2. membawa surat tugas pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak atau kuasanya;
  3. menjelaskan maksud dilakukannya pemeriksaan;
  4. menggunakan metode dan prosedur pemeriksaan yang lazim dilakukan;
  5. memahami dan menguasai Objek Pajak yang diperiksa; dan
  6. menerapkan asas praduga tak bersalah.
(2) Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain memuat :
  1. nama pemeriksa;
  2. objek pajak yang diperiksa;
  3. periode objek pemeriksaan; dan/atau
  4. jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan.
(3) Apabila jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, telah berakhir dan pemeriksaan belum selesai dilaksanakan, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan menerbitkan surat tugas perpanjangan pemeriksaan.


Pasal 65


(1) Penyegelan dalam rangka pemeriksaan Pajak Hotel, diatur sebagai berikut :
  1. penyegelan dilakukan berdasarkan surat tugas penyegelan yang diterbitkan oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk;
  2. kertas segel ditandatangani salah satu petugas penyegelan sesuai dengan surat tugas penyegelan dan diberi stempel;
  3. kertas segel ditempel pada tempat atau ruangan yang diduga digunakan untuk menyimpan dokumen, uang, barang dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan Wajib Pajak yang diperiksa,dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, salah seorang diantaranya adalah Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya,atau pegawai Wajib Pajak, dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa atau kuasanya tidak berada di tempat;
  4. penyegelan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dimaksudkan agar tempat atau ruangan tempat menyimpan dokumen tidak berubah atau tidak dipindahtangankan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar dan dipalsukan dan perbuatan lainnya yang sejenis;
  5. dalam melaksanakan penyegelan, petugas penyegelan wajib membuat Berita Acara Penyegelan yang ditandatangani oleh petugas penyegelan dan 2 (dua) orang saksi sebagaimana dimaksud pada huruf c;
  6. dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada huruf e, menolak menandatangani Berita Acara Penyegelan, petugas penyegelan mencatat penolakan tersebut dalam Berita Acara Penyegelan dengan menyebutkan alasannya; dan
  7. Berita Acara Penyegelan dibuat 3 (tiga) rangkap, lembar pertama dan ketiga untuk petugas penyegelan dan lembar kedua diserahkan kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya atau pegawainya.
(2) Dalam hal pelaksanaan penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta bantuan Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan aparat Kepolisian.
(3) Apabila setelah dilakukan penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya atau pegawainya tidakmengajukan permohonan pembukaan segel, petugas penyegelan berwenang untuk membuka secara paksa dan petugas pemeriksaan dapat memasuki tempat atau ruangan yang disegel untuk melanjutkan tugas pemeriksaan.


Pasal 66


(1) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya atau pegawai Wajib Pajak atau seseorang, dilarang merobek atau merusak atau menghilangkan atau memindahkan atau mengubah kertas segel yang telah ditempelkan oleh petugas penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b.
(2) Penyobekan atau pengrusakan atau penghilangan atau pemindahan atau perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dituntut pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didahului dengan laporan tertulis seeara lengkap yang dibuat oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk dan menyampaikan laporan tersebut kepada Kepolisian setempat sesuai dengan Tempat Kejadian Perkara (TKP).
(4) Kelengkapan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain:
  1. fotokopi identitas pelapor;
  2. fotokopi surat tugas penyegelan;
  3. fotokopi berita acara penyegelan; dan
  4. alat bukti lainnya seperti foto atas kertas segel yang telah dirobek atau dirusak atau dihilangkan atau dipindahkan atau dirubah kertas segel.


Pasal 67


(1) Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya dapat mengajukan permohonan tertulis pembukaan segel, kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilengkapi pernyataan kesediaan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya untuk mengizinkan petugas pemeriksaan melaksanakan pemeriksaan.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pembukaan kertas segel melalui petugas penyegelan dengan surat tugas pembukaan penyegelan.
(4) Pembukaan kertas segel sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan pada saat jam kerja, dengan disaksikan 2 (dua) orang saksi, salah seorang diantaranya adalah Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya, atau pegawai dari Wajib Pajak dan petugas penyegelan.
(5) Pembukaan kertas segel sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dibuatkan Berita Acara Pembukaan Kertas Segel yang ditandatangani oleh para saksi.
(6) Berita Acara Pembukaan Kertas Segel dibuat 3 (tiga) rangkap, dengan rineian sebagai berikut :
  1. lembar pertama untuk petugas penyegel;
  2. lembar kedua diserahkan kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atau kuasanya atau pegawainya; dan
  3. lembar ketiga untuk petugas pemeriksaan.


Pasal 68


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan penyegelan diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


BAB XVII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Bagian Kesatu
Permohonan dan Persyaratan

Pasal 69


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan berdasarkan perhitungan pajak terutang dari Wajib Pajak.
(3) Permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain memuat :
  1. identitas Wajib Pajak atau kuasanya apabila dikuasakan; .
  2. NPWPD dan/atau Nomor Objek Pajak Daerah (NOPD);
  3. masa pajak/tahun pajak;
  4. perhitungan pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;dan/atau
  5. besarnya jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dokumen:
  1. fotokopi bukti SSPD/SPTPD/SKPDKB/Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding/Peninjauan kembali Mahkamah Agung; dan
  2. fotokopi bukti transfer pembayaran pada bank apabila pembayaran dilakukan melalui transfer, dengan memperlihatkan aslinya.


Pasal 70


(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), melalui pos tercatat.
(2) Tanda terima pengiriman melalui pos tercatat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan tanda bukti bagi Wajib Pajak dan Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 71


(1) Pengajuan permohonan kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dan permohonan melalui pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, diatur sebagai berikut :
  1. Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak untuk permohonan kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan kewenangan pemungutan Objek Pajak; dan
  2. Kepala UPPD untuk permohonan kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan kewenangan pemungutan Objek Pajak.
(2) Apabila Wajib Pajak keliru menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD tetap harus menerima permohonan dan selanjutnya menyampaikan permohonan kelebihan pembayaran pajak kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD sesuai dengan kewenangannya.


Bagian Kedua
Penelitian dan Pemeriksaan

Pasal 72


(1) Berdasarkan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD melalui Pejabat yang ditunjuk memproses penyelesaian pengembalian kelebihan pembayaran dengan terlebih dahulu melakukan penelitian persyaratan permohonan.
(2) Apabila berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat persyaratan yang tidak lengkap, maka permohonan ditolak dan dikembalikan dengan surat penolakan.
(3) Surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Wajib Pajak atau melalui pos tercatat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal surat penolakan dengan disertai bukti tanda terima.
(4) Wajib Pajak yang permohonannya ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat mengajukan kembali permohonan kelebihan pembayaran pajak.
(5) Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan memenuhi persyaratan, maka atas penelitian tersebut dibuatkan laporan hasil penelitian.


Pasal 73


(1) Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (5), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD melalui Pejabat yang ditunjuk melakukan pemeriksaan untuk menguji kebenaran atas kelebihan pembayaran pajak menurut Wajib Pajak.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan untuk keputusan keberatan, keputusan banding/peninjauan kembali Mahkamah Agung.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat meliputi pembukuan, pencatatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan perhitungan Wajib Pajak atau dokumen lainnya sebagai dasar pajak terutang.
(4) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan di lokasi Objek Pajak dan meminta klarifikasi atau konfirmasi kepada pihak-pihak yang dianggap perlu.
(5) Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak Daerah (LPPD) sebagai dasar perhitungan pajak terutang.
(6) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), berupa rekomendasi :
  1. menolak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dimohon oleh Wajib Pajak karena pembayaran pajak telah sesuai dengan ketentuan atau masih terdapat pajak yang terutang; dan
  2. menerima perhitungan pajak terutang menurut Wajib Pajak.
(7) pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal surat tugas pemeriksaan.
(8) pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Ketiga
Penerbitan SKPDLB

Pasal 74


(1) Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak Daerah (LPPD) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (6) huruf b, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran dan SKPDLB dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal laporan hasil pemeriksaan.
(2) Penerbitan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), langsung memperhitungkan utang Pajak Daerah yang sama atau utang Pajak Daerah lainnya untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(3) Surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal surat keputusan.
(4) Berdasarkan surat keputusan kelebihan pembayaran dan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan :
  1. restitusi pengembalian kelebihan pembayaran; atau
  2. kompensasi.
(5) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Wajib Pajak melengkapi :
  1. permohonan restitusi secara tertulis; dan
  2. nomor rekening atas nama Wajib Pajak.
(6) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan kompensasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Wajib Pajak melengkapi :
  1. permohonan kompensasi secara tertulis; dan
  2. pembayaran jenis Pajak Daerah yang dimohonkan.
(7) Terhadap Wajib Pajak yang mengajukan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat keputusan kompensasi dan memproses pemindahbukuan.


