Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 202/PMK.03/2007

Kategori : KUP

Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 202/PMK.03/2007

TENTANG

TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN
        
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan Ketentuan Pasal 43A ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313);
  5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3674)
  6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya;
  8. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN.


Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :
  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
  2. Informasi yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan yang selanjutnya disebut informasi adalah keterangan baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
  3. Data yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan yang selanjutnya disebut data adalah kumpulan angka, huruf, kata, atau citra yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku atau catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang menjadi dasar pelaporan yang belum dianalisis.
  4. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang atau institusi karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
  5. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan di bidang perpajakan.
  6. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
  7. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
  8. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah :
    a.  Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau
    b. Pegawai Negeri Sipil pada unit pemeriksa internal Departemen Keuangan yang diberi tugas oleh Menteri Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat (2) Undang-Undang KUP.
  9. Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah laporan yang disusun oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang berisi pengungkapan ada atau tidaknya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
  10. Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa Bukti Permulaan mengenai prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan, pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
  11. Bahan bukti adalah benda berupa buku termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line, catatan, dokumen, keterangan dan/atau benda lainnya yang menjadi dasar, sarana dan/atau hasil pembukuan, pencatatan, atau pembuatan dokumen termasuk dokumen perpajakan yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan usaha atau pekerjaan Wajib Pajak atau orang lain yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
  12. Tersangka adalah setiap orang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana di bidang perpajakan.
  13. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana di bidang perpajakan yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri.
  14. Laporan Kejadian adalah laporan yang memuat informasi mengenai terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.


Pasal 2


(1)  Informasi, Data, Laporan dan Pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak baik secara langsung maupun tidak langsung dikembangkan dan dianalisis untuk ditentukan tindak lanjutnya.
(2)  Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Laporan Hasil Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak badan yang tidak atau tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dan/atau ayat (3a) Undang-Undang KUP sehingga besarnya penghasilan Kena Pajak tidak dapat dihitung.
(3)  Pengembangan dan analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kegiatan intelijen atau pengamatan.
(4) Tindak lanjut atas pengembangan dan analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap Wajib Pajak dalam hal memenuhi kriteria yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 3


Berdasarkan hasil pengembangan dan analisis yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), diterbitkan instruksi untuk melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.


Pasal 4


(1)  Ruang lingkup Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.
(2)  Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan melalui pemeriksaan lapangan.


Pasal 5


(1)  Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) harus dilaksanakan sesuai standar Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2)  Standar Pemeriksaan Bukti Permulaan meliputi standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.


Pasal 6


(1)  Standar umum Pemeriksaan Bukti Permulaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Bukti Permulaan dan mutu pekerjaannya.
(2)  Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Bukti Permulaan, dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama;
  2. jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan
  3. taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan.
(3)  Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang merupakan pejabat fungsional Pemeriksa Pajak.
(4) Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta bantuan tenaga ahli dari instansi lain sebagai Pemeriksa Bukti Permulaan untuk melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.


Pasal 7


Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu :
  1. pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan mendapat pengawasan yang seksama;
  2. luas Pemeriksaan Bukti Permulaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, permintaan keterangan, konfirmasi, dan pengujian lainnya berkenaan dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
  3. temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus didasarkan pada bukti yang sah dan cukup dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
  4. Tim Pemeriksa Bukti Permulaan terdiri dari beberapa Pemeriksa Bukti Permulaan yang salah satunya adalah Penyidik, kecuali dalam hal di suatu Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tidak ada Penyidik;
  5. Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau di tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Bukti Permulaan;
  6. Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja;
  7. Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan didokumentasikan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan;
  8. Pemeriksaan Bukti Permulaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); dan
  9. Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada huruf h diberi hak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam batas waktu yang ditentukan dalam hal hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak.


Pasal 8


Kegiatan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
  1. Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan wajib disusun oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang merupakan rekaman dari semua temuan, kejadian dan/atau data yang diperoleh Pemeriksa Bukti Permulaan selama tahap persiapan dan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang berfungsi sebagai :
    1)  bukti bahwa Pemeriksa Bukti Permulaan telah melaksanakan tugas Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana mestinya berdasarkan keahlian dan pengalaman yang dimilikinya;
    2)  dasar pembuatan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
    3)  bahan dalam melakukan pembahasan akhir dengan Wajib Pajak mengenai temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak;
    4) bahan untuk Pemeriksaan dan/atau Pemeriksaan Bukti Permulaan berikutnya, Penyidikan, atau tindakan lainnya;
    5) sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak.
  2. Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan harus memberikan gambaran antara lain mengenai :
    1)  informasi yang diperoleh dan sumbernya;
    2)  prosedur-prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan yang dilakukan;
    3)  pengujian-pengujian yang telah dilaksanakan;
    4) besarnya kerugian pada pendapatan negara atau besarnya pajak terutang;
    5) modus operandi;
    6) pasal-pasal yang dilanggar;
    7) identitas calon tersangka atau para calon tersangka serta pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan;
    8) identitas calon pelaku pembantu;
    9) identitas para calon saksi;
    10) daftar bahan bukti yang diperoleh, sumber, dan cara memperolehnya;
    11) informasi lain yang dianggap perlu untuk kelancaran pelaksanaan tindak lanjut hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan.


