Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 125/PMK.04/2007

Kategori : Lainnya

Audit Kepabeanan


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 125/PMK.04/2007

TENTANG

AUDIT KEPABEANAN

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 86 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Audit Kepabeanan;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 18 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3674);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan Di Bidang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 36 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3626);
  4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG AUDIT KEPABEANAN.


Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :

  1. Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
  2. Audit Kepabeanan yang selanjutnya disebut audit adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
  3. Orang adalah orang perseroan atau badan hukum
  4. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
  5. Auditee adalah orang yang diaudit oleh pejabat bea dan cukai.
  6. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  7. Audit Umum adalah audit kepabeanan yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan secara lengkap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan.
  8. Audit Khusus adalah audit kepabeanan yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan tertentu.
  9. Audit Investigasi adalah audit kepabeanan yang dilakukan untuk menyelidiki dugaan tindak pidana kepabeanan.
  10. Tim Audit adalah tim yang diberi tugas untuk melaksanakan audit kepabeanan berdasarkan surat tugas atau surat perintah dari Direktur Jenderal.
  11. Daftar Temuan Sementara yang selanjutnya disingkat DTS adalah daftar yang memuat temuan dan kesimpulan sementara atas hasil pelaksanaan audit.
  12. Laporan Hasil Audit yang selanjutnya disingkat LHA adalah laporan pelaksanaan audit yang disusun oleh tim audit sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan audit.
  13. Auditor adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai auditor yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan audit.
  14. Ketua auditor adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai ketua auditor Bea dan Cukai.
  15. Pengendali Teknis Audit yang selanjutnya disingkat PTA adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai pengendali teknis audit Bea dan Cukai.
  16. Pengawas Mutu Audit yang selanjutnya disingkat PMA adalah auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai pengawas mutu audit Bea dan Cukai.



Pasal 2

 

Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit terhadap orang yang bertindak sebagai importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan.



Pasal 3

 

Audit bertujuan untuk menguji tingkat kepatuhan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atas pelaksanaan pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan kepabeanan.


Pasal 4


(1)  Audit terdiri dari audit umum, audit khusus, dan audit investigasi.
(2)  Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terencana atau sewaktu-waktu.


Pasal 5


(1)  Untuk melakukan audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Direktur Jenderal membentuk tim audit.
(2)  Susunan keanggotaan tim audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
  1. PMA;
  2. PTA;
  3. Ketua auditor; dan
  4. seorang atau lebih auditor.
(3)  Dalam hal diperlukan, susunan keanggotaan tim audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditambah :
  1. seorang atau lebih pejabat bea dan cukai selain auditor; dan/atau
  2. seorang atau lebih pejabat instansi lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


Pasal 6


(1)  Anggota tim audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan jenjang penugasannya sebagai PMA, PTA, ketua auditor atau auditor.
(2)  Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Direktur Jenderal.


Pasal 7


(1)  Audit umum dan audit khusus dilaksanakan berdasarkan surat tugas dari Direktur Jenderal.
(2)  Audit investigasi dilaksanakan berdasarkan surat perintah dari Direktur Jenderal.


Pasal 8


Audit dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan instansi lain.


Pasal 9


Dalam melaksanakan audit, tim audit harus berpedoman pada standar audit kepabeanan.


Pasal 10


Dalam melaksanakan audit, tim audit berwenang :
  1. meminta laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan;
  2. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari orang dan pihak lain yang terkait;
  3. memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/media penyimpan data elektronik, sediaan barang, dan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan; dan
  4. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan.


Pasal 11


(1)  Untuk kepentingan pelaksanaan audit, auditee wajib :
  1. menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaiatan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, serta menunjukkan sediaan barangnya untuk diperiksa;
  2. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis;
  3. menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya auditee apabila penggunaan data elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus; dan
(2)  Dalam hal pimpinan auditee tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada yang mewakilinya.
(3)  Terhadap auditee yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 12


(1)  Pelaksanaan audit harus diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat tugas atau surat perintah.
(2)  Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang yang ketentuannya diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.


Pasal 13


(1)  Atas pelaksanaan audit, tim audit menyusun DTS.
(2)  Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal :
  1. audit khusus yang dilakukan dalam rangka keberatan atas penetapan pejabat bea dan cukai; dan
  2. audit investigasi.
(3)  DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh tim audit kepada auditee untuk ditanggapi.
(4) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada tim audit dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya DTS oleh auditee, dan dapat diperpanjang satu kali untuk waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(5) Dalam hal auditee tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), temuan dalam DTS dianggap disetujui oleh auditee.


Pasal 14


(1)  Hasil pelaksanaan audit dituangkan dalam bentuk LHA.
(2)  LHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh PMA, PTA, dan Ketua Auditor.


Pasal 15


LHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 digunakan sebagai dasar penetapan Direktur Jenderal dan ditindaklanjuti dengan surat tagihan dan/atau surat rekomendasi.


Pasal 16


Ketentuan lebih lanjut mengenai audit, sertifikasi keahlian, dan standar audit, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.


Pasal 17


Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku Keputusan Menteri Keuangan Nomor 489/KMK.05/1996 tentang Pelaksanaan Audit Di Bidang Kepabeanan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 18


Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 5 Oktober 2007
MENTERI KEUANGAN,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI