Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 28/PJ/2013

Kategori : KUP

Kebijakan Pemeriksaan


11 Juni 2013


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 28/PJ/2013

TENTANG

KEBIJAKAN PEMERIKSAAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


A. Umum

Sehubungan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan perlu dibuat kebijakan untuk melaksanakan Peraturan Menteri Keuangan tersebut.
   
B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Kebijakan pemeriksaan dimaksudkan sebagai acuan dalam melakukan pemeriksaan oleh Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2).
2. Tujuan
Kebijakan pemeriksaan bertujuan:
  1. tertib administrasi pemeriksaan; dan
  2. meningkatkan audit coverage ratio (ACR);
   
C. Ruang Lingkup

Kebijakan pemeriksaan dalam Surat Edaran ini meliputi :
  1. Kebijakan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
  2. Kebijakan pemeriksaan untuk tujuan lain.
   
D. Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139); dan
  4. Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan;
   
E. Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

1. Kebijakan Umum Pemeriksaan
a. Ruang Lingkup Pemeriksaan
1) Ruang lingkup pemeriksaan merupakan cakupan dari jenis pajak dan periode dari pencatatan atau pembukuan yang menjadi objek untuk dilakukan pemeriksaan.
2) Ruang lingkup pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan meliputi pemeriksaan atas satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, baik tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
b. Kriteria Pemeriksaan
Terdapat 2 (dua) kriteria yang merupakan alasan dilakukannya pemeriksaan, yaitu:
1) Pemeriksaan Rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan
2) Pemeriksaan Khusus atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
c. Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan melalui 2 (dua) jenis pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013, yang meliputi:
1) Pemeriksaan Lapangan yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak; atau
2) Pemeriksaan Kantor, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
d. Perubahan Jenis Pemeriksaan
1) Dalam hal Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan, pelaksanaan Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
2) Dalam hal Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan Lapangan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) Tim Pemeriksa Pajak melalui Kepala UP2 mengajukan surat usulan perubahan jenis pemeriksaan dari Pemeriksaan Kantor menjadi Pemeriksaan Lapangan.
b) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a) diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.1 Surat Edaran ini.
c) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf b), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak melakukan penelitian dan evaluasi atas indikasi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.
d) Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada huruf c), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menentukan apakah usulan perubahan jenis pemeriksaan disetujui atau ditolak.
e) Surat persetujuan perubahan jenis pemeriksaan diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.2 Surat Edaran ini.
f) Surat penolakan perubahan jenis pemeriksaan diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.3 Surat Edaran ini.
g) Setelah menerima surat persetujuan perubahan jenis pemeriksaan, Tim Pemeriksa Pajak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak mengenai perubahan jenis pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.4 Surat Edaran ini.
h) Berdasarkan surat persetujuan perubahan jenis pemeriksaan, Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal mengadministrasikan perubahan kode pemeriksaan pada Aplikasi Laporan Pemeriksaan dan Penagihan (ALPP).
3) Jangka waktu pengujian terhadap Pemeriksaan yang diubah dari Pemeriksaan Kantor menjadi Pemeriksaan Lapangan, tetap dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
e. Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2)
1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak di UP2, yaitu Kantor Pelayanan Pajak atau Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
2) Kantor Pelayanan Pajak dapat bertindak sebagai UP2 Domisili atau UP2 Lokasi sesuai dengan wilayah kerjanya.
3) Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan bertindak sebagai UP2 Domisili.
4) Dalam hal UP2 bertindak sebagai UP2 Domisili, UP2 tersebut dapat melakukan Pemeriksaan atas satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
5) Dalam hal UP2 bertindak sebagai UP2 Lokasi, UP2 tersebut dapat melakukan pemeriksaan atas satu atau beberapa jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.
6) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dapat menugaskan Fungsional Pemeriksa Pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak untuk melaksanakan pemeriksaan di Kantor Pelayanan Pajak dengan menerbitkan Surat Tugas Pelaksanaan Pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh Lampiran I.5 Surat Edaran.
7) Penugasan sebagaimana dimaksud angka 6) dapat juga dilakukan berdasarkan permintaan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
8) Administrasi pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh Fungsional Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud angka 6) dilakukan oleh UP2.
f. Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan SP2 Perubahan
1) SP2 sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 diterbitkan berdasarkan:
a) instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan dari Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Direktur Jenderal Pajak;
b) surat permintaan Pemeriksaan Lokasi oleh UP2 Domisili; atau
c) surat persetujuan pengalihan pemeriksaan.
2) Dalam hal susunan tim Pemeriksa Pajak diubah, Kepala UP2 harus menerbitkan SP2 Perubahan.
3) Pemeriksa Pajak wajib memperlihatkan SP2 Perubahan kepada Wajib Pajak.
4) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal SP2.
5) Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tanggal SP2.
g. Tenaga Ahli
1) Dalam hal Tim Pemeriksa Pajak dibantu oleh Tenaga Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013, maka Tenaga Ahli tersebut bertugas berdasarkan Surat Tugas Membantu Pelaksanaan Pemeriksaan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak.
2) Dalam hal Tenaga Ahli bukan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, maka Surat Tugas Membantu Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
3) Dalam hal Tenaga Ahli merupakan pegawai Direktorat Jenderal Pajak maka Pejabat yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Tugas Membantu Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) adalah :
a) Kepala UP2, dalam hal Tenaga Ahli tersebut merupakan pegawai UP2 yang melaksanakan pemeriksaan;
b) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal Tenaga Ahli tersebut merupakan pegawai di luar UP2 yang melaksanakan pemeriksaan tetapi masih dalam satu wilayah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang bersangkutan;
c) Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal Tenaga Ahli tersebut merupakan pegawai selain huruf a) dan huruf b).
4) Permintaan Tenaga Ahli ditujukan kepada:
a) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dalam hal sebagaimana dimaksud angka 3) huruf b); atau
b) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dalam hal sebagaimana dimaksud angka 2) dan angka 3) huruf c),
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh Lampiran I.6 Surat Edaran ini.
5) Masa tugas Tenaga Ahli berlaku sampai dengan berakhirnya pemeriksaan.
h. Bimbingan Pemeriksaan
1) Dalam hal dipandang perlu, tim Pemeriksa Pajak dapat meminta Bimbingan Pemeriksaan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasan UP2.
2) Bimbingan Pemeriksaan merupakan asistensi teknis yang bersifat konsultatif dan tidak mengikat tim Pemeriksa Pajak.
3) Bimbingan Pemeriksaan dilakukan untuk pemeriksaan Wajib Pajak yang memerlukan keahlian khusus antara lain Pemeriksaan Wajib Pajak perbankan, pertambangan, dan Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi yang terkait dengan transfer pricing.
4) Permintaan Bimbingan Pemeriksaan dilakukan dengan menyampaikan surat yang berisi permintaan Bimbingan Pemeriksaan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak melalui Kepala UP2.
5) Pelaksanaan Bimbingan Pemeriksaan dituangkan dalam berita acara Bimbingan Pemeriksaan yang ditandatangani kedua belah pihak.
i. Perpanjangan Jangka Waktu Pengujian
1) Jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan dengan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
2) Perpanjangan jangka waktu pengujian hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali, kecuali Pemeriksaan Lapangan terkait dengan:
a) Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi,
b) Wajib Pajak dalam satu grup, atau
c) Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan,
dapat diperpanjang 6 (enam) bulan dan paling banyak 3 (tiga) kali.
3) Prosedur perpanjangan jangka waktu pengujian diatur sebagai berikut:
a) Pemeriksa Pajak harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengujian kepada Kepala UP2 dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.7 Surat Edaran ini;
b) permohonan perpanjangan jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf a) harus disampaikan sebelum jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada angka 1) berakhir;
c) persetujuan atau penolakan perpanjangan jangka waktu pengujian harus disampaikan oleh Kepala UP2 kepada Pemeriksa Pajak sebelum jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada angka 1) berakhir dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.8 Surat Edaran ini atau contoh pada Lampiran I.9 Surat Edaran ini;
d) dalam hal permohonan perpanjangan jangka waktu pengujian disetujui, Pemeriksa Pajak harus menyampaikan pemberitahuan perpanjangan tersebut kepada Wajib Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.10 Surat Edaran ini; dan
e) dalam hal perpanjangan jangka waktu pengujian terkait pemeriksaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2), perpanjangan jangka waktu pengujian dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
i. prosedur perpanjangan jangka waktu pengujian harus dilakukan setiap kali akan dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian; dan
ii. dilakukan sebelum berakhirnya jangka waktu perpanjangan yang telah disetujui sebelumnya.
4) Dalam hal Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor dilakukan berdasarkan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, jangka waktu pemeriksaan harus tetap memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
j. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP)
1) Penyampaian SPHP hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali untuk setiap SP2.
2) Format SPHP sekurang-kurangnya sesuai dengan contoh format Lampiran VII Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
k. Penyelesaian Pemeriksaan
1) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud Pasal 21 huruf a Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 dilakukan dalam hal:
a) untuk Pemeriksaan Lapangan, dengan ketentuan:
i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak ditemukan adalah apabila Wajib Pajak atau wakil/kuasa/pegawai/anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan;
ii. Wajib Pajak tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada huruf i sekurang-kurangnya dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat kelurahan/RT/RW setempat atau dari pengelola tempat tinggal/tempat kedudukan/tempat kegiatan usaha Wajib Pajak;
iii. LHP Sumir dapat mulai dibuat setelah jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tim Pemeriksa Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan; dan
iv. LHP Sumir harus dilampiri dengan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada huruf ii;
b) untuk Pemeriksaan Kantor, dengan ketentuan:
i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak ditemukan adalah apabila dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan, surat panggilan tersebut dikembalikan oleh pihak pos atau jasa pengiriman lainnya; dan
ii. LHP Sumir harus dilampiri dengan bukti pengembalian Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor oleh pihak pos atau jasa pengiriman lainnya;
c) fotokopi LHP Sumir sebagaimana dimaksud pada huruf a) atau huruf b) harus dikirimkan kepada Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
d) pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang tidak ditemukan dan diselesaikan dengan membuat LHP Sumir dapat dilakukan kembali apabila dikemudian hari Wajib Pajak ditemukan dengan melalui prosedur Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus dan atas pemeriksaan dimaksud bukan merupakan Pemeriksaan Ulang;
2) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud Pasal 21 huruf b Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 dilakukan dengan ketentuan:
a) LHP Sumir diselesaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
b) penyelesaian pemeriksaan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.
3) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud Pasal 21 huruf c Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 dilakukan dengan ketentuan:
a) LHP Sumir diselesaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah penyidikan dihentikan; dan
b) penyelesaian pemeriksaan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.
4) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud Pasal 21 huruf d Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.
5) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud Pasal 21 huruf e Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut.
a) Penyelesaian pemeriksaan hanya dapat dilakukan setelah ada surat perintah Direktur Jenderal Pajak kepada Kepala UP2 untuk menyelesaikan pemeriksaan dengan LHP Sumir; dan
b) penyelesaian pemeriksaan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah LHP Sumir diselesaikan.
6) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 dilakukan dengan ketentuan:
a) Pemeriksaan Lapangan:
i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak ditemukan adalah apabila Wajib Pajak atau wakil/kuasa/pegawai/anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan;
ii. Wajib Pajak tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada huruf i sekurang-kurangnya dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat kelurahan/RT/RW setempat atau dari pengelola tempat tinggal/tempat kedudukan/tempat kegiatan usaha Wajib Pajak; dan
iii. meskipun Wajib Pajak tidak ditemukan sebagaimana dimaksud pada huruf i, pemeriksaan harus diselesaikan dengan membuat LHP sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak, dengan terlebih dahulu melakukan prosedur SPHP dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
b) Pemeriksaan Kantor:
i. yang dimaksud dengan Wajib Pajak tidak hadir adalah apabila Wajib Pajak atau wakil/kuasa/pegawai/anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak datang dalam memenuhi surat panggilan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan; dan
ii. meskipun Wajib Pajak tidak hadir sebagaimana dimaksud pada huruf i, pemeriksaan harus diselesaikan dengan membuat LHP sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak, dengan terlebih dahulu melakukan prosedur SPHP dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
7) Penyelesaian pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) huruf d dan huruf e Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 dilakukan dengan ketentuan:
a) perpanjangan jangka waktu pengujian paling lama 4 (empat) bulan sebagaimana dimaksud Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013; dan
b) proses penyelesaian pemeriksaan dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
l. Perluasan Pemeriksaan
1) Pemeriksaan diperluas ke Tahun-Tahun Pajak atau Masa-Masa Pajak yang belum dilakukan pemeriksaan, dalam hal:
a) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) untuk Tahun-Tahun Pajak sebelumnya yang menyatakan rugi; atau
b) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) untuk Masa-Masa Pajak sebelumnya menyatakan lebih bayar yang dikompensasikan (SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi).
2) Perluasan Pemeriksaan yang disebabkan karena alasan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) dalam hal Kepala UP2 akan mengusulkan Pemeriksaan Rutin untuk satu atau seluruh jenis pajak atas suatu Tahun Pajak maka:
i. sebelum usulan tersebut dilakukan, Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal harus melakukan penelitian terhadap SPT Tahunan PPh Tahun-Tahun Pajak sebelumnya;
ii. dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat SPT yang menyatakan rugi untuk Tahun-Tahun Pajak sebelumnya, terhadap SPT yang menyatakan rugi tersebut harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sepanjang mempunyai pengaruh kompensasi; dan
iii. pengusulan harus dilakukan bersamaan dengan pengusulan Pemeriksaan Rutin untuk satu atau seluruh jenis pajak dimaksud;
b) dalam hal Kepala UP2 menerima persetujuan/instruksi Pemeriksaan Khusus dari Kepala Kanwil DJP atau instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan maka:
i. segera setelah menerima persetujuan atau instruksi tersebut, Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal harus melakukan penelitian terhadap SPT Tahunan PPh Tahun-Tahun Pajak sebelumnya;
ii. dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat SPT yang menyatakan rugi untuk Tahun-Tahun Pajak sebelumnya, terhadap SPT yang menyatakan rugi tersebut harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sepanjang mempunyai pengaruh kompensasi; dan
iii. pengusulan dilakukan melalui pengusulan Pemeriksaan Rutin untuk satu atau seluruh jenis pajak;
c) pengusulan pemeriksaan terhadap SPT yang menyatakan Rugi dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Rutin dengan kode pemeriksaan SPT yang menyatakan rugi.
