Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 15/PMK.03/2012

Kategori : PBB

Penatausahaan Dan Pemindahbukuan Pajak Bumi Dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, Dan Panas Bumi


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15/PMK.03/2012

TENTANG

PENATAUSAHAAN DAN PEMINDAHBUKUAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN MINYAK BUMI,
GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.04/1997 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.03/2007 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2007, telah diatur tata cara penatausahaan data obyek pajak dan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak bumi dan gas bumi dan energi panas bumi;
  2. bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penatausahaan dan pemindahbukuan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi, perlu diatur kembali mengenai tata cara penatausahaan dan pemindahbukuan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penatausahaan dan Pemindahbukuan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569)
  2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
  3. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327);
  4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
  6. Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1991 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pungutan-pungutan Lainnya terhadap Pelaksanaan Kuasa dan Ijin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkitan Energi Listrik;
  7. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
  8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 766/KMK.04/1992 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Bagian Pemerintah, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan-pungutan Lainnya terhadap Pelaksanaan Kuasa dan Ijin Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi untuk Pembangkitan Energi Listrik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 209/KMK.04/1998;
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.05/2007 tentang Tata Cara Pencairan Dana atas Beban APBN melalui Rekening Kas Umum Negara;
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.02/2009 tentang Pemilihan Bank Operasional I Mitra Kerja Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara;
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.02/2009 tentang Rekening Minyak dan Gas Bumi;
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114/PMK.02/2009 tentang Rekening Panas Bumi;
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENATAUSAHAAN DAN PEMINDAHBUKUAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  2. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  3. Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut PBB Migas adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam wilayah kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Migas yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama,
  4. Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi yang selanjutnya disebut PBB Panas Bumi adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam wilayah kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Panas Bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pengusaha Panas Bumi.
  5. Lampiran Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang selanjutnya disingkat LSPOP adalah formulir yang dipergunakan oleh Subyek Pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data rinci Obyek Pajak.
  6. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
  7. Nilai Jual Obyek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan apabila tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan Obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti.
  8. Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama.
  9. Pengusaha Panas Bumi adalah Pertamina atau perusahaan penerusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kontraktor kontrak operasi bersama (joint operation contract), dan pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi.
  10. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
  11. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak bumi dan gas bumi.
  12. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak bumi dan gas bumi, termasuk antara lain gas metan batubara (coal bed methan).
  13. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan.
  14. Penatausahaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pendaftaran Obyek Pajak, pengadministrasian Obyek Pajak, penilaian NJOP, perhitungan, penetapan dan penagihan PBB Migas dan PBB Panas Burni.
  15. Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi adalah kegiatan pemindahbukuan penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi dari rekening Migas dan rekening Panas Bumi ke rekening Bank Persepsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  16. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.


BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2


Penatausahaan dan pemindahbukuan PBB Migas dan PBB Panas Bumi yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi PBB yang dibayar dari setoran bagian pemerintah dari kegiatan pertambangan Migas dan Panas Bumi.


BAB III
OBYEK PAJAK DAN SUBYEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

Pasal 3


(1) Obyek Pajak PBB Migas adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Migas yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh KKKS.
(2) Obyek Pajak PBB Panas Bumi adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Panas Bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pengusaha Panas Bumi.


Pasal 4


(1) Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
(2) Permukaan bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi areal daratan (onshore) dan areal perairan lepas pantai (offshore), yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan Migas serta pengusahaan Panas Bumi.
(3) Tubuh bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian bumi yang berada di bawah permukaan bumi.


Pasal 5


Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di areal daratan (onshore) atau areal perairan lepas pantai (offshore).


Pasal 6


(1) Subyek Pajak PBB Migas adalah KKKS yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Migas.
(2) Subyek Pajak PBB Panas Bumi adalah Pengusaha Panas Bumi yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait pertambangan Panas Bumi.
(3) Subyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar PBB Migas menjadi Wajib Pajak PBB Migas.
(4) Subyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dikenakan kewajiban membayar PBB Panas Bumi menjadi Wajib Pajak PBB Panas Bumi.