Pasal 75


(1) Berdasarkan pengajuan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD membuat surat keterangan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak untuk pelaksanaan pembayaran restitusi pajak dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan :
  1. surat pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak;
  2. surat pengajuan permohonan restitusi dari Wajib Pajak;
  3. dokumen hasil penelitian dan pemeriksaan, beserta seluruh persyaratan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
  4. nomor rekening bank Wajib Pajak;
  5. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak; dan
  6. SKPDLB.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebanyak 2 (dua) rangkap, dengan rincian :
  1. 1 (satu) rangkap pertama untuk BPKD; dan
  2. 1 (satu) rangkap kedua untuk Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 76


(1) Apabila terhadap laporan hasil pemeriksaan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (6) huruf a, masih terdapat pajak yang kurang dibayar atau pajak masih terutang, maka Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD melalui Pejabat yang ditunjuk menerbitkan surat keputusan penolakan permohonan kelebihan pembayaran.
(2) Surat keputusan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja.


Bagian Keempat
Penerbitan SPMKPD

Pasal 77


(1) Berdasarkan surat keterangan permohonan restitusi dari Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1), Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian administrasi kelengkapan persyaratan restitusi dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(2) Apabila berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat kekurangan persyaratan, maka permohonan dikembalikan kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD untuk dilengkapi.
(3) Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari melengkapi kekurangan persyaratan dan mengajukan kembali permohonan restitusi kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(4) Kepala Dinas Pelayanan Pajak menerbitkan SPMKPD yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(5) SPMKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), disampaikan ke BPKD, dengan dilengkapi :
  1. surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan restitusi dari wajib pajak;
  2. dokumen hasil penelitian dan pemeriksaan, beserta seluruh persyaratan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
  3. nomor rekening bank Wajib Pajak;
  4. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak; dan
  5. SKPDLB.
(6) Penelitian persyaratan dalam rangka penerbitan SPMKPD dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan dari Kepala UPPD.
(7) Penyampaian SPMKPD kepada BPKD dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal SPMKPD dengan disertai tanda terima.
(8) Penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sampai penerbitan permohonan pelaksanaan pencairan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan dari Wajib Pajak.


Bagian Kelima
Pencairan Restitusi

Pasal 78


(1) Berdasarkan SPMKPD dan kelengkapan persyaratan permohonan restitusi dari Kepala Dinas Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (5), Kepala BPKD memproses restitusi pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(2) Restitusi pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPMKPD.
(3) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan sejak diterimanya SKPDLB oleh Dinas Pelayanan Pajak, Gubernur memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak berikut imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB XVIII
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PENGURANGAN KETETAPAN

Bagian Kesatu
Pembetulan

Pasal 79


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak dalam hal ini Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN, SKPDLB atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat :
  1. kesalahan tulis;
  2. kesalahan hitung; dan/atau
  3. kekeliruan dalam penerapan peraturan pajak.
(2) Kekeliruan dalam penerapan peraturan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terjadi karena kekeliruan seperti pencantuman pasal atau ayat, penerapan tarif dan penerapan sanksi administrasi dengan tidak mengubah DPP berdasarkan hasil pemeriksaan dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
(3) Pembetulan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN, SKPDLB atau STPD yang dilakukan karena jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. melakukan penelitian terhadap SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan dalam penerapan peraturan Pajak Hotel;
  2. berdasarkan hasil penelitian, dibuatkan nota perhitungan pajak sesuai dengan perhitungan sebenarnya untuk selanjutnya diterbitkan atas SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD Pembetulan;
  3. penerbitan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD karena pembetulan didahului dengan penerbitan Surat Keputusan pembetulan dari Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD;
  4. penerbitan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD karena pembetulan dibuat dalam berita acara;
  5. terhadap SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD semula yang telah dilakukan pembetulan, diberi tanda dengan kata "DIBATALKAN" dengan mencantumkan tanggal dan ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD;
  6. Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada huruf c, disertai dengan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD karena pembetulan, disampaikan kepada Wajib Pajak paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan; dan
  7. SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD karena pembetulan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan.
(4) Pembetulan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD berdasarkan permohonan Wajib Pajak, diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. permohonan pembetulan diajukan secara tertulis disertai dengan alasan yang jelas dan ditujukan kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkannya SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD; dan
  2. mekanisme pembetulan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Bagian Kedua
Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak
yang Tidak Benar

