Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 201/PMK.06/2010

Kategori : Lainnya

Kualitas Piutang Kementerian Negara/Lembaga Dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 201/PMK.06/2010

TENTANG

KUALITAS PIUTANG KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN
PIUTANG TIDAK TERTAGIH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 
Menimbang :

  1. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, laporan keuangan pemerintah menggunakan basis akrual untuk pengakuan aset;
  2. bahwa aset berupa piutang di neraca harus terjaga agar nilainya sama dengan nilai bersih yang dapat direalisasikan (net realizable value);
  3. bahwa untuk menyajikan piutang kementerian negara/lembaga dengan nilai bersih yang dapat direalisasikan, diperlukan penyesuaian dengan membentuk penyisihan piutang tidak tertagih berdasarkan penggolongan kualitas piutang;
  4. bahwa ketentuan mengenai kualitas piutang kementerian negara/lembaga dan pembentukan penyisihan piutang tidak tertagih selama ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kualitas Piutang Kementerian Negara/Lembaga dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
  4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
  5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
  6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3760);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4886);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5165);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :
    
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KUALITAS PIUTANG KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PIUTANG TIDAK TERTAGIH


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
  1. Piutang adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada kementerian negara/lembaga dan/atau hak kementerian negara/lembaga yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
  2. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
  3. Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara, termasuk instansi vertikalnya.
  4. Penyisihan Piutang Tidak Tertagih adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari akun piutang berdasarkan penggolongan kualitas piutang.
  5. Kualitas Piutang adalah hampiran atas ketertagihan piutang yang diukur berdasarkan kepatuhan membayar kewajiban oleh debitor.
  6. Debitor adalah badan atau orang yang berutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
  7. Restrukturisasi adalah upaya perbaikan yang dilakukan Menteri/Pimpinan Lembaga terhadap Debitor yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya yang meliputi pemberian keringanan hutang, persetujuan angsuran, atau persetujuan penundaan pembayaran.
   

BAB II
KUALITAS PIUTANG

Pasal 2


1. Penyisihan Piutang Tidak Tertagih pada Kementerian Negara/Lembaga wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian.
2. Dalam rangka melaksanakan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga wajib:
  1. menilai Kualitas Piutang;
  2. memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar hasil penagihan Piutang yang telah disisihkan senantiasa dapat direalisasikan.
3. Penilaian Kualitas Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya:
  1. jatuh tempo Piutang; dan
  2. upaya penagihan.
4. Kementerian Negara/Lembaga yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri Keuangan.


Pasal 3


(1) Kualitas Piutang ditetapkan dalam 4 (empat) golongan, yaitu kualitas lancar, kualitas kurang lancar, kualitas diragukan, dan kualitas macet.
(2) Penilaian Kualitas Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kondisi Piutang pada tanggal laporan keuangan.


Pasal 4


Piutang diklasifikasikan menjadi:
a. Piutang penerimaan negara bukan pajak.
b. Piutang pajak yang meliputi piutang di bidang:
1) perpajakan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak;
2) kepabeanan dan cukai yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
c. Piutang lainnya.


Pasal 5


(1) Penggolongan Kualitas Piutang penerimaan negara bukan pajak dilakukan dengan ketentuan:
a. kualitas lancar apabila belum dilakukan pelunasan sampai dengan tanggal jatuh tempo yang ditetapkan;
b. kualitas kurang lancar apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Pertama tidak dilakukan pelunasan;
c. kualitas diragukan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Kedua tidak dilakukan pelunasan; dan
d. kualitas macet apabila:
1) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Ketiga tidak dilakukan pelunasan; atau
2) Piutang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Kualitas Piutang:
  1. pajak di bidang perpajakan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak;
  2. pajak di bidang kepabeanan dan cukai diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
  3. lainnya diatur dengan peraturan unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai tugas dan fungsinya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.


BAB III
PENYISIHAN PIUTANG TIDAK TERTAGIH

Pasal 6


(1) Kementerian Negara/Lembaga wajib membentuk Penyisihan Piutang Tidak Tertagih yang umum dan yang khusus.
(2) Penyisihan Piutang Tidak Tertagih yang umum ditetapkan paling sedikit sebesar 5‰ (lima permil) dari Piutang yang memiliki kualitas lancar.
(3) Penyisihan Piutang Tidak Tertagih yang khusus ditetapkan sebesar:
  1. 10% (sepuluh perseratus) dari Piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan;
  2. 50% (lima puluh perseratus) dari Piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan; dan
  3. 100% (seratus perseratus) dari Piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan.
(4) Agunan atau barang sitaan yang mempunyai nilai di atas Piutangnya diperhitungkan sama dengan sisa Piutang.
(5) Penyisihan Piutang Tidak Tertagih yang dibentuk berdasarkan Piutang yang kualitasnya menurun, dilakukan dengan mengabaikan persentase Penyisihan Piutang Tidak Tertagih pada Kualitas Piutang sebelumnya.
(6) Kementerian Negara/Lembaga yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri Keuangan.