BAB IV
PENATAUSAHAAN DATA OBYEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

Pasal 7


(1) Subyek Pajak atau Wajib Pajak melakukan pendaftaran Obyek Pajak atau pemutakhiran data Obyek Pajak PBB Migas dan PBB Panas Bumi dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, termasuk LSPOP dengan jelas, benar, dan lengkap, serta dilampiri peta wilayah kerja.
(2) LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Pemberitahuan Obyek Pajak
(3) Subyek Pajak atau Wajib Pajak harus menandatangani Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, dan dalam hal bukan Subyek Pajak atau Wajib Pajak yang menandatangani Surat Pemberitahuan Obyek Pajak, harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.
(4) Subyek Pajak atau Wajib Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP oleh Subyek Pajak atau Wajib Pajak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pengisian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 8


(1) Dalam hal Subyek Pajak atau Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP, atau mengisi Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya yang menimbulkan kerugian negara, dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk dalam bagian pemerintah yang disetor oleh Wajib Pajak ke Rekening Migas dan Panas Bumi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 9


(1) Tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP oleh Subyek Pajak atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) adalah:
  1. tanggal diterima secara langsung, dalam hal Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP diterima secara langsung oleh Subyek Pajak atau Wajib Pajak; atau
  2. tanggal stempel pos pengiriman, dalam hal Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP dikirim oleh Direktur Jenderal Pajak melalui pos.
(2) Dalam hal tanggal diterima secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau tanggal stempel pos pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah tanggal sebelum 1 Januari tahun pajak, maka tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP oleh Subyek Pajak atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) adalah tanggal 1 Januari tahun pajak.
(3) Tanggal disampaikannya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) adalah:
  1. tanggal diterima secara langsung, dalam hal Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP diterima secara langsung oleh Direktur Jenderal Pajak, atau
  2. tanggal stempel pos pengiriman, dalam hal Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP dikirim oleh Subyek Pajak atau Wajib Pajak melalui pos.


Pasal 10


(1) BP Migas melaksanakan sosialisasi mengenai tata cara pengisian dan pengembalian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP PBB Migas kepada seluruh KKKS paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
(2) BP Migas mengkoordinasikan percepatan pengembalian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP PBB Migas dari KKKS kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) BP Migas wajib meneliti data Obyek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengisian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak PBB Migas dan menyampaikan perubahan data Obyek Pajak dan/atau Subyek Pajak PBB Migas kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat bulan Juli sebelum tahun pajak.
(4) BP Migas wajib menyampaikan SPPT PBB Migas yang diterima dari Direktorat Jenderal Pajak kepada KKKS.


Pasal 11


(1) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral c.q. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi melaksanakan sosialisasi mengenai tata cara pengisian dan pengembalian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP PBB Panas Bumi kepada seluruh Pengusaha Panas Bumi paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun pajak yang bersangkutan.
(2) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral c.q. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi mengkoordinasikan pereepatan pengembalian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak dan LSPOP PBB Panas Bumi dari Pengusaha Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral c.q. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi berkewajiban meneliti data Obyek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengisian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak PBB Panas Bumi dan menyampaikan perubahan data Obyek Pajak dan/atau Subyek Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat bulan Juli sebelum tahun pajak.
(4) Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan SPPT PBB Panas Bumi kepada Pengusaha Panas Bumi.


Pasal 12


(1) Kantor Pelayanan Pajak melakukan pengadministrasian data Obyek PBB Migas untuk areal daratan (onshore) dan PBB Panas Bumi berdasarkan wilayah kabupaten/kota atau wilayah DKI Jakarta, yang wilayah kerjanya meliputi letak Obyek Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk dalam hal terdapat lebih dari satu Kantor Pelayanan Pajak dalam satu kabupaten/kota.
(2) Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk melakukan pengadministrasian data Obyek PBB Migas untuk areal perairan lepas pantai (offshore) dan tubuh bumi.
(3) Penunjukan Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.



