Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-31/PJ/2014

Kategori : PBB

Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Sektor Perkebunan


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-31/PJ/2014

TENTANG

TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan;
  2. bahwa untuk memberikan pedoman pelaksanaan, meningkatkan pelayanan kepada subjek pajak dan Wajib Pajak, serta memberikan kepastian hukum, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tata cara pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN.


Pasal 1


Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
  1. Pengenaan adalah kegiatan menetapkan Wajib Pajak dan besarnya pajak terutang untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan berdasarkan peraturan perundangundangan Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, yang selanjutnya disebut PBB Perkebunan, adalah Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan.
  3. Penatausahaan objek pajak adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pendaftaran dan pengadministrasian objek pajak, penilaian, perhitungan Nilai Jual Objek Pajak, penetapan, dan penagihan.
  4. Areal Produktif adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang telah ditanami tanaman perkebunan.
  5. Areal Belum Produktif adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang belum ditanami tanaman perkebunan meliputi areal yang belum diolah, areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami, dan areal pembibitan.
  6. Areal Tidak Produktif adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perkebunan.
  7. Areal Pengaman adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha perkebunan.
  8. Areal Emplasemen adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang diatasnya dimanfaatkan untuk bangunan dan/ atau pekarangan serta fasilitas penunjangnya.
  9. Areal Lainnya adalah areal yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang tidak dikenakan PBB Perkebunan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 .
  10. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti.
  11. Standar Investasi Tanaman yang selanjutnya disingkat SIT adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan dan alai yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman.
  12. Surat Pemberitahuan Objek Pajak PBB Perkebunan yang selanjutnya disebut SPOP adalah surat yang digunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak PBB Perkebunan ke Direktorat Jenderal Pajak.
  13. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak PBB Perkebunan yang selanjutnya disebut LSPOP adalah formulir yang digunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data rinci objek pajak PBB Perkebunan.
  14. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB Perkebunan yang terutang kepada Wajib Pajak.


Pasal 2


(1) Objek pajak PBB Perkebunan adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan.
(2) Kegiatan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. usaha budidaya tanaman perkebunan yang diberikan Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B); dan
  2. usaha budidaya tanaman perkebunan yang terintegrasi dengan usaha pengolahan hasil perkebunan yang diberikan Izin Usaha Perkebunan (IUP).
(3) Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. wilayah yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang mempunyai hak guna usaha atau yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha; dan
  2. wilayah di luar hak guna usaha atau yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan.
(4) Wilayah di luar hak guna usaha atau yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, merupakan wilayah yang secara fisik tidak terpisahkan dengan areal yang dikenakan PBB Perkebunan.
(5) Wilayah yang sedang dalam proses mendapatkan hak guna usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
  1. wilayah yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang hak guna usahanya sedang dalam proses perpanjangan; dan
  2. wilayah yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan dan telah memiliki izin usaha perkebunan yang hak guna usahanya wajib diselesaikan.


Pasal 3


(1) Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), meliputi:
a. areal yang dikenakan PBB Perkebunan, berupa:
1) Areal Produktif;
2) Areal Belum Produktif, meliputi areal:
a) yang belum diolah;
b) yang sudah diolah tetapi belum ditanami; dan
c) pembibitan,
3) Areal Tidak Produktif;
4) Areal Pengaman; dan
5) Areal Emplasemen;
b. areal yang tidak dikenakan PBB Perkebunan, berupa Areal Lainnya.
(2) Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.


Pasal 4


(1) Subjek pajak PBB Perkebunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/ atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB Perkebunan.
(2) Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar PBB Perkebunan menjadi Wajib Pajak PBB Perkebunan.


