Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 243/PMK.03/2014

Kategori : KUP

Surat Pemberitahuan (Spt)


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 243/PMK.03/2014

TENTANG

SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai bentuk dan isi surat pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus dilampirkan telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000;
  2. bahwa ketentuan mengenai bentuk dan isi surat pemberitahuan, serta tata cara pengambilan, pengisian, penandatanganan, dan penyampaian Surat Pemberitahuan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
  3. bahwa ketentuan mengenai Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007;
  4. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.03/2007;
  5. bahwa ketentuan mengenai Wajib Pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda karena tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang ditentukan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2007;
  6. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan, dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi, serta untuk memenuhi kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan (SPT);
  7. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (1a), ayat (1b), ayat (2), ayat (3c), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (8), Pasal 4 ayat (5), Pasal 6 ayat (2), dan Pasal 7 ayat (2) huruf h Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2009 serta Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Surat Pemberitahuan (SPT) ;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) ;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT).


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  4. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  5. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  6. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  7. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  8. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  9. SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
  10. SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.
  11. Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman SPT ke Direktorat Jenderal Pajak.
  12. Penelitian SPT adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan perhitungannya.

BAB II
KEWAJIBAN WAJIB PAJAK

Pasal 2


(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak badan yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan SPT PPh Wajib Pajak badan beserta lampirannya dalam bahasa Indonesia kecuali lampiran berupa laporan keuangan, dan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat.


BAB III
JENIS, BENTUK, DAN ISI SPT

Bagian Kesatu
Jenis dan Bentuk SPT

Pasal 3


(1) SPT meliputi:
a. SPT Tahunan PPh; dan
b. SPT Masa yang terdiri dari:
  1. SPT Masa PPh;
  2. SPT Masa PPN; dan
  3. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.
(2) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
  1. formulir kertas (hardcopy); atau
  2. dokumen elektronik.


Bagian Kedua
Isi SPT

Pasal 4


(1) SPT paling sedikit memuat:
  1. jenis pajak;
  2. nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
  4. tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(2) SPT Tahunan PPh, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memuat data mengenai:
  1. jumlah peredaran usaha;
  2. jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
  3. jumlah Penghasilan Kena Pajak;
  4. jumlah pajak yang terutang;
  5. jumlah kredit pajak;
  6. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
  7. jumlah harta dan kewajiban;
  8. tanggal pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29; dan
  9. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
(3) SPT Masa PPh, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memuat data mengenai:
  1. jumlah objek pajak, jumlah pajak yang terutang, dan/atau jumlah pajak dibayar;
  2. tanggal pembayaran atau penyetoran; dan
  3. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
(4) SPT Masa PPN, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memuat data mengenai:
  1. jumlah penyerahan;
  2. jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
  3. jumlah Pajak Keluaran;
  4. jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
  5. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
  6. tanggal penyetoran; dan
  7. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
(5) SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memuat data mengenai:
  1. jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
  2. jumlah pajak yang dipungut;
  3. jumlah pajak yang disetor;
  4. tanggal pemungutan;
  5. tanggal penyetoran; dan
  6. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.


Pasal 5


(1) SPT terdiri dari SPT induk dan lampiran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
(2) Ketentuan mengenai lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk SPT bagi Wajib Pajak tertentu.
(3) SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


BAB IV
TEMPAT DAN CARA PENGAMBILAN SPT

Pasal 6


(1) SPT berbentuk formulir kertas (hardcopy) dapat diambil secara langsung di Kantor Pelayanan Pajak dan tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) SPT berbentuk dokumen elektronik dapat diambil secara langsung oleh Wajib Pajak atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


BAB V
PENYAMPAIAN SPT

Bagian Kesatu
Penandatanganan SPT

Pasal 7


(1) SPT yang disampaikan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(2) Dalam hal SPT ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, SPT harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Penandatanganan SPT dilakukan dengan cara:
  1. tanda tangan biasa;
  2. tanda tangan stempel; atau
  3. tanda tangan elektronik atau digital.
(4) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c mempunyai kekuatan hukum yang sama.


Bagian Kedua
Tempat dan Cara Penyampaian

Pasal 8


(1) Penyampaian SPT oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dapat dilakukan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. dengan cara lain.
(2) Cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
  1. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
  2. saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
(3) Atas penyampaian SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b diberikan bukti penerimaan.
(4) Bukti pengiriman surat untuk penyampaian SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf a dianggap sebagai bukti penerimaan sepanjang SPT tersebut lengkap.
(5) Tanggal pengiriman surat yang tercantum dalam bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dianggap sebagai tanggal penerimaan sepanjang SPT tersebut lengkap.


Bagian Ketiga
Batas Waktu Penyampaian

Pasal 9


(1) Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak badan wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.