3) Perluasan pemeriksaan karena alasan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf b) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) dalam hal Kepala UP2 akan mengusulkan Pemeriksaan Rutin atas suatu SPT Masa PPN maka:
i. sebelum usulan tersebut dilakukan, Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal harus melakukan penelitian terhadap SPT Masa PPN Masa-Masa Pajak sebelumnya;
ii. dalam hal berdasarkan hasil penelitian terdapat SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi untuk Masa-Masa Pajak sebelumnya, terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi tersebut harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan; dan
iii. pengusulan harus dilakukan bersamaan dengan pengusulan Pemeriksaan Rutin;
b) dalam hal Kepala UP2 menerima persetujuan/instruksi Pemeriksaan Khusus dari Kepala Kanwil DJP atau instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan maka:
i. segera setelah menerima persetujuan atau instruksi tersebut, Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal harus melakukan penelitian terhadap SPT Masa PPN Masa-Masa Pajak sebelumnya;
ii. dalam hal berdasarkan penelitian terdapat SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi untuk Masa-Masa Pajak sebelumnya, terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi tersebut harus diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sepanjang mempunyai pengaruh kompensasi; dan
iii. pengusulan dilakukan melalui pengusulan Pemeriksaan Rutin untuk satu jenis pajak.
c) pengusulan pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Rutin dengan kode pemeriksaan SPT Masa PPN Lebih Bayar.
m. Pemeriksaan Lokasi
1) Pemeriksaan Lokasi adalah pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan di tempat kegiatan usaha Wajib Pajak selain domisili Wajib Pajak.
2) Pemeriksaan Lokasi dilakukan oleh:
a) UP2 Lokasi; atau
b) UP2 Domisili sesuai dengan kewenangan wilayah kerjanya.
3) UP2 Lokasi dapat melakukan Pemeriksaan Lokasi berdasarkan:
a) permintaan dari UP2 Domisili, atau
b) kriteria Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus
4) Dalam hal UP2 Domisili melakukan Pemeriksaan Lapangan untuk seluruh jenis pajak maka UP2 Domisili dapat melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi kepada UP2 Lokasi yang telah ditetapkan dalam Audit Plan.
5) Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 4) dilakukan dengan mengacu pada kriteria pemeriksaan yang dilakukan oleh UP2 Domisili, yaitu Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus.
6) SP2 untuk Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 4) diterbitkan berdasarkan permintaan Pemeriksaan Lokasi dari UP2 Domisili setelah Audit Plan dibuat.
7) Surat permintaan Pemeriksaan Lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 4) harus dibuat dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah surat pemberitahuan pemeriksaan lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak Domisili, dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.11 Surat Edaran ini.
8) Surat permintaan Pemeriksaan Lokasi harus disertai dengan fotokopi Audit Plan.
9) Pemeriksaan Lokasi karena permintaan UP2 Domisili harus diselesaikan oleh UP2 Lokasi sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dalam surat permintaan Pemeriksaan Lokasi.
10) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 9) sekurang-kurangnya 5 (lima) bulan, yaitu 3 (tiga) bulan jangka waktu pengujian dan 2 (dua) bulan jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan, yang dihitung sejak tanggal surat permintaan Pemeriksaan Lokasi dan UP2 Lokasi tidak dapat melakukan perpanjangan jangka waktu pengujian.
11) Setelah pemeriksaan oleh UP2 Lokasi selesai, Kepala UP2 Lokasi harus mengirimkan salinan LHP kepada Kepala UP2 Domisili paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal LHP.
12) Dalam hal terdapat permintaan Pemeriksaan Lokasi maka LHP Domisili harus mencakup hasil pemeriksaan Lokasi, kecuali:
a) SPT Tahunan Wajib Pajak Domisili menunjukan lebih bayar dan akan segera jatuh tempo; atau
b) Pemeriksaan Lokasi belum diselesaikan sampai dengan LHP Domisili dibuat.
13) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh UP2 Domisili yang wilayah kerjanya seluruh Indonesia yaitu Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, UP2 di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, dan UP2 di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Pemeriksaan Lokasi dapat dilakukan oleh:
a) UP2 Domisili tanpa melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi kepada Kepala UP2 Lokasi; dan/atau
b) UP2 Lokasi berdasarkan permintaan Pemeriksaan Lokasi dari UP2 Domisili.
14) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh UP2 Domisili yang wilayah kerjanya meliputi satu Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, yaitu KPP Madya, Pemeriksaan Lokasi di dalam wilayah kerjanya dapat dilakukan oleh:
a) UP2 Domisili tanpa melakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi kepada Kepala UP2 Lokasi; dan/atau
b) UP2 Lokasi berdasarkan permintaan Pemeriksaan Lokasi dari UP2 Domisili.
15) Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh UP2 Domisili sebagaimana dimaksud pada angka 13) huruf a) atau angka 14) huruf a), UP2 Domisili harus menyampaikan pemberitahuan kepada UP2 Lokasi.
16) Dalam hal UP2 Lokasi sedang melakukan Pemeriksaan Lokasi berdasarkan permintaan UP2 Domisili, Pemeriksa Pajak UP2 Domisili baik KPP Pratama atau KPP Madya yang Wajib Pajak lokasinya terdaftar di luar wilayah kerjanya dapat melakukan pemeriksaan di lokasi kegiatan usaha Wajib Pajak tersebut dengan terlebih dahulu menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kepala UP2 Lokasi dan ditembuskan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.12 Surat Edaran ini.
17) Berdasarkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada angka 16), Kepala UP2 Lokasi harus menerbitkan surat tugas pendampingan kepada tim Pemeriksa Pajak Lokasi untuk mendampingi tim Pemeriksa Pajak UP2 Domisili dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.13 Surat Edaran ini.
18) Pemeriksaan oleh tim Pemeriksa Pajak UP2 Domisili sebagaimana dimaksud dalam angka 16) harus dilakukan secara bersamaan dengan tim Pemeriksa Pajak UP2 Lokasi.
19) Dalam hal UP2 Domisili melakukan Pemeriksaan Lokasi maka UP2 Domisili harus menyampaikan fotokopi LHP beserta Nota Penghitungan kepada Kepala UP2 Lokasi paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal LHP.
n. Pengalihan Pemeriksaan
1) Pengalihan pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak pindah tempat terdaftar (domisili) dari satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) ke KPP lain sepanjang:
a) instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan telah diterbitkan; dan
b) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor belum disampaikan kepada Wajib Pajak.
2) Pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan dalam rangka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP yang batas waktu penerbitan surat ketetapan pajaknya kurang dari 6 (enam) bulan, dan pemeriksaan tersebut harus diselesaikan oleh UP2 lama.
3) Pengalihan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke KPP lain tetapi masih dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang sama, dilakukan oleh:
a) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk pemeriksaan yang instruksi/persetujuannya diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan;
b) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak untuk pemeriksaan yang instruksi/persetujuan/penugasannya diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak; atau
c) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasan UP2 Lokasi untuk Pemeriksaan Lokasi karena adanya permintaan dari UP2 Domisili.
4) Pengalihan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke KPP lain di luar wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasan KPP lama, dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
5) Usul pengalihan pemeriksaan disampaikan oleh Kepala UP2 lama kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.14 Surat Edaran ini.
6) Dalam hal usul pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 5) disetujui, maka persetujuan disampaikan kepada Kepala UP2 baru dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.15 Surat Edaran ini dan ditembuskan kepada Kepala UP2 lama, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasan UP2 baru dan/atau UP2 lama.
7) Dalam hal usul pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 5) ditolak, maka penolakan disampaikan kepada Kepala UP2 lama dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.16 Surat Edaran ini dan ditembuskan kepada Kepala KPP baru tempat Wajib Pajak terdaftar.
8) Surat persetujuan pengalihan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 6) digunakan sebagai dasar penerbitan SP2 pada UP2 baru.
9) Terhadap pemeriksaan yang ditolak pengalihan pemeriksaannya sebagaimana dimaksud pada angka 7) atau tidak dapat dialihkan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) pemeriksaan tetap diselesaikan oleh UP2 lama sampai dengan penerbitan Nota Penghitungan;
b) LHP dan Nota Penghitungan harus menggunakan identitas baru;
c) terhadap pemeriksaan yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP maka LHP dan Nota Penghitungan sudah harus dikirim ke KPP baru tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 1 (satu) bulan sebelum jatuh tempo penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak; dan
d) terhadap pemeriksaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf c, LHP dan Nota Penghitungan harus dikirim ke KPP baru tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal LHP.
10) Terhadap Pemeriksaan yang disetujui untuk dialihkan, UP2 lama yang Pemeriksaannya dialihkan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) tidak dibuatkan LHP Sumir; dan
b) dalam hal sudah dilakukan permintaan Pemeriksaan Lokasi ke UP2 Lokasi, maka berdasarkan tembusan surat persetujuan pengalihan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 6), UP2 lama yang Pemeriksaannya dialihkan memberitahukan kepada seluruh UP2 Lokasi bahwa Pemeriksaannya sudah dialihkan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.17 Surat Edaran ini.
o. Pembatalan Penugasan Pemeriksaan
1) Pembatalan penugasan pemeriksaan dilakukan dengan alasan sebagai berikut:
a) terdapat kesalahan administrasi yang bersifat manusiawi (human error), seperti kesalahan:
i. nama Wajib Pajak;
ii. NPWP;
iii. Jenis Pajak;
iv. Masa Pajak;
v. Tahun Pajak;
vi. kode pemeriksaan;
vii tujuan pemeriksaan; atau
viii. penunjukan UP2
sepanjang SPHP belum disampaikan kepada Wajib Pajak;
b) pemeriksaan belum dimulai dan Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Lebih Bayar menjadi selain SPT Lebih Bayar;
c) pemeriksaan yang dilakukan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pasal 17B Undang-Undang KUP yang SP2 diterbitkan setelah jangka waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak terlampaui;
d) berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan Pembetulan SPT selain sebagaimana dimaksud angka 1) huruf b) sebelum Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dikirimkan oleh Pemeriksa Pajak, maka Pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan penyesuaian Audit Plan.
3) Pembatalan penugasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf a), huruf b), dan huruf c) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) terhadap instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan yang diterbitkan oleh:
i. Direktur Jenderal Pajak, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
ii. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan; dan
iii. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, pembatalan penugasan pemeriksaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
b) usul pembatalan penugasan pemeriksaan oleh Kepala UP2 kepada Direktur Jenderal Pajak, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.18 Surat Edaran ini;
c) Direktur Jenderal Pajak, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak memberikan persetujuan atau penolakan atas usul pembatalan penugasan pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada:
i. Lampiran I.19, dalam hal usul pembatalan penugasan pemeriksaan disetujui; atau
ii. Lampiran I.20, dalam hal usul pembatalan penugasan pemeriksaan ditolak;
d) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak selaku pihak yang menerbitkan instruksi/persetujuan/penugasan pemeriksaan, dapat melakukan pembatalan penugasan pemeriksaan tanpa berdasarkan usulan dari Kepala UP2;
e) pembatalan penugasan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf d) dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.21 Surat Edaran ini;
f) terhadap penugasan pemeriksaan yang dibatalkan, tidak dibuatkan LHP Sumir.
4) Pembatalan penugasan pemeriksaan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1) huruf d) merupakan kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pembatalan dapat dilakukan sepanjang surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan belum diterbitkan;
b) pembatalan dilakukan dengan menerbitkan surat Direktur Jenderal Pajak mengenai pembatalan penugasan pemeriksaan;
c) pembatalan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
i. Direktur Jenderal Pajak memberikan perintah kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk membatalkan penugasan pemeriksaan;
ii. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan membuat konsep surat Direktur Jenderal Pajak tentang Pembatalan Penugasan Pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.22 Surat Edaran ini;
iii. Direktur Jenderal Pajak menandatangani surat Direktur Jenderal Pajak tentang Pembatalan Penugasan Pemeriksaan dan disampaikan kepada Kepala UP2;
iv. terhadap penugasan pemeriksaan yang dibatalkan, tidak dibuat LHP Sumir.
5) Dalam hal pemeriksaan yang dibatalkan penugasannya sebagaimana dimaksud pada angka 3) atau angka 4) terdapat permintaan Pemeriksaan Lokasi, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) berdasarkan surat pembatalan penugasan pemeriksaan, Kepala UP2 Domisili mengirimkan surat pemberitahuan pembatalan penugasan pemeriksaan kepada Kepala UP2 Lokasi dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.23 Surat Edaran ini;
b) berdasarkan surat pemberitahuan pembatalan penugasan pemeriksaan dari UP2 Domisili, Kepala UP2 Lokasi mengajukan permohonan pembatalan penugasan pemeriksaan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya sepanjang UP2 Lokasi belum:
i. menyampaikan SPHP terkait dengan pembatalan pemeriksaan pada angka 1) huruf a); atau
ii. menerbitkan surat ketetapan pajak terkait dengan pembatalan pemeriksaan pada angka 1) huruf d),
dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.24 Surat Edaran ini;
c) surat pembatalan penugasan pemeriksaan dari UP2 Lokasi sebagaimana dimaksud pada huruf b), digunakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasan UP2 Lokasi untuk melakukan pembatalan Nomor Pengawasan Pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.25 Surat Edaran ini.
6) Dalam hal pemeriksaan Lokasi dibatalkan penugasannya karena Wajib Pajak Lokasi tidak terdaftar di wilayah kerja UP2 Lokasi dimaksud atau terhadap Wajib Pajak Lokasi sudah pernah dilakukan Pemeriksaan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) Kepala UP2 Lokasi mengirimkan surat pemberitahuan kepada Kepala UP2 Domisili yang menyatakan bahwa UP2 Lokasi tidak dapat melakukan Pemeriksaan Lokasi dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.26 Surat Edaran ini;
b) dalam hal terhadap Wajib Pajak Lokasi sudah pernah dilakukan Pemeriksaan maka bersamaan dengan surat sebagaimana dimaksud pada huruf a) dilampirkan dengan fotokopi LHP Lokasi;
c) berdasarkan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf a), Kepala UP2 Domisili menyampaikan surat pembatalan permintaan Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan pada contoh pada Lampiran I.27 Surat Edaran ini kepada Kepala UP2 Lokasi;
d) berdasarkan surat pembatalan permintaan Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi dari UP2 Domisili, Kepala UP2 Lokasi mengajukan permohonan pembatalan penugasan pemeriksaan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.24 Surat Edaran ini; dan
e) surat permohonan pembatalan penugasan pemeriksaan dari UP2 Lokasi sebagaimana dimaksud pada huruf d), digunakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasan UP2 Lokasi untuk melakukan pembatalan Nomor Pengawasan Pemeriksaan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.25 Surat Edaran ini.
7) Dalam hal dilakukan pembatalan penugasan pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor telah disampaikan kepada Wajib Pajak, Kepala UP2 memberitahukan pembatalan penugasan pemeriksaan tersebut kepada Wajib Pajak dengan mengunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.28 Surat Edaran ini.
p. Pembatalan Hasil Pemeriksaan
1) Pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 ditindaklanjuti dengan pembatalan LHP dan Nota Penghitungan.
2) Pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud angka 1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.
3) Pembatalan LHP dan Nota Penghitungan diatur sebagai berikut:
a) berdasarkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Kepala UP2 membuat Surat Keputusan Pelaksanaan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak untuk membatalkan LHP dan nota penghitungan;
b) Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal membuat berita acara pembatalan LHP dan Nota Penghitungan dan disampaikan kepada Direktorat Teknologi dan Informasi Perpajakan;
4) Terhadap pemeriksaan yang surat ketetapan pajaknya dibatalkan sebagaimana dimaksud pada angka 1), ditindaklanjuti dengan menyampaikan SPHP dan/atau melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud angka 4) dilakukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah Surat Keputusan Pelaksanaan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak diterbitkan.
6) Jangka waktu Pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada angka 4) berlaku ketentuan jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
7) Dalam hal Pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada angka 4) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang KUP, Pemeriksaan dilanjutkan dengan penerbitan:
a) surat ketetapan pajak sesuai dengan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang KUP belum terlewati; atau
b) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan Surat Pemberitahuan apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang KUP terlewati.
8) Dalam hal susunan tim Pemeriksa Pajak untuk melanjutkan pemeriksaan berbeda dengan susunan tim Pemeriksa Pajak sebelumnya, pemeriksaan dilanjutkan setelah diterbitkan SP2 Perubahan kepada Pemeriksa Pajak yang ditunjuk.
q. Tim Quality Assurance Pemeriksaan
1) Tim Quality Assurance Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.29 Surat Edaran Ini.
2) Tim Quality Assurance Pemeriksaan ditetapkan pada setiap awal tahun.
3) Susunan Tim Quality Assurance Pemeriksaan terdiri atas:
a) Ketua;
b) Sekretaris; dan
c) 3 (tiga) orang Anggota
sebagaimana dimaksud pada Pasal 48 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
4) Ketua Tim Quality Assurance Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 3) huruf a) diisi oleh pejabat eselon III, dengan ketentuan:
a) pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, dijabat oleh Kepala Subdirektorat di lingkungan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan; dan
b) pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dijabat oleh Kepala Bidang kecuali Kepala Bidang Pengurangan Keberatan dan Banding/Kepala Bidang Keberatan dan Banding.
5) Sekretaris Tim Quality Assurance Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 3) huruf b) diisi oleh pejabat eselon IV, dengan ketentuan:
a) pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, dijabat oleh Kepala Seksi di lingkungan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan; dan
b) pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dijabat oleh Kepala Seksi di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak kecuali Kepala Seksi di Bidang Pengurangan Keberatan dan Banding/Kepala Seksi di Bidang Keberatan dan Banding.
6) Anggota Tim Quality Assurance Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 3) huruf c) diisi oleh Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Jenderal Pajak, dengan ketentuan:
a) pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, diisi oleh:
  1. Kepala Seksi di lingkungan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan; dan/atau
  2. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di lingkungan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan;
b) pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, diisi oleh:
  1. Kepala Seksi di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak kecuali Kepala Seksi di Bidang Pengurangan Keberatan dan Banding/Kepala Seksi di Bidang Keberatan dan Banding; dan/atau
  2. Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
c) penunjukan Anggota Tim Quality Assurance Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan kompetensi pegawai yang bersangkutan; dan
d) dalam hal dipandang perlu Anggota Tim Quality Assurance Pemeriksaan dapat diisi oleh Kepala Seksi/Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak pada KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
7) Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak melakukan pengujian pemeriksaan tetapi memberikan simpulan atas perbedaan pendapat antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak mengenai dasar hukum koreksi dan/atau penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
8) Masa tugas Tim Quality Assurance Pemeriksaan dimulai sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 2) dan berakhir pada tanggal 31 Desember untuk tahun yang bersangkutan.
9) Dalam hal dipandang perlu, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dapat mengubah susunan Tim Quality Assurance Pemeriksaan.
10) Pengadministrasian surat atau dokumen yang terkait dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dilakukan oleh Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan atau Seksi Bimbingan Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
11) Tata cara pengadministrasian surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 10) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) dalam hal terdapat permohonan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan maka Kepala Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan atau Kepala Seksi Bimbingan Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal membuat undangan pembahasan dan menyampaikan undangan tersebut kepada Wajib Pajak dan tim Pemeriksa Pajak, penyampaian undangan harus memperhatikan jangka waktu dimulainya pembahasan oleh Tim Quality Assurance Pemeriksaan;
b) Kepala Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan atau Kepala Seksi Bimbingan Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal membuat surat tugas yang ditandatangani oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak untuk menunjuk Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang ditugaskan untuk melakukan pembahasan;
c) surat tugas diterbitkan dengan menggunakan format surat tugas sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai tata naskah dinas; dan
d) setiap Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang dibuat oleh Tim Quality Assurance Pemeriksaan diadministrasikan pada Seksi Pengendalian Mutu Pemeriksaan atau Seksi Bimbingan Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal.
12) Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang melakukan pembahasan adalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang di dalamnya tidak terdapat Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan.
13) Pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak dilakukan dalam hal jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pelaporan sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 telah berakhir.
14) Terkait dengan permohonan Wajib Pajak untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Pemeriksa Pajak harus segera menginformasikan kepada Kepala Subdirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan atau Kepala Bidang Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak mengenai permohonan Wajib Pajak tersebut; dan
b) setelah mendapatkan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf a), Kepala Subdirektorat Teknik dan Pengendalian Pemeriksaan atau Kepala Bidang Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak harus memantau surat permohonan Wajib Pajak tersebut untuk segera ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
r. Penetapan Untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak dan/atau Tahun Pajak Sebelum Wajib Pajak Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Dalam hal terhadap Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan ditemukan potensi pajak terutang untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Selain mengusulkan penerbitan surat ketetapan pajak/Surat Tagihan Pajak, Pemeriksa Pajak:
a) harus mengusulkan pengukuhan PKP secara jabatan mulai sejak saat terpenuhinya persyaratan sebagai PKP; dan/atau
b) dapat mengusulkan pemeriksaan ke Masa Pajak sebelumnya berdasarkan analisis risiko.
2) Berdasarkan usulan Tim Pemeriksa Pajak, Kepala UP2 melalui Kepala Seksi Pelayanan mengukuhkan PKP secara jabatan sejak saat terpenuhinya persyaratan PKP.
3) Jangka waktu penetapan/penerbitan SKPKB/STP dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP.
s. Pemeriksaan Untuk Masa Pajak Sebelum PKP Melakukan Pemusatan Tempat Terutang PPN
1) Terhadap kewajiban PPN untuk Masa Pajak sebelum dan Masa Pajak setelah PKP melakukan pemusatan tempat terutang PPN dapat dilakukan Pemeriksaan.
2) Dalam hal Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan untuk Masa Pajak sebelum PKP melakukan pemusatan tempat terutang PPN, Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a) UP2 yang berwenang melakukan Pemeriksaan adalah UP2 tempat pemusatan dilakukan (UP2 baru);
b) dalam hal dilakukan Pemeriksaan terhadap salah satu cabang yang dipusatkan, maka terhadap kewajiban PPN dari seluruh cabang yang dipusatkan harus dilakukan Pemeriksaan secara bersamaan;
c) pengusulan dan penugasan Pemeriksaan, penerbitan SP2, pembuatan KKP dan LHP, penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak, dan penerbitan dokumen administratif lainnya dilakukan dengan menggunakan identitas PKP yang melakukan pemusatan;
d) prosedur pengusulan Pemeriksaan dilakukan dengan mekanisme Pemeriksaan Rutin atau Pemeriksaan Khusus.
2. Pemeriksaan Rutin
a. Kebijakan Umum
1) Pemeriksaan Rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang:
a) diwajibkan oleh Undang-Undang KUP; atau
b) dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak (skala prioritas), sehubungan dengan pengujian pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
2) Dalam rangka menjamin terpenuhinya kewajiban pelaksanaan Pemeriksaan Rutin, Kepala UP2 melalui Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal harus membuat daftar persediaan Wajib Pajak yang akan dilakukan Pemeriksaan Rutin dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.30 Surat Edaran ini dan memutakhirkan daftar tersebut setiap awal bulan berikutnya.
3) Pemeriksaan Rutin dapat dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor atau Pemeriksaan Lapangan.
b. Alasan Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan Rutin dilakukan dalam hal:
1) Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam:
a) Pasal 17B Undang-Undang KUP; atau
b) Pasal 17C Undang-Undang KUP tetapi memilih untuk tidak dilakukan pengembalian dengan SKPPKP dan meminta untuk direstitusikan, atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP.
2) Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam:
a) Pasal 17B Undang-Undang KUP; atau
b) Pasal 17C Undang-Undang KUP tetapi memilih untuk dilakukan pengembalian melalui prosedur biasa, atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP.
3) Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP;
4) Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi;
5) Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP;
6) Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
7) Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; dan
8) Wajib Pajak melakukan:
a) perubahan tahun buku;
b) perubahan metode pembukuan; dan/atau
c) penilaian kembali aktiva tetap.
c. Pemeriksaan Rutin SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi
Pemeriksaan Rutin atas SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;
2) memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan dan jangka waktu penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B UU KUP;
3) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor apabila SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi disampaikan oleh:
a) Wajib Pajak badan yang pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga yang berwenang (go public) dan menyampaikan SPT Tahunan dengan dilampiri laporan keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29A Undang-Undang KUP;
b) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:
i. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan Publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik, dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian; dan
ii. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
c) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tetapi memilih menghitung pajak terutang dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, kecuali berdasarkan pertimbangan Kepala UP2 perlu dilakukan Pemeriksaan Lapangan;
d) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, atau Wajib Pajak badan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kembali pos (kempos);
ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi;
iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan petugas Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak;
iv. hasil kunjungan petugas Account Representative dapat menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis Wajib Pajak;
v. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan yang restitusi tepat waktu; dan
vi. hasil Pemeriksaan Pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan koreksi atas pos peredaran usaha dan/atau pembelian tetapi tidak bernilai material (koreksi di bawah 5% dari peredaran usaha dan/atau pembelian);
4) Akuntan Publik sebagaimana yang dimaksud dalam angka 3) huruf b) angka romawi i adalah Akuntan Publik sebagaimana dimaksud Undang-Undang Akuntan Publik;
5) pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3) huruf d) dapat dilakukan melalui jenis pemeriksaan lapangan berdasarkan pertimbangan Kepala UP2;
6) ruang lingkup pemeriksaan terhadap SPT Tahunan Lebih Bayar Restitusi meliputi satu jenis pajak yaitu PPh Badan atau PPh Orang Pribadi;
7) dalam hal Pemeriksaan Kantor terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap:
a) Penghasilan Bruto/Peredaran Usaha; dan
b) Kredit Pajak;
8) dalam hal dianggap perlu, Pemeriksa Pajak yang melakukan Pemeriksaan Kantor dapat melakukan pengujian pos-pos selain sebagaimana dimaksud pada angka 7) yang memiliki potensi ketidakpatuhan tinggi.
d. Pemeriksaan Rutin SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi
Pemeriksaan Rutin atas SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;
2) memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan dan jangka waktu penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B UU KUP;
3) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor apabila SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi disampaikan oleh:
a) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:
i. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan Publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik, dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian; dan
ii. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
b) Pengusaha Kena Pajak (PKP) selain sebagaimana dimaksud huruf a) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kembali pos (kempos);
ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi;
iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan petugas Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak;
iv. hasil kunjungan petugas Account Representative dapat menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis PKP;
v. PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang restitusi tepat waktu; dan
vi. hasil Pemeriksaan Pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan koreksi atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tetapi tidak bernilai material (koreksi di bawah 5% dari Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak);
4) pemeriksaan terhadap PKP sebagaimana dimaksud dalam angka 3) huruf b) dapat dilakukan melalui jenis pemeriksaan lapangan berdasarkan pertimbangan Kepala UP2;
5) dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi yang terdapat kompensasi dari Masa-Masa Pajak sebelumnya, maka pemeriksaan harus mencakup seluruh Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi tersebut dengan menerbitkan 2 (dua) SP2, yaitu 1 (satu) SP2 untuk Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi dan 1 (satu) SP2 untuk Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi;
6) dalam hal Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih Bayar Kompensasi sebagaimana dimaksud pada angka 4) mencakup lebih dari 1 (satu) Tahun Pajak, maka SP2 yang diterbitkan adalah 1 (satu) SP2 untuk setiap Tahun Pajak;
7) mengingat hanya PKP tertentu saja yang dapat mengajukan restitusi pada setiap Masa Pajak, maka pengusulan dan penugasan Pemeriksaan harus memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4a) dan ayat (4b) Undang-Undang PPN dan PPnBM;
8) ruang lingkup pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi meliputi satu jenis pajak yaitu PPN;
9) dalam hal Pemeriksaan Kantor terhadap Pengusaha Kena Pajak dilakukan dengan melakukan pengujian:
a) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; dan
b) pajak yang dapat diperhitungkan.
10) dalam hal dianggap perlu, Pemeriksa Pajak yang melakukan Pemeriksaan Kantor dapat melakukan pengujian pos-pos selain sebagaimana dimaksud pada angka 9) yang memiliki potensi ketidakpatuhan tinggi.
e. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP
Pemeriksaan Rutin terhadap Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;
2) memperhatikan ketentuan mengenai jangka waktu pemeriksaan;
3) penerbitan ketetapan pajak harus dilakukan sebelum daluwarsa penetapan;
4) dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan; dan
5) ruang lingkup pemeriksaan meliputi satu jenis pajak.
f. Pemeriksaan Rutin Atas SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi
Pemeriksaan Rutin atas SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pelaksanaan pemeriksaannya berdasarkan prioritas;
2) pelaksanaan pemeriksaan diprioritaskan terhadap SPT/PKP sebagai berikut:
a) terdapat data dan/atau informasi pada sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak yang menunjukkan bahwa SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar;
b) PKP non Pedagang Eceran yang melakukan penyerahan dengan Faktur Pajak tidak lengkap yang signifikan;
c) terdapat indikasi dan/atau pernah terbukti sebagai penerbit dan/atau pengguna Faktur Pajak tidak sah;
d) memiliki susunan pengurus/direksi yang sama dengan PKP yang terdapat indikasi dan/atau pernah terbukti sebagai penerbit dan/atau pengguna Faktur Pajak tidak sah; atau
e) PKP selain dimaksud pada Pasal 9 ayat (4b) Undang-Undang PPN dan PPnBM yang memiliki nilai kompensasi material;
3) penentuan pemeriksaan terhadap SPT/PKP sebagaimana dimaksud pada angka 2) dilakukan oleh Kepala UP2 dengan mempertimbangkan:
a) tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak; dan
b) beban kerja Pemeriksa Pajak;