BAB V
PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

Pasal 13


(1) Dasar pengenaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi adalah NJOP.
(2) NJOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi untuk permukaan bumi ditentukan melalui harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar atau perbandingan harga dengan Obyek lain yang sejenis.
(3) NJOP PBB Migas untuk tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ditentukan melalui pendekatan nilai jual pengganti yang dihitung berdasarkan hasil perkalian angka kapitalisasi, hasil produksi, harga minyak mentah Indonesia, dan harga produksi gas bumi.
(4) NJOP PBB Panas Bumi untuk tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ditentukan melalui pendekatan nilai jual pengganti yang dihitung berdasarkan hasil perkalian angka kapitalisasi, hasil dan harga produksi uap, serta hasil dan harga produksi listrik.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan untuk penentuan NJOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi untuk tubuh bumi pada tahap eksplorasi.
(6) Angka kapitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan suatu faktor untuk mengkonversi hasil produksi menjadi nilai jual Obyek.
(7) Hasil produksi minyak bumi yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak adalah minyak bumi yang terjual (lifting) dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
(8) Hasil produksi gas bumi yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak adalah gas bumi yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
(9) Hasil produksi panas bumi yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak adalah uap dan listrik yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
(10) NJOP PBB Migas dan PBB Panas Bumi untuk bangunan ditentukan melalui nilai perolehan baru sebesar biaya pembangunan baru setelah dikurangi penyusutan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi untuk kegiatan eksplorasi dan ekploitasi diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 14


Menteri Keuangan dapat menetapkan harga minyak bumi, harga gas bumi, harga produksi uap, harga produksi listrik, dan kurs yang digunakan sebagai dasar perhitungan untuk penetapan NJOP PBB Migas dan NJOP PBB Panas Bumi dengan mempertimbangkan besaran harga dan nilai kurs yang digunakan dalam APBN/APBN Perubahan.


BAB VI
PENETAPAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

Pasal 15


(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menetapkan besarnya pajak terutang atas PBB Migas atau PBB Panas Bumi menurut keadaan Obyek pajak pada tanggal 1 Januari berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan SPPT berdasarkan ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat akhir bulan April tahun pajak.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menyampaikan salinan dan rekapitulasi penerbitan SPPT kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan Mei tahun pajak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan besarnya pajak terutang atas PBB Migas dan PBB Panas Bumi diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.



BAB VII
PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

Pasal 16


(1) Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu kedua bulan Juni.
(2) Besarnya permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dihitung berdasarkan SPPT yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(3) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dana dari rekening Migas dan rekening Panas Bumi ke rekening Bank Persepsi.


Pasal 17


(1) Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan pembayaran PBB Migas dan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Anggaran dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut:
  1. Daftar Ketetapan PBB Migas per KKKS serta salinan SPP'T per KKKS per kabupaten/kota untuk areal daratan (onshore) dan salinan SPPT per KKKS untuk areal perairan lepas pantai (offshore) dan tubuh bumi; dan
  2. Daftar Ketetapan PBB Panas Bumi per Pengusaha Panas Bumi serta salinan SPPT per Pengusaha Panas Bumi per kabupaten/kota.
(2) Permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak permintaan pembayaran beserta dokumen berupa Daftar Ketetapan PBB Migas dan PBB Panas Bumi dan salinan SPPT secara lengkap diterima oleh Direktorat Jenderal Anggaran.


Pasal 18


(1) Direktur Jenderal Anggaran meneliti kelengkapan permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi berdasarkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian atas dokumen PBB Migas per KKKS dan dokumen PBB Panas Bumi per Pengusaha Panas Bumi yang sudah menyetorkan bagian pemerintah dan belum menyetorkan bagian pemerintah.
(3) PBB Migas per KKKS dan PBB Panas Bumi per Pengusaha Panas Bumi yang sudah menyetorkan bagian pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai faktor pengurang dalam rangka perhitungan DBH Sumber Daya Alam Migas dan DBH Sumber Daya Alam Panas Bumi antara pemerintah pusat dan pernerintah daerah.
(4) PBB Migas per KKKS dan PBB Panas Bumi per Pengusaha Panas Bumi yang belum menyetorkan bagian pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi beban pemerintah pusat.


