Undang-Undang Nomor : 21 TAHUN 2008

Kategori : Lainnya

Perbankan Syariah


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2008

TENTANG

PERBANKAN SYARIAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :


  1. bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;
  2. bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;
  3. bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional;
  4. bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan Syariah;

Mengingat :


  1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
  4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);
  5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


MEMUTUSKAN:


Menetapkan:

UNDANG–UNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
  2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
  3. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  4. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.
  5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  6. Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  7. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
  8. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  9. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
  10. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
  11. Kantor Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut melakukan usahanya.
  12. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
  13. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
  14. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
  15. Pihak Terafiliasi adalah:
    1. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS;
    2. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank Syariah atau UUS, antara lain Dewan Pengawas Syariah, akuntan publik, penilai, dan konsultan hukum; dan/atau
    3. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain pengendali bank, pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga direksi.
  16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS.
  17. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
  18. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
  19. Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah.
  20. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
  21. Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
  22. Deposito adalah Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS.
  23. Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
  24. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
  25. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
    1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
    2. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
    3. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
    4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
    5. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa 
    berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
  26. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.
  27. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.
  28. Wali Amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut.
  29. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
  30. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Bank baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
  31. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank tersebut.
  32. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI

Pasal 2


Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.


Pasal 3


Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.


Pasal 4


(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
(4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB III
PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR,
DAN KEPEMILIKAN

Bagian Kesatu
Perizinan

Pasal 5


(1) Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia.
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
  1. susunan organisasi dan kepengurusan;
  2. permodalan;
  3. kepemilikan;
  4. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
  5. kelayakan usaha.
(3) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia.
(4) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada penulisan nama banknya.
(5) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
(6) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia.
(7) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional.
(8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat.
(9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.


Pasal 6


(1) Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(2) Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.
(3) Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.
(4) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri.


Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum

Pasal 7


Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.


Bagian Ketiga
Anggaran Dasar

Pasal 8


Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan memuat pula ketentuan:
  1. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;
  2. Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.


Bagian Keempat
Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah

Pasal 9


(1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
  1. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
  2. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau
  3. pemerintah daerah.
(2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
  1. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia;
  2. pemerintah daerah; atau
  3. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
(3) Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.


Pasal 10


Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Pasal 11


Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.


Pasal 12


Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.


Pasal 13


Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.


Pasal 14


(1) Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia, atau badan hukum asing dapat memiliki atau membeli saham Bank Umum Syariah secara langsung ataumelalui bursa efek.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 15


Perubahan kepemilikan Bank Syariah wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14.


Pasal 16


(1) UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah mendapat izin dari Bank Indonesia.
(2) Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Pasal 17


(1) Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Bank Indonesia.
(2) Dalam hal terjadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah dengan Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut wajib menjadi Bank Syariah.
(3) Ketentuan mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB IV
JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA, DAN
LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS

Bagian Kesatu
Jenis dan Kegiatan Usaha

Pasal 18


Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.


Pasal 19


(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
  1. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  3. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  4. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  5. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  6. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  7. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  8. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
  9. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
  10. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
  11. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
  12. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
  13. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
  14. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
  15. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
  16. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
  17. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:
  1. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  3. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  4. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  5. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  6. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  7. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  8. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
  9. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
  10. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
  11. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
  12. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
  13. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
  14. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
  15. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 20


(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula:
  1. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
  2. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
  3. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
  4. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah;
  5. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
  6. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
  7. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;
  8. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan
  9. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat pula:
  1. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
  2. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
  3. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
  4. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
  5. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan
  6. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 21


Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:
  1. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:
    1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan
    2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
    1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah;
    2. Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna’;
    3. Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;
    4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan
    5. pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;
  3. menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  4. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan
  5. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.


Pasal 22


Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia, kecuali diatur dalam undang-undang lain.


Bagian Kedua
Kelayakan Penyaluran Dana

Pasal 23


(1) Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana kepada Nasabah Penerima Fasilitas.
(2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah Penerima Fasilitas.


Bagian Ketiga
Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS

Pasal 24


(1) Bank Umum Syariah dilarang:
  1. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
  3. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
  4. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
(2) UUS dilarang:
  1. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal;
  3. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan
  4. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.


Pasal 25


Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang:
  1. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
  3. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia;
  4. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah;
  5. melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan
  6. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.


Pasal 26


(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
(4) Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


BAB V
PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS,
DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI,
DAN TENAGA KERJA ASING

Bagian Kesatu
Pemegang Saham Pengendali

Pasal 27


(1) Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Pemegang saham pengendali yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen).
(3) Dalam hal pemegang saham pengendali tidak menurunkan kepemilikan sahamnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka:
  1. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham;
  2. hak suara pemegang saham pengendali tidak diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum atau tidaknya Rapat Umum Pemegang Saham;
  3. deviden yang dapat dibayarkan kepada pemegang saham pengendali paling banyak 10% (sepuluh persen) dan sisanya dibayarkan setelah pemegang saham pengendali tersebut mengalihkan kepemilikannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
  4. nama pemegang saham pengendali yang bersangkutan diumumkan kepada publik melalui 2 (dua) media massa yang mempunyai peredaran luas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Bagian Kedua
Dewan Komisaris dan Direksi

Pasal 28


Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar Bank Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.


Pasal 29


(1) Dalam jajaran direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 wajib terdapat 1 (satu) orang direktur yang bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia danperaturan perundang-undangan lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denganPeraturan Bank Indonesia.


Pasal 30


(1) Calon dewan komisaris dan calon direksi wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap komisaris dan direksi yang melanggar integritas dan tidak memenuhi kompetensi dilakukan oleh Bank Indonesia.
(3) Komisaris dan direksi yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan wajib melepaskan jabatannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Pasal 31


(1) Dalam menjalankan kegiatan Bank Syariah, direksi dapat mengangkat pejabat eksekutif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan pejabat eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Bagian Ketiga
Dewan Pengawas Syariah

Pasal 32


(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Bagian Keempat
Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Pasal 33


(1) Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat menggunakan tenaga kerja asing.
(2) Tata cara penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VI
TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN,
DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH

Bagian Kesatu
Tata Kelola Perbankan Syariah

Pasal 34


(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya.
(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Bagian Kedua
Prinsip Kehati-hatian

Pasal 35


(1) Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu danbentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
(3) Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik.
(4) Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
(5) Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba rugi kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan oleh Bank Indonesia.


Pasal 36


Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya.


Pasal 37


(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima Fasilitas yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yangbersangkutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BankIndonesia.
(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah kepada:
  1. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih dari modal disetor Bank Syariah;
  2. anggota dewan komisaris;
  3. anggota direksi;
  4. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
  5. pejabat bank lainnya; dan
  6. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BankIndonesia.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.


Bagian Ketiga
Kewajiban Pengelolaan Risiko

Pasal 38


(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko, prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Pasal 39


Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.


Pasal 40


(1) Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnyadalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUSyang bersangkutan.
(3) Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkaitdengan proses pembelian Agunan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


BAB VII
RAHASIA BANK

Bagian Kesatu
Cakupan Rahasia Bank

Pasal 41


Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.


Bagian Kedua
Pengecualian Rahasia Bank

Pasal 42


(1) Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan NasabahPenyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat pajak.
(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak, nama nasabah wajib pajak, dan kasus yang dikehendaki keterangannya.

 

Pasal 43


(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan atau Investasi tersangka atauterdakwa pada Bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, atau pimpinan instansi yang diberi wewenang untukmelakukan penyidikan.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan penyidik, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan, dan hubungan perkara pidana yangbersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.

 

Pasal 44


Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43.


Pasal 45


Dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksi Bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.


Pasal 46


(1) Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi Bank dapat memberitahukan keadaan keuangan Nasabahnya kepada Bank lain.
(2) Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.


Pasal 47


Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis, Bank wajib memberikan keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah
Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut.


Pasal 48


Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut.


Pasal 49


Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 46, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.


BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 50


Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia.


Pasal 51


(1) Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yangberhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS.
(2) Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Pasal 52


(1) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank Indonesia menurut tata cara yang ditetapkan denganPeraturan Bank Indonesia.
(2) Bank Syariah dan UUS, atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh Bank Syariah dan UUSyang bersangkutan.
(3) Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia berwenang:
  1. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank;
  2. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank; dan
  3. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.
(4) Keterangan dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah dan UUS yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)tidak diumumkan dan bersifat rahasia.


Pasal 53


(1) Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau pihak lainnya untuk dan atas nama Bank Indonesia, melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalamPasal 52 ayat (2).
(2) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

 

Pasal 54


(1) Dalam hal Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia berwenang melakukan tindakan dalam rangka tindak lanjut pengawasan antara lain:
  1. membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham, komisaris, direksi, dan pemegang saham;
  2. meminta pemegang saham menambah modal;
  3. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi Bank Syariah;
  4. meminta Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya;
  5. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank Syariah lain;
  6. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya;
  7. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain; dan/atau
  8. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain.
(2) Apabila tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dialami Bank Syariah, Bank Indonesia menyatakan Bank Syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke Lembaga Penjamin Simpanan untuk diselamatkan atau tidakdiselamatkan.
(3) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diselamatkan, Bank Indonesia atas permintaan Lembaga Penjamin Simpanan mencabut izin usaha Bank Syariah dan penanganan lebih lanjut dilakukan oleh Lembaga Penjamin
Simpanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Atas permintaan Bank Syariah, Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha Bank Syariah setelah Bank Syariah dimaksud menyelesaikan seluruh kewajibannya.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 55


(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.


BAB X
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 56


Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.


Pasal 57


(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUSyang melanggar Pasal 41 dan Pasal 44.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat dari pelanggaran kerahasiaan bank.


Pasal 58


(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah:
  1. denda uang;
  2. teguran tertulis;
  3. penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS;
  4. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
  5. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan;
  6. pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;
  7. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan pemegang saham Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang tercela di bidang perbankan; dan/atau
  8. pencabutan izin usaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.


BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 59


(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah, UUS, atau kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling  banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum, penuntutan terhadap badan hukum dimaksud dilakukan terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan perbuatan itu dan/atau yangbertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu.


Pasal 60


(1) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 memaksa Bank Syariah, UUS, atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) danpaling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00(delapan miliar rupiah).


Pasal 61


Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).


Pasal 62


(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
  1. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
  2. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. 
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang lalai:
  1. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
  2. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


Pasal 63


(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
  1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS;
  2. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan/atau
  3. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan tersebut. 
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
  1. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka:
    1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS;
    2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lainnya;
    3. memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dananya pada Bank Syariah atau UUS; dan/atau
  2. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).


Pasal 64


Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatanBank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).


Pasal 65


Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).


Pasal 66


(1) Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
  1. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi Bank Syariah atau UUS atau menyebabkan keadaan keuangan Bank Syariah atau UUS tidak sehat;
  2. menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik yang ditugasi oleh dewan komisaris;
  3. memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku yang diwajibkan pada Bank Syariah atau UUS, yang mengakibatkan kerugian sehingga membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS; dan/atau
  4. tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Penyaluran Dana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau ketentuan yang berlaku.
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliarrupiah).


BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 67


(1) Bank Syariah atau UUS yang telah memiliki izin usaha pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lama 1 (satu) tahun sejak mulaiberlakunya Undang-Undang ini.


Pasal 68


(1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukanPemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan dan sanksi bagi Bank Umum Konvensional yang tidak melakukan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denganPeraturan Bank Indonesia.


BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 69


Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.


Pasal 70


Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





  Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 94






PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2008

TENTANG

PERBANKAN SYARIAH

 


I. UMUM


Sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur, berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan mengembangkan sistem ekonomi yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan pada perekonomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, handal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional.

Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat guna mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upaya merealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah.

Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.

Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat.

Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.

Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang.

Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak.

Untuk menerapkan substansi undang-undang perbankan syariah ini, maka pengaturan terhadap UUS yang secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan, apabila telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkan untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi Perbankan Syariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip Syariah, prinsip kesehatan Bank bagi Bank Syariah, dan yang tidak kalah penting diharapkan dapat memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap Bank Syariah dalam undang-undang tersendiri.
   
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.



Pasal 2

Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:

  1. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
  2. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
  3. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
  4. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
  5. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan.
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 3

Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, Perbankan Syariah tetap berpegang pada Prinsip Syariah secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten (istiqamah).



Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dana sosial lainnya”, antara lain adalah penerimaan Bank yang berasal dari pengenaan sanksi terhadap Nasabah (ta’zir).


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sekurang-kurangnya memuat tentang:

  1. susunan organisasi dan kepengurusan;
  2. modal kerja;
  3. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
  4. kelayakan usaha.

Ayat (4)

Yang diwajibkan mencantumkan kata “syariah” hanya Bank Syariah yang mendapatkan izin setelah berlakunya Undang-Undang ini.
Penulisan kata “syariah” ditempatkan setelah kata “bank” atau setelah nama bank.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Ayat (9)

Cukup jelas.



Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kantor di bawah Kantor Cabang” adalah kantor cabang pembantu atau kantor kas yang kegiatan usahanya membantu kantor induknya.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Hal-hal yang dapat diatur dalam Peraturan Bank Indonesia antara lain:

  1. pemberhentian anggota direksi dan komisaris yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan;
  2. pengalihan kepemilikan saham pengendali bank yang harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;
  3. pengalihan izin usaha dari nama lama ke nama baru, perubahan modal dasar, dan perubahan status menjadi Bank terbuka harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;
  4. perubahan modal disetor Bank yang meliputi penambahan, pengurangan, dan komposisi harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;
  5. pelarangan penjaminan saham yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali.



Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Dalam hal salah satu pihak yang akan mendirikan Bank Umum Syariah adalah badan hukum asing, yang bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas perbankan negara asal.
Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan bahwa badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.


Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.



Pasal 10

Cukup jelas.



Pasal 11

Cukup jelas.



Pasal 12

Cukup jelas.



Pasal 13

Cukup jelas.



Pasal 14

Cukup jelas.



Pasal 15

Perubahan kepemilikan Bank Syariah yang tidak mengakibatkan perubahan pemegang saham pengendali cukup dilaporkan secara tertulis kepada Bank Indonesia.



Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Bank Indonesia mencakup antara lain:

  1. minimum kecukupan modal;
  2. persiapan sumber daya manusia;
  3. susunan organisasi dan kepengurusan; dan
  4. kelayakan usaha.



Pasal 17

Cukup jelas.



Pasal 18

Cukup jelas.



Pasal 19

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam menghimpun dana adalah Akad kerja sama antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Nasabah) sebagai pemilik dana dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Bank Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan adalah Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak
selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

Yang dimaksud dengan “Akad musyarakah” adalah Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “Akad murabahah” adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Yang dimaksud dengan “Akad salam” adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati.

Yang dimaksud dengan “Akad istishna’ ” adalah Akad Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).


Huruf e

Yang dimaksud dengan “Akad qardh” adalah Akad pinjaman dana kepada Nasabah dengan ketentuan bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.


Huruf f

Yang dimaksud dengan “Akad ijarah” adalah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Yang dimaksud dengan “Akad ijarah muntahiya bittamlik” adalah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “Akad hawalah” adalah Akad pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau membayar.


Huruf h

Cukup jelas.


Huruf i

Yang dimaksud dengan “transaksi nyata” adalah transaksi yang dilandasi dengan aset yang berwujud.
Yang dimaksud dengan “Akad kafalah” adalah Akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain, di mana pemberi jaminan (kafil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali utang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).


Huruf j

Cukup jelas.


Huruf k

Cukup jelas.


Huruf l

Cukup jelas.


Huruf m

Cukup jelas.


Huruf n

Cukup jelas.


Huruf o

Yang dimaksud dengan “Akad wakalah” adalah Akad pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.


Huruf p

Cukup jelas.


Huruf q

Yang dimaksud dengan “kegiatan lain” adalah, antara lain, melakukan fungsi sosial dalam bentuk menerima dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, serta dana kebajikan.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah penanaman dana Bank Umum Syariah dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan syariah, termasuk penanaman dana dalam bentuk surat berharga yang dapat dikonversi menjadi saham (convertible bonds) atau jenis transaksi tertentu berdasarkan Prinsip Syariah yang berakibat Bank Umum Syariah memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak dalam bidangkeuangan syariah.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “penyertaan modal sementara” adalah penyertaan modal Bank Umum Syariah, antara lain, berupa pembelian saham dan/atau konversi pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan Nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan BankIndonesia.

Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Huruf g

Cukup jelas.


Huruf h

Cukup jelas.


Huruf i

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.



Pasal 21

Cukup jelas.



Pasal 22

Cukup jelas.



Pasal 23

Ayat (1)

Kemauan berkaitan dengan iktikad baik dari Nasabah Penerima Fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan/atau UUS. Kemampuan berkaitan dengan keadaan dan/atau aset Nasabah Penerima Fasilitas sehingga mampu untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan/atau UUS.

Ayat (2)

Penilaian watak calon Nasabah Penerima Fasilitas terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara Bank Syariah dan/atau UUS dan Nasabah atau calon Nasabah yang bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga Bank Syariah
dan/atau UUS dapat menyimpulkan bahwa calon Nasabah Penerima Fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak menyulitkan Bank Syariah dan/atau UUS di kemudian hari.

Penilaian kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas terutama Bank harus meneliti tentang keahlian Nasabah Penerima Fasilitas dalam bidang usahanya dan/atau kemampuan manajemen calon Nasabah sehingga Bank Syariah dan/atau UUS merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat. Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon Nasabah Penerima Fasilitas, terutama Bank Syariah dan/atau UUS harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon Nasabah Penerima Fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon Nasabah yang bersangkutan.

Dalam melakukan penilaian terhadap Agunan, Bank Syariah dan/atau UUS harus menilai barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai Agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila Nasabah Penerima Fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, Agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali Pembiayaan dari Bank Syariah dan/atau UUS yang bersangkutan.

Penilaian terhadap proyek usaha calon Nasabah Penerima Fasilitas, Bank Syariah terutama harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon Nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan.



Pasal 24

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Bank Umum Syariah dapat memasarkan produk asuransi melalui kerja sama dengan perusahaan asuransi yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Semua tindakan Bank Umum Syariah yang berkaitan dengan transaksi asuransi yang dipasarkan melalui kerja sama dimaksud menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi syariah.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

UUS dapat memasarkan produk asuransi melalui kerja sama dengan perusahaan asuransi yang melakukan kegiatan usaha berdasrkan Prinsip Syariah. Semua tindakan UUS yang berkaitan dengan transaksi asuransi yang dipasarkan melalui kerja sama dimaksud menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi syariah.



Pasal 25

Huruf a

Usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah antara lain usaha yang dianggap riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dapat memasarkan produk asuransi melalui kerja sama dengan perusahaan asuransi syariah. Semua tindakan Bank yang berkaitan dengan transaksi asuransi yang dipasarkan melalui kerja sama dimaksud menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi syariah.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.



Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Komite perbankan syariah beranggotakan unsur-unsur dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat dengan komposisi yang berimbang, memiliki keahlian di bidang syariah dan berjumlah paling banyak 11 (sebelas)orang.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 27

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali” adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang:

  1. memiliki saham Bank Syariah sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan memperoleh hak suara; atau
  2. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara, tetapi yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau bank, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengendalian merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk bank, dengan cara apa pun, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengendalian terhadap Bank Syariah dapat dilakukan dengan cara-cara, antara lain, sebagai berikut:
  1. memiliki secara sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;
  2. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau memengaruhi kebijakan Bank Syariah;
  3. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;
  4. melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik langsung maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian tertulis;
  5. melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank (acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank Syariah;
  6. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;
  7. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau memberhentikan pengurus Bank Syariah;
  8. secara tidak langsung memengaruhi atau menjalankan manajemen dan/atau kebijakan Bank Syariah;
  9. melakukan pengendalian terhadap perusahaan induk atau perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank Syariah; dan/atau
  10. melakukan pengendalian terhadap pihak yang melakukan pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i. Uji kemampuan dan kepatutan sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia untuk menilai kompetensi, integritas, dan kemampuan keuangan pemegang saham pengendali dan/atau pengurus bank. Mengingat tujuan uji kemampuan dan kepatutan adalah untuk memperoleh pemegang saham pengendali dan pengurus bank yang dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, penilaian dalam rangka uji kemampuan dan kepatutan oleh Bank Indonesia tidak perlu dipertanggungjawabkan.