Pasal 80


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak dalam hal ini Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang tidak benar.
(2) Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan terhadap:
  1. surat penolakan atas permohonan pengurangan pajak yang tercantum dalam SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar karena tidak memenuhi jangka waktu persyaratan formal, tetapi secara material ketetapan pajak pada dasarnya terdapat ketidakbenaran;
  2. terdapat penerimaan Objek Pajak yang bukan merupakan Objek Pajak Hotel dalam DPP; atau
  3. terdapat kesalahan penerapan penghitungan sanksi administrasi pajak.
(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan terhadap:
  1. surat penolakan atas permohonan pengurangan pajak yang tercantum dalam SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang tidak benar karena tidak memenuhi jangka waktu persyaratan formal, tetapi secara material ketetapan pajak pada dasarnya terdapat ketidakbenaran;
  2. penghitungan DPP tidak berdasarkan pada fakta atau dokumen yang menjadi DPP; atau
  3. penerbitan STPD yang mengenakan sanksi bunga atau denda yang tidak seharusnya dikenakan.
(4) Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak dalam SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang tidak benar karena jabatan, diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. melakukan penelitian terhadap SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang dalam perhitungan pajak terutang tidak benar;
  2. berdasarkan hasil penelitian, dibuatkan nota perhitungan pajak kembali sesuai dengan perhitungan sebenarnya berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk selanjutnya diterbitkan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD Pengurangan atau Pembatalan;
  3. penerbitan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD Pengurangan atau Pembatalan didahului dengan penerbitan Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan dari Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD;
  4. penerbitan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD karena pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, dibuat dalam berita acara;
  5. terhadap SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD semula yang telah dilakukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, diberi tanda dengan kata "DIBATALKAN" dengan mencantumkan tanggal dan ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD;
  6. Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf c, disertai dengan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD karena pengurangan atau pembatalan, disampaikan kepada Wajib Pajak paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
  7. SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak harus dilunasi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak.
(5) Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak dalam SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang tidak benar berdasarkan permohonan Wajib Pajak, diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. permohonan diajukan secara tertulis disertai dengan alasan yang jelas dan ditujukan kepada Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterbitkannya SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang tidak benar atau sejak tanggal surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a; dan
  2. mekanisme pengurangan atau pembatalan SKPDKB atau SKPDKBT atau SKPDN atau SKPDLB atau STPD yang tidak benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


Bagian Ketiga
Pembatalan Ketetapan Pajak Hasil Pemeriksaan

Pasal 81


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak dalam hal ini Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dapat membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan.
(2) Pembatalan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi dalam proses pemeriksaan, apabila dilakukan tidak sesuai dengan tata cara dan/atau tahapan pemeriksaan yang ditentukan.
(3) Pembatalan ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan hasil pemeriksaan sebelum ketetapan pajak disampaikan kepada Wajib Pajak.
(4) Pembatalan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dapat berdasarkan permohonan tertulis dari Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak dalam hal ini Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.

 

BAB XIX
PENGHAPUSAN ATAU PENGURANGAN
SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 82


(1) Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk, dapat menghapuskan sanksi administrasi berupa denda, bunga dan kenaikan pajak yang terutang dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena bukan kesalahan Wajib Pajak atau rnengurangkan sanksi administrasi berupa denda, bunga dan kenaikan pajak yang terutang dalam hal Kekhilafan Wajib Pajak.
(2) Pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan paling tinggi 50% (lima puluh persen).
(3) Penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan paling tinggi 100% (seratus persen).


Pasal 83


(1) Penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), dapat diberikan terhadap :
  1. sanksi administrasi yang disebabkan keterlambatan pembayaran masa pajak atau SKPDKB atau SKPDKBT atau STPD, Keputusan Keberatan dan Putusan Banding; atau
  2. sanksi administrasi yang terdapat dalam SKPDKB atau SKPDKBT, Keputusan Keberatan dan Putusan Banding.
(2) Pengurangan sanksi administrasi yang disebabkan keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan dalam hal:
  1. Kekhilafan Wajib Pajak yang dibuktikan dengan surat pernyataan kekhilafan;
  2. keterlambatan pembayaran tidak melampaui jangka waktu 1 (satu) bulan; atau
  3. telah diterbitkan STPD.
(3) Penghapusan sanksi administrasi yang disebabkan keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan dalam hal:
  1. bukan karena kesalahan Wajib Pajak yang dibuktikan dengan surat pernyataaan bukan karena kesalahannya; atau
  2. pembayaran pajak terutang dilakukan dalam jangka waktu pembayaran, tetapi validasi/pengesahan dilakukan setelah jatuh tempo pembayaran.
(4) Pengurangan sanksi administrasi yang terdapat dalam SKPDKB atau SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat diberikan dalam hal:
  1. Kekhilafan Wajib Pajak yang dinyatakan/diterangkan pada saat pemeriksaan dan dibuktikan dengan berita acara dan lampiran berita acara hasil pemeriksaan yang diterima Wajib Pajak; atau
  2. pokok pajak telah dilunasi.
(5) Penghapusan sanksi administrasi yang terdapat dalam SKPDKB atau SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diberikan dalam hal:
  1. bukan karena kesalahan Wajib Pajak yang dinyatakan/diterangkan pada saat pemeriksaan dan dibuktikan dengan berita acara hasil pemeriksaan yang diterima Wajib Pajak; atau
  2. pokok pajak telah dilunasi.

 

Bagian Kesatu
Permohonan dan Persyaratan

Pasal 84


(1) Penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi berupa denda, bunga dan kenaikan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 pada ayat (1), diajukan secara tertulis oleh Wajib Pajak, dengan memenuhi persyaratan formal sebagai berikut:
a. permohonan dibuat dalam bahasa Indonesia disertai alasan yang jelas, dengan menggunakan kop surat kecuali untuk Wajib Pajak Rumah kos dan ditandatangani oleh Wajib Pajak, diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau badan hukum memberi kuasa harus dilengkapi dengan surat kuasa bermeterai cukup;
  2. identitas wajib pajak atau kuasanya;
  3. surat ketetapan pajak yang dimohonkan penghapusan atau pengurangannya;dan
  4. berita acara dan lampiran berita acara hasil pemeriksaan yang diterima Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPDKB atau SKPDKBT.
b. permohonan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
c. Wajib Pajak telah melunasi pokok pajak atau pokok pajak kurang dibayar yang tercantum dalam surat ketetapan pajak; dan
d. melampirkan surat pernyataan kekhilafan atau bukan karena kesalahannya.
(2) Permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dianggap sebagai permohonan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(3) Terhadap surat permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dijawab dengan surat biasa dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya surat permohonan.
(4) Pengajuan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi tidak menunda kewajiban pelunasan pajak dalam pelaksanaan penagihan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi diajukan per surat ketetapan pajak.
(6) Dalam hal permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi melalui pos tercatat maka tanda bukti penerimaan surat permohonan yang diterima oleh kantor Dinas Pelayanan Pajak atau Suku Dinas Pelayanan Pajak atau UPPD dari pos sebagai tanggal bukti penerimaan surat permohonan.


Bagian Kedua
Kewenangan Penyelesaian Permohonan

Pasal 85


(1) Pengajuan permohonan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), diatur dengan kewenangan sebagai berikut :
  1. Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak untuk Wajib Pajak sesuai dengan kewenangannya; dan
  2. Kepala UPPD untuk Wajib Pajak sesuai dengan kewenangannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Bagian Ketiga
Mekanisme Penyelesaian Permohonan

Pasal 86


(1) Penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a, yang telah memenuhi persyaratan, diproses dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. melakukan penelitian persyaratan dan lampiran permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1); dan
  2. dalam hal penghapusan bila dipandang perlu melakukan klarifikasi atau penelitian lapangan terhadap alasan kekhilafan yang dinyatakan/diterangkan dalam surat pernyataan.
(2) Berdasarkan penelitian dan/atau klarifikasi/penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan surat keterangan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran pajak.
(3) Surat keterangan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), antara lain memuat :
  1. nama dan alamat Wajib Pajak;
  2. NPWPD/Nomor Objek Pajak Daerah (NOPD);
  3. masa pajak/Nomor surat ketetapan pajak;
  4. besarnya pengurangan yang diberikan;
  5. nomor surat keterangan; dan/atau
  6. tanda tangan pejabat.


