Undang-Undang Nomor : 7 TAHUN 1983

Kategori : PPh

Pajak Penghasilan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1983

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

  1. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;

  2. bahwa sistem perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak negara selama ini berlaku, tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam menunjang pembiayaan pembangunan.

  3. bahwa sistem perpajakan yang tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang selama ini berlaku belum sepenuhnya dapat menggerakkan peran serta semua lapisan subyek pajak dalam peningkatan penerimaan negara yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan pembangunan dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional;

  4. bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang harus berkembang dan meningkat, sesuai dengan perkembangan kemampuan riil rakyat dan laju pembangunan nasional;

  5. bahwa sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;

  6. bahwa oleh karena itu sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya, pajak perseroan, pajak pendapatan, dan pajak atas bunga, dividen dan royalti yang berlaku dewasa ini pada khususnya perlu di perbaharui dan disesuaikan sehingga lebih memberikan kepastian hukum, sederhana, mudah pelaksanaannya, serta lebih adil dan merata;

  7. bahwa untuk dapat mencapai maksud tersebut di atas perlu disusun Undang-undang tentang Pajak Penghasilan;

 

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Haluan Negara;
  3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);

 

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN :

 

Dengan mencabut :

  1. Pasal 15 ke 4 dan ke 5 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818) sebagaimana telah diubah, dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2943);
  2. Pasal 9, Pasal 12 ke 4 dan ke 5, Pasal 13, dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2853) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2944);

 

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK PENGHASILAN

 

BAB I
KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak.

 

BAB II
SUBYEK PAJAK

 

Pasal 2

(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah :
  1. 1) Orang pribadi atau perseorangan;
    2) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;
  2. badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.
(2) Subyek Pajak terdiri dari Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah :
  1. orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu dua belas bulan atau orang yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
  2. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
  3. bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha, yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan, agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
(4) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah Subyek Pajak yang tidak bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(5) Seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan di Indonesia ditentukan menurut keadaan sebenarnya.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan.

 

Pasal 3

Tidak termasuk Subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :

  1. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia, dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
  2. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan;
  3. Perusahaan Jawatan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

 

BAB III
OBYEK PAJAK

 

Pasal 4

(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya :
  1. Gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
  2. honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
  3. laba bruto usaha;
  4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
  5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
  6. bunga;
  7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
  8. royalti;
  9. sewa dari harta;
  10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
  11. keuntungan karena pembebasan utang.
(2) Pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan lainnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Tidak termasuk sebagai Obyek Pajak adalah :
  1. harta hibahan atau bantuan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak yang bersangkutan;
  2. warisan;
  3. pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi bea siswa;
  4. penggantian berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang dinikmati dalam bentuk natura, dengan ketentuan, bahwa yang memberikan penggantian adalah Pemerintah atau Wajib Pajak menurut Undang-undang ini dan Wajib Pajak yang memberikan penggantian tersebut, sesuai ketentuan dalam Pasal 9 ayat 1 huruf d tidak Mengurangkan penggantian itu sebagai biaya;
  5. keuntungan karena pengalihan harta orang pribadi, harta anggota firma, perseroan komanditer atau kongsi tersebut kepada perseroan terbatas di dalam negeri sebagai pengganti sahamnya, dengan syarat :
    1) pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama-sama memiliki paling sedikit 90 % (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor;
    2) pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak;
    3) pengenaan pajak dikemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin.
  6. harta yang diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
  7. dividen yang diterima oleh perseroan dalam negeri, selain Bank atau lembaga Keuangan lainnya, dari Perseroan lain di Indonesia dengan syarat, bahwa perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari nilai saham yang disetor dari badan yang membayar dividen dan kedua badan tsb mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya;
  8. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang disetujui Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun oleh karyawan, dan penghasilan dana pensiun serupa dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
  9. penghasilan Yayasan dari usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum;
  10. penghasilan Yayasan dari modal sepanjang penghasilan itu semata-mata digunakan untuk kepentingan umum;
  11. pembagian keuntungan dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan kepada para anggotanya, kecuali apabila ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan, karena terdapat penyalahgunaan;

 

Pasal 5

(1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
  1. penghasilan dari kegiatan usaha bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya;
  2. penghasilan induk perusahaan dan badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa di Indonesia, yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(2) Apabila induk perusahaan dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia berdasarkan pasal 26, maka :
  1. penghasilan bentuk usaha tetap itu tidak boleh dikurangi dengan biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan induk perusahaan atau badan lain tersebut;
  2. pajak induk perusahaan atau badan lain itu tidak boleh dikreditkan dengan pajak bentuk usaha tetap.

 

Pasal 6

(1) Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi :
  1. biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, meliputi biaya pembelian bahan, upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan;
  2. penyusutan atas biaya untuk memperoleh harta berwujud perusahaan dan amortisasi atas biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
  3. iuran kepada dana pensiun yang mendapat persetujuan Menteri Keuangan;
  4. kerugian yang diderita karena penjualan atau pengalihan barang dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu;
  5. Sisa Hasil Usaha Koperasi sehubungan dengan kegiatan usahanya yang semata-mata dari dan untuk anggota.
(2) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3) Jika penghasilan bruto sesudah dikurangi biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan dalam :
  1. 5 (lima) tahun, atau
  2. lebih dari 5 (lima) tahun, tetapi tidak lebih dari 8 (delapan) tahun khusus untuk jenis-jenis usaha tertentu, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut diderita.

 

Pasal 7

(1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :
  1. Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
  2. Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
  3. Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
  4. Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
(3) Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

 

Pasal 8

(1) Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak, begitu pula kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan isteri dari pekerjaan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 dan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan anak belum dewasa yang bukan dari pekerjaan dan penghasilan dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan usaha anggota keluarga lainnya, digabung dengan penghasilan orang tuanya.

 

Pasal 9

(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan :
  1. pembayaran dividen atau pembagian laba lainnya dari perseroan atau badan lainnya kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk Pembagian Sisa Hasil Usaha dari Koperasi yang bukan pengembalian Sisa Hasil Usaha sehubungan dengan jasa anggota, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu atau anggota;
  2. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah;
  3. premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa kecuali jika dibayarkan pihak pemberi kerja dan premi yang demikian itu dianggap sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak;
  4. pemberian kenikmatan perjalanan cuti, kenikmatan rekreasi, dan kenikmatan lainnya yang diperuntukkan bagi keperluan pegawai dari Wajib Pajak, termasuk kenikmatan pemakaian kendaraan bermotor perusahaan dan kenikmatan perumahan, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan keputusan Menteri Keuangan;
  5. pembayaran yang melebihi kewajaran sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan, yang dibayarkan kepada pemegang saham, atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa;
  6. harta yang dihibahkan, bantuan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;
  7. Pajak Penghasilan;
  8. biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya;
  9. sumbangan.
(2) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari setahun tidak diperbolehkan dikurangkan sekaligus, melainkan dibebankan melalui amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (10).

 

Pasal 10

(1) Dalam melakukan penyusutan dan amortisasi terhadap harta dan penghitungan keuntungan atau kerugian dalam hal penjualan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka harga perolehannya adalah jumlah sesungguhnya dikeluarkan, sedangkan dalam hal pengalihan harta nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan, kecuali :
  1. dalam hal pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e, dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya yang diterima oleh pihak yang melakukan pengalihan tersebut adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan;
  2. dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, dasar penilaian harta bagi yang menerima pengalihan adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan;
  3. dalam hal penyerahan harta hibahan, pemberian bantuan yang bebas pajak, dan warisan, dasar penilaian yang dipergunakan oleh yang menerima penyerahan adalah sama dengan dasar penilaian bagi yang melakukan penyerahan.
(2) Harta yang telah dipergunakan oleh Wajib Pajak untuk menerima atau memperoleh penghasilan, harga perolehan atau nilai perolehannya disesuaikan dengan penyusutan, dan/atau amortisasi, tambahan, perbaikan atau tambahan yang dilakukan.
(3) Penilaian persediaan hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan, yang didasarkan atas pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok yang dilakukan secara rata-rata ataupun yang dilakukan dengan mendahulukan persediaan yang didapat pertama.

 

Pasal 11

(1) Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, dengan suatu masa manfaat yang lebih dari satu tahun, kecuali tanah. Keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta yang dapat disusutkan harus dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) huruf b.
(2) Penyusutan yang dapat dilakukan dalam suatu tahun pajak adalah jumlah penyusutan dari setiap golongan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dari penyusutan untuk setiap golongan harta ditetapkan dengan mengalihkan dasar penyusutan golongan itu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dengan tarif penyusutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).
(3) Untuk menghitung penyusutan, harta yang dapat disusutkan dibagi menjadi golongan-golongan harta sebagai berikut :
  1. Golongan 1 :
    harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 4 (empat) tahun;
  2. Golongan 2 :
    harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 4 (empat) tahun dan tidak lebih dari 8 (delapan) tahun;
  3. Golongan 3 :
    harta yang dapat disusutkan dan yang tidak termasuk Golongan Bangunan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 8 (delapan) tahun;
  4. Golongan Bangunan :
    bangunan dan harta tak gerak lainnya, termasuk tambahan, perbaikan atau perubahan yang dilakukan.
(4) Dasar penyusutan setiap golongan harta untuk suatu tahun pajak sama dengan jumlah awal pada tahun pajak untuk golongan harta itu ditambah dengan tambahan, perbaikan atau perubahan dan dikurangkan dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
(5) Jumlah awal dari masing-masing golongan 1, golongan 2 dan golongan 3 untuk suatu tahun pajak adalah sama dengan dasar penyusutan pada tahun pajak sebelumnya, dikurangi dengan penyusutan yang diperkenankan pada tahun pajak sebelumnya.
(6) Jumlah awal dari Golongan Bangunan untuk suatu tahun pajak adalah sama dengan dasar penyusutan pada tahun pajak sebelumnya, yaitu sebesar harga atau nilai perolehan.
(7) Apabila terjadi penarikan harta dari pemakaian :
  1. karena sebab luar biasa sebagai akibat bencana atau karena penghentian sebagian besar usaha, maka suatu jumlah sebesar harga sisa buku dikurangi dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan, dan jumlah sebesar harga sisa buku itu merupakan kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan, sedangkan hasil penjualan atau penggantian asuransinya merupakan penghasilan;
  2. karena sebab biasa, yaitu lain dari yang tersebut pada huruf a, maka penerimaan netto dari harta yang bersangkutan dikurangkan dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan.
(8) Jika pengurangan yang dimaksud dalam ayat (7) dalam suatu tahun pajak menghasilkan dasar penyusutan di bawah nol, maka dasar penyusutan itu harus dinaikkan menjadi nol, dan jumlah yang sama dengan kenaikan itu harus ditambahkan pada penghasilan pada tahun pajak yang bersangkutan.
(9) Tarif penyusutan tiap tahun pajak untuk :
  1. Golongan 1 : 50% (lima puluh persen);
  2. Golongan 2 : 25% (dua puluh lima persen);
  3. Golongan 3 : 10% (sepuluh persen);
  4. Golongan bangunan : 5% (lima persen).
(10) Harga perolehan dari harta tak berwujud yang dipergunakan dalam perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, seperti penyewaan harta berwujud, diamortisasi dengan tarif berdasarkan masa manfaatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) huruf a atau huruf b atau huruf c, atau dengan tingkat tarif Golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam ayat (11), atau dengan mempergunakan metode satuan produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (12) atau ayat (13).
(11) Biaya pendirian dan biaya perluasan modal satuan perusahaan diamortisasi dengan tingkat tarif penyusutan Golongan 1, kecuali apabila Wajib Pajak menganggapnya sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a sesuai dengan pembukuannya.
(12) Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, dan hak pengusahaan hutan, diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi, setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
(13) Biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya-biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi.
(14) Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan untuk menentukan jenis-jenis harta yang termasuk dalam masing-masing golongan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dengan memperhatikan masa manfaat dari jenis harta yang bersangkutan.

 

Pasal 12

(1) Tahun Pajak adalah tahun takwim, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
(2) Wajib Pajak tidak diperbolehkan mengubah tahun pajak tanpa mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

 

Pasal 13

(1) Wajib Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia, sehingga dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan undang-undang ini.
(2) Pada setiap tahun pajak berakhir Wajib Pajak menutup pembukuannya dengan membuat neraca dan perhitungan rugi-laba berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya.

 

Pasal 14

(1) Norma penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan peredaran atau penerimaan bruto dan untuk menentukan penghasilan netto berdasarkan jenis usaha perusahaan atau jenis pekerjaan bebas, yang dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya yang berjumlah kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dapat menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, asal hal itu diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Jumlah Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, dan karenanya tidak diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan Norma Penghitungan tanpa kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran atau penerimaan brutonya.
(6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau menyelenggarakan pencatatan peredaran atau menyelenggarakan pencatatan penerimaan bruto tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakannya sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang ini, atau tidak memperlihatkan buku dan catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan kewajiban penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan tersebut, penghasilan nettonya dihitung dengan menggunakan norma penghitungan.
(7) Pajak yang dihasilkan dari penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 

Pasal 15

Menteri Keuangan dapat mengeluarkan keputusan untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan Pasal 16.

 

BAB IV
CARA MENGHITUNG PAJAK

 

Pasal 16

(1) Penghasilan kena pajak, sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak, dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d.
(2) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(3) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak luar negeri adalah jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh.

 

Pasal 17

(1) Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak, kecuali atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, adalah sebagai berikut :
Penghasilan kena Pajak Tarif pajak
sampai dengan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) 15% (lima belas-persen)
di atas Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) s/d Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) 25% (dua puluh lima-persen)
di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) 35% (tiga puluh lima persen)
(2) Jumlah penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(3) Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
(4) Bagi Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan yang kewajiban pajak Subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulai setelah permulaan tahun pajak atau berakhir dalam tahun pajak, maka pajak yang terutang adalah sebanyak jumlah hari dari bagian tahun pajak dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk satu tahun pajak yang dihasilkan karena penerapan ayat (1) dan ayat (2). Penghasilan netto yang diperoleh selama bagian dari tahun pajak dihitung terlebih dahulu menjadi jumlah setahun.
(5) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.

 

Pasal 18

(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan pemungutan pajak berdasarkan undang-undang ini
(2) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan, dan menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya.
(3) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (1) huruf e dan ayat (2) Pasal ini :
  1. dalam hal Wajib Pajak adalah badan :
    1. hubungan antara dua atau lebih Wajib Pajak yang berada di bawah pemilikan atau penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung;
    2. hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada pihak yang lain, atau hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut terakhir;
  2. dalam hal Wajib Pajak adalah orang pribadi atau perseorangan : keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat atau keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan kesamping satu derajat.
(4) Dua pihak atau lebih yang masing-masing merupakan perseroan, persekutuan, atau perkumpulan lainnya yang mempunyai hubungan istimewa dengan penyertaan 50% (lima puluh persen) atau lebih, pengenaan pajaknya dihitung dengan menggunakan lapisan tarif terendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, hanya diterapkan satu kali saja.

 

Pasal 19

Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan faktor penyesuaian dalam hal terjadi ketidak serasian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan yang disebabkan karena perkembangan harga.

 

BAB V
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN

 

Pasal 20

(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak boleh Wajib Pajak sendiri.
(2) Pelunasan pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri tersebut, merupakan angsuran pajak yang akan dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk seluruh tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Masa pajak dipergunakan sebagai jangka waktu untuk menentukan besarnya Obyek Pajak dan besarnya pajak yang terutang, yang harus dilunasi sebagai angsuran dalam tahun berjalan.
(4) Masa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah 1 (satu) tahun atau selama jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 21

(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh :
  1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, dan honorarium dengan nama apapun sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau oleh orang lain yang dilakukan di Indonesia;
  2. bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan tetap, dan pembayaran lain, dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang dibebankan kepada keuangan negara;
  3. badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun;
  4. perusahaan dan badan-badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa yang dilakukan di Indonesia oleh tenaga ahli dan/atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas.
(2) Bagian penghasilan yang dipotong pajak untuk setiap masa pajak adalah bagian penghasilan yang melebihi seperdua belas dari penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3) Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapat pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, ia harus menyerahkan surat pernyataan kepada pemberi kerja, bendaharawan Pemerintah atau badan dana pensiun, yang menyatakan jumlah tanggungan keluarganya.
(4) Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan digunakan oleh pemberi kerja, bendaharawan Pemerintah atau badan dana pensiun, untuk menetapkan besarnya penghasilan kena pajak, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan memasukkan surat pernyataan baru tentang adanya perubahan.
(5) Tarif pemotongan pajak atas gaji, upah, dan honorarium adalah sama dengan tarif penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(6) Jumlah pajak yang dipotong atas bagian upah setiap masa pajak akan dimuat dalam buku petunjuk yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).
(7) Setiap orang yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang secara benar dan tepat telah dipotong pajaknya, jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (5) merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang ini.
(8) Setiap orang yang mempunyai penghasilan lain di luar penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan setiap orang yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja diharuskan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pajak yang terutang seluruhnya dikurangi dengan pajak yang telah dipotong sebagai kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(9) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Buku Petunjuk tentang pemotongan pajak atas pembayaran gaji, upah, honorarium dan lain-lain sehubungan dengan pekerjaan atau jasa lain yang diberikan.

 

Pasal 22

(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang Import atau kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran untuk barang dan jasa dari Belanja Negara.
(2) Dasar pemungutan dan besarnya pungutan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan, bahwa jumlah pungutan itu diperkirakan mendekati jumlah pajak yang terutang atas penghasilan dari kegiatan usaha yang bersangkutan.

 

Pasal 23

(1) Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau yang terutang oleh Badan Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri, selain bank atau lembaga keuangan lainnya, dipotong pajak sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto, oleh pihak yang berwajib membayarkan :
  1. dividen dari perseroan dalam negeri;
  2. bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;
  3. sewa, royalti, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
  4. imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik dan jasa managemen yang dilakukan di Indonesia.
(2) Orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Bunga dan Dividen tertentu yang tidak melampaui suatu jumlah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, dikecualikan dari pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

 

Pasal 24

(1) Pajak yang dikenakan dalam suatu Tahun Pajak yang dihitung menurut ketentuan Undang-undang ini dikreditkan dengan pajak yang dibayar atau terhutang di luar negeri oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang sama atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri.
(2) Kredit yang diperbolehkan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri itu untuk tahun pajak yang bersangkutan, terbatas pada jumlah pajak yang dihitung atas penghasilan luar negeri, berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang dapat dikreditkan, penghasilan-penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 26 dianggap berasal dari Indonesia, dan dalam menentukan sumber penghasilan lainnya dipergunakan prinsip yang sama.
(4) Jika pajak penghasilan luar negeri yang diminta untuk dikreditkan itu ternyata dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.

 

Pasal 25

(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap masa pajak, adalah sebesar pajak yang terutang pada tahun pajak yang lalu dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan pajak serta pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud masing-masing dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dibagi dengan banyaknya masa pajak.
(2) Yang dimaksud dengan pajak yang terhutang dalam ayat (1) adalah pajak menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir oleh Direktur Jenderal Pajak jumlahnya lebih besar.
(3) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tertentu untuk setiap masa pajak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 26

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terhutang oleh badan Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun atau oleh Wajib Pajak dalam negeri, dipotong pajak yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan :
  1. dividen dari perseroan dalam negeri;
  2. bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;
  3. sewa, royalti, dan penghasilan lain karena penggunaan harta;
  4. imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya yang dilakukan di Indonesia;
  5. keuntungan sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.

 

Pasal 27

Pengaturan lebih lanjut pemenuhan kewajiban pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB VI
KREDIT PAJAK, PELUNASAN KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

 

Pasal 28

Bagi Wajib Pajak dalam negeri, pajak yang terhutang untuk seluruh tahun pajak menurut undang-undang ini dikurangi dengan kredit pajak berupa :

  1. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21;
  2. pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 22;
  3. pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, royalti, sewa, dan imbalan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
  4. pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
  5. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25.

 

Pasal 29

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar dari pada jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak yang bersangkutan berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.

 

Pasal 30

(1) Wajib Pajak dalam negeri diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan yang dilampiri dengan Laporan Keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi-laba, sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah penghasilan kena pajak, jumlah pajak yang terhutang, jumlah pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
(3) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang pribadi atau perseorangan :
  1. yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan dari satu pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
  2. yang memperoleh penghasilan netto yang tidak melebihi jumlah penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(4) Jumlah pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terhutang menurut undang-undang ini.
(5) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti, bahwa jumlah pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan itu tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya.

 

Pasal 31

(1) Apabila pajak yang terhutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari pada jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan atau diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
(2) Sebelum dilakukan pengembalian atau diperhitungkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan, buku, dan catatan lainnya, serta atas hal lain yang dianggapnya perlu untuk menetapkan besarnya pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.



BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

 

Pasal 32

Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan undang-undang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kecuali apabila tata cara pengenaan pajak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.



BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 33

(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir pada tanggal 30 Juni 1984 serta yang berakhir antara tanggal 30 Juni 1984 dan tanggal 30 Desember 1984 dapat memilih cara menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pendapatan 1944, atau berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yang:
  1. jangka waktunya terbatas, dapat dinikmati oleh Wajib Pajak yang bersangkutan sampai selesai;
  2. jangka waktunya tidak ditentukan, dapat dinikmati sampai dengan tahun pajak sebelum tahun pajak 1984.
(3) Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.



Pasal 34

Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan di bidang pengenaan Pajak Perseroan 1925, Pajak Pendapatan 1944 dan Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti 1970 tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.



BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 35

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 36

(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
(2) Undang-undang ini disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

 

Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 
ttd.
 
SOEHARTO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SUDHARMONO, S.H.




PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1983

 

TENTANG


PAJAK PENGHASILAN



UMUM

1. Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat (2) sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan, harus ditetapkan dengan Undang-undang.
2. Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar Negara dan Bangsa mampu membiayai Pembangunan Nasional dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagi beban pembangunan antara golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
3. Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan Undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara Demokrasi Pancasila.
4. Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek Pajak (penyebab pengenaan) dan Tarif Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami serta mematuhinya
5. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai Undang-undang, yaitu :
(a) Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan.
(b) Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang pribadi. Dalam ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut.
(c) Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970, yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen dan royalty, yang wajib dipotong oleh orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen dan royalty yang bersangkutan.
(d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutan oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa) dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun (MPS-Akhir).

 

6. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru, diatur :
(a) semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan, diatur dalam Undang-undang ini.
(b) ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

 

Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya. 

Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak, tarip dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarip pajak ditetapkan secara wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan keadilan dalam pembebanan pajak.

Struktur tarip disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarip pajak.

Tarip untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarip untuk badan, dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah dari pada tarip lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut :

(a) sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarip yang berbeda-beda, sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan di atas.
(b) keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarip yang sama saja bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh.
(c) meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarip marginal tertinggi hanya 35% (tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
(d) mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat kepada Wajib Pajak.



PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak atas penghasilan, baik penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau perseorangan maupun badan yang terhutang selama satu tahun pajak.

Pasal 2

Ayat (1)

Pengertian Subyek Pajak mencakup, baik orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi maupun badan.

Huruf a

1)   Orang pribadi atau perseorangan adalah Subyek Pajak, baik apabila mereka bertempat tinggal di Indonesia maupun apabila mereka bertempat tinggal di luar Indonesia. Mereka yang bertempat tinggal di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak pada saat lahir di Indonesia, atau bila seseorang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka ia menjadi Subyek Pajak pada saat pertama kali berada di Indonesia. Jumlah 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tersebut tidaklah harus berturut- turut. Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lagi menjadi Subyek Pajak pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi Subyek Pajak di Indonesia apabila mereka dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Mereka tidak lagi menjadi Subyek Pajak di Indonesia pada saat tidak mungkin lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia, yaitu penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
2)   Warisan yang belum terbagi merupakan Subyek Pajak pengganti, yaitu menggantikan yang berhak. Bagi warisan yang belum terbagi mulai menjadi Subyek Pajak pada saat timbulnya warisan dimaksud (sejak saat meninggalnya pewaris), dan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada mereka yang berhak (ahli waris). Warisan baru menjadi Wajib Pajak apabila warisan yang belum terbagi itu memberikan penghasilan.

Huruf b

Badan-badan seperti perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga merupakan Subyek Pajak pada saat didirikannya badan usaha atau organisasi tersebut, atau pada waktu memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia. 

Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia tidak lagi menjadi Subyek Pajak setelah penyelesaian likuidasi, dan bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia, tidak lagi menjadi Subyek Pajak Indonesia pada saat terputusnya hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu sejak tidak mungkin lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. 

Perlu diperhatikan, bahwa setiap unit tertentu dari badan pemerintah yang melakukan kegiatan usaha secara teratur di bidang sosial ekonomi merupakan Subyek Pajak sebagai badan usaha milik negara. 

Sudah barang tentu, badan usaha milik negara akan benar-benar dikenakan pajak, apabila terdapat Obyek Pajak, yaitu mendapatkan penghasilan. Demikian pula halnya dengan badan usaha milik daerah.

Suatu badan di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak di Indonesia, sejak adanya bentuk usaha tetap itu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Bentuk usaha tetap di Indonesia dari badan atau perusahaan luar negeri digolongkan sebagai Subyek Pajak dalam negeri. 

Pada prinsipnya Subyek Pajak dalam negeri akan dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya di manapun diperoleh, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. 

Penghasilan dari bentuk usaha tetap sebagai Wajib Pajak dalam negeri dirumuskan tersendiri dalam Pasal 5. Yang dapat mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia bukan saja setiap badan, tetapi juga setiap perusahaan termasuk perusahaan perseorangan di luar Indonesia.

Namun apabila turis tersebut datang lagi ke Indonesia untuk memberikan jasa konsultasi atas nama suatu perusahaan luar negeri karena misalnya direkomendasikan oleh temannya tersebut di atas, kepada suatu perusahaan di Indonesia, maka telah terdapat suatu petunjuk tentang adanya maksud untuk memberikan jasa konsultasi di Indonesia secara terus-menerus dan oleh karena itu dalam hal ini telah terdapat bentuk usaha tetap di Indonesia.

Sebuah perusahaan luar negeri tidak dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila dalam melakukan kegiatannya di Indonesia, dipergunakan perantara atau broker atau agen lain yang sifatnya bebas, asalkan perantara atau agen tersebut bertindak dalam rangka perusahaannya sendiri.

Ayat (4)

Subyek Pajak yang benar-benar memperoleh penghasilan dan oleh karena itu berkewajiban untuk membayar pajak, disebut dalam undang-undang ini sebagai Wajib Pajak.

Perbedaan yang penting dari kewajiban Wajib Pajak dalam negeri dibandingkan dengan kewajiban Wajib Pajak luar negeri adalah bahwa Wajib Pajak dalam negeri, setelah tahun pajak berakhir, berkewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak melaporkan tentang semua penghasilan yang diterima atau diperoleh, penghitungan penghasilan kena pajak, dan pajak yang terhutang. Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak juga melaporkan tentang semua pelunasan atas pajak yang terhutang. Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan itu telah diisi dengan benar dan pajak yang terhutang telah dilunasi sebagaimana mestinya, maka kepada Wajib Pajak yang bersangkutan tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak. Surat Ketetapan Pajak hanya perlu dikeluarkan, dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan atau dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar dan/atau tidak lengkap, sehingga pajak yang kurang dibayar perlu ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak, ditambah dengan sanksi administrasi yang berkenaan. Sedangkan atas Wajib Pajak luar negeri tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Ayat (5)

Untuk menentukan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia adalah berdasarkan keadaan atau kenyataan yang sebenarnya, sehingga dengan demikian tidak ditentukan berdasarkan hal-hal yang sifatnya formal

Ayat (6)

Dalam hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan.
Hal ini berdasarkan pertimbangan praktis untuk memberikan kepastian hukum.

Pasal 3

Huruf a dan huruf b

Sesuai dengan kelaziman internasional, anggota perwakilan diplomatik, konsuler dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subyek Pajak di negara tempat mereka mewakili negaranya. Demikian juga halnya dengan anggota Angkatan Bersenjata negara asing dan wakil-wakil organisasi internasional seperti World Health Organization (WHO), International Monetary Fund (IMF) dan sebagainya. Syarat timbal-balik adalah merupakan kelaziman internasional. Jika mereka mempunyai pekerjaan lain atau usaha, maka pengecualian itu gugur dan akan dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan lain atau kegiatan usahanya.

Huruf c

Berdasarkan tujuan dan sifat dari Perusahaan Jawatan, maka Perusahaan Jawatan dapat dikecualikan sebagai Subyek Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 4

Dalam undang-undang ini dianut pengertian penghasilan yang luas, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh seseorang atau badan merupakan ukuran yang terbaik mengenai kemampuan seseorang atau badan untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan Pemerintah guna membiayai kegiatan-kegiatannya baik yang rutin, maupun untuk pembangunan.

Ini merupakan salah satu sifat dari sistem Pajak Penghasilan ini yang bertujuan untuk memeratakan beban pembangunan. Setiap tambahan kemampuan ekonomis, dari mana pun datangnya, merupakan tambahan kemampuan untuk ikut memikul biaya kegiatan Pemerintah.

Pengertian penghasilan dalam undang-undang ini tidak terikat lagi pada ada tidaknya sumber-sumber penghasilan tertentu seperti yang dianut oleh undang-undang lama. Penghasilan itu dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, dapat dikelompokkan menjadi :

  • penghasilan dari pekerjaan, yaitu pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti penghasilan dari praktek dokter, notaris, akuntan publik, aktuaris (ahli matematika asuransi jiwa) pengacara dan sebagainya;
  • penghasilan dari kegiatan usaha, yaitu kegiatan melalui sarana perusahaan;
  • penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa harta gerak, seperti bunga, dividen, royalti, maupun penghasilan dari modal berupa harta tak gerak, sewa rumah, dan sebagainya; juga termasuk dalam kelompok penghasilan dari modal ini adalah penghasilan dari harta yang dikerjakan sendiri, misalnya penghasilan yang diperoleh dari pengerjaan sebidang tanah, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipakai dalam melakukan kegiatan usaha;
  • penghasilan lain-lain, seperti menang lotere, pembebasan hutang dan lain-lain penghasilan yang tidak termasuk dalam kelompok lain.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung, yang selanjutnya dipakai untuk memperoleh harta yang tidak terpakai habis sebagai konsumsi dalam satu tahun. Walaupun penghasilan itu dapat dikelompokkan, namun pengertian penghasilan tidak terbatas pada yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan tertentu. Contoh-contoh yang disebut dalam undang-undang ini sekedar untuk memperjelas tentang pengertian penghasilan yang luas, dan tidak terbatas pada apa yang disebutkan oleh undang-undang ini.

Ayat (1)

Huruf a

Semua imbalan atau pembayaran dari pekerjaan dalam hubungan kerja yang dapat berupa upah, gaji, dan sebagainya, termasuk premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja. Pemberian gaji dalam bentuk natura tidak dimasukkan dalam pengertian penghasilan bagi penerima, seperti misalnya perumahan (kecuali di daerah terpencil, yang tidak tersedia rumah yang disewakan), kendaraan bermotor, dan sebagainya. Bagi pihak pemberi kerja, pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d.

Huruf b

Honorarium yang dibayarkan kepada artis, olahragawan, pemberi ceramah seperti pada seminar-seminar internasional. Hadiah undian mencakup juga pengertian hadiah yang diberikan tanpa diundi.

Huruf c

Yang dimaksud dengan laba bruto usaha adalah penghasilan bruto yang diperoleh dari usaha. Laba bruto usaha ditambah penghasilan bruto lainnya sama dengan jumlah penghasilan bruto seluruhnya.

Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan perlu dilaporkan laba bruto usaha dan pengurangan yang diperbolehkan oleh undang-undang ini.

Jadi tidak dimaksudkan, bahwa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan hanya dilaporkan penghasilan kena pajak. Penambahan penghasilan lain-lain dan pengurangan biaya lain-lain terhadap laba netto dari usaha mencerminkan adanya apa yang disebut dalam dunia perpajakan sebagai kompensasi horisontal. 

Baik laba netto usaha maupun penghasilan lain-lain setelah dikurangi biaya yang bersangkutan dapat menjadi negatif. 

Kompensasi horisontal semacam itu diperbolehkan dalam menghitung penghasilan kena pajak

Huruf d

Apabila seorang Wajib Pajak menjual harta lebih dari harga sisa buku atau harga/nilai perolehan pada saat penjualan, maka selisih harga tersebut merupakan penghasilan. Jika harta yang dijual itu bukan merupakan harta perusahaan dan telah dimiliki sebelum berlakunya undang-undang ini, penghasilan yang diperoleh adalah selisih antara harga penjualan dengan nilai jual pada saat undang-undang ini berlaku. 

Demikian pula apabila sebuah badan usaha menjual kekayaan kepada pemegang saham misalnya berupa mobil dengan harga sebesar harga sisa buku Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sedangkan di pasar harganya Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah), maka selisih sebesar Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah) merupakan penghasilan bagi badan usaha tersebut dan bagi pemegang saham yang membeli itu, Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) merupakan penghasilan.

Huruf e

Pengembalian pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya pada saat menghitung penghasilan kena pajak, misalnya Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang setelah ditetapkan kembali ternyata kelebihan bayar, maka kelebihan bayar tersebut adalah penghasilan.

Huruf f

Dalam pengertian bunga termasuk pula imbalan lain sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, baik yang dijanjikan maupun tidak.

Huruf g

Ketentuan ini mengatur tentang pengertian penghasilan berupa dividen, yaitu bagian keuntungan yang diterima oleh para pemegang saham atau pemegang polis asuransi. 

Nama apapun yang diberikan atau dalam bentuk apa bagian keuntungan itu diterima tidak menjadi pertimbangan. Termasuk dalam pengertian dividen adalah :

1) Pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetorkan;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan;
4) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran yang tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan;
5) apa yang diterima atau diperoleh karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan, yang melebihi jumlah setoran sahamnya;
6) pembayaran kembali seluruh atau sebagian dari modal yang telah disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
7) pembayaran atas tanda-tanda laba, termasuk apa yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda tersebut;
8) laba dari obligasi yang ikut serta dalam pembagian laba;
9) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa dari apa yang disebut pada angka 1 sampai dengan angka 9 di atas dapat disimpulkan, bahwa pengertian dividen atau pembagian keuntungan perusahaan mencakup pengertian yang luas, yaitu setiap pembagian keuntungan perusahaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Dalam praktek sering dijumpai pembagian/pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dengan pengalihan harta perusahaan kepada pemegang saham atau peserta dengan penggantian harga di bawah harga pasar. Selisih antara harga pasar dengan harga yang dibayar oleh pemegang saham adalah merupakan pembayaran dividen secara terselubung (lihat penjelasan ayat (1) huruf d).

Selisih antara harga pasar dengan harga yang dibayar oleh pemegang saham adalah merupakan pembayaran dividen secara terselubung (lihat penjelasan ayat (1) huruf d).

Contoh :

Suatu harta PT. A berupa mobil yang mempunyai harga sisa buku sebesar Rp.1.000.000,00 sedangkan harga pasar sebesar Rp.5.000.000,00. Mobil tersebut dialihkan kepada pemegang saham B dengan penggantian sebesar harga sisa buku, yaitu Rp.1.000.000,00.

Disini terdapat pembayaran dividen secara terselubung sebesar Rp.4.000.000,00. Berdasarkan ketentuan ini PT. A harus memotong Pajak Penghasilan sebesar 15% x Rp.4.000.000,00 = Rp.600.000,00.

Dalam pengertian dividen ini termasuk pula bagian keuntungan yang diterima oleh pengurus dan anggota koperasi. Pada tingkat koperasi, Sisa Hasil Usaha koperasi yang semata-mata berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan anggota tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, bagi pengurus dan anggota koperasi, pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi yang diterimanya merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Apabila pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha yang diterima oleh masing-masing pengurus dan anggota koperasi tidak melebihi penghasilan tidak kena pajak, maka pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi tersebut tidak terkena pajak.

Huruf h

Yang dimaksud di sini adalah pembayaran royalti atau apapun namanya sehubungan dengan penggunaan hak : hak paten/oktroi, lisensi, merek dagang, pola atau model, rencana, rahasia perusahaan, cara pengerjaan, hak pengarang dan hak cipta mengenai sesuatu karya di bidang kesenian atau ilmiah, termasuk karya film sinematografi. Pada dasarnya pembayaran royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu pembayaran atas penggunaan :

1) hak atas harta tak berwujud : hak pengarang, paten, merek dagang, formula atau rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud : hak atas alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan;
3) jasa : pemberian informasi yang diperlukan mengenai usaha dan investasi pada umumnya, pengalaman di bidang industri, perniagaan dan ilmu pengetahuan pada khususnya; yang dimaksudkan dengan informasi di sini adalah informasi yang belum diungkapkan secara terbuka.

Huruf i

Ketentuan ini mengatur penghasilan uang sewa yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta, baik harta gerak misalnya sewa pemakaian mobil dan sebagainya maupun penggunaan harta tak gerak, misalnya sewa rumah.

Huruf j

Contoh : tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berkala.

Huruf k

Pembebasan hutang oleh pihak yang berpiutang merupakan penghasilan bagi pihak yang semula berhutang.

Ayat (2)

Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1) huruf f pasal ini bunga merupakan Obyek Pajak. Tabungan masyarakat merupakan pula sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan. Dengan Peraturan Pemerintah, terhadap bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya dapat dibebaskan dari pengenaan pajak dengan memperhatikan perkembangan moneter serta pelaksanaan pembangunan.

Ayat (3)

Huruf a

Harta hibahan atau bantuan yang diterima yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak termasuk penghasilan. Ini sebagai timbangan dari Pasal 9 ayat (1) huruf f undang-undang ini yang mengatur,bahwa harta hibahan atau bantuan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan pihak pemberi.