Ayat (2)

Kewajiban menurunkan kepemilikan saham bagi Pemilik Bank yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan adalah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dinyatakan tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 28

Yang termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan adalah Peraturan Bank Indonesia.
Pokok-pokok pengaturan tugas direksi Bank Syariah dalam anggaran dasar antara lain:

  1. tugas dan tanggung jawab;
  2. pelaporan; dan
  3. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.



Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Pokok-pokok pengaturan tugas direktur adalah:

  1. tugas dan tanggung jawab;
  2. pelaporan; dan
  3. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.



Pasal 30

Ayat (1)

Uji kemampuan dan kepatutan bertujuan untuk menjamin kompetensi, kredibilitas, integritas, dan pelaksanaan tata kelola yang sehat (good corporate governance) dari pemilik, pengurus bank, dan pengawas syariah.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif” adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada direksi dan/atau mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional Bank Syariah seperti kepala divisi, pemimpin Kantor Cabang, atau kepala satuan kerja audit internal.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 32

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sekurang-kurangnya meliputi:

  1. ruang lingkup, tugas, dan fungsi dewan pengawas syariah;
  2. jumlah anggota dewan pengawas syariah;
  3. masa kerja;
  4. komposisi keahlian;
  5. maksimal jabatan rangkap; dan
  6. pelaporan dewan pengawas syariah.


Pasal 33

Cukup jelas.



Pasal 34

Cukup jelas.



Pasal 35

Ayat (1)

Dalam rangka menjamin terlaksananya pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, Bank memiliki dan menerapkan, antara lain, sistem pengawasan intern.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum” adalah standar akuntansi syariah yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.


Ayat (3)

Kantor akuntan publik yang dimaksud adalah kantor akuntan publik yang memiliki akuntan dengan keahlian bidang akuntansi syariah.


Ayat (4)

Dalam memberikan pengecualian, Bank Indonesia memperhatikan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang bersangkutan.


Ayat (5)

Cukup jelas.



Pasal 36

Cukup jelas.


Pasal 37

Ayat (1)

Penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan Bank Syariah dan UUS. Mengingat bahwa penyaluran dana dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada Bank Syariah dan UUS, risiko yang dihadapi Bank Syariah dan UUS dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut. Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada Nasabah debitur atau kelompok Nasabah debitur tertentu.

Ayat (2)

Pengertian “modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” sesuai dengan pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan bank.
Batas maksimum yang dimaksud diperuntukkan bagi masing-masing Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima Fasilitas termasuk perusahaanperusahaan dalam kelompok yang sama.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Yang dimaksud dengan “keluarga” adalah hubungan sampai dengan derajat kedua, baik menurut garis keturunan lurus maupun ke samping termasuk mertua, menantu, dan ipar.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Ayat (4)

Pengertian “modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” sesuai dengan pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan bank.


Ayat (5)

Cukup jelas.



Pasal 38

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “manajemen risiko” adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan oleh perbankan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.

Prinsip mengenal Nasabah (know your customer principle) merupakan prinsip yang harus diterapkan oleh perbankan yang sekurang-kurangnya mencakup kegiatan penerimaan dan identifikasi Nasabah serta pemantauan kegiatan transaksi Nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.

Perlindungan Nasabah dilakukan antara lain dengan cara adanya mekanisme pengaduan Nasabah, meningkatkan transparansi produk, dan edukasi terhadap Nasabah.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 39

Penjelasan yang diberikan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian Nasabah dimaksudkan untuk menjamin transparansi produk dan jasa Bank. Apabila informasi tersebut telah disediakan, Bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini.



Pasal 40

Ayat (1)

Pembelian Agunan oleh Bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu Bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Penerima Fasilitasnya. Dalam hal bank sebagai pembeli Agunan Nasabah Penerima Fasilitasnya, status Bank adalah sama dengan pembeli bukan Bank lainnya.