Pasal 87


(1) Penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKPDKB atau SKPDKBT, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b, yang telah memenuhi persyaratan, diproses dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. melakukan penelitian persyaratan dan lampiran permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1); dan
  2. verifikasi/pencocokan permohonan dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak Daerah (LHPPD) yang terkait dengan alasan kekhilafan atau bukan karena kesalahannya yang mengakibatkan terdapatnya pajak yang kurang atau tidak dibayar.
(2) Apabila dalam penelitian masih diperlukan data pendukung terkait permohonan yang diajukan, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD dapat meminta data atau dokumcn pendukung tersebut kepada Wajib Pajak.
(3) Apabila dianggap perlu, penyelesian penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi dilakukan melalui Tim Pertimbangan yang dibentuk dengan Keputusan Kepala Dinas Pelayanan Pajak.
(4) Tim Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memberikan bahan pertimbangan sebagai bahan keputusan persetujuan atau menolak permohonan Wajib Pajak.
(5) Dalam memberikan bahan pertimbangan, Tim Pertimbangan harus memperhatikan hal sebagai berikut, seperti :
  1. kelengkapan persyaratan permohonan;
  2. alasan permohonan yang dapat dibuktikan kebenarannya;
  3. kepatuhan Wajib Pajak; dan
  4. kemampuan membayar sanksi administrasi Wajib Pajak dalam hal pemberian pengurangan sanksi administrasi.


Pasal 88


(1) Berdasarkan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a dan huruf b atau hasil pertimbangan Tim, Kepala Suku Dinas Pelayanan Pajak atau Kepala UPPD menerbitkan keputusan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi.
(2) Keputusan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa menolak atau menerima.
(3) Apabila keputusan berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disertai dengan alasan penolakan.
(4) Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan yang dinyatakan lengkap.
(5) Keputusan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya keputusan.

 

BAB XX
PEMBEBASAN

Pasal 89


(1) Gubernur karena jabatannya dapat memberikan pembebasan Pajak Hotel kepada Wajib Pajak atau terhadap Objek Pajak tertentu, berdasarkan Asas Keadilan dan Asas Timbal Balik Reciprocitas.
(2) Pemberian pembebasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan sebagian atau seluruhnya dari pajak yang terutang.
(3) Pemberian pembebasan Pajak Hotel berdasarkan Asas Timbal Balik/Reciprocitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan terhadap:
  1. penyelenggara perayaan hari besar kenegaraan; dan/atau
  2. anggota Korps Diplomatik dan Konsuler dari Perwakilan Negara Asing.


Pasal 90


(1) Pembebasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 pada ayat (1) berdasarkan surat permohonan Wajib Pajak melalui Kementerian Luar Negeri yang ditujukan kepada Gubernur.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain memuat:
a. penyelenggara perayaan hari besar kenegaraan :
  1. rnenyebutkan negara yang merayakan hari besar kenegaraan;
  2. tanggal pelaksanaan perayaan di hotel;
  3. jumlah transaksi pembayaran di hotel oleh negara sahabat;dan/atau
  4. permohonan diberi tanggal dan ditandatangani oleh pejabat Kementerian Luar Negeri.
b. anggota Korps Diplomatik dan Konsuler dari Perwakilan Negara Asing:
  1. menyebutkan nama anggota Korps Diplomatik dan Konsuler dari Perwakilan Negara Asing yang bersangkutan;
  2. memiliki identitas berupa ID Card yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri yang masih berlaku; dan/atau
  3. permohonan diberi tanggal dan ditandatangani oleh pejabat Kementerian Luar Negeri.
(3) Pembebasan pajak bagi anggota Korps Diplomatik dan Konsuler dari Perwakilan Negara Asing, baru dapat diberikan setelah memperoleh surat pembebasan dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk.


Pasal 91


Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan Pajak Hotel diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 92


Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku, Peraturan Gubernur Nomor 125 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hotel, serta Peraturan Gubernur lain yang ketentuannya telah diatur dalam Peraturan Gubernur ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 93


Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Desember 2014
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd.

BASUKI T. PURNAMA


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2014
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd

SAEFULLAH



BERITA DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
TAHUN 2014 NOMOR 61045