Pasal 5


(1) Subjek pajak atau Wajib Pajak melakukan pendaftaran objek pajak atau pemutakhiran data objek pajak PBB Perkebunan dengan cara mengisi SPOP dan LSPOP, dengan jelas, benar, dan lengkap, serta dilampiri dokumen pendukung.
(2) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh subjek pajak atau Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan subjek pajak atau Wajib Pajak, harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
(3) LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPOP.
(4) Bentuk formulir untuk:
  1. SPOP, menggunakan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal ini; dan
  2. LSPOP, menggunakan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal ini,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal 6


(1) Subjek pajak atau Wajib Pajak harus menyampaikan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP oleh subjek pajak atau Wajib Pajak.
(2) Tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
  1. tanggal tanda diterima, dalam hal SPOP dan LSPOP disampaikan secara langsung oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama; atau
  2. tanggal bukti pengiriman, dalam hal SPOP dan LSPOP dikirim oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama melalui pos atau jasa pengiriman lainnya.
(3) Dalam hal tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah tanggal sebelum 1 Januari tahun pajak, maka tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP adalah tanggal 1 Januari tahun pajak.
(4) Tanggal disampaikannya SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
  1. tanggal tanda terima, dalam hal SPOP dan LSPOP diterima secara langsung di Kantor Pelayanan Pajak Pratama; atau
  2. tanggal bukti pengiriman, dalam hal SPOP dan LSPOP diterima di Kantor Pelayanan Pajak Pratama melalui pos atau jasa pengiriman lainnya.


Pasal 7


Penatausahaan objek pajak PBB Perkebunan dilakukan oleh:
  1. Kantor Pelayanan Pajak Pratama berdasarkan wilayah kabupaten atau kota, yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak; atau
  2. Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang ditunjuk dalam hal letak objek pajak berada pada lebih dari satu wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam satu kabupaten atau kota.


Pasal 8


(1) Dasar Pengenaan PBB Perkebunan adalah NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil penjumlahan antara NJOP bumi dan NJOP bangunan.
(3) NJOP bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil perkalian antara total luas areal objek pajak yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi.
(4) NJOP bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP bumi.
(5) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi.
(6) NJOP bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP bangunan.


Pasal 9


(1) Nilai bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal objek pajak yang dikenakan PBB Perkebunan.
(2) Total nilai bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah dari perkalian luas masing-masing areal objek pajak yang dikenakan PBB Perkebunan dengan nilai bumi per meter persegi masing-masing areal objek pajak dimaksud.
(3) Nilai bumi per meter persegi untuk masing-masing areal objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
  1. Areal Emplasemen dan areal yang belum diolah pada Areal Belum Produktif, ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis yang ada disekitarnya;
  2. Areal Produktif, ditentukan melalui perbandingan harga tanah yang ada disekitarnya ditambah dengan SIT;
  3. areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami dan areal pembibitan pada Areal Belum Produktif, ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal yang belum diolah pada Areal Belum Produktif;
  4. Areal Pengaman, ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi Areal Produktif; dan
  5. Areal Tidak Produktif, ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal yang belum diolah pada Areal Belum Produktif.
(4) Besarnya SIT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan setiap tahun oleh Kepala Kantor Wilayah DJP.


Pasal 10


(1) Nilai bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) merupakan hasil pembagian antara total nilai bangunan dengan total luas bangunan.
(2) Total nilai bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah nilai bangunan masing-masing bangunan.
(3) Nilai bangunan untuk masing-masing bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan sebesar biaya pembangunan baru setelah dikurangi penyusutan.


Pasal 11


(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 menetapkan besarnya pajak terutang atas PBB Perkebunan dengan menerbitkan SPPT.
(2) SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wajib Pajak paling lambat minggu ke-2 bulan Juni tahun pajak.


Pasal 12


SPOP dan LSPOP yang sudah disampaikan kepada subjek pajak atau Wajib Pajak sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, dinyatakan tetap berlaku.


Pasal 13


Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, pengenaan PBB Perkebunan untuk Tahun Pajak 2014 dan tahun-tahun pajak sebelumnya dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan.


Pasal 14


Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 15


Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2015.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 November 2014
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

A. FUAD RAHMANY