Pasal 19


(1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Direktur Jenderal Anggaran mengajukan permintaan pemindahbukuan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
(2) Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan permintaan pemindahbukuan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dari Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permintaan pemindahbukuan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam 4 (empat) tahap.
(4) Dalam hal permintaan pemindahbukuan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dilaksanakan secara bertahap, Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan besaran dan waktu pembayaran untuk setiap tahap kepada Direktur Jenderal Pajak.
(5) Pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilunasi paling lambat minggu kedua bulan Desember.


Pasal 20


(1) Dalam hal dokumen permintaan pembayaran PBB Migas per KKKS dan PBB Panas Bumi per Pengusaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tidak lengkap, Direktur Jenderal Anggaran mengembalikan Daftar Ketetapan PBB dan salinan SPPT yang tidak lengkap kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya permintaan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi.
(2) Direktur Jenderal Pajak melengkapi Daftar Ketetapan PBB dan salinan SPPT yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya pengembalian dokumen dimaksud.
(3) Berdasarkan Daftar Ketetapan PBB dan salinan SPPT yang telah dilengkapi oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan permintaan pemindahbukuan pembayaran PBB Migas per KKKS dan PBB Panas Bumi per Pengusaha Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya Daftar Ketetapan PBB dan salinan SPPT secara lengkap dari Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 21


Dalam hal permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 lebih besar dari pagu APBN/APBN Perubahan tahun anggaran berjalan, penyelesaian pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dilakukan sesuai dengan permintaan pembayaran dimaksud.


Pasal 22


(1) Berdasarkan permintaan pemindahbukuan pembayaran dari Direktur Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), Direktur Jenderal Perbendaharaan meminta kepada Bank Indonesia untuk melakukan pemindahbukuan penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi dari Rekening Migas Nomor 600.000411980 dan Panas Bumi Nomor 508.000084980 ke rekening Bank Persepsi yang ditunjuk.
(2) Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan permintaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 4 (empat) hari kerja setelah Direktur Jenderal Perbendaharaan menerima permintaan pemindahbukuan pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi dari Direktur Jenderal Anggaran.



Pasal 23


Dalam hal terdapat perubahan data Obyek pajak setelah adanya pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi melalui pemindahbukuan, perubahan dimaksud diperhitungkan dalam penatausahaan dan pemindahbukuan PBB Migas dan PBB Panas Bumi pada tahun pajak berikutnya.


BAB VIII
PENETAPAN KURANG BAYAR/LEBIH BAYAR
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN MINYAK BUMI,
GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

Pasal 24


(1) Dalam hal terdapat kurang bayar PBB Migas dan PBB Panas Bumi, kurang bayar tersebut dapat dibayarkan setelah dianggarkan dalam APBN Perubahan tahun berjalan atau APBN tahun anggaran berikutnya.
(2) Dalam hal terdapat lebih bayar PBB Migas dan PBB Panas Bumi, lebih bayar tersebut dapat diperhitungkan dalam pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi pada tahun anggaran berikutnya.


BAB IX
PENGALOKASIAN DAN PENYALURAN
DANA BAGI HASIL PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

Pasal 25


(1) Tata cara penghitungan dan penetapan alokasi sementara dan alokasi definitif dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai mekanisme pengalokasian anggaran transfer ke daerah.
(2) Tata cara penyaluran DBH PBB Migas dan DBH PBB Panas Bumi dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran transfer ke daerah.


BAB X
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN MINYAK BUMI, GAS BUMI,
DAN PANAS BUMI YANG DIGUNAKAN SEBAGAI DASAR
PERHITUNGAN DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM
MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI

Pasal 26


(1) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan rencana penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai dasar perhitungan:
  1. pagu Penerimaan Negara Bukan Pajak dari SDA Migas dan Panas Bumi yang akan dituangkan dalam Rancangan APBN; dan
  2. Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Sumber Daya Alam Migas dan Panas Bumi yang akan dibagihasilkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian rencana penerimaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi yang digunakan dalam perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Sumber Daya Alam dan perhitungan DBH Sumber Daya Alam dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai mekanisme pengalokasian anggaran transfer ke daerah.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27


Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
  1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.04/1997 tentang Penata Usahaan Data Obyek Pajak Bumi dan Bangunan Pertambangan Migas dan Panas Bumi serta Pembayarannya; dan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penatausahaan Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dan Energi Panas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2007,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 28


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 140