Peraturan Daerah Nomor : 13 TAHUN 2010

Kategori : Lainnya

Pajak Hiburan


PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

NOMOR 13 TAHUN 2010

TENTANG

PAJAK HIBURAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,


Menimbang :

  1. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pajak Hiburan sudah tidak sesuai lagi;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Hiburan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
  2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189);
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
  7. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
  8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
  9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
  10. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744);
  11. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4050);
  14. Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 249, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4051);
  15. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, (Lembaran Negaran Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);
  16. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
  17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007);
  18. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2007 Nomor 5);
  19. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2008 Nomor 10);
  20. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2010 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3);

 


Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
dan
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA



MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK HIBURAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
  1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  5. Dinas Pelayanan Pajak adalah Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  6. Kepala Dinas Pelayanan Pajak adalah Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  7. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  8. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  9. Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
  10. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
  11. Harga Tanda Masuk (HTM) adalah harga yang tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh penonton atau pengunjung hiburan.
  12. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan jasa sebagai pembayaran kepada penyelenggara hiburan.


BAB II
NAMA PAJAK

Pasal 2


(1) Dengan nama Pajak Hiburan dipungut pajak atas jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran.
(2) Untuk ketentuan formal dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Hiburan dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah.


BAB III
OBJEK, SUBJEK DAN WAJIB PAJAK

Bagian Kesatu
Objek Pajak

Pasal 3


(1) Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelengaraan hiburan dengan dipungut bayaran.
(2) Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :
  1. tontonan film;
  2. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
  3. kontes kecantikan;
  4. pameran;
  5. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
  6. sirkus, akrobat, dan sulap;
  7. permainan bilyar, golf, dan bowling;
  8. pacuan kuda, kendaraan bermotor dan permainan ketangkasan;
  9. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center);
  10. pertandingan olahraga;
  11. penyelenggaraan hiburan di tempat keramaian tempat wisata, taman rekreasi/rekreasi keluarga, pasar malam, kolam pemancingan, komidi putar, kereta pesiar dan sejenisnya.
(3) Dikecualikan dari objek Pajak Hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran pada acara pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan, dan pameran buku.


Bagian Kedua
Subjek Pajak

Pasal 4


Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menikmati hiburan.


Bagian Ketiga
Wajib Pajak

Pasal 5


Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.


BAB IV
DASAR PENGENAAN, TARIF,
CARA PERHITUNGAN PAJAK DAN WILAYAH PEMUNGUTAN

Bagian Kesatu
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 6


(1) Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan.
(2) Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan.


Bagian Kedua
Tarif Pajak

Pasal 7


(1) Tarif Pajak untuk pertunjukan film di bioskop ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana sebesar 10% (sepuluh persen).
(3) Tarif pajak untuk kontes kecantikan sebesar 10% (sepuuh persen).
(4) Tarif pajak untuk pameran sebesar 10% (sepuluh persen).
(5) Tarif pajak untuk diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya sebesar 20% (dua puluh persen).
(6) Tarif pajak untuk sirkus, akrobat, dan sulap sebesar 10% (sepuluh persen).
(7) Tarif pajak untuk permainan bilyar, bowling dan Seluncur Es (ice skating) sebesar 10% (sepuluh persen).
(8) Tarif pajak untuk permainan golf (green fee) sebesar 15% (lima belas persen) dan untuk driving range sebesar 10% (sepuluh persen).
(9) Tarif pajak untuk pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan, sebesar 10% (sepuluh persen).
(10) Tarif pajak untuk panti pijat, mandi uap dan spa sebesar 20% (dua puluh persen).
(11) Tarif pajak untuk refleksi dan pusat Kebugaran/Fitness Center sebesar 10% (sepuluh persen).
(12) Tarif pajak untuk pertandingan olah raga sebesar 5% (lima persen).
(13) Penyelenggaraan hiburan di tempat keramaian tempat wisata, taman rekreasi/rekreasi keluarga, pasar malam, kolam pemancingan, komidi putar, kereta pesiar dan sejenisnya sebesar 10% (sepuluh persen).


Bagian Ketiga
Cara Penghitungan Pajak

Pasal 8


Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.


Bagian Keempat
Wilayah Pemungutan

Pasal 9


Pajak Hiburan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat hiburan diselenggarakan.


BAB V
MASA PAJAK DAN SAAT TERUTANG PAJAK

Bagian Kesatu
Masa Pajak

Pasal 10


(1) Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim.
(2) Bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh.


Bagian Kedua
Saat Terutangnya Pajak

Pasal 11


(1) Pajak terutang terjadi pada saat penyelenggaran hiburan.
(2) Dalam hal pembayaran diterima sebelum hiburan diselenggarakan, pajak terutang pada saat terjadi pembayaran.


BAB VI
TANDA MASUK

Pasal 12


(1) Gubernur dapat menentukan tanda masuk untuk jenis-jenis hiburan.
(2) Penyelenggaraan hiburan yang seharusnya menggunakan tanda masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi tidak menggunakan tanda masuk, dikenakan sanksi berupa denda sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
(3) Penyelenggaraan Hiburan yang menggunakan tanda masuk yang ditetapkan oleh Gubernur tetapi tidak mencantumkan Harga Tanda Masuk (HTM) dikenakan sanksi berupa denda sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
(4) Tanda masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disahkan oleh Kepala Dinas Pelayanan Pajak.


Pasal 13


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara penentuan dan pengesahan tanda masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, diatur dengan Peraturan Gubernur.


BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 14


(1) Terhadap Pajak hiburan yang terutang dalam masa pajak yang berakhir sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, masih tetap berlaku ketentuan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pajak hiburan.
(2) Selama peraturan pelaksanaan dari peraturan Daerah ini belum diterbitkan, maka peraturan pelaksanaan yang ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.


BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15


Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2003 Nomor 57), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 16


Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2011.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2010
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd.

FAUZI BOWO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 November 2010
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd.

FADJAR PANJAITAN
NIP 195508251976011001

 


LEMBARAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
TAHUN 2010 NOMOR 13

 

 

 

 


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 13 TAHUN 2010

TENTANG

PAJAK HIBURAN


I. UMUM

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sesuai kewenangan yang diberikan, salah satu unsur pendukung untuk terlaksananya kewenangan dimaksud harus dibarengi dengan pembiayaan yang memadai. Salah satu sumber pembiayaan yang dapat diperoleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah melalui penerimaan Pajak Daerah antara lain Pajak Hiburan.

Selama ini pelaksanaan pemungutan Pajak Hiburan sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 beserta peraturan pelaksanaannya. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang berakibat adanya perluasan dalam hal pemungutan objek Pajak Hiburan, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 melalui Peraturan Daerah juga yang dalam penyusunannya dilakukan bersama-masa dengan DPRD, sehingga pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah, khususnya Pajak Hiburan dapat optimal dalam rangka mendukung penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Berkaitan dengan kewenangan kepada Daerah dalam menetapkan tarif Pajak Daerah adalah dalam rangka untuk menghindari ditetapkannya tarif pajak yang tinggi dan di luar kewenangan yang diberikan, sehingga dapat menambah beban kepada masyarakat, dan sejalan dengan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan masyarakat yang harus semakin baik, maka Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta secara terus menerus berupaya meningkatkan kinerja pelayanannya sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat.

Untuk meningkatkan akuntabilitas atas pungutan Pajak Daerah maka di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pada ketentuan Pajak Hiburan telah diamanatkan agar sebagian hasil penerimaan pajak dialokasikan untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bagi daerah.

Dengan disahkannya Peraturan Pajak Daerah ini, dapat memberikan kepastian kepada masyarakat dan dunia usaha di dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan daerah, dengan harapan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, khususnya Pajak Hiburan semakin meningkat dan bagi aparat pemungut pajak bekerja secara profesional yang didasari pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Substansi materi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini mengatur ketentuan material yang meliputi antara lain objek dan subjek pajak, dasar pengenaan pajak, tarif pajak, dan tata cara penghitungan pajak, serta ketentuan mengenai masa pajak dan saat terutang pajak.
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1


Cukup Jelas.


