Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 11/PJ/2012

Kategori : PBB

Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, Dan Panas Bumi


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 11/PJ/2012

TENTANG

TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN
MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang :
  1. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi;
  2. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (5), Pasal 8 ayat (3), Pasal 13 ayat (11), dan Pasal 15 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2012 tentang Penatausahaan dan Pemindahbukuan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi;
  3. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);        
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
  4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327);
  5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5173);
  7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 817/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pendataan Obyek dan Subyek Pajak Bumi dan Bangunan;
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan;
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2012 tentang Penatausahaan dan Pemindahbukuan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi;
 

MEMUTUSKAN :


Menetapkan :                 

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI.


Pasal 1


Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
  1. Pengenaan adalah kegiatan menetapkan Wajib Pajak dan besarnya pajak terutang untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi berdasarkan peraturan perundang-undangan Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, yang selanjutnya disebut PBB Migas, adalah Pajak Bumi dan Bangunan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
  3. Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi, yang selanjutnya disebut PBB Panas Bumi, adalah Pajak Bumi dan Bangunan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Panas Bumi yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh pengusaha Panas Bumi.
  4. Kontraktor Kontrak Kerja Sama, yang selanjutnya disingkat KKKS, adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan kontrak kerja sama.
  5. Pengusaha Panas Bumi adalah Pertamina atau perusahaan penerusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,  kontraktor kontrak operasi bersama (joint operation contract), dan pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi.
  6. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi.
  7. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, di Wilayah Kerja atau sejenisnya.
  8. Eksploitasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, dari Wilayah Kerja atau sejenisnya.
  9. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak Bumi dan Gas Bumi.
  10. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, termasuk antara lain gas metan batubara (coal bed methane).
  11. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan.
  12. Areal Produktif adalah areal yang telah diusahakan atau areal yang telah dimanfaatkan untuk mengambil dan menunjang hasil produksi.
  13. Areal Belum Produktif adalah areal yang dapat diusahakan tetapi belum dimanfaatkan.
  14. Areal Tidak Produktif adalah areal yang sama sekali tidak dapat diusahakan atau dimanfaatkan.
  15. Areal Emplasemen adalah areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk berdirinya bangunan penambangan dan bangunan penunjang, tidak termasuk areal produktif dan areal belum produktif.
  16. Areal Pengaman adalah areal yang dimanfaatkan sebagai pengamanan bangunan, seperti jalur pipa dan/atau keselamatan lingkungan.
  17. Tubuh bumi Eksplorasi adalah tubuh bumi yang memiliki potensi Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau Panas Bumi.
  18. Tubuh bumi Eksploitasi adalah tubuh bumi yang telah menghasilkan hasil produksi berupa Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau Panas Bumi.
  19. Angka Kapitalisasi adalah angka pengali yang digunakan untuk mengonversi hasil produksi yang terjual setahun menjadi nilai bumi untuk tubuh bumi.
  20. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  21. Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Pertambangan  untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, yang selanjutnya disebut SPOP, adalah surat yang digunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi ke Direktorat Jenderal Pajak.
  22. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, yang selanjutnya disebut LSPOP, adalah formulir yang dipergunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi.
  23. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.


Pasal 2


(1) Objek pajak PBB Migas adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh KKKS.
(2) Objek pajak PBB Panas Bumi adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Panas Bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pengusaha Panas Bumi.
(3) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terdiri dari:
  1. permukaan bumi, meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore), dan/atau perairan lepas pantai (offshore), yang digunakan untuk kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi;
  2. tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi.
(4) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore.


Pasal 3


(1) Permukaan bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a untuk areal onshore meliputi:
  1. Areal Produktif;
  2. Areal Belum Produktif;
  3. Areal Tidak Produktif;
  4. Areal Emplasemen; dan
  5. Areal Pengaman.
(2) Tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b berupa:
  1. Tubuh bumi Eksplorasi; atau
  2. Tubuh bumi Eksploitasi.