Pasal 7


(1) Nilai agunan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) ditetapkan sebesar:
  1. 100% (seratus perseratus) dari agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, garansi bank, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas dan logam mulia;
  2. 80% (delapan puluh perseratus) dari nilai hak tanggungan atas tanah bersertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB) berikut bangunan di atasnya;
  3. 60% (enam puluh perseratus) dari nilai jual objek pajak atas tanah bersertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (SHGB), atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya yang tidak diikat dengan hak tanggungan;
  4. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai jual objek pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti kepemilikan non sertifikat lainnya yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) terakhir;
  5. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai hipotik atas pesawat udara dan kapal laut dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik;
  6. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai jaminan fidusia atas kendaraan bermotor; dan
  7. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang tidak diikat sesuai ketentuan yang berlaku dan disertai bukti kepemilikan.
(2) Agunan selain yang dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.


Pasal 8


(1) Nilai barang sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) ditetapkan sebesar:
  1. 100% (seratus perseratus) dari agunan berupa surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas dan logam mulia;
  2. 60% (enam puluh perseratus) dari nilai jual objek pajak atas tanah bersertifikat hak milik (SHM), hak guna bangunan (SHGB), atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya;
  3. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai jual objek pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau bukti kepemilikan non sertifikat lainnya yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) terakhir; dan
  4. 50% (lima puluh perseratus) dari nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang disertai bukti kepemilikan.
(2) Barang sitaan selain yang dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih.


Pasal 9


(1) Nilai agunan atau barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g dan Pasal 8 ayat (1) huruf d bersumber dari nilai yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
(2) Dalam hal sumber nilai agunan atau barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh, agunan atau barang sitaan tidak diperhitungkan sebagai faktor pengurang Penyisihan Piutang Tidak Tertagih.


Pasal 10


(1) Menteri Keuangan berwenang melakukan penilaian kembali atas nilai agunan dan/atau barang sitaan yang telah diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih apabila Kementerian Negara/Lembaga tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9.
(2) Kewenangan Menteri Keuangan melakukan penilaian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.


BAB IV
RESTRUKTURISASI

Pasal 11


Kementerian Negara/Lembaga dapat melakukan Restrukturisasi terhadap Debitor sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal:
  1. Debitor mengalami kesulitan pembayaran; dan/atau
  2. Debitor memiliki prospek usaha yang baik dan diperkirakan mampu memenuhi kewajiban setelah dilakukan Restrukturisasi.


Pasal 12


(1) Kualitas Piutang setelah persetujuan Restrukturisasi dapat diubah oleh Kementerian Negara/Lembaga:
  1. setinggi-tingginya kualitas kurang lancar untuk Piutang yang sebelum Restrukturisasi memiliki kualitas diragukan atau kualitas macet; dan
  2. tidak berubah, apabila Piutang yang sebelum Restrukturisasi memiliki kualitas kurang lancar.
(2) Dalam hal kewajiban yang ditentukan dalam Restrukturisasi tidak dipenuhi oleh Debitor, Kualitas Piutang yang telah diubah sebagaimana dimaksud pada  ayat (1), dinilai kembali seolah-olah tidak terdapat Restrukturisasi.


BAB V
PENCATATAN PERUBAHAN JUMLAH PIUTANG

Pasal 13


Dalam hal terdapat penghapusan, penambahan, atau pengurangan jumlah Piutang sebagai akibat pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, dilakukan pencatatan perubahan jumlah Piutang.


Pasal 14


(1) Penghapusan Piutang oleh Kementerian Negara/Lembaga dilakukan terhadap seluruh sisa Piutang per Debitor yang memiliki kualitas macet.
(2) Penghapusan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Perlakuan akuntansi penghapusan Piutang sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan cara mengurangi akun Piutang dan akun Penyisihan Piutang Tidak Tertagih sebesar jumlah yang tercantum dalam surat keputusan.


Pasal 15


(1) Dalam hal terdapat penambahan jumlah Piutang, pencatatan perubahan jumlah Piutang dilakukan dengan cara menambah akun Piutang sebesar selisihnya.
(2) Pencatatan penambahan jumlah Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan segera setelah penerbitan surat tagihan/persetujuan/keputusan.


Pasal 16


(1) Dalam hal terdapat pengurangan jumlah Piutang, pencatatan perubahan jumlah Piutang dilakukan dengan cara mengurangi akun Piutang sebesar selisihnya.
(2) Pencatatan pengurangan jumlah Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila:
  1. surat tagihan/persetujuan/keputusan telah terbit; atau
  2. Restrukturisasi telah selesai dilaksanakan.
    

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 17


Ketentuan mengenai penilaian agunan atau barang sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan ini dilaksanakan secara bertahap dalam 5 (lima) tahun.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 18


Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih, sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku.


Pasal 19


Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
 



Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 November 2010
MENTERI KEUANGAN

ttd.

AGUS D. W. MARTOWARDOJO



Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 November 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR
                                  



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 565