Pasal 10


(1) Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh, wajib melaporkan:
  1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong;
  2. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dibayar sendiri;
  3. PPh Pasal 15 yang dipotong;
  4. PPh Pasal 15 yang dibayar sendiri;
  5. PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong;
  6. PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong; dan/atau
  7. PPh Pasal 25 dibayar,
dengan menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tetap berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.
(3) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 dan telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan tanggal validasi.
(4) Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, tetap harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(6) Bendahara wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(7) Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan PPN kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan SPT Masa PPN, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(8) Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut, ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(9) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa, wajib menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.


Pasal 11


(1) Pemungut Pajak PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya.
(2) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri yang telah disetor dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah disetor, dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.


Pasal 12


(1) Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 bertepatan dengan hari libur, pelaporan dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.


Bagian Keempat
Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan

Pasal 13


(1) Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan dengan cara menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan.
(2) Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) atau dalam bentuk dokumen elektronik.


Pasal 14


(1) Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri:
  1. penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
  2. laporan keuangan sementara; dan
  3. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak.
(2) Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(3) Dalam hal pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 15


(1) Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. dengan cara lain.
(2) Cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
  1. perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
  2. saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
(3) Ketentuan mengenai bukti penerimaan SPT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku secara mutatis mutandis terhadap bukti penerimaan penyampaian pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan.


Pasal 16


(1) Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 dianggap bukan merupakan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan.
(2) Apabila pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dianggap bukan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.


Bagian Kelima
Sanksi Administrasi atas
Tidak atau Terlambat Menyampaikan SPT

Pasal 17


(1) Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu penyampaian atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang KUP.
(2) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
  4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
  5. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  6. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
  7. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
  8. Wajib Pajak lain.
(3) Wajib Pajak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h adalah Wajib Pajak yang tidak dapat menyampaikan SPT dalam jangka waktu yang telah ditentukan karena:
  1. kerusuhan massal;
  2. kebakaran;
  3. ledakan bom atau aksi terorisme;
  4. perang antarsuku;
  5. kegagalan sistem informasi administrasi penerimaan negara atau perpajakan; atau
  6. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
(4) Penetapan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.


Bagian Keenam
Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu yang
Dikecualikan dari Kewajiban Menyampaikan SPT PPh

Pasal 18


(1) Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT.
(2) Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu merupakan Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang PPh; atau
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25.


Bagian Ketujuh
SPT Dianggap Tidak Disampaikan

Pasal 19


(1) SPT dianggap tidak disampaikan apabila:
  1. SPT tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
  2. SPT tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3);
  3. SPT yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
  4. SPT disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan, melakukan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
(2) Dalam hal SPT dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak harus memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dimulai pada:
  1. tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk pemeriksaan lapangan; atau
  2. tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak seharusnya datang memenuhi panggilan sesuai dengan tanggal yang ditentukan dalam Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
(4) Pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dimulai pada tanggal surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemeriksaan bukti permulaan.


BAB VI
PEMBETULAN SPT

Pasal 20


(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan:
  1. penyampaian surat pemberitahuan hasil Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak;
  2. penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak; atau
  3. penyampaian pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2) Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan SPT.
(3) Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(5) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.


BAB VII
PENGOLAHAN SPT

Pasal 21


Terhadap SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak atau kuasanya dilakukan pengolahan yang meliputi:
  1. Penelitian SPT; dan
  2. perekaman SPT.


Pasal 22


Berdasarkan hasil Penelitian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a berlaku ketentuan dalam hal:
  1. SPT yang disampaikan Wajib Pajak atau kuasanya dinyatakan lengkap kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan; atau
  2. SPT yang disampaikan Wajib Pajak atau kuasanya dinyatakan tidak lengkap, kepada Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk memenuhi kelengkapan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan


Pasal 23


Terhadap SPT yang sudah diberikan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, dilakukan perekaman SPT ke dalam basis data perpajakan.


BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari:
  1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan serta Keterangan dan atau Dokumen yang Harus Dilampirkan;
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009;
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu yang Dikecualikan dari Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan;
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan; dan
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak Tertentu yang Dikecualikan dari Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda karena Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam Jangka Waktu yang Ditentukan,
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini.


Pasal 25


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
  1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan serta Keterangan dan atau Dokumen yang Harus Dilampirkan;
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan;
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu yang Dikecualikan dari Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan;
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2007 tentang Wajib Pajak Tertentu yang Dikecualikan dari Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda karena Tidak Menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam Jangka Waktu yang Ditentukan; dan
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 26


Ketentuan lebih lanjut mengenai:
  1. bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPT;
  2. keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT;
  3. tempat dan cara lain pengambilan SPT;
  4. tata cara penandatanganan SPT;
  5. tata cara penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan;
  6. tata cara pembetulan SPT; dan
  7. tata cara penelitian, pengelompokan, perekaman, dan pengelolaan SPT,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 27


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P.S. BRODJONEGORO


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1974