Bank dimungkinkan membeli Agunan di luar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Penerima Fasilitasnya.

Batas waktu 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan pemulihan kondisi likuiditas Bank dan batas waktu ini merupakan jangka waktu yang wajar untuk menjual aset Bank.

Agunan yang dapat dibeli oleh Bank adalah Agunan yang pembiayaannya telah dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3

Cukup jelas.


Ayat (4)

Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia memuat antara lain:

  1. Agunan yang dapat dibeli oleh Bank Syariah dan UUS adalah Agunan yang pembiayaannya telah dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu;
  2. Jangka waktu pencairan Agunan yang telah dibeli.


Pasal 41

Cukup jelas.


Pasal 42

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “memperlihatkan bukti tertulis”, termasuk menyampaikan keterangan atau fotokopi.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan” adalah pimpinan departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen setingkat menteri.


Ayat (3)

Cukup jelas.



Pasal 44

Cukup jelas.



Pasal 45

Cukup jelas.



Pasal 46

Cukup jelas.



Pasal 47

Cukup jelas.



Pasal 48

Cukup jelas.



Pasal 49

Cukup jelas.



Pasal 50

Pembinaan yang dilakukan Bank Indonesia, antara lain, mengenai aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank Syariah dan UUS.

Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (off-site supervision) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung (on-site supervision) dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank yang bersangkutan.



Pasal 51

Ayat (1)

Bank Syariah dan UUS perlu menjaga tingkat kesehatannya dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” adalah segala jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronis, yang terkait dengan objek pengawasan Bank Indonesia.

Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait dengan Bank” adalah setiap bagian ruangan dari kantor bank dan tempat lain di luar bank yang terkait dengan objek pengawasan Bank Indonesia.


Huruf b

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” adalah segala jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronis yang terkait dengan objek pengawasan Bank Indonesia.

Yang dimaksud dengan “setiap pihak” adalah orang atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain, ultimate shareholder atau pihak tertentu yang namanya tidak tercantum sebagai pegawai, pengurus atau pemegang saham bank tetapi dapat memengaruhi kegiatan operasional bank atau keputusan manajemen bank.


Huruf c

Yang dimaksud dengan “rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan” adalah rekening-rekening, baik yang ada pada Bank yang diawasi/diperiksa maupun pada Bank lain, yang terkait dengan objek pengawasan/pemeriksaan Bank Indonesia.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 53

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” adalah pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki kompetensi untuk melaksanakan pemeriksaan.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 54

Ayat (1)

Keadaan suatu Bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha Bank semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.

Huruf a

Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan” antara lain pembatasan keputusan pemberian bonus (tantiem), pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Huruf g

Cukup jelas.


Huruf h

Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak di luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan usaha lain, maupun individu yang memenuhi persyaratan.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.



Pasal 55

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:

  1. musyawarah;
  2. mediasi perbankan;
  3. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
  4. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.


Ayat (3)

Cukup jelas.



Pasal 56

Pada dasarnya sanksi administratif dikenakan terhadap anggota komisaris atau anggota direksi secara personal yang melakukan kesalahan, tetapi tidak menutup kemungkinan sanksi administratif dikenakan secara kolektif apabila kesalahan tersebut dilakukan secara kolektif.



Pasal 57

Cukup jelas.



Pasal 58

Cukup jelas.



Pasal 59

Cukup jelas.



Pasal 60

Cukup jelas.



Pasal 61

Cukup jelas.



Pasal 62

Cukup jelas.



Pasal 63

Cukup jelas.



Pasal 64

Cukup jelas.



Pasal 65

Cukup jelas.



Pasal 66

Cukup jelas.



Pasal 67

Ayat (1)

UUS yang telah memiliki izin usaha dalam ketentuan ini adalah UUS yang sudah ada berdasarkan izin pembukaan Kantor Cabang Syariah pada Bank Umum Konvensional.


Ayat (2)

Cukup jelas.



Pasal 68

Cukup jelas.



Pasal 69

Cukup jelas.



Pasal 70

Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4867