4) pelaksanaan pemeriksaan terhadap SPT masa PPN Lebih Bayar Kompensasi selain sebagaimana dimaksud pada angka 2), dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Kepala UP2;
5) dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor apabila SPT masa PPN Lebih Bayar Kompensasi disampaikan oleh:
a) Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan:
i. laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh Akuntan Publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh Akuntan Publik, dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian; dan
ii. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan atau penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
b) PKP selain sebagaimana dimaksud huruf a) dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut, antara lain:
i. surat yang dikirim ke alamat Wajib Pajak tidak pernah kembali pos (kempos);
ii. terdapat nomor telepon atau faksimili dan dapat dihubungi;
iii. pernah berkomunikasi atau konsultasi dengan petugas Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak;
iv. hasil kunjungan petugas Account Representative dapat menggambarkan dengan jelas kegiatan usaha dan proses bisnis Wajib Pajak;
v. PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN yang restitusi tepat waktu; dan
vi. hasil Pemeriksaan Pajak sebelumnya tidak mendapatkan koreksi atau mendapatkan koreksi atas Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tetapi tidak bernilai material (koreksi di bawah 5% dari Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak);
6) pemeriksaan terhadap PKP sebagaimana dimaksud dalam angka 5) huruf b) dapat dilakukan melalui jenis pemeriksaan lapangan berdasarkan pertimbangan Kepala UP2;
7) dalam hal SPT Masa PPN yang diperiksa mencakup lebih dari 1 (satu) Tahun Pajak, maka SP2 yang diterbitkan adalah 1 (satu) SP2 untuk tiap-tiap Tahun Pajak;
8) ruang lingkup pemeriksaan terhadap SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi meliputi satu jenis pajak yaitu PPN;
9) dalam hal pemeriksaan terhadap PKP dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Kantor, pemeriksaan dilakukan dengan melakukan pengujian:
a) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; dan
b) Pajak yang dapat diperhitungkan;
10) dalam hal dianggap perlu, Pemeriksa Pajak yang melakukan Pemeriksaan Kantor dapat melakukan pengujian pos-pos selain sebagaimana dimaksud angka 9) yang memiliki potensi ketidakpatuhan tinggi.
g. Pemeriksaan Rutin Terhadap Wajib Pajak Yang Telah Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP
Pemeriksaan Rutin terhadap Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 5) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pelaksanaan pemeriksaannya berdasarkan prioritas;
2) pelaksanaan pemeriksaan diprioritaskan terhadap Wajib Pajak/PKP yang memiliki potensi pajak signifikan.
3) penentuan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak/PKP sebagaimana dimaksud pada angka 2) dilakukan oleh Kepala UP2 dengan mempertimbangkan:
a) signifikansi nilai pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang telah diberikan kepada Wajib Pajak/PKP; dan
b) tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak;
4) pelaksanaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak/PKP selain sebagaimana dimaksud pada angka 3), dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Kepala UP2;
5) pelaksanaan pemeriksaan harus memperhatikan beban kerja Pemeriksa Pajak;
6) pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan; dan
7) ruang lingkup pemeriksaan meliputi seluruh jenis pajak.
h. Pemeriksaan Rutin Atas SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi
Pemeriksaan Rutin atas SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 6) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi adalah SPT Tahunan PPh orang pribadi atau SPT Tahunan PPh badan yang menunjukkan adanya kerugian fiskal pada bagian penghasilan neto fiskal;
2) pelaksanaan pemeriksaannya berdasarkan prioritas;
3) pelaksanaan pemeriksaan diprioritaskan terhadap Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh yang Menyatakan Rugi yang:
  1. kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto pada SPT Tahunan PPh Tahun-Tahun Pajak berikutnya;
  2. kerugiannya paling sedikit selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; atau
  3. berdasarkan SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi tersebut terdapat transaksi signifikan dengan pihak lain yang memiliki hubungan istimewa;
4) penentuan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3) dilakukan oleh Kepala UP2 dengan mempertimbangkan:
  1. tingkat risiko ketidakpatuhan Wajib Pajak; dan
  2. beban kerja Pemeriksa Pajak,
5) pelaksanaan Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak selain sebagaimana dimaksud pada angka 3), dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan Kepala UP2;
6) pemeriksaan dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan; dan
7) pemeriksaan dilakukan dengan ruang lingkup satu jenis pajak.
i. Pemeriksaan Rutin Terhadap Wajib Pajak Badan yang Melakukan Penggabungan, Peleburan, Pemekaran, Likuidasi atau Pembubaran Usaha, atau Wajib Pajak Orang Pribadi Akan Meninggalkan Indonesia Untuk Selama-Lamanya
Pelaksanaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;
2) pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan informasi dari media massa atau pihak lain, atau karena Wajib Pajak badan mengajukan permohonan sehubungan dengan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
3) pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha dapat dilakukan terhadap seluruh Wajib Pajak yang terlibat, dengan prioritas Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan yang bertindak sebagai entitas yang akan mengakhiri aktivitas bisnisnya;
4) pemeriksaan dilakukan untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pada saat Wajib Pajak badan melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
5) terhadap Tahun-Tahun Pajak sebelumnya dapat dilakukan pemeriksaan sepanjang:
  1. terdapat potensi yang signifikan berdasarkan hasil analisis risiko Wajib Pajak; dan
  2. Wajib Pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan untuk tahun-tahun tersebut;
6) pemeriksaan terhadap Tahun-Tahun Pajak sebelumnya sebagaimana dimaksud pada angka 5) dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Khusus;
7) dalam hal dilakukan Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, maka UP2 yang melaksanakan Pemeriksaan tersebut harus mengirimkan LHP kepada KPP tempat Wajib Pajak lawan transaksi terdaftar;
8) pemeriksaan dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan;
9) pemeriksaan dilakukan dengan ruang lingkup seluruh jenis pajak;
10) dalam hal Pemeriksaan Rutin dilakukan terhadap Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya disertai dengan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP, maka Pemeriksa Pajak harus membuat usulan tentang penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dalam LHP;
11) dalam hal Pemeriksaan Rutin dilakukan terhadap Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi yang akan meninggalkan Indonesia  untuk selama-lamanya terkait juga dengan permohonan penghapusan NPWP dan pencabutan pengukuhan PKP, maka Pemeriksa Pajak harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan penghapusan dan/atau pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) dan ayat (9) Undang-Undang KUP; dan
12) berdasarkan LHP, Pemeriksa Pajak harus mengirimkan usulan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP kepada Kepala KPP c.q. Kepala Seksi Pelayanan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.31 Surat Edaran ini.
j. Pemeriksaan Rutin atas Wajib Pajak yang Melakukan Perubahan Tahun Buku, Perubahan Metode Pembukuan atau Melakukan Penilaian Kembali Aktiva Tetap
Pemeriksaan Rutin atas Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku, perubahan metode pembukuan atau melakukan penilaian kembali aktiva tetap, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pelaksanaan pemeriksaannya bersifat wajib;
2) pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
3) dalam hal pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak mengajukan permohonan perubahan tahun buku, maka pemeriksaannya dilakukan atas Bagian Tahun Pajak sampai dengan perubahan tahun buku dilakukan;
misalnya: tahun buku Wajib Pajak adalah Januari s.d Desember 2013 diubah menjadi Oktober 2013 s.d September 2014, maka pemeriksaannya dilakukan untuk Bagian Tahun Pajak Januari s.d September 2013; dan
4) pemeriksaan dilakukan dengan ruang lingkup seluruh jenis pajak.
k. Petunjuk Pelaksanaan Pengusulan Pemeriksaan Rutin
1) Pemeriksaan Rutin diusulkan oleh Kepala UP2 kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya.
2) Pengusulan Pemeriksaan Rutin dilakukan dengan menggunakan Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa, yang dibuat dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.32 dan Lampiran I.33 Surat Edaran ini.
3) Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa sebagaimana dimaksud pada angka 2) dibuat berdasarkan daftar persediaan Wajib Pajak yang akan dilakukan Pemeriksaan Rutin sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2).
4) Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa sebagaimana dimaksud pada angka 2) dikirimkan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 4), terhadap:
a) SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi;
b) SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi; atau
c) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf i angka 10).
Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa dapat dibuat dan dikirimkan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya setiap saat.
6) Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal melakukan pengecekan terhadap SPT Tahunan PPh Lebih Bayar dan/atau SPT Masa PPN Lebih Bayar dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.34 Surat Edaran ini.
7) Pengusulan Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa ke Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dilakukan setelah SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN direkam pada aplikasi yang tersedia.
8) Terhadap Wajib Pajak yang diusulkan untuk diperiksa, yang ruang lingkup pemeriksaannya melebihi 1 (satu) Tahun Pajak, maka usulan tersebut harus diperinci per Tahun Pajak.
9) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi terdapat kompensasi dari Masa-Masa Pajak sebelumnya maka dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa harus diperinci menjadi 2 (dua) usulan, yaitu:
a) 1 (satu) usulan untuk Masa Pajak yang menyatakan Lebih Bayar Restitusi; dan
b) 1 (satu) usulan untuk Masa Pajak lainnya yang menyatakan Lebih  Bayar Kompensasi.
l. Petunjuk Pelaksanaan Penugasan Pemeriksaan Rutin
1) Penugasan Pemeriksaan Rutin merupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan usulan dari Kepala UP2.
2) Berdasarkan Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa dari Kepala UP2, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak membuat dan mengirimkan Surat Penugasan Pemeriksaan Rutin dan mengirimkan surat penugasan tersebut kepada Kepala UP2 yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.35 dan Lampiran I.36 Surat Edaran ini.
3) Apabila dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa yang disampaikan oleh Kepala UP2 terdapat usulan yang tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Rutin, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak membuat dan mengirimkan Surat Penolakan Pemeriksaan Rutin menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.37 dan Lampiran I.38.
4) Surat Penugasan Pemeriksaan Rutin atau Surat Penolakan Pemeriksaan Rutin harus dikirimkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal diterimanya Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa dari Kepala UP2.
5) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dapat memberikan penugasan Pemeriksaan Rutin secara langsung tanpa melalui Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa dalam hal Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak memperoleh informasi mengenai:
a) Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi atau pembubaran usaha, atau Wajib Pajak orang pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; dan/atau
b) Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku, perubahan metode pembukuan atau melakukan penilaian kembali aktiva tetap.
3. Pemeriksaan Khusus
a. Kebijakan Umum
1) Pemeriksaan Khusus merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak berdasarkan analisis risiko.
2) Analisis risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang mengindikasikan potensi penerimaan pajak.
3) Analisis risiko dibuat dengan mendasarkan pada profil Wajib Pajak dan/atau data internal lainnya serta memanfaatkan data eksternal baik secara manual maupun berdasarkan kriteria seleksi berbasis risiko secara komputerisasi.
4) Ruang lingkup Pemeriksaan Khusus untuk UP2 Domisili dapat meliputi satu, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak.
5) Ruang lingkup Pemeriksaan Khusus untuk UP2 Lokasi dapat meliputi satu atau beberapa jenis pajak.
6) Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
b. Alasan Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan Khusus dilakukan dengan alasan:
1) Persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) bersifat bottom-up, yaitu usulan dari UP2 kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak; dan
b) didasarkan pada analisis risiko yang dibuat oleh Account Representative atau Pemeriksa Pajak secara manual dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.39 Surat Edaran ini.
2) Instruksi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) bersifat top-down, yaitu tanpa adanya usulan dari UP2; dan
b) didasarkan pada:
i. analisis risiko yang dibuat oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak secara manual; atau
ii. hasil pengembangan dan analisis atas informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP) yang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus,
3) Instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) bersifat top-down, yaitu tanpa adanya usulan dari UP2;
b) didasarkan pada:
  1. analisis risiko yang dibuat oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan secara manual;
  2. hasil pengembangan dan analisis atas informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP) yang dilakukan oleh Direktur Intelijen dan Penyidikan yang direkomendasikan untuk dilakukan Pemeriksaan Khusus; atau
  3. kriteria seleksi berbasis risiko secara komputerisasi (computerized riskbased selection),
c. Petunjuk Pelaksanaan Usul Pemeriksaan Khusus Bottom-Up
1) Usul Pemeriksaan Khusus dibuat dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.40 Surat Edaran ini, dan didasarkan pada analisis risiko yang menunjukkan potensi penerimaan pajak.
2) Analisis risiko dibuat oleh:
a) Account Representative dan disetujui oleh Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi atasannya; atau
b) Tim Pemeriksa Pajak,
untuk selanjutnya disampaikan kepada Kepala UP2.
3) Kepala UP2 selanjutnya menugaskan Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal membuat Nota Dinas tentang Pembentukan Tim Pembahas Analisis Risiko.
4) Tim Pembahas Analisis Risiko membahas dan menentukan kelayakan analisis risiko untuk diusulkan Pemeriksaan Khusus.
5) Tim Pembahas Analisis Risiko diketuai oleh Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal dengan beranggotakan:
a) dalam hal pengusul Pemeriksaan Khusus dari Account Representative:
  1. Account Representative dan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang mengusulkan Pemeriksaan Khusus yang melakukan pemaparan tentang potensi penerimaan pajak yang dapat digali;
  2. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi selain yang mengusulkan Pemeriksaan Khusus terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan; dan
  3. 1 (satu) tim Pemeriksa Pajak yang akan melakukan pemeriksaan.
b) dalam hal pengusul Pemeriksaan Khusus dari Pemeriksa Pajak:
  1. tim Pemeriksa Pajak yang melakukan pemaparan tentang potensi penerimaan pajak yang signifikan;
  2. Account Representative dan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang memiliki kewenangan atas Wajib Pajak yang diusulkan Pemeriksaan Khusus; dan
  3. Pemeriksa Pajak selain Pemeriksa Pajak pengusul.
6) Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak yang menjadi anggota Tim Pembahas Analisis Risiko sebaiknya menjadi bagian dari tim Pemeriksa Pajak yang akan melakukan Pemeriksaan Khusus terhadap Wajib Pajak yang diusulkan Pemeriksaan Khusus.
7) Dalam hal pengusul Pemeriksaan Khusus berasal dari Pemeriksa Pajak, Wajib Pajak yang diusulkan Pemeriksaan Khusus merupakan Wajib Pajak yang memiliki keterkaitan dengan Wajib Pajak yang sedang atau sudah diperiksa oleh Pemeriksa Pajak pengusul.
8) Hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Analisis Risiko dituangkan dalam Risalah Hasil Pembahasan Analisis Risiko yang ditandatangani oleh Tim Pembahas Analisis Risiko dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.41 Surat Edaran ini.
9) Hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Analisis Risiko ditindaklanjuti sebagai berikut:
a) dalam hal usulan analisis risiko disetujui, usulan Pemeriksaan Khusus disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan dilampiri dengan Risalah Hasil Pembahasan Analisis Risiko;
b) dalam hal usulan analisis risiko tidak disetujui, Account Representative atau Pemeriksa Pajak dapat mengusulkan kembali analisis risiko Wajib Pajak tersebut dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari Tim Pembahas Analisis Risiko; atau
c) dalam hal terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka analisis risiko dan Risalah Hasil Pembahasan Analisis Risiko disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10) Dalam hal usul Pemeriksaan Khusus diajukan oleh Tim Pemeriksa Pajak terkait dengan pemeriksaan satu jenis pajak atas SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi atau SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi yang sedang dilakukan, maka prosedur pembahasan oleh Tim Pembahas Analisis Risiko tersebut tidak perlu dilakukan, dan usul Pemeriksaan Khusus tersebut disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak melalui Kepala UP2.