Angka 2


Cukup Jelas.


Angka 3


Cukup Jelas.


Angka 4


Cukup Jelas.


Angka 5


Cukup Jelas.


Angka 6


Cukup Jelas.


Angka 7


Yang dimaksud dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung adalah bahwa atas pembayaran Pajak Daerah tidak dapat diberikan imbalan langsung secara kontra prestasi terhadap orang atau badan, tetapi diberikan secara kolektif.


Angka 8


Cukup Jelas.


Angka 9


Cukup Jelas.


Angka 10


Cukup Jelas.


Angka 11


Yang dimaksud dengan penonton atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri sesuatu hiburan untuk melihat dan/atau mendengar atau menikmatinya atau mempergunakan fasilitas yang disediakan oleh penyelenggara hiburan kecuali penyelenggara, karyawan, artis (para pemain) dan petugas yang menghadiri untuk melakukan tugas pengawasan.


Angka 12


Cukup Jelas.


Pasal 2

Cukup Jelas.


Pasal 3

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Cukup Jelas.


Huruf b


  • Yang dimaksud dengan pagelaran kesenian adalah pagelaran berupa musik dan tari yang bersifat tradisional antara lain campur sari, keroncong, gambang kromong, musik melayu, jaipong, tari saman dan sejenisnya.
  • Yang dimaksud dengan "hiburan berupa kesenian rakyat/tradisional" adalah hiburan kesenian rakyat/tradisional yang dipandang perlu untuk dilestarikan dan diselenggarakan di tempat yang dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat.

Huruf c


Cukup Jelas.


Huruf d


Cukup Jelas.


Huruf e


Cukup Jelas.


Huruf f


Cukup Jelas.


Huruf g


Cukup Jelas.


Huruf h


Cukup Jelas.


Huruf i


Cukup Jelas.


Huruf j


Termasuk jenis olahraga yang dapat dipertandingkan dan/atau dipertunjukan antara lain; renang, tenis, squash, futsal dan jenis olah raga lainnya, selain yang dimaksud pada huruf g dan huruf h.


Huruf k


Yang dimaksud dengan permainan ketangkasan adalah permainan baik secara manual maupun elektronik antara lain; permainan yang menggunakan mesin keping (coin game machine), bom-bom car, mesin simulator balap mobil dan motor, mesin simulator permainan menembak, mesin musik, mesin simulator olah raga, mesin musik dansa dan yang sejenisnya.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Pasal 4

Cukup Jelas.


Pasal 5

Cukup Jelas.


Pasal 6

Cukup Jelas.


Pasal 7

Ayat (1)


Cukup Jelas.


Ayat (2)


Cukup Jelas.


Ayat (3)


Cukup Jelas.


Ayat (4)


Cukup Jelas.


Ayat (5)


Cukup Jelas.


Ayat (6)


Cukup Jelas.


Ayat (7)


Cukup Jelas.


Ayat (8)


  • Green fee adalah pembayaran terhadap penggunaan lapangan golf berikut fasilitas penunjang.
  • Driving range adalah tempat untuk belajar/latihan memukul bola golf berikut fasilitas penunjang dengan dipungut bayaran.
  • Fasilitas penunjang meliputi persewaan peralatan golf, car/bugy, caddy fee, pembayaran atas spa, massage dan restoran (tidak termasuk merchandise).

Ayat (9)


Cukup Jelas.


Ayat (10)


Cukup Jelas.


Ayat (11)


Cukup Jelas.


Ayat (12)


Cukup Jelas.


Ayat (13)


Cukup Jelas.


Pasal 8

Cukup Jelas.


Pasal 9

Cukup Jelas.


Pasal 10

Cukup Jelas.


Pasal 11

Cukup Jelas.


Pasal 12

Cukup Jelas.


Pasal 13

Cukup Jelas.


Pasal 14

Cukup Jelas.


Pasal 15

Cukup Jelas.


Pasal 16

Cukup Jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 10