Pasal 9


Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus disusun sesuai dengan standar pelaporan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu :
  1. Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan, memuat simpulan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang didukung temuan yang kuat mengenai ada atau tidaknya Bukti Permulaan, dan memuat pengungkapan informasi lain yang terkait.
  2. Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan antara lain berisi :
    1)  penugasan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
    2)  identitas Wajib Pajak;
    3)  tempat dan waktu kejadian;
    4) pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
    5) pemenuhan kewajiban perpajakan;
    6) data/informasi yang tersedia;
    7) daftar buku dan dokumen yang dipinjam;
    8) materi yang diperiksa; dan
    9) Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan meliputi :
    a)  penghitungan besarnya kerugian pada pendapatan negara atau penghitungan pajak yang terutang;
    b)  modus operandi;
    c)  pasal-pasal yang dilanggar;
    d) identitas calon tersangka atau para calon tersangka serta pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan;
    e) identitas calon pelaku pembantu;
    f) identitas para calon saksi;
    g) daftar bahan bukti yang diperoleh;
    h) simpulan; dan
    i) usul tindak lanjut.
      

Pasal 10


(1)  Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan berkewajiban :
  1. menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang akan dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak;
  2. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
  3. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak;
  4. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Bukti Permulaan;
  5. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
  6. memberitahukan temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak;
  7. melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak;
  8. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan;
  9. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan;
  10. mengamankan bahan bukti yang ditemukan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penyidikan;
  11. membuat berita acara permintaan keterangan para calon Tersangka, calon Saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang berkaitan; dan
  12. membuat Laporan Kejadian, dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penyidikan.
(2) Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang, antara lain :
  1. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  2. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
  3. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  4. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan Bukti Permulaan yang antara lain berupa :
    1)  menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
    2)  memberi kesempatan kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
    3)  menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak.
  5. melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
  6. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
  7. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan; dan
  8. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan kepada para calon Tersangka, calon Saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang berkaitan yang dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan.


Pasal 11


(1)  Dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak berhak :
  1. meminta kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk memberikan pemberitahuan secara tertulis mengenai pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
  2. meminta kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan;
  3. meminta kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
  4. meminta kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk memperlihatkan Surat Tugas apabila terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Bukti Permulaan;
  5. memperoleh pemberitahuan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dari Pemeriksa Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak; dan
  6. menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak.
(2)  Dalam pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak berkewajiban :
  1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak kepada Pemeriksa Bukti Permulaan;
  2. memberikan kesempatan kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
  3. memberikan kesempatan kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  4. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan Bukti Permulaan yang antara lain berupa :
    1)  menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
    2)  memberi kesempatan kepada Pemeriksa Bukti Permulaan untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
    3)  menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak.
  5. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan; dan
  6. menyampaikan tanggapan secara tertulis atau Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak.


Pasal 12


Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan tindakan Penyidikan atau tindakan lainnya.


Pasal 13


Tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat berupa :
  1. penerbitan surat ketetapan pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan terhadap :
    1)  Wajib Pajak yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP atas kealpaan yang pertama kali diketahui oleh Direktur Jenderal Pajak.
    2)  Wajib Pajak badan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang KUP, tetapi tidak ditemukan bukti permulaan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
  2. pembuatan laporan kepada pihak lain yang berwenang apabila ditemukan bukti permulaan yang mengandung adanya unsur tindak pidana selain di bidang perpajakan;
  3. pembuatan laporan sumir apabila Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KUP;
  4. pembuatan laporan sumir apabila tidak ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditemukan, Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau
  5. mengirimkan risalah mengenai temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan pembuatan laporan sumir sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam hal terdapat pajak yang terutang.
 

Pasal 14


(1)  Dalam hal Pemeriksa Bukti Permulaan pada saat melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap Wajib Pajak menemukan ada pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terindikasi tersangkut tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak tersebut, Pemeriksa Bukti Permulaan membuat usulan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(2)  Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak atau Peraturan Bersama Direktur Jenderal Pajak dan Inspektur Jenderal Departemen Keuangan.
 

Pasal 15


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembangan dan analisis informasi, data, laporan dan pengaduan serta petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis Pemeriksaan Bukti Permulaan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 16


Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2007
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI