Keputusan Bersama Menteri Nomor : 321/KMK.01/1997

Kategori : Lainnya

Tatacara Dan Penyelesaian Impor Barang Yang Dipergunakan Untuk Operasi Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Dan Pengusahaan Sumberdaya Panasbumi


KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI, MENTERI KEUANGAN,
DAN
MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN
Nomor : 1122.K/92/M.PE/1997, 321/KMK.01/1997, 251/MPP/Kep/7/1997

TENTANG

TATACARA DAN PENYELESAIAN IMPOR BARANG YANG
DIPERGUNAKAN UNTUK OPERASI PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS
BUMI DAN PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PANASBUMI

MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI, MENTERI KEUANGAN,
DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN


Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, perlu diadakan penyesuaian mengenai pengaturan tatacara dan penyelesaian impor barang yang dipergunakan untuk operasi pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan sumberdaya panas bumi;
  2. bahwa sehubungan dengan hal tersebut pada huruf a di atas dan dalam rangka pelaksanaan pasal 15 huruf d Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1985, dianggap perlu untuk menyempurnakan pengaturan Tatacara dan Penyelesaian Impor Barang yang Dipergunakan untuk Operasi Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan Pengusahaan Sumberdaya Panasbumi dalam suatu Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Keuangan, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Mengingat :

  1. Undang-undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070);
  2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tenang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2971);
  3. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
  4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
  5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3568);
  6. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1985 tentang Barang yang Digunakan untuk Operasi Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3311);
  8. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1981 tanggal 1 juni 1981 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1991 tanggal 1 Oktober 1991 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1981;
  9. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1989 tanggal 4 agustus 1989 tentang Kerjasama Pertamina dengan Badan Usaha Swasta dalam Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi;
  10. Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1991 tanggal 12 Nopember 1991 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pungutan-pungutan Lainnya terhadap Pelaksanaan Kuasa dan Ijin Pengusahaan Sumberdaya Panasbumi untuk Pembangkitan Energi/Listrik;
  11. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tanggal 17 Maret 1993 jo. Keputusan Presiden Nomor 388/M Tahun 1995 tanggal 6 Desember 1995.

MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI, MENTERI KEUANGAN, DAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN TENTANG TATACARA DAN PENYELESAIAN IMPOR BARANG YANG DIPERGUNAKAN UNTUK OPERASI PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI DAN PENGUSAHAAN SUMBERDAYA PANAS BUMI.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Keputusan Bersama ini yang dimaksud dengan :
a. Barang Operasi : Adalah semua barang dan peralatan termasuk kapal dan pesawat terbang yang secara langsung dipergunakan untuk operasi pertambangan minyak dan gas bumi yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengilangan, pengangkutan dan penjualan sampai dengan depot dan atau sub depot Pertamina sebagimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1985 dan yang dipergunakan dalam eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya panasbumi untuk pembangkitan energi/listrik;
b. Pertamina : Adalah Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971;
c. Kontraktor   Adalah Badan Hukum yang mengadakan kerjasama dengan Pertamina dalam pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi atau pengusahaan sumberdaya panasbumi yang manajemen operasionalnya di tangan Pertamina;
d. Perusahaan : Adalah Pertamina atau Kontraktor;
e. Jaminan Tertulis : Adalah jaminan secara tertulis yang diberikan Pertamina kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memuat jaminan kebenaran penggunaan, jaminan ekspor kembali, dan jaminan kewajiban kepabeanan atas barang Operasi Golongan II sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. DJMGB : Adalah Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi;
g DJBC : Adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
h. DJPI : Adalah Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional;
i. Kantor Pabean : Adalah Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


Pasal 2


(1)  Barang Operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a terdiri dari :
a. Barang Operasi Golongan I, yaitu Barang Operasi yang atas impornya tidak dipungut lagi Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor sesuai Pasal 15 huruf d Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 dan sesuai Pasal 4 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1991;
b. Barang Operasi Golongan II, yaitu Barang Operasi yang diimpor berdasarkan Pasal 9 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995, dengan Jaminan Tertulis sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Bersama ini.
(2)  Impor Barang Operasi Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan menyerahkan Jaminan Tertulis dari Pertamina.
(3)  Impor Barang Operasi Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat disertai suku cadang dalam jumlah yang wajar sesuai standar/manual mesin/peralatan yang diimpor dan tercantum dalam RIB/ML yang bersangkutan.
(4) Barang Operasi Golongan II wajib diekspor kembali atau dikirim ke Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam paling lambat pada anggal izin penggunannya jatuh tempo atau telah selesai dipergunakan sebelum jatuh tempo.
(5) Dalam hal Barang Operasi Golongan II tidak diekspor kembali atau dikirim ke Kawasan Berikat Industri Pulau Batam sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib dibayar Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor serta denda administrasi sebesar 1 (satu) kali Bea Masuk yang seharusnya dibayar yang menjadi beban Perusahaan bersangkutan.
(6) Penagihan pembayaran Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat disampaikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada Pertamina.
(7) Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib dibayar Perusahaan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal selesainya fasilitas penangguhan.
(8) Dalam hal Perusahaan belum melaksanakan pembayaran dalam jangka waktu yang telah ditetapkan,  dikenakan bunga atas tagihan sesuai ketentuan yang berlaku.


BAB II
PELAKSANAAN DAN PENYELESAIAN IMPOR BARANG OPERASI

Pasal 3


(1)  Sebelum melaksanakan impor, Perusahaan menyusun Rencana Impor Barang atau Masterlist, selanjutnya disebut RIB/ML dalam rangkap 6 (enam), yang memuat uraian barang Operasi untuk jangka waktu 3 (tiga) bulan dan menyampaiannya kepada DJMGB dengan ketentuan bagi kontraktor menyampaikan tembusan kepada Pertamina.
(2)  Penyusunan RIB/ML sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mengutamakan apresiasi penggunaan barang dan jasa produksi dalam negeri.
(3)  RIB/ML sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat perincian penggolongan Barang Operasi dengan mencantumkan jenis, jumlah, harga, tujuan pemakaian dan lokasi penggunaan Barang Operasi yang bersangkutan.
(4) Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi atau pejabat yang ditunjuk menandasahkan RIB/ML sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya dalam jangka waktu 2 (dua) minggu setelah diterimanya RIB/ML yang bersangkutan dan mengirimkannya kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dengan tembusan kepada Perusahaan.
(5) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanya RIB/ML sebagaiman dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri Keuangan memberikan fasilitas kepabeanan atas Barang Operasi sesuai RIB/ML yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan kepabeanan yang berlaku.
(6) Terhadap RIB/ML yang telah diberikan fasilitas kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mendistribusikan RIB/ML yang bersangkutan kepada DJMGB,  Pertamina, Kantor Pabean Pemasukan dan kontraktor dengan tembusan kepada Pertamina.
(7) RIB/ML yang telah ditandasahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan (5) mempunyai masa berlaku selama 6 (enam) bulan sejak tanggal ditandasahkan.
(8) Perusahaan dapat mengajukan perpanjangan masa berlaku RIB/ML sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan mengemukakan alasan-alasan.
(9) Dalam hal terdapat perbedaan penggolongan Barang Operasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyerahkan kembali RIB/ML yang bersangkutan kepada DJMGB untuk dilakukan peninjauan kembali.


Pasal 4


(1)  Ketentuan terhadap barang yang telah diatur tataniaga impornya, tidak berlaku atas impor Operasi Golongan II.
(2)  Dalam hal terdapat impor Barang Operasi Golongan I yang merupakan barang bekas pakai dan atau diatur tataniaga imporny, Perusahaan wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Perdagangan Internasional.
(3)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah diterimanya permohonan persetujuan secara lengkap dan benar, Direktur Jenderal Perdagangan Internasional atau pejabat yang ditunjuk wajib memberikan keputusannya.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal Perdagangan Internasional atau pejabatnya yang ditunjuk belum memberikan keputusannya, permohonan dianggap telah disetujui.
(5) Persetujuan Direktur Jenderal Perdagangan Internasional sebagaimana diatur pada ayat (2) tidak diperlukan dalam hal impor barang operasi Golongan I dilakukan oleh pelaksana impor yang ditunjuk.


Pasal 5


(1)  Dalam pelaksanaan impor Barang Operasi, Perusahaan wajib mengajukan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang ditandatangani oleh Pertamina atau kontraktornya atau pejabat yang ditunjuk atas nama Pertamina dengan Surat Kuasa yang sah, dilampiri dokumen pelengkap pabean lainnya kepada Kantor Pabean pemasukan, dengan mencantumkan nomor dan tanggal penandasahan RIB/ML dan Kode Identifikasi Material yang telah disahkan dan atau copy RIB/ML yang bersangkutan.
(2)  Pengajuan PIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sebelum Barang Operasi yang bersangkutan tiba di pelabuhan tujuan dan dapat dilakukan melalui media elektronik.
(3)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah diterimanya dokumen impor secara lengkap dan benar, Kantor Pabean setempat melaksanakan penyelesaian impor Barang Operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 6


Perusahaan wajib menyampaikan laporan realisasi impor Barang Operasi secara berkala 3 (tiga) bulan sekali kepada DJMGB dan DJBC dengan tembusan Pertamina sesuai bentuk laporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan Bersama ini.


Pasal 7


(1)  Dalam hal terdapat rencana impor Barang Operasi yang tidak tercantum dalam RIB/ML, Perusahaan wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan penambahan RIB/ML sesuai tatacara sebagaiman dimaksud dalam Pasal 3.
(2)  Dalam hal terjadi keadaan darurat (emergency) yang memerlukan impor Barang Operasi, Perusahaan wajib mengajukan permohonan dalam bentuk invoice atau proforma invoice kepada DJMGB untuk ditetapkan penggolongan Barang Operasinya.
(3)  Perusahaan dapat melaksanakan impor Barang Operasi pada Kantor Pabean setempat, setelah mendapatkan penetapan penggolongan Barang Operasi dari DJMGB.
(4) Perusahaan wajib menyampaikan laporan kepada DJBC dan DJMGB dengan tembusan Pertamina mengenai pelaksanaan impor Barang Operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Pasal 8


DJMGB wajib menggunakan jasa surveyor yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka pelaksanaan proses pengesahan RIB/ML.


BAB III
PENGGUNAAN, PEMINDAHAN, PENGALIHAN, DAN PERPANJANGAN
BARANG OPERASI GOLONGAN II

Pasal 9


(1)  Barang Operasi Golongan II dipergunakan dalam lokasi sebagaimana tercantum dalam RIB/ML untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal PIB dan dapat diperpanjang penggunaannya 2 (dua) kali masing- masing paling lama 1 (satu) tahun.
(2)  Perpanjangan jangka waktu penggunaan Barang Operasi Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan menyampaikan permohonan perpanjangan kepada Kepala Kantor Pabean setempat dengan mengemukakan alasan-alasan dan bukti-bukti antara lain kontrak kerja yang masih berlaku atau Letter of Intent (LI), selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum jatuh tempo dengan tembusan kepada DJBC, DJMGB, dan Pertamina.
(3)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sebelum jatuh tempo, Kepala kantor Pabean setempat wajib memberikan keputusannya.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Kepala Kantor Pabean setempat belum memberikan keputusannya, permohonan perpanjangan dianggap telah disetujui.
(5) Dalam hal PIB dibuat di Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam, keputusan perpanjangan penggunaan Barang Operasi Golongan II dapat dilakukan oleh Kantor Pabean tempat penggunaan, dan tembusan disampaikan kepada Kantor Pabean Batam.


Pasal 10


(1)  Perpanjangan jangka waktu penggunaan Barang Operasi Golongan II yang melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1), diberikan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk setelah mendapat rekomendasi DJMGB.
(2)  Sebelum diberikannya persetujuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan dengan persetujuan Pertamina menyampaikan permohonan perpanjangan kepada DJBC melalui Kantor Pabean setempat dengan mengemukakan alasan-alasan dan bukti-bukti antara lain kontrak kerja yang masih berlaku atau Letter of Intent (LI) dengan tembusan DJMGB, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum jatuh tempo.
(3)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanya tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DJMGB wajib menyampaikan rekomendasi kepada DJBC.
(4) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanya permohonan, Kantor Pabean setempat menyampaikan pendapatnya kepada DJBC.
(5) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanyapermohonan dan rekomendasi, DJBC wajib memberikan keputusannya.
(6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) DJBC belum memberikan keputusannya, permohonan perpanjangan dianggap telah disetujui.


Pasal 11


(1)  Dalam hal terdapat pemindahan lokasi Barang Operasi Golongan II, Perusahaan setelah mendapat persetujuan Pertamina menyampaikan permohonan pemindahan kepada Kepala Kantor Pabean setempat dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pabean tujuan dan DJMGB atau dalam hal PIB Barang Operasi Golongan II didaftarkan di Kantor Pabean Batam, tembusan permohonan disampaikan juga kepada Kantor Pabean Batam.
(2)  Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan perusahaan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum pelaksanaan pemindahan.
(3)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanya permohonan, Kepala Kantor Pabean wajib memberikan keputusannya dan dalam hal PIB didaftarkan di Kantor Pabean Batam, tembusankeputusan disampaikan juga ke Kantor Pabea Batam.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaiman dimaksud pada ayat (3) Kepala Kantor Pabean belum memebrikan keputusannya, permohonan pemindahan dianggap telah disetujui.
(5) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal diterimanya keputusan, Perusahaan tidak melaksanakan pemindahan Barang Operasi Golongan II, keputusan pemindahan dinyatakan batal dan tidak berlaku.


Pasal 12


(1)  Dalam hal terjadi keadaan darurat (emergency), Perusahaan dapat melaksanakan pemindahan lokasi barang Operasi Golongan II.
(2)  Pemindahan lokasi Barang Operasi Golongan II sebagaiman dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Kantor Pabea setempat selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah dilaksanakan pemindahan.


Pasal 13


(1)  Dalam hal terdapat pemindahan tanggung jawab atas Barang Operasi Golongan II, Perusahaan terlebih dahulu wajib mengajukan permohonan persetujuan kepada DJMGB, dengan melampirkan :
  1. Persetujuan Pertamina;
  2. Perjanjian pengalihan tanggung jawab disertai daftar Barang Operasi yang bersangkutan;
  3. Copy PIB;
  4. RIB/ML yang telah ditandasahkan.
(2)  Setelah diadakan penelitian, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanya permohonan, DJMGB menerussampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada DJBC.
(3)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanya permohonan, DJBC memberikan keputusannya dengan tembusan kepada DJMGB dan Pertamina.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DJBC belum memberikan keputusannya, permohonan pemindahan tanggung jawab dianggap telah disetujui.


Pasal 14


(1)  Pengangkutan Barang Operasi Golongan II untuk pemindahan lokasi dilakukan dengan menggunakan Formulir BC.1.2. sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan Bersama ini.
(2)  Pada tempat kedatangan Barang Operasi Golongan II, Perusahaan mengajukan PIB pengganti kepada Kantor Pabean setempat.
(3)  Dalam hal pengangkutan Barang Operasi Golongan II untuk pemindahan lokasi yang PIB diajukan pada Kantor Pabean Batam, dilaksanakan dengan copy PIB bersangkutan yang telah ditandasahkan Kantor Pabean Batam dan pada Kantor Pabean tujuan tidak diperlukan PIB pengganti.


BAB IV
PENYELESAIAN EKSPOR KEMBALI
BARANG OPERASI GOLONGAN II

Pasal 15


Pelaksanaan ekspor kembali Barang Operasi Golongan II dilakukan oleh Perusahaan dengan mengajukan pemberitahuan disertai Pemberitahuan Ekspor Barang Tertentu (PEBT) kepada Kantor Pabean setempat dengan melampirkan PIB atau PIB pengganti.


Pasal 16


Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pelaksanaan ekspor kembali Barang Operasi Golongan II, Perusahaan wajib menyampaikan laporan realisasi ekspor kembali Barang Operasi Golongan II sesuai bentuk laporan sebagaiman tercantum dalam lampiran IV Keputusan Bersama ini kepada DJMGB dan DJBC dengan tembusan Pertamina.


BAB V
TATACARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG OPERASI DI
KAWASAN BERIKAT DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM

Pasal 17


Pemasukan Barang Operasi dari luar wilayah pabean Indonesia atau daerah pabean Indonesia lainnya yang belum diselesaikan kewajiban kepabeanannya kedalam Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam, dilaksanakan dengan mempergunakan Formulir E/BZ sebagaimana tercantum dalam lampiran V Keputusan Bersama ini dan dengan dilengkapi dokumen pelengkap pabean.


Pasal 18


(1)  Dalam melaksanakan pemasukan Barang Operasi kedalam daerah pabean Indonesia dari kawasan Berikat daerah Industri Pulau Batam, pengajuan pemberitahuan pabean dapat dilakukan pada Kantor Pabean setempat atau Kantor Pabean tujuan.
(2)  Dalam hal pemasukan Barang Operasi dilaksanakan pada Kantor pabean Batam, Perusahaan menyampaikan PIB sebagaiman dimaksud dalam pasal 5 ayat (1), dengan melampirkan formulir E/BZ dan mencantumkan nomor dan tanggal penandasahan RIB/ML serta Kode Identifikasi Material yang telah disahkan.
(3)  Dalam hal pemasukan Barang Operasi dilaksanakan pada Kantor Pabean tujuan, Perusahaan menyampaikan PIB sebagaiman dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dengan melampirkan Formulir BC.1.2. dan mencantumkan Nomor dan tanggal penandasahan RIB/ML dan Kode Identifikasi Material yang telah disahkan.


Pasal 19


(1)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah diterimanya PIB secara lengkap dan benar atas Barang Operasi Golongan I, Kantor Pabean setempat melaksanakan penyelesaian impor sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanya PIB secara lengkap dan benar atas Barang Operasi Golongan II, Kantor Pabean melaksanakan penyelesaian impornya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 20


(1)  Pengangkutan Barang Operasi Golongan II yang dimasukkan melalui Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam yang telah dilaksanakan penyelesaian impornya pada Kantor Pabean Batam, dilakukan dengan copy PIB yang bersangkutan yang telah ditandasahkan Kantor Pabean Batam yang dipergunakan sebagai dokumen pelindung pengangkutan.
(2)  Pada Kantor Pabean tujuan penggunaan Barang Operasi Golongan II, tidak diperlukan PIB pengganti.
(3)  Perusahaan wajib melaporkan diterimanya barang Operasi Golongan II di lokasi penggunannya, kepada Kantor Pabea tujuan.
(4) Pengangkutan Barang Operasi Golongan II yang dimasukkan melalui Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam yang penyelesaian impornya dilaksanakan pada Kantor Pabean tujuan, dilakukan dengan dokumen pelindung Formulir BC.1.2.


Pasal 21


(1)  Barang Operasi Golongan II yang telah selesai dipergunakan sebelum jatuh tempo atau izin penggunaannya telah jatuh tempo dapat dikirim kembali ke Kawasan Berikat daerah Industri Pulau Batam.
(2)  Pengiriman kembali Barang Operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mengajukan permohonan dan PEBT kepada Kantor Pabean setempat.
(3)  Pemasukan Barang Operasi di Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam, dilaksanakan dengan pengisian Formulir E/BZ.
(4) Pengiriman kembali Barang Operasi Golongan II sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dianggap telah diekspor kembali.


Pasal 22


(1)  Perusahaan setelah mendapat persetujuan Pertamina dapat memasukkan barang Operasi Golongan I ke dalam Daerah Industri Pulau Batam untuk tujuan penyimpanan, dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan sesuai bentuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Keputusan Bersama ini kepada Kantor Pabean Batam.
(2)  Perusahaan menyampaikan pemberitahuan pengeluaran Barang Operasi Golongan I sebagaiman dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pabean Batam dengan dilampiri persetujuan Pertamina dan copy Surat Pemberitahuan.



BAB VI
PERBAIKAN DAN PENUKARAN BARANG
OPERASI GOLONGAN I KE LUAR NEGERI

Pasal 23


(1)  Perusahaan dapat mengirimkan Barang Operasi Golongan I ke Luar negeri atau ke Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam untuk perbaikan atau penukaran karena salah kirim dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan dengan menyampaikan PEBT yang dilengkapi catatan mengenai keadaan barang yang bersangkutan kepada Kantor Pabean setempat, dengan tembusan kepada DJMGB, DJBC dan Pertamina.
(2)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, Kepala Kantor Pabean setempat memberikan persetujuan perbaikan atau penukaran Barang Operasi Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakn PEBT sesuai tatalaksana ekspor yang berlaku.
(3)  Pemasukan Barang Operasi Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku untuk Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam.


Pasal 24


(1)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tanggal izin diberikan, Perusahaan wajib memasukkan kembali Barang Operasi Golongan I, yang diperbaiki ke dalam daerah pabean Indonesia.
(2)  Untuk memasukkan kembali Barang Operasi Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan wajib mengajukan perubahan RIB/ML yang menunjuk pengesahan RIB/ML yang lama dan pada saat barang masuk dilengkapi dengan PIB sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1), dilampiri copy persetujuan pengiriman ke luar negeri dari kantor Pabean setempat (3) Perubahan RIB/ML sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memuat nama barang yang diperbaiki dengan menyebutkan nilai tambah atas barang yang bersangkutan.
(3)  Dalam hal barang operasi Golongan I yang telah diperbaiki dimasukkan ke dalam Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam, Perusahaan wajib menyampaikan copy PEBT dan dilaksanakan dengan mempergunakan formulir E / B8


Pasal 25


(1)  Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 (enam bulan setelah tanggal izin diberikan, Perusahaan wajib memasukkan kembali Barang Operasi Golongan I yang telah dilakukan penukaran ke dalam daerah pabean Indonesia.
(2)  Untuk memasukkan kembali Barang Operasi Golongan I sebagaimana dimaksud pada yat (1), Perusahaan wajib mengajukan PIB sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dengan melampirkan copy persetujuan keluar negeri dari Kantor Pabean setempat dan copy pengesahan RIB/ML.
(3)  Dalam hal Barang Operasi Golongan I yang telah ditukar dimasukkan kedalam Kawasan Berikat daerah Industri Pulau Batam, Perusahaan Wajib menyampaikan copy PEBT dan dilaksanakan dengan mempergunakan Formulir E/BZ.


Pasal 26


Pemasukan kembali Barang Operasi Golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dan 25 ke dalam daerah pabean Indonesia atau Kawasan Berikat daerah Industri Pulau Batam, dilaksanakan sesuai ketentuan kepabeanan yang berlaku.


BAB VII
HIBAH, PENGALIHAN, DAN PENJUALAN
BARANG OPERASI

Pasal 27


Hibah atau penjualan oleh Pertamina kepada pihak lain atas barang Operasi golongan I, dikenakan Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor sesuai ketentuan yang berlaku.


Pasal 28


Pengalihan status Barang Operasi Golongan II menjadi asset pihak lain, dikenakan Bea Masuk dan pajak dalam rangka impor sesuai ketentuan yang berlaku.


Pasal 29


Hibah atau penjualan atau pengalihan status Barang Operasi Golongan II yang merupakan barang bekas pakai dan atau diatur tata niaga impornya, wajib terlebih dahulu mendapatkan izin dari DJPI.


Pasal 30


Hibah atau penjualan atau pengalihan status barang operasi, dapat dilaksanakan setelah dilunasi pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor sesuai ketentuan yang berlaku.


BAB VIII
PENYELESAIAN BARANG OPERASI GOLONGAN II
KARENA KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)

Pasal 31


Barang Operasi Golongan II yang hilang dalam sumur (Lost in Hole) atau tidak dapat diekspor ke luar daerah pabean Indone sia atau dikirim kembali ke Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam karena keadaan memaksa (force majeure), tidak dikenakan Bea Masuk dan pajak dalam rangka impor.


Pasal 32


(1)  Keadaan memaksa (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam pasal 31, wajib diberitahukan oleh Perusahaan kepada Kantor Pabean setempat dengan tembusan kepada DJBC, DJMGB, dan Pertamina dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah terjadinya keadaan memaksa.
(2)  Perusahaan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah terjadinya keadaan memaksa (force majeure), wajib mengajukan permohonan pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor kepada Menteri Keuangan melalui Kantor Pabean setempat lengkap dengan dokumen pendukungnya.
(3)  Kantor Pabean setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanya permohonan pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan rekomendasi kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah diterimanya permohonan pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor dan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan wajib memberikan keputusannya.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DJBC belum memberikan keputusannya, permohonan pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam rangka impor dianggap telah disetujui.


Pasal 33


Dalam hal Perusahaan menyampaikan laporan keadaan memaksa (force majeure) setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), Perusahaan wajib membayar Bea Masuk dan pajak dalam rangka impor sesuai ketentuan yang berlaku.


BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Pasal 34


Dengan berlakunya Keputusan Bersama ini, terhadap RIB/ML yang telah ditandasahkan tetap berlaku dan penyelesaian impornya dilakukan sesuai Keputusan Bersama ini serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 35


Dengan berlakunya Keputusan Bersama ini, maka :
  1. Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Keuangan, dan Menteri Perdagangan Nomor 2618 K/11/M.PE/1985; 947/KMK.05/1985; 1068/Kpb/XII/1985 tanggal 5 Desember 1985;
  2. Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Keuangan, dan Menteri Perdagangan Nomor 2619 K/11/M.PE/1985; 948/KMK.05/1985;1069/Kpb/XII/1985 tanggal 5 Desember 1985;
  3. Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Keuangan, dan Menteri Perdagangan Nomor 0266 K/03/M.PE/1988; 334/KMK.05/1988; 63 B/Kpb/II/1988 tanggal 29 Pebruari 1988;beserta peraturan pelaksanaannya, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 36


Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Keputusan Bersama ini, akan diatur oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai baik secara bersama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.


Pasal 37


Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan penempatan Keputusan Bersama ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Juli 1997
MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN                                                                                    
ttd.                                                                                                                                                               
T. ARIWIBOWO                                                                                                                    


MENTERI KEUANGAN
  
ttd.

I.B. SUDJANA




MENTERI PERTAMBANGAN & ENERGI

ttd.

MAR'IE MUHAMMAD