11) Dalam hal UP2 Lokasi mengusulkan Pemeriksaan Khusus meliputi satu atau beberapa jenis pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 5), Kepala UP2 Lokasi harus mengirimkan fotokopi data dan/atau informasi yang menjadi dasar usulan Pemeriksaan Khusus tersebut kepada Kepala UP2 Domisili.
12) Dalam hal UP2 Domisili menerima data dan/atau informasi dari UP2 Lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 11), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) apabila data dan/atau informasi yang diterima merupakan data dan/atau informasi untuk Tahun Pajak berjalan maka tindak lanjutnya ditentukan sebagai berikut:
  1. data dan/atau informasi tersebut harus disimpan (sebagai bahan masukan untuk profil Wajib Pajak) sampai dengan Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak yang terkait dengan data dan/atau informasi dimaksud;
  2. setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak dimaksud, Kepala UP2 Domisili harus melakukan penelitian atas data/informasi tersebut dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak; dan
  3. dalam hal berdasarkan penelitian tersebut terdapat potensi pajak maka terhadap Wajib Pajak dibuat analisis risiko untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran ini;
b) apabila data dan/atau informasi yang diterima merupakan data dan/atau informasi untuk Tahun-Tahun Pajak sebelumnya maka tindak lanjutnya ditentukan sebagai berikut:
  1. Kepala UP2 Domisili harus melakukan penelitian atas data/informasi tersebut dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak; dan
  2. dalam hal berdasarkan penelitian tersebut terdapat potensi pajak maka terhadap Wajib Pajak dibuat analisis risiko untuk selanjutnya ditindak lanjuti dengan ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran ini;
c) dalam hal UP2 Domisili melakukan Pemeriksaan Khusus untuk seluruh jenis pajak terkait dengan adanya data dan/atau informasi dari UP2 Lokasi sebagaimana dimaksud pada huruf a) dan huruf b), Kepala UP2 Domisili harus meminta kepada Kepala UP2 Lokasi untuk melakukan Pemeriksaan Lokasi sepanjang UP2 Lokasi belum melakukan pemeriksaan.
13) Administrasi terkait usulan Pemeriksaan Khusus, termasuk analisis risiko dan Risalah Hasil Pembahasan Analisis Risiko dilakukan oleh Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal.
d Petunjuk Pelaksanaan Persetujuan Pemeriksaan Khusus Bottom-Up
1) Persetujuan Pemeriksaan Khusus diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan usulan Pemeriksaan Khusus dari Kepala UP2.
2) Sebelum memberikan persetujuan, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak harus melakukan penelitian, evaluasi, dan seleksi atas usulan Pemeriksaan Khusus terutama menyangkut hal-hal sebagai berikut:
a) penelitian atas persyaratan formal usulan pemeriksaan seperti:
  1. ada atau tidaknya analisis risiko yang menunjukkan potensi pajak;
  2. ada atau tidaknya Risalah Hasil Pembahasan Analisis Risiko; dan
  3. kesesuaian kode pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan;
b) evaluasi terhadap potensi penerimaan yang ada dalam analisis risiko;
c) penelitian atas history pemeriksaan; dan
d) penelitian terhadap hal-hal lainnya yang terdapat dalam analisis risiko.
3) Dalam hal usul Pemeriksaan Khusus diajukan oleh Tim Pemeriksa Pajak terkait dengan pemeriksaan satu jenis pajak atas SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi atau SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi yang sedang dilakukan, maka Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak hanya melakukan penelitian atas persyaratan formal yaitu:
a) ada atau tidaknya analisis risiko yang menunjukkan potensi pajak;
b) kesesuaian kode pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan;
c) pemeriksaan satu jenis pajak atas SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi atau SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi benar-benar sedang dilakukan.
4) Hasil penelitian dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 2) dituangkan dalam Lembar Hasil Penelitian dan Evaluasi Analisis Risiko dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.42 Surat Edaran ini.
5) Berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi pada angka 2) atau hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada angka 3), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menentukan apakah usulan Pemeriksaan Khusus disetujui atau ditolak.
6) Persetujuan atas usulan Pemeriksaan Khusus diterbitkan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.43 Surat Edaran ini.
7) Penolakan atas usulan Pemeriksaan Khusus diterbitkan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.44 Surat Edaran ini.
e Petunjuk Pelaksanaan Instruksi Pemeriksaan Khusus Top-Down
1) Instruksi Pemeriksaan Khusus dapat diterbitkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
2) Instruksi Pemeriksaan Khusus yang dibuat oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan diterbitkan berdasarkan:
a) analisis risiko secara manual dari:
  1. usulan Kepala Subdirektorat di Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan; atau
  2. instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan,
b) hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP) yang dilakukan oleh Direktur Intelijen dan Penyidikan yang ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus; atau
c) kriteria seleksi berbasis risiko secara komputerisasi.
3) Instruksi Pemeriksaan Khusus yang dibuat oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak diterbitkan berdasarkan:
a) analisis risiko secara manual yang dibuat oleh Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak, atau
b) hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP) yang dilakukan oleh Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak.
4) Instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan alasan:
a) analisis risiko yang dibuat secara manual; atau
b) hasil analisis dan pengembangan atas informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP) yang ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus;                    
dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan pada contoh pada Lampiran I.45 dan Lampiran I.46 Surat Edaran ini.
5) Instruksi Pemeriksaan Khusus dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan alasan kriteria seleksi berbasis risiko secara komputerisasi (computerized riskbased selection) dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.47 dan Lampiran I.48 Surat Edaran ini.
f. Pemeriksaan Ulang
1) Pemeriksaan Ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a) instruksi Direktur Jenderal Pajak (bersifat top-down); atau
b) persetujuan Direktur Jenderal Pajak (bersifat bottom-up).
2) Pemeriksaan Ulang dapat dilakukan sepanjang dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap;
b) pernah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk jenis pajak dan masa/Bagian Tahun Pajak/Tahun Pajak yang sama; dan
c) penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada huruf  b) dilakukan dengan mekanisme pemeriksaan.
3) Ruang lingkup Pemeriksaan Ulang dapat meliputi seluruh jenis pajak, beberapa jenis pajak atau satu jenis pajak.
4) Prosedur usulan Pemeriksaan Ulang pada KPP adalah sebagai berikut:
a) usul Pemeriksaan Ulang dibuat dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.49 Surat Edaran ini, dan didasarkan pada analisis alasan Pemeriksaan Ulang yang dibuat berdasarkan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.50 Surat Edaran ini;
b) analisis alasan Pemeriksaan Ulang dapat dibuat dan diusulkan oleh:
  1. Account Representative dan disetujui oleh Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi;
  2. Pemeriksa Pajak dan disetujui oleh Supervisor, 
selanjutnya disampaikan kepada Kepala KPP;
c) Kepala KPP selanjutnya menugaskan Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal membuat Nota Dinas tentang Pembentukan Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang;
d) Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang membahas dan menentukan ada atau tidaknya data baru, termasuk data yang semula belum terungkap;
e) Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang diketuai oleh Kepala KPP dan beranggotakan:
  1. Account Representative atau Pemeriksa Pajak yang mengusulkan pemeriksaan ulang;
  2. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi yang merupakan atasan Account Representative atau yang menangani Wajib Pajak yang bersangkutan;
  3. Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi selain yang menangani Wajib Pajak yang bersangkutan;
  4. Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal; dan
  5. Tim Pemeriksa Pajak yang akan diusulkan untuk melakukan pemeriksaan ulang;
f) Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang membuat Risalah Hasil Pembahasan Usul Pemeriksaan Ulang yang ditandatangani oleh Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.51 Surat Edaran ini;
g) hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang ditindaklanjuti sebagai berikut:
  1. dalam hal usulan Pemeriksaan Ulang disetujui, Kepala KPP menyampaikan surat usulan Pemeriksaan Ulang kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang dilampiri dengan data baru, termasuk data yang belum terungkap, dan Risalah Hasil Pembahasan Usul Pemeriksaan Ulang;
  2. dalam hal usulan Pemeriksaan Ulang tidak disetujui, Risalah Hasil Pembahasan Usul Pemeriksaan Ulang ditatausahakan oleh Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal;
5) Prosedur usulan Pemeriksaan Ulang pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut:
a) setelah menerima usul Pemeriksaan Ulang dari Kepala KPP, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak selanjutnya menugaskan Kepala Bidang P4 membuat Nota Dinas tentang Pembentukan Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang;
b) Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang diketuai oleh Kepala Bidang P4 dan beranggotakan:
  1. Kepala Seksi Bimbingan Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal;
  2. Kepala Seksi Administrasi Penyidikan
  3. 1 (satu) atau lebih Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
c) pembahasan yang dilakukan oleh Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang terutama dilakukan untuk melakukan penelitian sebagai berikut:
i. penelitian atas persyaratan formal usulan Pemeriksaan Ulang seperti:
i) kebenaran bahwa Wajib Pajak sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak melalui pemeriksaan untuk Masa Pajak, Tahun Pajak dan jenis pajak yang akan dilakukan Pemeriksaan Ulang;
ii) kelengkapan bukti pendukung dari data baru termasuk data yang semula belum terungkap serta ringkasan hasil pemeriksaan sebelumnya; dan
iii) kesesuaian kode pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan;
ii. evaluasi terhadap potensi penerimaan; dan
iii. penelitian atas history pemeriksaan;
d) hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dituangkan dalam Risalah Hasil Pembahasan Usul Pemeriksaan Ulang yang dibuat dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.52 Surat Edaran ini;
e) apabila berdasarkan risalah hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan bahwa usul Pemeriksaan Ulang dari Kepala KPP:
  1. memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Ulang maka Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak meneruskan usul tersebut kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.53 Surat Edaran ini, dan dilampiri dengan analisis alasan Pemeriksaan Ulang dari KPP, Risalah Hasil Pembahasan Usul Pemeriksaan Ulang KPP, dan Risalah Hasil Pembahasan Usul Pemeriksaan Ulang Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
  2. tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Ulang maka Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan surat penolakan untuk meneruskan usulan tersebut kepada Kepala KPP pengusul dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.54 Surat Edaran ini.
6) Prosedur usulan Pemeriksaan Ulang pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan adalah sebagai berikut:
a) setelah menerima usul Pemeriksaan Ulang dari Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menugaskan Kepala Subdirektorat Perencanaan Pemeriksaan membuat Nota Dinas tentang Pembentukan Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan untuk melakukan pembahasan;
b) Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang diketuai oleh Kepala Subdirektorat Perencanaan Pemeriksaan dan beranggotakan:
  1. Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Orang Pribadi;
  2. Kepala Seksi Perencanaan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan; dan
  3. Kepala Seksi Strategi Pemeriksaan;
c) pembahasan yang dilakukan oleh Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang terutama dilakukan untuk melakukan penelitian sebagai berikut:
i. penelitian atas persyaratan formal usulan Pemeriksaan Ulang seperti:
i) kebenaran bahwa Wajib Pajak sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak melalui pemeriksaan untuk Masa Pajak, Tahun Pajak dan jenis pajak yang akan dilakukan pemeriksaan ulang;
ii) kelengkapan bukti pendukung dari data baru termasuk data yang semula belum terungkap serta ringkasan hasil pemeriksaan sebelumnya; dan
iii) kesesuaian kode pemeriksaan dengan alasan pemeriksaan dan ruang lingkup pemeriksaan;
ii. evaluasi terhadap potensi penerimaan;
iii. penelitian atas tunggakan pemeriksaan; dan
iv. penelitian atas history pemeriksaan;
d) dalam hal dipandang perlu Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang dapat mengundang unit pengusul;
e) hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang pada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dituangkan dalam Risalah Hasil Pembahasan Usul Pemeriksaan Ulang sebagaimana contoh pada Lampiran I.55 Surat Edaran ini;
f) apabila berdasarkan risalah hasil pembahasan oleh Tim Pembahas Usul Pemeriksaan Ulang di Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan menunjukkan bahwa usul Pemeriksaan Ulang dari Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak:
  1. memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Ulang maka Direktur Pemeriksaan dan Penagihan meneruskan usul tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak untuk diterbitkan persetujuan Pemeriksaan Ulang; atau
  2. tidak memenuhi persyaratan untuk dilakukan Pemeriksaan Ulang maka Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menyampaikan surat penolakan untuk meneruskan usulan tersebut dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I.56.
7) Persetujuan untuk melakukan Pemeriksaan Ulang oleh Direktur Jenderal Pajak dilakukan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.57 Surat Edaran ini.
8) Instruksi Pemeriksaan Ulang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak diterbitkan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran I.58 Surat Edaran ini.
4. Pemeriksaan yang Ditangguhkan Karena Bukti Permulaan
Dalam hal pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan diusulkan menjadi Pemeriksaan Bukti Permulaan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 63 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013.
b. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan setelah tim Pemeriksa Pajak meyakini bahwa Wajib Pajak diduga telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
c. Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus memperhatikan jangka waktu pengujian, perpanjangan jangka waktu pengujian, jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP.
d. Penangguhan pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 64 Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 dilakukan terhadap satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang dilakukan Pemeriksaan.
Contoh:
1) Dalam hal Wajib Pajak badan yang dilakukan pemeriksaan khusus untuk seluruh jenis pajak disetujui untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Pemeriksaan ditangguhkan untuk seluruh jenis pajak.
2) Dalam hal Wajib Pajak badan yang dilakukan pemeriksaan untuk satu jenis pajak karena menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi disetujui untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, maka pemeriksaan ditangguhkan untuk satu jenis pajak yaitu PPN.
e. Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan disetujui, tim Pemeriksa Pajak harus membuat Laporan Kemajuan Pemeriksaan Yang Ditangguhkan sebagaimana contoh pada Lampiran I.59 Surat Edaran Ini.
f. Laporan Kemajuan Pemeriksaan Yang Ditangguhkan sebagaimana dimaksud huruf e diselesaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal persetujuan usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
g. Tim Pemeriksa Pajak memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai penangguhan pemeriksaan sebagaimana contoh pada Lampiran I.60 Surat Edaran Ini.
h. Penyerahan fotokopi berita acara penyerahan dokumen sebagaimana dimaksud Pasal 64 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013 dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal berita acara.
5. Nomor Pengawasan Pemeriksaan (NP2) dan Kode Pemeriksaan
a. NP2
1) NP2 adalah nomor yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) secara otomatis;
2) NP2 berfungsi sebagai sarana untuk melakukan pengawasan administrasi pemeriksaan;
3) Untuk kepentingan pengawasan pemeriksaan, setiap SP2 baik untuk seluruh jenis pajak maupun untuk satu atau beberapa jenis pajak harus memiliki NP2.
4) SP2 yang tidak harus memiliki NP2 hanya meliputi SP2 atas Wajib Pajak yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
5) NP2 terdiri dari 15 (lima belas) digit yang terbagi dalam 4 (empat) bagian dengan struktur sebagai berikut:
0 0 0 . B B T T . 0 0 0 0 . 0 0 0 0
   A           B             C             D