Pasal 4


(1) Subjek pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi adalah KKKS atau Pengusaha Panas Bumi, yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, atau Panas Bumi dalam Wilayah Kerja pertambangan atau yang sejenis dengan itu.
(2) Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar PBB Migas atau PBB Panas Bumi menjadi Wajib Pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi.


Pasal 5


(1) Subjek pajak atau Wajib Pajak melakukan pendaftaran objek pajak atau pemutakhiran data objek pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi dengan cara mengisi SPOP dan LSPOP, dengan jelas, benar, dan lengkap, serta dilampiri peta Wilayah Kerja.
(2) SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
  1. SPOP dan LSPOP Onshore PBB Migas, dengan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  2. SPOP dan LSOP Offshore PBB Migas, dengan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  3. SPOP Tubuh Bumi PBB Migas, dengan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  4. SPOP dan LSPOP PBB Panas Bumi, dengan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  5. SPOP Tubuh Bumi PBB Panas Bumi, dengan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  6. Rekapitulasi SPOP PBB Migas, dengan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran VI Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini; dan
  7. Rekapitulasi SPOP PBB Panas Bumi, dengan format sebagaimana ditetapkan pada Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) SPOP harus ditandatangani oleh subjek pajak atau Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan subjek pajak atau Wajib Pajak, harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.


Pasal 6


(1) Subjek pajak atau Wajib Pajak harus menyampaikan SPOP dan LSPOP yang telah diisi dengan jelas, benar, dan lengkap, serta ditandatangani, kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP oleh subjek pajak atau Wajib Pajak.
(2) Tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP oleh subjek pajak atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
  1. tanggal diterima secara langsung, dalam hal SPOP dan LSPOP diterima secara langsung oleh subjek pajak atau Wajib Pajak; atau
  2. tanggal stempel pos pengiriman, dalam hal SPOP dan LSPOP dikirim oleh Direktur Jenderal Pajak melalui pos.
(3) Dalam hal tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah tanggal sebelum 1 Januari tahun pajak, maka tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP adalah tanggal 1 Januari tahun pajak.
(4) Tanggal disampaikannya SPOP dan LSPOP kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
  1. tanggal diterima secara langsung, dalam hal SPOP dan LSPOP disampaikan secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak; atau
  2. tanggal stempel pos pengiriman, dalam hal SPOP dan LSPOP disampaikan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak melalui pos.


Pasal 7


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal:
  1. subjek pajak atau Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat tegoran; atau
  2. subjek pajak atau Wajib Pajak menyampaikan SPOP dan LSPOP namun berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang seharusnya terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP dan LSPOP yang disampaikan.
(2) Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah pokok pajak ditambah sanksi administratif berupa denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
(3) Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan SPOP dan LSPOP, ditambah sanksi administratif berupa denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terutang.


Pasal 8


(1) Pengadministrasian data objek PBB Migas untuk areal onshore dan PBB Panas Bumi dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan wilayah kabupaten/kota atau wilayah DKI Jakarta, yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, atau Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk dalam hal terdapat lebih dari satu Kantor Pelayanan Pajak dalam satu kabupaten/kota.
(2) Pengadministrasian data objek PBB Migas untuk areal offshore dan tubuh bumi dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk.


Pasal 9


(1) Dasar Pengenaan PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi adalah NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil penjumlahan antara NJOP bumi dan NJOP bangunan.
(3) NJOP bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk:
  1. areal onshore atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi; dan
  2. tubuh bumi Eksplorasi dan tubuh bumi Eksploitasi merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi.
(4) NJOP bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP Bumi.
(5) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi.
(6) NJOP bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP Bangunan.


Pasal 10


(1) Nilai bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk:
  1. areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal onshore;
  2. tubuh bumi Eksploitasi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk tubuh bumi Eksploitasi dengan luas Wilayah Kerja; dan
  3. areal offshore dan tubuh bumi Eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Total nilai bumi untuk areal onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan jumlah dari perkalian luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-masing areal.
(3) Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang berupa :
  1. Areal Belum Produktif dan Areal Emplasemen, ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis; dan
  2. Areal Produktif, Areal Tidak Produktif, dan Areal Pengaman, ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif.
(4) Nilai bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c untuk areal offshore ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia.
(5) Nilai bumi untuk tubuh bumi Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditentukan berdasarkan hasil perkalian antara:
  1. Angka Kapitalisasi, hasil produksi, dan harga produksi Minyak Bumi dan/atau harga produksi Gas Bumi, untuk PBB Migas;
  2. Angka Kapitalisasi, hasil produksi, dan harga produksi uap dan/atau harga produksi listrik, untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit listriknya dikelola sendiri oleh Pengusaha Panas Bumi; atau
  3. Angka Kapitalisasi, hasil produksi, dan harga produksi uap, untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit listriknya tidak dikelola sendiri oleh Pengusaha Panas Bumi.
(6) Angka Kapitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(7) Nilai bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6) merupakan hasil pembagian antara total nilai bangunan dengan total luas bangunan.
(8) Total nilai bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan jumlah nilai bangunan masing-masing bangunan.
(9) Nilai bangunan masing-masing bangunan ditentukan sebesar biaya pembangunan baru setelah dikurangi penyusutan.


Pasal 11


(1) Harga produksi minyak bumi, harga produksi gas bumi, harga produksi uap, dan harga produksi listrik, yang digunakan sebagai dasar perhitungan untuk penetapan NJOP PBB Migas dan NJOP PBB Panas Bumi ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan besaran harga yang digunakan dalam APBN/APBN Perubahan.
(2) Dalam hal Menteri Keuangan tidak menetapkan harga produksi minyak bumi, harga produksi gas bumi, harga produksi uap, dan harga produksi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka harga produksi untuk:
  1. Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) huruf a, ditentukan berdasarkan harga minyak mentah Indonesia yang ditetapkan dalam APBN/APBN Perubahan tahun sebelum tahun pajak;
  2. Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) huruf a, ditentukan sebesar 17,96% dari harga minyak mentah Indonesia yang ditetapkan dalam APBN/APBN Perubahan tahun sebelum tahun pajak; dan
  3. uap dan/atau listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) huruf b dan huruf c, ditentukan berdasarkan rata-rata harga kontrak yang berlaku.


Pasal 12


(1) Hasil produksi Minyak Bumi yang digunakan sebagai dasar penentuan nilai bumi adalah sebesar volume Minyak Bumi yang terjual (lifting) dalam satu tahun sebelum tahun pajak.
(2) Hasil produksi Gas Bumi yang digunakan sebagai dasar penentuan nilai bumi adalah sebesar volume Gas Bumi yang terjual (lifting) dalam satu tahun sebelum tahun pajak.
(3) Hasil produksi Panas Bumi yang digunakan sebagai dasar penentuan nilai bumi adalah sebesar energi uap dan/atau listrik yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak.


Pasal 13


(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, membuat usulan nilai bumi dan/atau nilai bangunan berdasarkan SPOP dan LSPOP, dan menyampaikannya kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Berdasarkan hasil penelitian atas usulan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak memberikan persetujuan.


Pasal 14


(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menetapkan besarnya pajak terutang atas PBB Migas atau PBB Panas Bumi sesuai dengan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), dengan menerbitkan SPPT paling lambat akhir bulan April tahun pajak.
(2) SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
  1. SPPT onshore;
  2. SPPT offshore;
  3. SPPT tubuh bumi.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan SPPT, salinan SPPT, dan rekapitulasi penerbitan SPPT kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan Mei tahun pajak.


Pasal 15


SPOP dan LSPOP yang diterima dari subjek pajak atau Wajib Pajak sebelum Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, tetap dapat dipergunakan.


Pasal 16


Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-71/PJ/2010 tentang Tata Cara Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 17


Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 


 
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001