a) Bagian A terdiri dari 3 (tiga) digit yang menjelaskan Kode UP2.
b) Bagian B terdiri dari 4 (empat) digit yang menjelaskan Kode Bulan dan Kode Tahun NP2 masing-masing 2 digit.
c) Bagian C terdiri dari 4 (empat) digit yang menjelaskan Kode Pemeriksaan.
d) Bagian D terdiri dari 4 (empat) digit yang menjelaskan nomor urut NP2 di UP2 yang bersangkutan dalam satu tahun.
b. Daftar Kode Pemeriksaan
1) Setiap usulan pemeriksaan harus dilakukan berdasarkan kriteria pemeriksaan dan alasan pemeriksaan yang sesuai dan dikonversikan dalam bentuk Kode Pemeriksaan.
2) Kode Pemeriksaan mencerminkan alasan dilakukannya pemeriksaan dan harus dicantumkan dalam setiap penugasan/persetujuan/instruksi pemeriksaan.
3) Struktur Kode Pemeriksaan terdiri dari 4 (empat) digit dengan pengelompokan sebagai berikut:
a) Digit pertama menunjukkan Jenis Pajak/Ruang Lingkup Pemeriksaan;
b) Digit kedua menunjukkan Kriteria dan Jenis Pemeriksaan;
c) Digit ketiga menunjukkan Alasan Pemeriksaan; dan
d) Digit keempat menunjukkan Jenis Wajib Pajak yang diperiksa.
4) Digit pertama menunjukkan Jenis Pajak/Ruang Lingkup terdiri dari:
- 1 → Seluruh jenis pajak
- 2 → Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- 3 →  Pemotongan dan Pemungutan PPh (P2PPh)
- 4 → PPh OP/Badan
- 5 → Administrasi (Untuk Pemeriksaan Tujuan Lain)
- 6 → Pemeriksaan Lokasi atas permintaan UP2 Domisili
- 7 → PPh Pasal 21/26
- 8 → PPh Pasal 23/26
- 9 → PPh Final
- 0 → Beberapa Jenis Pajak (kode ini digunakan jika yang diperiksa beberapa jenis pajak, antara lain PPN dan P2PPh secara sekaligus atau seluruh kewajiban perpajakan cabang dilakukan pemeriksaan).
5) Digit kedua menunjukkan Kriteria dan Jenis Pemeriksaan terdiri dari :
- 0 → Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Kantor
- 1 → Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
- 2 → Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
- 4 → Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Komputerisasi dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
- 5 → Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Kantor
- 9 → Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Manual dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
6) Digit ketiga menunjukkan Alasan Pemeriksaan yang meliputi:
a) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Kantor (0), maka kode untuk digit ketiga ditentukan sebagai berikut:
- 1 → Perubahan Tahun Buku atau Metode Pembukuan oleh WP Go Public
- 2 → Likuidasi atau Penutupan Usaha oleh WP Go Public
- 3 → Penggabungan Usaha oleh WP Go Public
- 4 → Peleburan Usaha atau Pengambilalihan usaha oleh WP Go Public
- 5 → Pemecahan Usaha atau Pemekaran Usaha oleh WP Go Public
- 7 → SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi oleh WP Go Public
- 8 → SPT Lebih Bayar (LB) Restitusi/Kompensasi
- 9 → Revaluasi Aktiva Tetap oleh WP Go Public
b) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan (1), maka kode untuk digit ketiga ditentukan sebagai berikut:
- 1 → Perubahan Tahun Buku atau Metode Pembukuan
- 2 → Likuidasi, Penutupan Usaha, atau Akan Meninggalkan Indonesia Selama-lamanya
- 3 → Penggabungan Usaha
- 4 → Peleburan Usaha atau Pengambilalihan usaha
- 5 → Pemecahan Usaha atau Pemekaran Usaha
- 6 → Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP
- 7 → SPT Tahunan PPh yang menyatakan rugi
- 8 → SPT Lebih Bayar (LB) Restitusi/Kompensasi
- 9 → Revaluasi Aktiva Tetap
c) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Komputerisasi dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan (4), kode digit ketiga ditentukan sebagai berikut:
- 1 → Wajib Pajak di lingkungan Kantor Wilayah DJP WP Besar dan Khusus
- 2 → Wajib Pajak di KPP Madya
- 3 →  Wajib Pajak di KPP Pratama
d) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Manual dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan (9), kode digit ketiga ditentukan maka:
- 1 → terdapat data dan/atau informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan Wajib Pajak (bottom up)
- 2 →  analisis risiko manual hasil analisis kantor pusat (top down)
- 3 → laporan dan/atau pengaduan masyarakat hasil analisis Direktorat Intelijen dan Penyidikan (top down)
- 4 →  analisis risiko manual hasil analisis Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (top down)
- 5 → laporan dan/atau pengaduan masyarakat hasil analisis Kantor Wilayah DJP (top down)
- 9 →  Pemeriksaan Khusus dalam rangka pemeriksaan ulang.
7) Digit keempat menunjukkan Jenis Wajib Pajak yang meliputi :
- 1 → Orang Pribadi
- 2 → Badan
8) Berdasarkan struktur tersebut di atas, Kode Pemeriksaan untuk masing-masing kriteria dan jenis pemeriksaan ditentukan sebagai berikut:
1) Kode Pemeriksaan Rutin:
No. Alasan Pemeriksaan Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan Kantor Pemeriksaan Lapangan
OP Badan OP Badan
1. Perubahan Tahun Buku/Perubahan Metode Pembukuan   0012 0111 0112 
2. Likuidasi atau Penutupan Usaha :
a. Domisili
b. Cabang
 
1022
0022

1121
0121

1122
0122
3. WP OP Akan Meninggalkan Indonesia Selama-Lamanya     1121  
4. Penggabungan Usaha   1032 1131 1132
5. Peleburan Usaha atau Pengambilalihan Usaha   1042 1141 1142
6. Pemecahan Usaha atau Pemekaran Usaha   1052 1151 1152
7. Wajib Pajak Yang Telah Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 17C dan Pasal 17D
Undang-Undang KUP
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
   



1161
2161




1162
2162
8. SPT Tahunan PPh Rugi:
a. PPh OP/Badan (satu jenis pajak)

4071

4072

4171

4172
9. SPT Lebih Bayar :
a. Masa PPN
b. PPh OP/Badan (satu jenis pajak)

2081
4081

2082
4082

2181
4181

2182
4182
10. Revaluasi Aktiva Tetap   1092 1191 1192
2) Kode Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara komputerisasi
No. Kriteria Pemeriksaan Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan Kantor Pemeriksaan Lapangan
OP Badan OP Badan
1. WP Besar
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh Pasal 25/29
e. PPh Pasal 21/26
f.  PPh Pasal 23/26
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak
   
1411
2411
3411
4411
7411
8411
9411
0411

1412
2412
3412
4412
7412
8412
9412
0412
2. WP Menengah
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh Pasal 25/29
e. PPh Pasal 21/26
f.  PPh Pasal 23/26
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak
   
1421
2421
3421
4421
7421
8421
9421
0421

1422
2422
3422
4422
7422
8422
9422
0422
3. WP Kecil
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh Pasal 25/29
e. PPh Pasal 21/26
f.  PPh Pasal 23/26
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak
   
1431
2431
3431
4431
7431
8431
9431
0431

1432
2432
3432
4432
7432
8432
9432
0432
3) Kode Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Manual
No. Kriteria Pemeriksaan Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan Kantor Pemeriksaan Lapangan
OP Badan OP Badan
1. Terdapat data dan informasi yang menunjukkan ketidakpatuhan WP (bottom-up)
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh Pasal 25/29
e. PPh Pasal 21/26
f.  PPh Pasal 23/26
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak
   

1911
2911
3911
4911
7911
8911
9911
0911


1912
2912
3912
4912
7912
8912
9912
0912
2. Analisis Risiko Secara Manual Kantor Pusat (top-down) :
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh Pasal 25/29
e. PPh Pasal 21/26
f.  PPh Pasal 23/26
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak
   
1921
2921
3921
4921
7921
8921
9921
0921

1922
2922
3922
4922
7922
8922
9922
0922
3. Analisis Risiko Secara Manual Kanwil DJP (top-down) :
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh Pasal 25/29
e. PPh Pasal 21/26
f.  PPh Pasal 23/26
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak
   
1941
2941
3941
4941
7941
8941
9941
0941

1942
2942
3942
4942
7942
8942
9942
0942
4. Laporan dan Pengaduan Masyarakat Hasil Analisis Direktorat Intelijen dan Penyidikan (top-down) :
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh Pasal 25/29
e. PPh Pasal 21/26
f.  PPh Pasal 23/26
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak
   

1931
2931
3931
4931
7931
8931
9931
0931


1932
2932
3932
4932
7932
8932
9932
0932
5. Laporan dan Pengaduan Masyarakat Hasil Analisis Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (top-down) :
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh OP/Badan
e. PPh Pasal 21/26
f.  PPh Pasal 23/26
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak
   

1951
2951
3951
4951
7951
8951
9951
0951


1952
2952
3952
4952
7952
8952
9952
0952
8. Pemeriksaan Khusus dalam rangka Pemeriksaan Ulang
a. Seluruh jenis pajak
b. PPN
c. P2PPh
d. PPh Pasal 25/29
e. PPh Pasal 21/26
f.  PPh Pasal 23/26
g. PPh Final
h. Beberapa Jenis Pajak
   
1991
2991
3991
4991
7991
8991
9991
0991

1992
2992
3992
4992
7992
8992
9992
0992
4) Kode Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi berdasarkan Permintaan UP2 Domisili
Kode Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi berdasarkan Permintaan UP2 Domisili disesuaikan dengan Kriteria Pemeriksaan Wajib Pajak Domisili, namun digit pertama dari setiap kode pemeriksaan diganti dengan angka 6.
Contoh :
  1. Wajib Pajak badan Domisili diperiksa dalam rangka Pemeriksaan Rutin Pemeriksaan Lapangan Lebih Bayar (Kode 1182), maka kode pemeriksaan WP Lokasi berdasarkan Permintaan UP2 Domisili adalah 6182.
  2. Wajib Pajak badan Domisili diperiksa dalam rangka Pemeriksaan Khusus - Pemeriksaan Lapangan karena Pertimbangan Direktur Jenderal Pajak (Kode 1922), maka kode pemeriksaan WP Lokasi berdasarkan Permintaan UP2 Domisili adalah 6922.
F. Kebijakan Pemeriksaan Tujuan Lain
1. Kebijakan Umum
a. Ruang Lingkup Pemeriksaan
Ruang lingkup pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
b. Kriteria Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dilakukan dengan kriteria antara lain sebagai berikut:
1) pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
2) penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
3) pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara Verifikasi;
4) Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5) pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
6) pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7) penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8) penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9) pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10) penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
11) memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
c. Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2)
Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak di UP2, yaitu Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, atau Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
d. Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) dan SP2 Perubahan
1) SP2 diterbitkan berdasarkan:
a) instruksi pemeriksaan dari Direktur Jenderal Pajak;
b) instruksi pemeriksaan dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan;
c) instruksi/penugasan pemeriksaan dari Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
2) Dalam hal susunan tim Pemeriksa Pajak diubah, Kepala UP2 tidak perlu memperbarui SP2 tetapi harus menerbitkan SP2 Perubahan.
3) Pemeriksa Pajak wajib menyerahkan atau mengirimkan tembusan SP2 Perubahan kepada Wajib Pajak.
e. Tindak lanjut Data dan/atau Informasi yang ditemukan dalam pemeriksaan
Apabila pada saat melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain ditemukan adanya data dan/atau informasi sehubungan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak baik untuk Tahun Pajak berjalan maupun Tahun Pajak sebelumnya, yang mengindikasikan adanya ketidakpatuhan Wajib Pajak, maka ditentukan sebagai berikut:
1) apabila data dan/atau informasi tersebut merupakan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP, maka data dan/atau informasi tersebut dapat langsung ditindaklanjuti sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ/2012 tentang Kebijakan Pelaksanaan Verifikasi;
2) apabila data dan/atau informasi tersebut tidak termasuk keterangan lain sebagaimana dimaksud pada angka 1), maka data dan/atau informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan pemeriksaan menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan melalui Pemeriksaan Khusus;
3) apabila data dan/atau informasi tersebut ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Khusus sebagaimana dimaksud pada angka 2), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) dalam hal usul Pemeriksaan Khusus yang disetujui adalah untuk Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak pemeriksaan untuk tujuan lain dengan kriteria penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP, maka:
  1. pemeriksaan untuk tujuan lain tersebut dihentikan dengan membuat LHP Sumir;
  2. dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Khusus juga harus menjelaskan mengenai tercapai atau tidaknya tujuan dilakukannya pemeriksaan untuk tujuan lain, yaitu menjelaskan apakah penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dapat disetujui atau tidak; dan
  3. pelaksanaan Pemeriksaan Khusus harus memperhatikan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) dan ayat (9) Undang-Undang KUP;
b) dalam hal usul Pemeriksaan Khusus yang disetujui adalah selain sebagaimana dimaksud pada huruf a), maka pemeriksaan untuk tujuan lain tersebut tetap dilanjutkan sesuai dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan.
f. Pembatalan Penugasan Pemeriksaan
1) Pembatalan pemeriksaan untuk tujuan lain pada prinsipnya dilakukan karena terdapat kesalahan administrasi yang bersifat manusiawi (human error) seperti kesalahan Tahun Pajak, kesalahan nama Wajib Pajak yang akan diperiksa, atau kesalahan administrasi lainnya.
2) Pembatalan pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) terhadap instruksi/persetujuan pemeriksaan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, pembatalan penugasan pemeriksaannya harus dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
b) terhadap instruksi pemeriksaan yang diterbitkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, pembatalan pemeriksaannya harus dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan;
c) usul pembatalan pemeriksaan oleh Kepala UP2 kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dilakukan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran II.1 Surat Edaran ini; dan
d) persetujuan atau penolakan pembatalan pemeriksaan atas usulan sebagaimana dimaksud pada huruf c) disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan kepada Kepala UP2 dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran II.2 atau Lampiran II.3 Surat Edaran ini.
g. Pengalihan Pemeriksaan
1) Pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain pada prinsipnya dilakukan karena Wajib Pajak pindah tempat terdaftar (domisili) dari satu Kantor Pelayanan Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak lain sepanjang instruksi/penugasan/persetujuan telah diterbitkan dan SP2 belum diterbitkan atau SP2 telah diterbitkan tetapi pemberitahuan pemeriksaan atau panggilan dalam rangka pemeriksaan belum disampaikan kepada Wajib Pajak.
2) Pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke Kantor Pelayanan Pajak lain tetapi masih dalam wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang sama, dilakukan oleh:
a) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak untuk pemeriksaan yang penugasan/persetujuannya diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak; atau
b) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk pemeriksaan yang instruksinya diterbitkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
3) Pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain terhadap Wajib Pajak yang pindah domisili ke Kantor Pelayanan Pajak lain di luar wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasan Kantor Pelayanan Pajak lama, dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
4) Usul pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain disampaikan oleh Kepala UP2 yang lama kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran II.4 Surat Edaran ini.
5) Persetujuan pengalihan pemeriksaan untuk tujuan lain diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak terkait atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan kepada Kepala UP2 yang baru apabila disetujui pengalihan pemeriksaannya, atau kepada Kepala UP2 yang lama apabila ditolak pengalihan pemeriksaannya dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh pada Lampiran II.5 atau Lampiran II.6 Surat Edaran ini.
6) Terhadap pemeriksaan yang tidak disetujui untuk dialihkan, maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) Pemeriksaan diselesaikan oleh UP2 yang lama sampai dengan penerbitan LHP;
b) LHP harus menggunakan identitas baru; dan
c) LHP harus dikirimkan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang baru dan pihak yang berkepentingan dengan LHP, untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
h. Penghentian Pemeriksaan
1) Penghentian pemeriksaan pada prinsipnya dilakukan apabila Wajib Pajak yang diperiksa atau Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP ternyata tidak ditemukan berdasarkan surat keterangan dari pejabat kelurahan/RT/RW/pengelola gedung setempat.
2) Dalam hal pemeriksaan dihentikan karena kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 1), tim Pemeriksa Pajak membuat LHP Sumir dan melakukan perekaman LHP tersebut ke Modul/Menu Pemeriksaan pada SIDJP.
3) Berdasarkan LHP Sumir, tim Pemeriksa Pajak mengirimkan fotokopi LHP Sumir kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku.
4) Mengirimkan fotokopi LHP Sumir tersebut kepada yang menerbitkan instruksi pemeriksaan atau mengunggah LHP dalam ALPP.
2. Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain
Pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain Dalam Rangka Penerbitan NPWP dan/atau Pengukuhan PKP Secara Jabatan Selain yang Dilakukan Melalui Verifikasi
Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan selain yang dilakukan melalui verifikasi, dilakukan berdasarkan usulan dari Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ/2012, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) dilakukan terbatas pada penentuan terpenuhinya syarat-syarat pemberian NPWP dan/atau pengukuhan PKP dan penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
2) Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal harus menyampaikan fotokopi LHP untuk tujuan lain dalam rangka penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan kepada Kepala Seksi Pelayanan dan Kepala Seksi Ekstensifikasi Perpajakan;
3) Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan.
b. Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP Selain yang Dilakukan Melalui Verifikasi
Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP selain yang dilakukan melalui verifikasi, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) dilakukan Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain berdasarkan usulan dari Kepala Seksi Pelayanan dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan atau dilakukan berdasarkan usulan dari Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi dalam hal penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ/2012.
2) dalam hal Wajib Pajak badan yang melakukan penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, pemecahan usaha, likuidasi/penutupan usaha, pengambilalihan usaha maka pemeriksaan dalam rangka permohonan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP melalui Pemeriksaan Rutin.
3) dalam hal permohonan pencabutan pengukuhan PKP tidak diikuti dengan permohonan penghapusan NPWP yang diajukan oleh Wajib Pajak badan maka pencabutan pengukuhan PKP tersebut dilakukan melalui Pemeriksaan Rutin.
4) dalam hal penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak dan/atau PKP, tim Pemeriksa Pajak dan pejabat lain yang terkait dengan proses penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP tersebut harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (7) dan ayat (9) Undang-Undang KUP.
5) Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan
c. Pemeriksaan Dalam Rangka Wajib Pajak Mengajukan Keberatan
Pemeriksaan dalam rangka Wajib Pajak mengajukan keberatan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pemeriksaan dalam rangka Wajib Pajak mengajukan keberatan (pemeriksaan dalam rangka keberatan) dapat dilakukan apabila terdapat perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak sehubungan dengan fakta dan data serta penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan yang memerlukan pengecekan lapangan;
2) pemeriksaan dalam rangka keberatan dilakukan terbatas pada hal-hal atau materi sengketa yang diminta oleh unit yang memproses penyelesaian keberatan Wajib Pajak;
3) UP2 yang melakukan pemeriksaan dalam rangka keberatan adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
4) instruksi pemeriksaan untuk tujuan lain diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan permintaan dari Direktur Keberatan dan Banding atau Kepala Bidang Keberatan dan Banding Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
5) permintaan pemeriksaan dalam rangka keberatan harus disampaikan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jatuh tempo penyelesaian keberatan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II.7 Surat Edaran ini;
6) hasil pemeriksaan dituangkan dalam LHP dan harus mengungkapkan pendapat tim Pemeriksa Pajak tentang hal-hal atau materi sengketa yang diminta oleh unit yang memproses keberatan. LHP dikirim kepada pihak yang meminta untuk dilakukan pemeriksaan dalam rangka keberatan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya jatuh tempo penyelesaian keberatan;
7) hasil pemeriksaan bersifat sebagai bahan pembanding (second opinion) atau bahan pertimbangan; dan
8) pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
d. Pemeriksaan Dalam Rangka Pengumpulan Bahan Guna Penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Pemeriksaan dalam rangka pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pemeriksaan dilakukan berdasarkan instruksi dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan terkait dengan adanya permintaan atau rekomendasi dari Ketua Tim Penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang dibentuk berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
2) dalam hal data untuk penyusunan norma dimaksud sudah ada atau tersedia dalam jumlah yang cukup dari LHP yang sudah ada, permintaan dapat tidak dilakukan;
3) instruksi untuk melakukan pemeriksaan dikirimkan langsung kepada Kepala UP2 oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan;
4) fotokopi LHP dikirimkan langsung kepada Ketua Tim Penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan
5) pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
e. Pemeriksaan Dalam Rangka Penentuan Wajib Pajak Berlokasi di Daerah Terpencil
Pemeriksaan dalam rangka penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pemeriksaan dalam rangka penentuan bahwa Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil dilakukan apabila ada permohonan tertulis dari Wajib Pajak untuk penetapan lokasi usaha Wajib Pajak sebagai daerah terpencil.
2) pemeriksaan dalam rangka penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil dapat dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar (KPP Domisili) atau oleh Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi lokasi usaha tersebut (KPP Lokasi).
3) apabila pemeriksaan dalam rangka penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil akan dilakukan oleh KPP Lokasi sebagaimana dimaksud pada angka 2), maka Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasan KPP domisili harus menyampaikan permintaan dilakukan pemeriksaan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasan KPP Lokasi;
4) pemeriksaan dalam rangka penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil dilakukan berdasarkan instruksi Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
5) mengingat Laporan Hasil Pemeriksaan akan digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil, maka laporan tersebut harus dikirimkan langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak mengajukan permohonan penetapan daerah terpencil paling lambat 1 (satu) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan
6) pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
f. Pemeriksaan Dalam Rangka Penagihan Pajak
Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak dilakukan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan:
a) Identitas Wajib Pajak/Penanggung Pajak pada saat pemeriksaan dilakukan;
b) Harta yang dimiliki Wajib Pajak/Penanggung Pajak pada saat pemeriksaan dilakukan; dan
c) Upaya hukum dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak dalam hal Wajib Pajak sudah mempunyai hutang pajak sebelumnya;
2) pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan:
a) secara bersama-sama dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; atau
b) hanya melalui pemeriksaan untuk tujuan lain;
3) usulan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak dilakukan oleh Kepala Seksi Penagihan kepada Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal;
4) berdasarkan usulan dari Kepala Seksi Penagihan, Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal membuat daftar nominatif Wajib Pajak yang akan diperiksa dalam rangka penagihan pajak untuk dimintakan persetujuan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
5) dalam hal pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak dilakukan secara bersama-sama dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud angka 2) huruf a) maka pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yang sama dengan Pemeriksa Pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan Jurusita Pajak yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang dicantumkan dalam SP2 untuk Tujuan Lain;
6) dalam hal pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak dilakukan hanya melalui pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud angka 2) huruf b) maka Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dan Jurusita Pajak yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
7) dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak, tim Pemeriksa Pajak agar melakukan antara lain hal-hal sebagai berikut:
a) mencari alamat tempat/gudang penyimpanan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
b) meminjam bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
c) membuat daftar harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang sesuai dengan kondisi terkini;
d) mencari informasi perihal wakil dari Penanggung Pajak, antara lain keluarga, direksi, komisaris dan pemegang saham mayoritas, beserta alamat sesuai dengan bukti identitas terakhir; dan
e) melalui Kepala UP2, Pemeriksa Pajak melakukan konfirmasi dan permintaan keterangan serta bukti tentang identitas harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP antara lain kepada: Notaris/PPAT, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Bank, Kepolisian dan Konsultan Pajak;
8) LHP untuk tujuan penagihan pajak dibuat tersendiri dan harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) identifikasi Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
b) penugasan pemeriksaan;
c) dasar (tujuan) pemeriksaan;
d) daftar harta kekayaan Wajib Pajak;
e) daftar bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
f) daftar lampiran;
g) uraian hasil pemeriksaan; dan
h) simpulan dan usul pemeriksa;
9) Kepala Seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal harus menyampaikan fotokopi LHP untuk tujuan penagihan pajak kepada Kepala Seksi Penagihan; dan
10) pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
g. Pemeriksaan Dalam Rangka Penentuan Saat Produksi Dimulai atau Memperpanjang Jangka Waktu Kompensasi Kerugian Sehubungan Dengan Pemberian Fasilitas Perpajakan
Pemeriksaan dalam rangka penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) pemeriksaan dilakukan apabila Wajib Pajak yang telah mendapat Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan tentang Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, untuk:
a) Penetapan Saat Dimulainya Produksi Komersial; atau
b) Penetapan Penambahan Kompensasi Kerugian;
2) berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1), Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menerbitkan instruksi pemeriksaan dalam rangka Penetapan Saat Mulai Produksi Komersial atau instruksi pemeriksaan dalam rangka Penetapan Penambahan Kompensasi Kerugian kepada Kepala UP2 yang ditunjuk;
3) pemeriksaan harus diselesaikan sesuai jangka waktu yang ditentukan dalam instruksi pemeriksaan;
4) LHP harus dikirim kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan paling lama 1 (satu) hari setelah tanggal LHP;
5) pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian juga harus memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau Daerah-daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 beserta aturan pelaksanaannya; dan
6) pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan.
h. Pemeriksaan Dalam Rangka Memenuhi Permintaan Informasi dari Negara Mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Pemeriksaan dalam rangka memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pemeriksaan dilakukan berdasarkan instruksi pemeriksaan dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan sehubungan dengan adanya permintaan informasi dari negara mitra P3B terkait dengan Wajib Pajak tertentu dan memerlukan pemeriksaan pajak.
2) LHP dikirimkan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan untuk ditindaklanjuti dalam rangka memenuhi permintaan informasi dari negara mitra P3B.
3) Pemeriksaan dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan.
i. Pemeriksaan Dalam Rangka Menetapkan Besarnya Biaya Pada Tahapan Eksplorasi
Pemeriksaan dalam rangka menetapkan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) penetapan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi di bidang usaha hulu minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) PP nomor 79 Tahun 2010 dilakukan dengan Pemeriksaan Tujuan Lain;
2) Pemeriksaan Tujuan Lain sebagaimana dimaksud pada angka 1) dilakukan untuk Tahun Pajak yang sudah daluwarsa penetapannya. Dalam hal belum daluwarsa penetapannya maka dilakukan dengan Pemeriksaan Khusus;
3) pemeriksaan sebagaimana dimaksud angka 1) dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Badan Pelaksana;
4) pemeriksaan sebagaimana dimaksud angka 1) dilakukan berdasarkan instruksi dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan; dan
5) pemeriksaan dilakukan melalui jenis Pemeriksaan Lapangan.
3. Prosedur Usulan dan Penugasan/Instruksi Pemeriksaan untuk Tujuan Lain
a. Daftar Nominatif Wajib Pajak dan Penugasan Pemeriksaan
1) Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa untuk Tujuan Lain dibuat oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II.8 dan Lampiran II.9 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, apabila pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka:
a) penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan selain yang dilakukan melalui verifikasi;
b) penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP selain yang dilakukan melalui verifikasi; atau
c) penagihan pajak;
2) Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa untuk Tujuan Lain sebagaimana dimaksud pada angka 1) dikirimkan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tanpa tembusan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan;
3) Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa untuk Tujuan Lain yang disampaikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atasannya harus dilengkapi dengan data atau informasi pendukung sesuai dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan; dan
4) berdasarkan Daftar Nominatif Wajib Pajak yang Akan Diperiksa untuk Tujuan Lain, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak membuat Surat Penugasan Pemeriksaan dan mengirimkannya kepada Kepala UP2 dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II.10 dan Lampiran II.11 Surat Edaran ini.
b. Instruksi Pemeriksaan
1. Instruksi pemeriksaan untuk tujuan lain dapat diterbitkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II.12 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, berdasarkan surat permohonan atau surat permintaan.
2. Instruksi pemeriksaan untuk tujuan lain diterbitkan apabila terdapat permohonan atau permintaan yang terkait dengan:
a) Wajib Pajak mengajukan keberatan;
b) pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
c) penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
d) penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
e) penagihan pajak;
f) penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan;
g) memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda; atau
h) menetapkan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi
4. Nomor Pengawasan Pemeriksaan (NP2) dan Kode Pemeriksaan
a. Nomor Pengawasan Pemeriksaan (NP2)
Ketentuan umum mengenai struktur NP2 dalam pemeriksaan untuk tujuan lain mengacu pada ketentuan Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
b. Daftar Kode Pemeriksaan
Ketentuan mengenai struktur kode pemeriksaan dalam pemeriksaan untuk tujuan lain juga mengacu pada ketentuan tentang Kebijakan Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, yaitu:
1) Kode Pemeriksaan mencerminkan alasan dilakukannya pemeriksaan dan harus dicantumkan dalam setiap penugasan/persetujuan/instruksi pemeriksaan.
2) Struktur Kode Pemeriksaan terdiri dari 4 (empat) digit dengan pengelompokan sebagai berikut:
- Digit pertama menunjukkan Jenis Pajak/Ruang Lingkup Pemeriksaan;
- Digit kedua menunjukkan Kriteria dan Jenis Pemeriksaan;
- Digit ketiga menunjukkan Alasan Pemeriksaan; dan
- Digit keempat menunjukkan Jenis Wajib Pajak yang diperiksa.
3) Digit pertama menunjukkan Jenis Pajak/Ruang Lingkup terdiri dari:
- 1 →  Seluruh jenis pajak
- 2 → PPN
- 3 → P2PPh
- 4 → PPh OP/Badan
- 5 → Administrasi (Untuk Pemeriksaan Tujuan Lain)
- 6 → WP Lokasi
- 7 → PPh Pasal 21/26
- 8 → PPh Pasal 23/26
- 9 → PPh Final
- 0 → Beberapa jenis pajak (kode ini digunakan jika yang diperiksa adalah PPN dan P2PPh secara sekaligus atau seluruh kewajiban perpajakan cabang dilakukan pemeriksaan)
4) Digit kedua menunjukkan Kriteria dan Jenis Pemeriksaan terdiri dari:
- 0 → Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Kantor
- 1 → Pemeriksaan Rutin dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
- 2 →  Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
- 4 → Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Komputerisasi dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
- 5 → Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Kantor
- 9 → Pemeriksaan Khusus berdasarkan Analisis Risiko Secara Manual dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan
5) Digit ketiga menunjukkan Alasan Pemeriksaan yang meliputi :
a) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan (2),  maka kode untuk digit ketiga ditentukan sebagai berikut:
- 1 →   penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan selain yang dilakukan melalui verifikasi
- 2 →   penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP selain yang dilakukan melalui verifikasi
- 3 →  penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberiaan fasilitas perpajakan
- 4 →   penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil
- 5 →   penetapan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi
- 6 →   penagihan pajak
- 7 →   keberatan
- 8 →  pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto
- 9 →  permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
- 0 →   lain-lain (antara lain pemeriksaan dalam rangka Mutual Agreement Procedure (MAP), dan penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN)
b) Jika Kriteria dan Jenis Pemeriksaannya (digit kedua) adalah Pemeriksaan Tujuan Lain dengan Jenis Pemeriksaan Kantor (5), maka kode untuk digit ketiga ditentukan sebagai berikut:
- 2 → penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP selain yang dilakukan melalui verifikasi
6) Digit keempat menunjukkan Jenis Wajib Pajak yang meliputi:
- 1 → Orang Pribadi
- 2 → Badan
7) Berdasarkan struktur tersebut di atas, Kode Pemeriksaan untuk pemeriksaan tujuan lain ditentukan sebagai berikut:
No. Alasan Pemeriksaan Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan Kantor Pemeriksaan Lapangan
OP Badan OP Badan
1. Penerbitan NPWP dan/atau pengukuhan PKP secara jabatan selain yang dilakukan melalui verifikasi     5211 5212 
2. Penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP selain yang dilakukan melalui verifikasi 5521 5522 5221 5222
3. Penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan     5231 5232
4. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil     5241 5242
5. Penetapan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi     5251 5252 
6. Penagihan pajak     5261 5262
7. Keberatan     5271 5272
8. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto     5281 5282
9. Permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda     5291 5292
10. Lain-lain      5201 5202
   
G. Ketentuan Peralihan

  1. Terhadap SP2 yang diterbitkan sebelum berlakunya Surat Edaran ini dan pemeriksaan belum selesai, proses penyelesaian selanjutnya dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini.
  2. Terhadap pemeriksaan yang ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan telah dibuat LHP Sumir, dapat dilakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan meneruskan SP2 sebelumnya atau membuat SP2 Perubahan sepanjang hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, dengan ketentuan usul pemeriksaan dilakukan dengan prosedur Pemeriksaan Khusus Bottom-Up sebagaimana diatur dalam Surat Edaran ini.
   
H. Ketentuan Penutup

Dengan berlakunya Surat Edaran ini, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor:
  1. SE-85/PJ/2011 tentang Kebijakan Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; dan
  2. SE-116/PJ/2009 tentang Kebijakan Pemeriksaan untuk Tujuan Lain;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 2013
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001