Huruf b

Warisan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang di terima ahli waris tidak merupakan Obyek Pajak, walaupun warisan itu jumlahnya besar. Warisan sebagai Subyek Pajak, baru dikenakan pajak apabila warisan tersebut memberikan penghasilan, misalnya sewa yang diterima dari rumah warisan.

Huruf c

Pembayaran oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, misalnya karena kecelakaan, kerugian atau karena meninggalnya tertanggung, demikian juga penerimaan pembayaran bea siswa dari perusahaan asuransi tidak merupakan penghasilan. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c undang-undang ini ditentukan, bahwa premi asuransi jiwa, kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, kecuali premi tersebut ditanggung oleh pemberi kerja.

Huruf d

Bila seorang pemberi kerja yang merupakan Wajib Pajak menurut pengertian undang- undang ini memberi kenikmatan berupa natura kepada karyawan atau orang lain yang ada hubungan pekerjaan, maka kenikmatan tersebut tidak dianggap sebagai penghasilan bagi pihak-pihak penerima. Yang dimaksud dengan kenikmatan dalam bentuk natura ialah suatu tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh tidak dalam bentuk uang, seperti kenikmatan mempergunakan mobil perusahaan dengan cuma-cuma, kenikmatan mendiami rumah yang disewa oleh perusahaan atau rumah milik perusahaan, pemberian beras dengan cuma-cuma, dan sebagainya. Bagi pihak pemberi kerja jumlah tersebut tidak boleh dikurangkan sebagai biaya. Kenikmatan pemakaian rumah yang diberikan oleh Pemerintah kepada pegawai Pemerintah, Pejabat Negara dan Pejabat Lembaga Pemerintah non Departemen lainnya, tidak merupakan penghasilan bagi pihak yang bersangkutan. Dalam pengertian Pemerintah termasuk Perusahaan Jawatan. Apabila yang memberi kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang ini, maka kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pihak yang menerima. 

Contoh : Seorang pegawai bangsa Indonesia yang bekerja di salah satu perwakilan diplomatik, memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan- kenikmatan lainnya, maka kenikmatan-kenikmatan tersebut harus dimasukkan sebagai penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan tidak merupakan Subyek Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong pembayaran oleh pemberi kerja kepada pegawai atau karyawannya dilakukan dalam bentuk uang, sehingga dengan demikian mempermudah pengenaan pajaknya.

Huruf e

Seseorang yang mengalihkan harta atau anggota persekutuan firma, perseroan komanditer, kongsi yang mengalihkan harta persekutuan untuk mendirikan Perseroan Terbatas dengan pembayaran berupa saham (inbreng), maka keuntungan berupa selisih antara harga sisa buku dengan nilai jual harta tersebut, tidak merupakan penghasilan, apabila setelah terjadinya pengalihan, pihak yang mengalihkan harta atau pihak-pihak yang mengalihkan harta secara bersama-sama, memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari seluruh nilai saham disetor dari Perseroan Terbatas yang menerima pengalihan. Syarat 90% (sembilan puluh persen) tersebut harus dipenuhi pada saat terjadinya pengalihan yang bersangkutan.

Huruf f

Harta yang dialihkan kepada perseroan, persekutuan atau badan-badan lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal tidak dikenakan pajak pada saat pengalihan kepada perseroan itu, melainkan dikemudian hari, apabila harta itu dijual atau dialihkan lagi; oleh karena itu penilaian harta tersebut ketika perseroan menerima pengalihan harus sama dengan harga sisa buku pada saat pengalihan.

Huruf g

Dividen yang diperoleh atau diterima oleh perseroan dalam negeri dari perseroan lain, tidak dianggap sebagai penghasilan, apabila perseroan yang menerima tersebut tidak sekedar membungakan uang yang sedang tidak dipakai, melainkan pada dasarnya bersifat kekal dan kedua perseroan tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan jalur usaha. Dividen sebagai hasil pembungaan uang, sementara uang itu tidak terpakai, dikenakan pajak. 

Contoh : PT. A pabrik tekstil, PT. B pabrik benang tenun. Antara PT. A dan PT. B ada hubungan ekonomis dalam jalur usahanya. PT. A memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari saham yang disetor PT. B, maka dividen yang diterima atau diperoleh PT. A dan PT. B tidak termasuk dalam pengertian penghasilan.

Apabila badan yang menerima atau memperoleh dividen memiliki saham 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari nilai saham yang disetor, sedangkan kedua badan tersebut tidak mempunyai hubungan ekonomis dalam jalur usahanya, maka dividen yang diterima atau diperoleh tidak termasuk dalam pengecualian sebagai Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini. 

Contoh : PT. X pabrik tekstil. PT. Y pabrik minuman. PT. X memiliki 25% (dua puluh lima persen) dari saham yang disetor dari PT. Y. Antara PT. X dan PT. Y tidak terdapat hubungan ekonomis dalam jalur usahanya.
Oleh karena itu, dividen yang diterima atau diperoleh PT. X dari PT. Y tidak dikecualikan sebagai Obyek Pajak. Dengan perkataan lain, dividen yang diterima atau diperoleh PT. X dari PT. Y merupakan Obyek Pajak.

Huruf h

Iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pembentukannya telah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan, baik yang dibayar secara berkala dan yang dibayar sekaligus oleh pemberi kerja maupun oleh Wajib Pajak sendiri tidak termasuk penghasilan yang dikenakan pajak.

Huruf i

Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum adalah kegiatan usaha yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) kegiatan usaha harus semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan;
2) kegiatan usaha harus semata-mata bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum;
3) kegiatan usaha ini tidak mempunyai tujuan mencari laba.

Laba yayasan yang tidak termasuk pengertian penghasilan adalah tidak lain daripada kelebihan hasil usaha yang terjadi karena realisasi penerimaan melebihi realisasi biaya yang dikeluarkan dalam tahun pajak yang bersangkutan. Laba ini tidak termasuk dalam pengertian Obyek Pajak menurut undang-undang ini, sepanjang laba tersebut semata-mata merupakan kelebihan hasil usaha sebagai diuraikan di atas, yang telah diperhitungkan untuk melakukan kegiatan sosial yayasan atau perkumpulan tersebut. Apabila pembayaran balas jasa yang diterima cukup tinggi sehingga kelebihan itu dibagikan kepada pengurus yayasan maka kegiatan yayasan itu tidak lagi semata-mata untuk kepentingan umum dan kelebihan tersebut merupakan bagian penghasilan yang dikenakan pajak.

Huruf j

Penghasilan yayasan dari modal yang ditanam di luar kegiatan yang semata-mata untuk kepentingan umum yang digunakan untuk membiayai kegiatan sosial yayasan, tidak merupakan Obyek Pajak. Misalnya suatu yayasan atau wakaf dalam membiayai kegiatan sosialnya menerima sumbangan. Kelebihan sumbangan yang diterima dari keperluan biaya kegiatan tersebut ditanam di luar kegiatan sosialnya. Hasil yang diperoleh dari penanaman modal ini sepanjang dipergunakan untuk membiayai kegiatan sosialnya, tidak merupakan Obyek Pajak.

Huruf k

Pembagian keuntungan yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan, tidak merupakan Obyek Pajak. Namun, undang-undang memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengenakan Pajak Penghasilan atas pembagian keuntungan tersebut di atas jika ketentuan ini disalahgunakan, sehingga dapat merugikan Keuangan Negara.

Pasal 5

Ayat (1)

Penghasilan yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut :

Huruf a

Yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah penghasilan dari kegiatan usaha yang dilakukan bentuk usaha tetap itu atau dari harta yang dikuasai atau dimiliki oleh bentuk usaha tetap tersebut. Jadi semua penghasilan yang berkenaan dengan kegiatan usaha atau harta bentuk usaha tetap yang bersangkutan, baik yang diperoleh di Indonesia maupun yang diperoleh dari luar Indonesia merupakan penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan ini, misalnya penghasilan dari pemilikan saham-saham di luar negeri oleh bentuk usaha tetap di Indonesia merupakan penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia.

Huruf b

Bila induk perusahaan atau badan lain di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa, melakukan kegiatan yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetapnya di Indonesia, maka penghasilan dari kegiatan tersebut harus dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan, agar supaya penghasilan kegiatan-kegiatan tertentu yang pada hakekatnya termasuk kegiatan usaha tetap, dapat dikenakan pajak kepada bentuk usaha tetap tersebut untuk mencegah adanya alasan, bahwa kegiatan-kegiatan tertentu tidak termasuk kegiatan- kegiatan bentuk usaha tetap, padahal Pajak Penghasilan atas kegiatan-kegiatan itu seharusnya menjadi tanggung jawab bentuk usaha tetap itu.

Ayat (2)

 

Pasal 6

Termasuk dalam biaya usaha (biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan) sehari-hari adalah biaya pembelian bahan baku, bahan penolong dan pembungkus, sewa dan royalti, biaya perjalanan untuk melakukan pekerjaan, pajak-pajak tidak langsung misalnya Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh harta mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun hanya boleh mengurangi penghasilan kena pajak melalui penyusutan atau amortisasi.

Apabila dana pensiun yang dibentuk oleh perusahaan atau dana pensiun lain, mendapat persetujuan Menteri Keuangan, maka iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan.

Ayat (1)

Huruf a

Penghasilan kena pajak diperoleh dengan jalan menjumlahkan semua penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak dan menguranginya dengan biaya-biaya atau pengurangan yang diperbolehkan oleh pasal ini. 

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan adalah biaya atau pengeluaran yang ada hubungan langsung dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Dalam biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dari usaha (yang dapat disebut sebagai biaya usaha sehari-hari), termasuk pembayaran gaji kepada pegawai perusahaan yang bersangkutan, kecuali pembayaran yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan (kenikmatan mendiami rumah dengan cuma-cuma). Pembayaran premi oleh pemberi kerja untuk pegawai dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan, sedangkan bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan. Gaji kepada pegawai yang juga merupakan pemegang saham, apabila berlebih-lebihan yaitu melampaui gaji pegawai lain yang bukan pemegang saham, yang melakukan pekerjaan, tugas atau jabatan yang kurang lebih sama dengan pemegang saham itu, maka kelebihannya itu tidak diperbolehkan mengurangi penghasilan. Dalam biaya ini termasuk pula bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang perusahaan, kecuali apabila jumlahnya melampaui jumlah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1). 

Bunga yang dibayarkan sehubungan dengan bunga hutang pribadi tidak boleh mengurangi penghasilan, sebab bunga semacam ini merupakan penggunaan dari penghasilan. Pembayaran bunga yang dilakukan untuk menyelundupkan pajak yang dapat terjadi dalam hal ada hubungan istimewa juga tidak boleh mengurangi penghasilan kena pajak.

Huruf b

Istilah penyusutan untuk harta berwujud dan amortisasi untuk harta tak berwujud atau hak sudah lazim dipergunakan dalam bidang akuntansi.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Penggunaan penghasilan tidak dapat dipakai sebagai faktor pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak. Pembelian barang untuk dipakai sendiri dan bukan untuk dipergunakan dalam kegiatan usaha atau bukan untuk dipakai guna mendapatkan penghasilan tidak diperkenankan untuk disusutkan. Apabila barang yang dipakai sendiri itu dijual dengan rugi, maka kerugian itu juga tidak dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Perlu ditegaskan bahwa barang yang kerugian penjualannya dapat mengurangi penghasilan kena pajak adalah barang yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan usaha (juga yang dipakai untuk mendapatkan penghasilannya), maka kerugian penjualan tanah yang termasuk kekayaan perusahaan dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Hal ini perlu ditegaskan karena berdasarkan Pasal 11 ayat (1), tanah tidak termasuk harta yang dapat disusutkan.

Huruf e

Sisa Hasil Usaha koperasi sehubungan dengan kegiatan yang semata-mata dari dan untuk anggota, tidak dikenakan pajak pada tingkat koperasi.

Ayat (2)

Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri, untuk menghitung penghasilan kena pajak, masih diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (lihat penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 7).

Ayat (3)

Jika setelah penghasilan bruto dikurangkan beban-beban yang diperbolehkan berdasarkan ayat (1) menghasilkan kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan selama 5 (lima)tahun dihitung sejak tahun yang berikut sesudah tahun dideritanya kerugian itu. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, bagi jenis-jenis usaha tertentu, yang menurut pertimbangan obyektif tidak menghasilkan laba dalam lima tahun, kerugian yang dideritanya dapat dikompensasikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun.

Pasal 7

Ayat (1)

Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk sampai kepada penghasilan kena pajak diberikan pengurangan yang dinamakan penghasilan tidak kena pajak. Untuk Wajib Pajak sendiri jumlah penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).

Apabila Wajib Pajak kawin, maka jumlah itu ditambah dengan Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam hal isteri memperoleh penghasilan dari pekerjaan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, maka penghasilan tidak kena pajak untuk isteri Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) sedangkan untuk menghitung pajak atas penghasilan suami diberikan pengurangan sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam hal demikian, ketika pemberi kerja menghitung penghasilan kena pajak untuk memotong pajak dari penghasilan isteri, telah dikurangkan sejumlah Rp.960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah), tetapi tidak lagi diberikan tambahan pengurangan sebesar Rp.480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam hal isteri menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha, besarnya penghasilan tidak kena pajak ditambah dengan Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).

Tambahan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp 960.000,- (sembilan ratus enam enam puluh ribu rupiah) tersebut diatas tidak diberikan lagi dalam hal isteri juga menerima atau memperoleh penghasilan dari pekerjaan yang telah diberikan potongan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).Tambahan pengurangan sebesar Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) diberikan kepada isteri, apabila isteri menerima atau memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan, sedangkan suami tidak menerima atau memperoleh penghasilan apapun. Dalam hal demikian, tambahan pengurangan untuk tanggungan keluarga diberikan kepada isteri tersebut. 

Dengan pengurangan yang demikian kepada pemberi kerja diberikan kemudahan dalam melaksanakan pemotongan pajak atas penghasilan pegawai atau karyawannya, sebab pemberi kerja tidak dibebani kewajiban terlalu banyak untuk meneliti lebih jauh tentang isteri bekerja atau tidak, penghasilan isteri telah kena pajak atau tidak, dan sebagainya.

Untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak tiri, cucu, dan sebagainya yang menjadi tanggungan sepenuhnya. Wajib Pajak diberikan pengurangan sebesar Rp.480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) dengan paling banyak untuk 3 (tiga) orang.

Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam 12 (dua belas) bulan berturut-turut dari suatu tahun pajak, tidak diberikan potongan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Bagi orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri, penghasilan kena pajak, adalah jumlah penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).

Ayat (2)

Untuk menghitung jumlah pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak, ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau pada saat menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Misalnya pada 1 Januari seorang Wajib Pajak kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Jika pada pertengahan tahun lahir anak kedua, maka untuk tahun pajak ketika anak kedua lahir dihitung kawin dengan 1 (satu) orang anak.

Ayat (3)

Menteri Keuangan diberi wewenang untuk melakukan penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak, dengan memperhatikan perubahan-perubahan di bidang perekonomian dan moneter.

Pasal 8

Ayat (1)

Berdasarkan ayat ini, penghasilan begitu pula kerugian seorang wanita, yang telah kawin pada awal tahun pajak, dianggap penghasilan atau kerugian suaminya. Ketentuan ini lebih menekankan pada segi-segi kemampuan ekonomis, yaitu bahwa suami dan isteri merupakan suatu kesatuan dan dengan adanya ketentuan tersebut, pengenaan pajak tidak kehilangan unsur progresif dalam penerapan tarif. Penggabungan penghasilan tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai karyawati, atau suami memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan sebagai karyawan, dan atas penghasilan dimaksud telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, kecuali apabila penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya adalah anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya dari suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d. Ini berarti, bahwa terhadap mereka (yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan/karyawati) dalam pengenaan pajak diberikan jumlah pengurangan penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk dirinya masing-masing sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini diberikan beberapa contoh sebagai berikut :

  1. Saat yang menentukan :
    1. Seorang wanita yang kawin sesudah tanggal 1 Januari (dalam hal tahun pajak sama dengan tahun takwim), maka secara fiskal ia pada tahun tersebut belum dianggap kawin, sehingga pengenaan pajaknya masih dikenakan pada diri masing-masing suami dan isteri. Penghasilan atau kerugian wanita tersebut baru dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dimulai pada tahun pajak berikutnya.
    2. Suami-isteri yang telah kawin sejak menetap di Indonesia, maka sejak mereka menetap di Indonesia penghasilan atau kerugian isteri dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya.
  2. Penghasilan isteri sebagai karyawati :

    1. Isteri dan suami kedua-duanya memperoleh penghasilan semata-mata sebagai karyawati/karyawan dan masing-masing telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21.

      Dalam hal demikian tidak ada penghasilan isteri yang dianggap sebagai penghasilan suaminya. Pajak mereka sebagai karyawan/karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final. Terhadap mereka tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 undang-undang ini.

    2. Isteri memperoleh penghasilan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 undang-undang ini.
      Selain itu ia juga memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sebagai karyawati, misalnya penghasilan dari usahanya membuka salon kecantikan. Suaminya memperoleh penghasilan semata-mata sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 undang-undang ini.

      Dalam hal ini, penghasilan isteri yang dianggap sebagai penghasilan suaminya ialah hanya penghasilan dari usahanya membuka salon kecantikan.

      Pajak penghasilan atas penghasilan isteri sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final. Hal yang demikian juga berlaku dalam hal suami dan/atau isteri tidak nyata-nyata dipotong pajak oleh pemberi kerja, sebab jumlah penghasilannya berada di bawah penghasilan tidak kena pajak. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang, yang perlu dipertanggungjawabkan melalui penyampaian surat Pemberitahuan Tahunan, hanya didasarkan atas besarnya penghasilan suami ditambah penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan saja.

      Dalam penghitungan penghasilan kena pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, mereka masih diperbolehkan melakukan pengurangan sebesar Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, di samping jumlah sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Pajak yang telah dipotong atas penghasilan suami dari pekerjaan diperhitungkan sebagai kredit.

    3. Isteri memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21.

      Suaminya di samping memperoleh penghasilan sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sebagai karyawan, misalnya penghasilan dari usaha taksi. Dalam hal ini penghasilan isteri tidak dianggap sebagai penghasilan suaminya dan pajaknya yang telah dipotong berdasarkan Pasal 21 adalah final. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang didasarkan atas jumlah penghasilan suami yang berasal dari pekerjaan sebagai karyawan dan dari hasil usaha taksi. Dalam penghitungan pajak atas nama suami tersebut, pengurangan sebagai penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan untuk suami sebesar Rp.960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebab dalam status kawin. Pajak yang telah dipotong atas penghasilan suami sebagai karyawan diperhitungkan sebagai kredit dari pajak yang terhutang.

    4. Demikian pula suami selain memperoleh penghasilan dari pekerjaan sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan dari usaha taksi. Dalam hal demikian penghasilan isteri yang dianggap penghasilan suami ialah hanya penghasilan dari usaha salon kecantikan.

      Pajak penghasilan atas penghasilan isteri dari pekerjaan sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final.

      Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang yang harus dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sebesar pajak yang terhutang atas jumlah penghasilan suami dari pekerjaan dan dari usaha taksi, serta penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan. Dalam penghitungan pajak di luar pajak yang telah dipotong dan dibayar oleh pemberi kerja isteri, pengurangan penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diberikan sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebab berada dalam status kawin. (Tambahan penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tidak lagi diberikan karena telah diperhitungkan pada waktu pemotongan Pajak Penghasilan sebagai karyawati).

Ayat (2)

Penghasilan anak, termasuk anak angkat, yang belum dewasa juga digabungkan dengan penghasilan orang tuanya.

Sesuai dengan tujuan pengenaan pajak bagi Wajib Pajak yang belum dewasa maka pengertian belum dewasa dalam ketentuan perpajakan, seyogyanya memperhatikan pula ketentuan mengenai hal yang sama dalam undang-undang lain, termasuk pula ketentuan dalam bidang ketenagakerjaan, bahwa orang dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 (delapan belas) tahun ke atas, dengan catatan bahwa anak laki-laki maupun anak perempuan yang telah kawin meskipun umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun, dianggap telah dewasa. Bagi anak laki-laki maupun perempuan yang telah berumur 18(delapan belas) tahun atau bagi anak yang telah kawin, di masyarakat dinyatakan sebagai orang yang telah mampu melakukan tindakan hukum sendiri dan dianggap telah mampu bahkan wajib untuk mencari nafkahnya sendiri. Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, maka pengertian dewasa dalam undang-undang ini, ialah laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 (delapan belas) tahun ke atas atau telah kawin walaupun umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Dividen tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya, karena dividen adalah bagian dari penghasilan badan tersebut yang dimaksudkan untuk dikenakan pajak oleh undang-undang ini, sehingga apabila dividen diperkenankan untuk dikurangkan, maka akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak dari badan yang memberikan. Atas dividen yang dibagikan oleh badan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 23 atau Pasal 26 undang-undang ini.

Huruf b

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada umumnya dimaksudkan untuk perluasan perusahaan dan untuk menjamin kelangsungan perusahaan. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan sedemikian, tidak dapat dibebankan sebagai pengurangan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dalam hubungan ini perlu diadakan pembedaan antara cadangan dengan penyisihan. Penyisihan dimaksudkan untuk beban atau kewajiban yang sudah pasti ada, akan tetapi jumlahnya belum diketahui secara tepat, misalnya penyisihan untuk Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), tambahan pajak dan lain-lain.

Huruf c

Premi asuransi yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tidak boleh dikurangkan dari penghasilan. Pada saat pemegang polis menerima pembayaran, pembayaran ini bukan merupakan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c.

Huruf d

Semua kenikmatan yang diberikan kepada karyawan/ karyawati, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan pemberi kerja, sebab pemberian kenikmatan tersebut bukan sebagai penghasilan bagi penerima (karyawan/karyawati), sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d.

Berkenaan dengan daerah terpencil, maka Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan tentang pengertian daerah terpencil, yaitu daerah yang tidak terdapat tempat tinggal yang disewa, sehingga oleh karena itu perusahaan harus menyediakan tempat tinggal untuk pegawai atau karyawan/karyawati. Dengan demikian hanya pengeluaran untuk itu boleh dikurangkan.

Huruf e

Sebagai contoh misalnya seorang ahli yang kebetulan juga pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa sebagai seorang ahli untuk badan tersebut. Untuk jasa tersebut ia memperoleh bayaran Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), padahal untuk hal yang sama oleh ahli lain hanya harus dibayar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah).

Karena adanya hubungan istimewa tersebut, maka Rp. 400.000,00 (empat ratus ribu rupiah) tidak boleh dikurangkan karena sudah melebihi kewajaran.

Bagi ahli yang juga pemegang saham tersebut pembayaran itu dikenakan pajak sebagai dividen.

Huruf f

Harta yang dihibahkan, warisan dan pembayaran bantuan tidak boleh dikurangkan karena bagi pihak penerima bukan merupakan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b.

Huruf g

Pajak Penghasilan tidak boleh dikurangkan, karena bukan biaya untuk memperoleh atau menagih penghasilan, dan jumlah pajak yang terhutang itu dihitung atas penghasilan kena pajak sebagai hasil perhitungan setelah dilakukan pengurangan yang diperbolehkan.

Huruf h

Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya tidak merupakan biaya perusahaan, melainkan penggunaan dari penghasilan, oleh karena itu pengeluaran demikian tidak boleh mengurangi penghasilan kena pajak.

Huruf i

Sumbangan dalam bentuk apapun juga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan.

Ayat (2)

Biaya ini misalnya biaya iklan besar-besaran sehubungan dengan diperkenalkannya produk baru dan yang tidak akan dikeluarkan lagi dalam beberapa tahun mendatang, maka biaya tersebut tidak boleh langsung dikurangkan dari penghasilan, melainkan harus melalui amortisasi.

Pasal 10

Ayat (1)

Dalam hal pembelian biasa, maka dasar penilaian adalah harga perolehan.

Dalam hal tukar menukar atau dalam hal dibeli dari Wajib Pajak lain yang mempunyai hubungan istimewa, maka dipakai nilai perolehan yaitu harga yang harus dibayar berdasarkan harga pasar yang wajar. Contoh dari pertukaran adalah :

    PT. A
harta X
PT. B
harta Y
  harga sisa buku
harga pasar
Rp.10.000.000,-
Rp.20.000.000,-
Rp.12.000.000,-
Rp.20.000.000,-

 

Antara PT. A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) ini merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan. Nilai perolehan ini juga menjadi penerimaan netto untuk keperluan penerapan Pasal 11 ayat (7) huruf b undang-undang ini. 

Sedangkan selisih antara harga pasar dengan harga sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak.

Bagi PT. A terdapat keuntungan sebesar Rp. 20.000.000,- dikurangi Rp.10.000.000,- = Rp. 10.000.000,
sedangkan bagi PT. B terdapat keuntungan sebesar Rp. 20.000.000,- dikurangi Rp. 12.000.000,- = Rp. 8.000.000,-.

Pengecualian dari ketentuan tentang penerapan harga perolehan atau nilai perolehan tersebut adalah dalam hal-hal :

Huruf a

Terdapat pertukaran saham dari suatu badan dengan harta orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e, maka dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya adalah sama dengan nilai harta yang dialihkan (perubahan bentuk dari perseorangan menjadi badan tidak mengakibatkan terhutangnya pajak, dan apabila saham-saham tersebut dialihkan dengan memperoleh laba, maka laba ini baru dikenakan pajak);

Huruf b

Bagi badan atau perseroan yang menerima harta sebagai pertukaran atas saham- sahamnya dasar penilaian harta adalah nilai harta atau harga sisa buku harta yang dipertukarkan;

Huruf c

Contoh :

Seseorang yang menerima warisan suatu harta, maka nilai perolehannya adalah harga perolehan bagi pewaris dalam hal harta tersebut tidak boleh disusutkan, atau harga sisa buku harta tersebut pada saat dialihkan dalam hal harta tersebut boleh disusutkan. Dalam hal ini berlaku juga asas yang sama dengan huruf a dan huruf b, yaitu apabila harta warisan tersebut dijual, keuntungan penjualan itu dikenakan pajak. Contoh yang sama berlaku juga untuk harta hibahan dan pemberian bantuan yang bebas pajak.

Ayat (2)

Dalam hal ada tambahan, perbaikan, dan pengeluaran lain yang secara wajar telah dikeluarkan untuk meningkatkan kapasitas dari harta yang bersangkutan, maka harga perolehan harus disesuaikan dengan pengeluaran tersebut.

Tambahan dapat berarti pengeluaran untuk memperoleh suatu aktiva tambahan, dan dapat pula seperti dimaksudkan dalam ayat ini, yaitu pengeluaran untuk menambah kapasitas dari suatu aktiva tertentu.

Yang dimaksudkan dengan penyesuaian atas harga perolehan suatu harta adalah :

  • pengurangan nilai karena penyusutan;
  • penambahan nilai karena adanya tambahan pengeluaran untuk tambahan, perbaikan atau perubahan untuk meningkatkan kapasitas harta yang bersangkutan.

Misalnya suatu harta mempunyai jumlah awal Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Dalam tahun berjalan telah dilakukan tambahan atau perbaikan sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), maka jumlah awal tahun berikutnya adalah Rp. 100.000.000,- ditambah Rp. 25.000.000,- dikurangi penyusutan.

Pembebanan pengeluaran sehubungan dengan perkiraan harta pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu :

  1. pengeluaran yang dapat dianggap sebagai biaya sehari-hari, misalnya biaya pemeliharaan dan reparasi yang biasanya dilakukan secara berkala, yang dilakukan untuk memelihara manfaat teknis dari harta yang bersangkutan;

  2. pengeluaran yang dilakukan, yang tidak dapat dianggap sebagai biaya sehari-hari, misalnya biaya rehabilitasi, biaya reparasi besar, yang biasanya dilakukan untuk meningkatkan kembali kapasitas atau menambah kapasitas harta yang bersangkutan.

Pengeluaran yang termasuk kelompok b, yang masa manfaatnya tidak hanya dinikmati pada tahun pengeluaran itu saja, melainkan untuk beberapa jangka waktu tertentu, maka wajar apabila pengeluaran tersebut dibebankan kepada perkiraan harta (dikapitalisasi) dan selanjutnya dilakukan penyusutan sesuai masa manfaat dari harta yang bersangkutan.

Ayat (3)

Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu :

  1. barang jadi;
  2. barang dalam proses produksi;
  3. bahan baku dan bahan pelengkap.

Ketentuan dalam ayat ini mengatur, bahwa penilaian persediaan barang hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan. Sedangkan penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata ataupun dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (dengan menggunakan metode first in first out atau disingkat FIFO).
Contoh :

  1. persediaan awal 100 satuan @ Rp. 9,00
  2. pembelian/didapat 100 satuan @ Rp. 12,00
  3. pembelian/didapat 100 satuan @ Rp. 11,25
  4. penjualan/dipakai 100 satuan
  5. penjualan/dipakai 100 satuan
    persediaan akhir 100 satuan

 

- penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dengan cara : rata-rata :
No Didapat Dipakai Sisa/persediaan
1.     100 s a Rp 9,00=Rp 900,00
2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00   200 s.a Rp10,50=Rp2.100,00
3. 100 s a Rp11,25=Rp1.125,00   300 s a Rp10,75=Rp 3.225,00
4.   100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 200 s a Rp10,75=Rp2.150,00
5.   100 s a Rp10,75=Rp1,075,00 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00
- penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama :
No Didapat Dipakai Sisa/persediaan
1.     100 s a Rp 9,00=Rp 900,00
2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00   100 s.a Rp 9,00=Rp 900,00
100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00
3. 100 s a Rp11,25=Rp1.125,00
100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00
  100 s a Rp 9,00=Rp 900,00
100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00
4.   100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00
100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00
5.   100 s a Rp10,75=Rp1,075,00 100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00

Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.

Pasal 11

Pembebanan biaya untuk menghasilkan (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, berdasarkan undang-undang ini dilakukan melalui penyusutan (apabila mengenai harta berwujud) dan amortisasi (jika berkenaan dengan harta tak berwujud atau biaya lain), yang untuk keduanya berlaku prinsip-prinsip yang sama.

Dalam sistem penyusutan menurut ketentuan ini, semua aktiva dikelompokkan menjadi empat golongan harta, sesuai dengan masa manfaatnya. Untuk masing-masing golongan harta ditentukan persentase penyusutannya dan persentase tersebut diterapkan atas suatu jumlah yang menjadi dasar penyusutan. Apabila dalam suatu tahun pajak tidak ada tambahan aktiva dan tidak ada aktiva yang ditarik dari pemakaian, maka jumlah harga sisa buku tahun yang lalu, yang menjadi jumlah awal tahun ini langsung dapat dikalikan dengan persentase tarip penyusutan.

Ayat (1)

Yang dapat disusutkan adalah semua harta yang berwujud yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk memperoleh penghasilan.

Tanah tidak dapat disusutkan kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah yang dipergunakan oleh perusahaan genteng.

Dengan demikian, yang boleh disusutkan bukan hanya harta perusahaan, tetapi juga harta yang dipakai untuk memperoleh penghasilan, misalnya biaya untuk membangun rumah, yang dipakai untuk memperoleh sewa.

Ayat (2)

Setiap macam harta digolongkan ke dalam golongan harta menurut umur ekonomisnya. Untuk setiap golongan harta ditentukan berapa tarip atau persentase penyusutannya.

Penggolongan harta diatur dalam ayat (3), misalnya untuk mesin yang termasuk dalam Golongan 2, tarip atau persentase penyusutannya adalah 25% (dua puluh lima persen), yang diterapkan atas jumlah awal tahun dari golongan harta itu ditambah pembelian atau tambahan, dikurangi penerimaan netto harta yang dijual.

Ayat (3)

Ayat ini membagi harta menjadi 4 (empat) golongan. Masing-masing golongan harta dapat terdiri dari bermacam-macam jenis harta dengan masa manfaat yang hampir sama. 

Agar Wajib Pajak mudah mengikuti perkembangan harta, baik berupa pengurangan ataupun penambahan, maka harus dibuat catatan atau daftar harta untuk setiap golongan harta, yang berisi antara lain tahun perolehan/pembelian, harga perolehan, golongan harta, dan tarip penyusutan sehingga sewaktu-waktu dapat diketahui jumlah penyusutan yang telah dilakukan terhadap masing-masing harta tersebut. Hal ini penting bagi Wajib Pajak, terutama bila terjadi penarikan karena sebab yang luar biasa, lihat penjelasan ayat (7).

Bagi golongan bangunan dan harta tak gerak lainnya harus dibuat perkiraan sendiri secara terpisah untuk masing-masing bangunan dan harta tak gerak lainnya.

Ayat (4)

Penghitungan dasar penyusutan adalah jaminan awal dari tahun pajak, ditambah dengan tambahan-tambahan, baik tambahan berupa harta baru maupun tambahan atas harta yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas harta yang bersangkutan, perbaikan-perbaikan atau perubahan-perubahan dan dikurangi dengan pengurangan-pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Ayat (5)

Untuk golongan bukan bangunan, yaitu Golongan 1, Golongan 2, dan Golongan 3 jumlah awal dari golongan itu adalah harga sisa buku tahun sebelumnya yang tetap terbuka untuk penambahan harta baru dan pengurangan dengan penerimaan netto harta yang dijual, lalu diterapkan tarip penyusutan. Bila dalam tahun berjalan terjadi tambahan pengeluaran untuk memperoleh harta perusahaan yang menurut undang-undang ini dapat disusutkan, maka jumlah awal ditambah dengan pengeluaran untuk memperoleh harta baru tersebut. 

Bila salah satu jenis harta tidak dipakai lagi dan dijual (karena sebab biasa), maka penerimaan netto dari penjualan tersebut dikurangkan dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan.

Ayat (6)

Untuk Golongan Bangunan, penyusutan dihitung dari harga perolehan.

Ayat (7)

Huruf a 

Beberapa macam harta ada kemungkinan tidak dapat dipakai lagi, misalnya karena terkena bencana. Dapat juga karena perusahaan menghentikan sebagian besar produksinya, karena sebab-sebab di luar kekuasaan perusahaan.

Penarikan harta tersebut disebut penarikan dari pemakaian karena sebab luar biasa. Jumlah sebesar harga sisa buku harta tersebut dikurangkan dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan, dan jumlah tersebut dibebankan pada perkiraan rugi laba dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Apabila harta tersebut dijual atau mendapat penggantian asuransi, maka harga penjualan atau penggantian asuransi tersebut merupakan penghasilan dalam tahun pajak yang bersangkutan.

CONTOH PENYUSUTAN GOLONGAN 1

  1984 : Jumlah awal per 1-1-1984  =Rp. 0,00
Tambahan : mobil "A"  = Rp.1.500,00
mobil "B" = Rp.2.500,00
mobil "C" = Rp.1.200,00
 
    =Rp.5.200,00
Pengurangan ..................................
Penghitungan Penyusutan
Jumlah awal (1-1-1984)...........................
Tambahan ("A","B","C")..........................
Pengurangan.........................................
Dasar penyusutan .................................
Penyusutan (50%) .................................
Jumlah awal per 1-1-1985 ......................
=Rp. 0,00
  1985 : Tambahan : mobil "D =Rp.3.000,00
Pengurangan : mobil "C"
terbakar (karena sebab luar biasa)
harga perolehan (1984)
telah disusut (1984)
harga sisa buku (1985)
penggantian asuransi
=Rp.1.200,00
=Rp. 600,00
=Rp. 600,00
=Rp. 800,00
Penghitungan Penyusutan
Jumlah awal (1-1-1985)................
Tambahan ("D") .........................
=Rp.2.600,00
=Rp.3.000,00
  (Rugi) Pengurangan (harga sisa buku "C") ......... =(Rp. 600,00)
Dasar penyusutan ..........................
Penyusutan (50%) ..........................
= Rp.5.000,00
=(Rp.2.500,00)
Jumlah awal per 1-1-1986 ............... = Rp.2.500,00
  (Laba) Penghasilan penggantian asuransi mobil "C")...  = Rp. 800,00

 

Huruf b

Penarikan yang lain dari yang disebut di atas, disebut penarikan dari pemakaian karena sebab biasa, misalnya karena harta tersebut dijual. Penerimaan netto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dengan biaya yang seharusnya dan benar-benar dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut, dikurangkan dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan.

Contoh (lanjutan penghitungan pada Huruf a)

    Jumlah awal per 1-1-1986 .............. =Rp.2.500,00
  1985 : Tambahan ............................ =Rp. 0,00
Pengurangan :
mobil "B" dijual (karena sebab biasa)
harga perolehan (1984)


=Rp.2.500,00
telah disusut (1984 & 1985)
harga sisa buku (1986)
harga penjualan
=Rp.1.875,00
=Rp. 625,00
=Rp.1.000,00
Penghitungan Penyusutan
Jumlah awal (1-1-1986).........
Tambahan ....................
Pengurangan (harga jual "B") ........

=Rp. 2.500,00
=Rp. 0,00
=(Rp. 1.000,00)
Dasar penyusutan ..........
Penyusutan (50%) ..............
=Rp. 1.500,00
=(Rp. 750,00)
Jumlah awal per 1-1-1987 ........ =Rp. 750,00

 

Catatan : harga sisa buku sebesar Rp. 625,00 tidak dihiraukan.

Ayat (8)

Dasar penyusutan tidak boleh negatif; bila negatif, maka jumlah yang menyebabkan negatif ditambahkan sebagai penghasilan. Apabila jumlah yang menjadi dasar penyusutan itu negatif, maka berarti, bahwa penerimaan netto dari harta yang tidak dipakai lagi dalam kegiatan usaha lebih besar dari (melebihi) jumlah awal tahun yang menjadi dasar penyusutan. Dengan perkataan lain, hasil penjualan lebih besar dari harga sisa buku golongan harta yang bersangkutan, oleh karena itu selisih tersebut merupakan laba penjualan aktiva yang berdasarkan undang-undang ini dikenakan pajak pada saat keuntungan tersebut diterima atau diperoleh.

Contoh :

  Harga sisa buku harta Golongan 1
per 1-1-1984

Rp.1.000.000,-
  Penarikan dari pemakaian dalam tahun 1984  
  Harga penjualan Rp. 1.500.000,-  
  Biaya penjualan Rp. 200.000,-  
  Penerimaan netto penjualan harta Rp.1.300.000,-
    Selisih negatif Rp. 300.00,-
  Maka dasar penyusutan untuk tahun 1984 Rp. n i h i l

 

Selisih sebesar Rp. 300.000,- merupakan penghasilan tahun pajak 1984.

Ayat (9)

Tarip penyusutan ditentukan oleh masa manfaat dari harta yang dapat disusutkan.

Ayat (10)

Dalam Pasal 9 ayat (2) disebutkan bahwa biaya untuk memperoleh penghasilan kena pajak yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak boleh dikurangkan sekaligus dari penghasilan. Harga perolehan dari harta tak berwujud dan biaya-biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan tarip yang berlaku bagi Golongan 1 atau Golongan 2 atau Golongan 3, atau diamortisasi dengan menggunakan metode satuan produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (12) dan ayat (13).

Ayat (11)

Biaya pendirian dan perluasan modal dapat diamortisasi sebagai Golongan 1 atau dibebankan sebagai biaya menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Wajib Pajak dapat memilih untuk mengamortisasi atau membebankan sebagai biaya. Apabila Wajib Pajak memilih pembebanan sekaligus, hal itu harus sesuai dengan pembukuannya, artinya akan dibebankan dalam tahun buku yang dipilihnya.

Ayat (12)

Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi dan hak pengusahaan hutan dapat dikurangkan sebagai amortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi.

Artinya adalah bahwa persentase amortisasi dari biaya tersebut setiap tahun pajak harus sama dengan persentase penambangan atau penebangan setiap tahunnya dari taksiran jumlah seluruh produksinya. 

Sebagai contoh dalam hal konsesi pertambangan yang ditaksir mempunyai deposit 100.000 ton, dan dalam satu tahun diproduksi sebanyak 10.000 ton.

Dengan demikian hak penambangan tersebut dalam tahun pajak itu diamortisasi 10% (sepuluh persen). Namun demikian, tidak boleh dilakukan amortisasi lebih dari 20% (dua puluh persen) dalam satu tahun pajak.

Ayat (13)

Khusus mengenai bidang penambangan minyak dan gas bumi, biaya memperoleh hak dan/atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun diamortisasi dengan metode satuan produksi tanpa pembatasan persentase tertentu.

Ayat (14)

Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan tentang penggolongan harta yang dapat disusutkan. Dalam keputusan tersebut, penggolongan jenis harta ke dalam golongan harta didasarkan pada masa manfaat dari jenis harta tersebut serta jenis usaha yang bersangkutan.

Pasal 12

Ayat (1)

Pada dasarnya tahun pajak adalah tahun takwim (tahun kalender). Wajib Pajak dapat menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun takwim, yaitu tahun buku yang meliputi periode selama 12 (dua belas) bulan. Apabila pembukuan Wajib Pajak meliputi periode yang kurang atau lebih dari 12 (dua belas) bulan, maka penghitungan pajak didasarkan atas tahun takwim yang bersangkutan, dengan memperlihatkan bulan-bulan takwim dari tahun tersebut.

Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku, maka hal ini harus diberitahukan pada waktu menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Penyebutan tahun pajak : 
Tahun pajak yang sama dengan tahun takwim penyebutan tahun pajak tersebut adalah tahun takwim itu. 

Apabila tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim, maka penyebutan tahun pajak yang bersangkutan mempergunakan tahun yang didalamnya termasuk enam bulan pertama atau lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.

Contoh :

a. Tahun pajak sama dengan tahun takwim :
Pembukuan 1 Januari s/d 31 Desember 1985.
Tahun pajak ialah tahun 1985.
b. Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim :
1) Pembukuan 1 Juli 1985 s/d 30 Juni 1986. Tahun pajak ialah tahun 1985, karena tahun 1985 mempunyai enam bulan pertama dari tahun pajak.
2). Pembukuan 1 April 1985 s/d 31 Maret 1986. Tahun pajak ialah tahun 1985, karena tahun 1985 mempunyai lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.
3). Pembukuan 1 Oktober 1985 s/d 30 September 1986.

Tahun pajak ialah tahun 1986, karena tahun 1986 mempunyai lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.

 

Ayat (2)

Pemakaian tahun pajak, baik berdasarkan tahun takwim atau tahun buku harus taat asas. Hal ini terutama untuk mencegah kemungkinan adanya penggeseran laba atau rugi, apabila Wajib Pajak diberi kebebasan untuk setiap saat berganti tahun pajaknya.

Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak ingin mengadakan perubahan tahun pajak, maka kepadanya diwajibkan untuk terlebih dahulu meminta persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 13

Ayat (1)

Setiap Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau pekerjaan bebas wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia. Pembukuan tersebut harus terdapat dan diselenggarakan di Indonesia, sebab pembukuan itu adalah dasar untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak, yang dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga harus dapat diperiksa di Indonesia, untuk mengetahui bahwa pembukuan itu telah dilakukan dengan benar, sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Dari pembukuan harus dapat diketahui laba netto dari usaha atau penghasilan netto.

Dari laba netto atau dari penghasilan netto tersebut selanjutnya akan dihitung penghasilan kena pajak Wajib Pajak tersebut. Karena pembukuan yang dipakai oleh Wajib Pajak menjadi titik tolak untuk menghitung penghasilan kena pajak, maka pembukuan harus berdasarkan suatu cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Prinsip-prinsip Akuntansi Indonesia yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia.

Pembukuan dapat diselenggarakan dengan Stelsel Kas maupun Stelsel Akrual. Stelsel Kas ialah suatu metode penghitungan yang didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut metode ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode tertentu. Yang dimaksud dengan Stelsel Akrual ialah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya, yaitu penghasilan tersebut ditetapkan pada waktu diperoleh, dan biaya ditetapkan pada waktu terhutang.

Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.

Contoh :

a. Penghasilan :
  1) Penjualan
Jumlah penyerahan = Rp. 10.500,00
Terdiri dari :
- penyerahan yang telah diterima pembayarannya = Rp. 10.000,00
- penyerahan yang belum diterima pembayarannya = Rp.      500,00

Stelsel Akrual :
penghasilan (penjualan) = Rp. 10.500,00

Stelsel Kas :
Penghasilan (penjualan) = Rp. 10.000,00

Yang Rp. 500,00 ditetapkan sebagai penghasilan pada periode berikutnya apabila telah diterima tunai.
  2) Penghasilan berupa bunga Pinjaman selama 6 bulan (1 September 1984 s/d 28 Februari 1985).


Jumlah pinjaman Rp.10.000,00 dengan bunga sebesar 12% per tahun dan dibayar pada akhir masa pinjaman.


Penghitungan bunga :
1-9-1984 s/d 31-12-1984 = 4 bulan = Rp. 400,00
1-1-1985 s/d 2-2-1985 = 2 bulan = Rp. 200,00

Stelsel Akrual :

Penghasilan bunga tahun 1984 = Rp. 400,00
  1985  = Rp. 200,00

Stelsel Kas :

Penghasilan bunga tahun 1984  = Rp.     0,00
(belum diterima tunai) 1985  = Rp. 600,00
(saat diterima tunai)    
b. Biaya (dalam hal ini diberi contoh sewa)
Sewa mobil selama 4 bulan (1 Oktober 1984 s/d 31 Januari 1985).
Harga sewa sebesar Rp. 4.000,00 dibayar pada awal masa sewa.

Penghitungan sewa :
1-10-1984 s/d 31-12-1984 = 3 bulan  = Rp. 3.000,00
1-1-1985 s/d 31-1-1985 = 1 bulan = Rp. 1.000,00

Stelsel akrual :
biaya sewa tahun 1984 = Rp. 3.000,00
  1985 = Rp. 1.000,00
  
Stelsel kas :
biaya sewa tahun 1984 = Rp. 4.000,00
(saat dibayar tunai) 1985 = Rp. 0,00

Stelsel Kas biasanya digunakan oleh perusahaan perorangan yang kecil atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. 

Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang/jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, Jasa dan biaya operasi lainnya.

Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas.

Oleh karena itu untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan, dalam memakai stelsel kas harus diperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut :

1)   Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan pula seluruh pembelian dan persediaannya.
2)   Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
3)   Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsistent).

Ayat (2)

Ketentuan pada ayat ini untuk memberikan penegasan tentang penggunaan sistem dan prinsip pembukuan yang harus dilakukan secara taat asas (konsistent).

Pasal 14

Ayat (1) dan ayat (2)

Pada hakekatnya untuk dapat memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dengan sebaik-baiknya diperlukan adanya pembukuan. Undang-undang bermaksud mendorong semua Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, namun disadari pula bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan itu. Wajib Pajak yang diizinkan untuk tidak menyelenggarakan pembukuan lengkap meliputi para Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah kurang dari Rp.60.000.000,- setahun.

Untuk mereka ini perlu adanya suatu cara yang terbuka dan adil, disamping perlunya pembinaan agar supaya mereka kemudian dapat dan mampu menyelenggarakan pembukuan.

Norma Penghitungan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai sebagai cara untuk menentukan peredaran bruto atau penerimaan bruto dan yang pada akhirnya untuk menentukan penghasilan netto.

Pada dasarnya Norma Penghitungan ini hanya dipergunakan untuk penghitungan atau penentuan penghasilan netto dalam hal :

-   tidak adanya dasar penghitungan lain yang lebih baik, yaitu pembukuan.
-   pembukuan Wajib Pajak yang ternyata diselenggarakan tidak benar.

 

Adapun wujud Norma Penghitungan itu ialah suatu persentase atau angka perbandingan lainnya yang disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian yang cermat sehingga :

-   sederhana,
-   terperinci menurut kelompok jenis usaha,
-   dibedakan dalam beberapa klasifikasi kota/tempat,
-   dibedakan untuk Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,- dengan yang lebih dari Rp.60.000.000,-,
-   tingkat persentase atau angka perbandingan yang tidak jauh dari kewajaran, namun dapat mendorong Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan.

Dengan demikian Norma Penghitungan adalah merupakan alat yang dipergunakan dalam keadaan terpaksa, karena tidak adanya pegangan lain, namun masih tetap dapat dipertanggung jawabkan kesederhanaan, keterbukaan dan kewajarannya. Norma Penghitungan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan netto yang harus dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

Oleh karena Wajib Pajak akan menetapkan sendiri pajaknya, maka adanya patokan untuk menghitung berapa penghasilan yang diumumkan terlebih dahulu, akan sangat berguna. Hanya apabila terbukti bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak berdasarkan data yang benar, dengan menerapkan Norma Penghitungan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan. Norman Penghitungan yang bersifat terbuka itu selain untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban bagi Wajib Pajak, juga sekaligus untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang Administrasi Perpajakan dengan menaksir besarnya penghasilan yang kurang berdasar. Norma Penghitungan dimaksud dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Pegangan yang ditetapkan Menteri Keuangan itu harus memuat :

a.   kaitan-kaitan yang harus dipergunakan untuk menentukan besarnya :
- peredaran (jumlah karyawan, jumlah meja bagi usaha rumah makan, jumlah mesin bagi usaha industri, jumlah kamar bagi usaha hotel, dan lain-lain)
- penghasilan bruto (jumlah pembelian bahan, jumlah gaji karyawan, dan lain-lain),
- penghasilan netto (jumlah pengeluaran nyata atau tingkat biaya hidup dan lain-lain);
b.   pokok-pokok cara yang harus diperhatikan dalam menyusun Norma Penghitungan;
c.   cara-cara menyempurnakan Norma Penghitungan.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan untuk memilih menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan, dianggap menyelenggarakan pembukuan.

Dalam hal Wajib Pajak tersebut ternyata tidak menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan netto dihitung dengan Norma Penghitungan dan pajak yang dihasilkan dari penghitungan tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan, sebagaimana diatur dalam ayat (7).

Dengan ketentuan ini, Wajib Pajak dirangsang untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar dan lengkap. Oleh karena itu Norma Penghitungan perlu disusun sebaik-baiknya dengan memperhatikan perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien. Bagi Wajib Pajak yang jujur yang dalam usahanya tidak berhasil memperoleh penghasilan seperti perusahaan atau pekerjaan bebas yang baik dan efisien, penggunaan Norma Penghitungan dapat merugikannya.

Untuk menghindari diterapkan Norma Penghitungan yang dapat merugikannya tersebut, Wajib Pajak dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan yang baik, benar dan lengkap, sehingga penghitungan pajaknya didasarkan atas keadaan yang sebenarnya sesuai dengan pembukuannya.

Ayat (5)

Wajib Pajak yang memilih untuk menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, dengan sendirinya harus dapat menunjukkan bahwa jumlah peredaran dari usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) yang dapat dibuktikan dari catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto, yang diselenggarakannya.

Ayat (6)

Menurut ketentuan ini, penghasilan netto dihitung berdasarkan Norma Penghitungan terhadap Wajib Pajak yang :

  1. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan, akan tetapi tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang;
  2. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran bruto atau penerimaan brutonya, akan tetapi tidak menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diwajibkan;
  3. tidak bersedia memperlihatkan buku, catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak.

Perlu ditegaskan, yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan adalah Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya berjumlah Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dan Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun akan tetapi memilih atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.

Ayat (7)

Pajak Penghasilan yang dihasilkan dari penghasilan netto yang dihitung dengan menerapkan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 15

Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan-golongan Wajib Pajak tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Dalam praktek sering dijumpai kesukaran dalam menghitung besarnya penghasilan dan penghasilan kena pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu, sehingga berdasarkan pertimbangan praktis, oleh undang-undang ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk mengeluarkan Keputusan untuk menentukan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto, yang dengan sendirinya akan menjadi dasar penghitungan penghasilan kena pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut.

Pasal 16

Penghasilan kena pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang. Seperti tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) dikenal 2 (dua) golongan Wajib Pajak yaitu :

Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.

Bagi Wajib Pajak dalam negeri terdapat 2 (dua) cara pada dasarnya untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak :
- cara penghitungan biasa,
- cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan.

Ayat (1)

Cara penghitungan biasa

Contoh :

 

-

Penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun pajak menurut Pasal 4 ayat (1) Rp.50.000.000,-

-

Biaya-biaya menurut Pasal 6 ayat (1) : Rp.30.000.000,-  

 

biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan Rp. 6.000.000,-  

 

penyusutan dan amortisasi iuran kepada dana pensiun Rp.1.000.000,-  
    Rp. 37.000.000,-

-

Penghasilan netto ............................... Rp.13.000.000,-

-

Kompensasi kerugian tahun-tahun yang lalu Rp. 2.000.000,-

-

Penghasilan kena pajak (bagi badan, selain badan koperasi) .............  Rp.11.000.000,-

-

Bagi badan koperasi diperbolehkan untuk mengurangkan pengembalian Sisa Hasil Usaha yang diperoleh dari kegiatan dari dan untuk anggota.  

-

Pengurangan untuk Wajib Pajak pribadi Pasal 7 ayat (1), misal Wajib Pajak kawin dengan tanggungan 2 (dua) orang anak ........ Rp. 2.400.000,-

-

Penghasilan kena pajak ...................... Rp. 8.600.000,-

 

  ============

 

Ayat (2)

Penggunaan Norma Penghitungan dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu, yaitu Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

Bagi Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), menurut ketentuan undang-undang ini tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Terhadap mereka penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan dengan mempergunakan Norma Penghitungan.

Akan tetapi, bila diinginkan oleh Wajib Pajak, penghitungan penghasilan kena pajak dapat dilakukan dengan cara penghitungan biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan syarat mereka menyelenggarakan pembukuan seperti diatur dalam undang-undang ini (Lihat penjelasan mengenai Pasal 14).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Bagi Wajib Pajak dalam negeri tarip Pajak Penghasilan diterapkan terhadap seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak, dengan sistem yang sangat sederhana.

Contoh :

  Jumlah penghasilan kena pajak Rp. 80.000.000,-
  Pajak Penghasilan yang terhutang :  
  15% x Rp.10.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
  25% x Rp.40.000.000,- = Rp.10.000.000,-
  35% x Rp.30.000.000,- = Rp.10.500.000,-
  Jumlah penghasilan kena pajak Rp.80.000.000,- Pajak = Rp.22.000.000,-

 

Ayat (2)

Batas lapisan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.

Ayat (3)

Misalnya Penghasilan kena pajak sebesar Rp. 1.050.650,- (satu juta lima puluh ribu enam ratus lima puluh rupiah), maka untuk penerapan tarip penghasilan kena pajak dibulatkan menjadi Rp. 1.050.000,- (satu juta lima puluh ribu rupiah).

Ayat (4)

Misalnya seorang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subyektifnya sebagai Subyek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) maka penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut :

Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp. 1.000.000,-
Penghasilan setahun sebesar :

  360
--------- x Rp. 1.000.000,-
3 x 30

Rp. 4.000.000,-
  Penghasilan tidak kena pajak  Rp. 960.000,-
    -----------------------
  Penghasilan kena pajak Rp. 3.040.000,-
  Pajak Penghasilan yang terhutang (setahun)
15% x Rp. 3.040.000,-

Rp. 456.000,-
  Jadi Pajak Penghasilan yang terhutang selama bagian dari tahun pajak, yaitu selama 3 (tiga) bulan adalah  
  3 x 30
---------- x Rp. 456.000,-
360

Rp. 114.000,-

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengeluarkan Keputusan tentang besarnya perbandingan antara hutang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak.

Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara hutang dan modal (debt equity ratio). Apabila perbandingan antara hutang dan modal sangat besar (di atas batas-batas kewajaran) maka sebenarnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian undang-undang menentukan adanya modal terselubung.

Ayat (2)

Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penyelundupan pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Dalam hal terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan di bawah semestinya atau pun pembebanan biaya melebihi yang seharusnya, bila terjadi transaksi antara pihak-pihak yang bersangkutan. Demikian pula kemungkinan dapat terjadi adanya penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai hutang.

Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya yang seharusnya akan terjadi apabila di antara pihak-pihak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.

Begitu juga, apabila berdasarkan penelitian yang dilakukan ternyata terdapat penyertaan atau modal terselubung seolah-olah merupakan hutang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan hutang tersebut sebagai modal perusahaan.

Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang yang sebenarnya merupakan penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan kepada pemegang saham yang menerima atau memperolehnya merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.

Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, bunga merupakan biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan, tetapi sebaliknya dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham tidak boleh dikurangkan.

Ayat (3)

Huruf a

Hubungan Istimewa dianggap ada bila dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah pemilikan atau penguasaan yang sama.

Yang dimaksud dengan pemilikan atau penguasaan ini adalah bila yang memiliki perusahaan-perusahaan tersebut memegang saham mayoritas yang dapat mempengaruhi jalannya perusahaan. Hubungan istimewa juga dapat dirumuskan sebagai berikut :

  • Badan AA mempunyai penyertaan pada perusahaan BB sebesar 25% (dua puluh lima persen), maka AA dan BB mempunyai hubungan istimewa.
  • Seseorang YY mempunyai 25% (dua puluh lima persen) penyertaan pada perusahaan AA dan juga 25% (dua puluh lima persen) penyertaan pada perusahaan BB, maka antara YY, AA dan BB mempunyai hubungan istimewa.

Huruf b

Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah garis keturunan, lurus satu derajat adalah ayah, ibu dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah keturunan, kesamping satu derajat adalah saudara.

Yang dimaksud dengan keluarga semenda garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis kesamping satu derajat adalah ipar.

Ayat (4)

Dalam hal terdapat beberapa pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan penyertaan 50% (lima puluh persen) atau lebih, maka tarip terendah 15% (lima belas persen) hanya dapat diberlakukan satu kali saja.

Dalam hal salah satu pihak menderita kerugian, kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan terhadap penghasilan pihak lainnya, akan tetapi berlaku kompensasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).

Pasal 19

Dalam hal terjadi ketidak serasian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan yang disebabkan oleh karena perkembangan harga yang menyolok, maka Pemerintah dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian misalnya dengan menerapkan indeksasi.

Pasal 20

Ayat (1)

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan, agar pada akhir tahun mendekati jumlah pajak yang terhutang, dilakukan melalui :

  1. pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan (pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal dan jasa-jasa tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
  2. disamping pelunasan pajak melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain, Wajib Pajak sendiri juga diwajibkan untuk melakukan pembayaran dalam tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.

Ayat (2)

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan merupakan cicilan atau angsuran pembayaran pajak yang nantinya dapat diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang mengenai seluruh tahun pajak yang bersangkutan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Yang wajib memotong Pajak Penghasilan atau disebut pemotong pajak menurut ketentuan ini ialah :

  1. perusahaan orang pribadi atau badan yang merupakan induk atau cabang perusahaan yang membayar gaji, upah, honorarium, dan imbalan lainnya kepada karyawan atau orang lain, dengan syarat, bahwa pekerjaan itu dilakukan di Indonesia. Dalam pengertian pemberi kerja tidak harus Subyek Pajak menurut undang-undang ini, tetapi dapat juga setiap orang atau badan yang dalam hubungan kerja membayarkan gaji, upah, dan sebagainya;
  2. misalnya gaji yang dibayarkan kepada pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, karena dibebankan kepada Keuangan Negara, maka harus dipotong Pajak Penghasilan. Dalam pengertian Keuangan Negara termasuk Keuangan Pemerintah Daerah.
  3. badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, baik uang pensiun yang dibayarkan kepada pensiunan pegawai atau karyawan maupun kepada ahli warisnya. Dalam pengertian pensiun, termasuk tunjangan-tunjangan baik yang dibayar secara berkala maupun tidak;
  4. perusahaan atau badan-badan, dalam hal terdapat pembayaran kepada tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeri atas jasa yang dilakukan di Indonesia. Dalam pengertian perusahaan, termasuk Perusahaan Jawatan, dan dalam pengertian badan termasuk badan perwakilan negara asing dan badan internasional.

Ayat (2)

Yang dipotong pajak adalah bagian penghasilan setiap bulan yang melebihi seperdua belas dari penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Misalnya seorang karyawan kawin dengan tanggungan 3 (tiga) orang, penghasilan tidak kena pajak adalah sebesar Rp. 2.880.000,- (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) atau setiap bulan Rp. 240.000,- (dua ratus empat puluh ribu rupiah). Apabila penghasilan karyawan itu sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tiap bulan, maka penghasilan yang dipotong pajak adalah sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).

Ayat (3)

Sesuai dengan sifat Pajak Penghasilan sebagai pajak perorangan dan bukan pajak kebendaan, artinya keluarga Wajib Pajak yang menjadi tanggungan penuh turut menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang, maka kebenaran Surat Pernyataan Wajib Pajak mengenai susunan keluarganya mutlak perlu. 

Sebagai alat pembanding dapat juga dipergunakan Kartu Keluarga Wajib Pajak yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Dalam Buku Petunjuk Direktur Jenderal Pajak dimuat tabel yang dapat dipakai pemberi kerja untuk memotong besarnya Pajak Penghasilan yang harus disetorkannya ke Kas Negara.

Ayat (7)

Jika pemberi kerja telah melakukan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan dengan benar, maka pada akhir tahun pajak terhadap karyawan atau orang-orang yang Pajak Penghasilannya telah dipotong tersebut, tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Dengan perkataan lain, Pajak Penghasilan yang telah dipotong dengan benar dinyatakan final berdasarkan ketentuan undang-undang ini.

Ayat (8)

Bagi karyawan yang mempunyai penghasilan lain disamping upah/gajinya, maka mereka diwajibkan mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan juga diberlakukan terhadap mereka yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja.

Ayat (9)

Untuk mempermudah pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak yang membayarkan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Buku Petunjuk Pemotongan Pajak Penghasilan.

Pasal 22

Ayat (1)

Ketentuan ini mengatur wewenang Menteri Keuangan untuk menetapkan badan tertentu, baik swasta maupun pemerintah sebagai pemungut Pajak Penghasilan, yang telah sangat dibatasi untuk mengurangi pungutan-pungutan pendahuluan yang berlebihan. Pajak Penghasilan dipungut atas Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha dengan atau melalui pemungut tersebut.

Undang-undang ini dengan tegas menentukan, bahwa hanya dari kegiatan usaha di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran barang dan jasa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dilakukan dengan atau melalui pemungut-pemungut yang ditunjuk itu saja yang dapat dipungut Pajak Penghasilan.

Dengan pembayaran barang dan jasa dari belanja negara dimaksudkan ialah, pembayaran pembelian barang dan pembayaran penggantian jasa dengan menggunakan Keuangan Negara baik Pusat maupun Daerah.

Ayat (2)

Besarnya Pajak Penghasilan yang dipungut tersebut dengan sendirinya harus ditentukan sedemikian rupa, sehingga mendekati jumlah Pajak Penghasilan yang terhutang atas Wajib Pajak bersangkutan.

Untuk itu Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan dasar dan besarnya pungutan, yang disesuaikan dengan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terhutang untuk seluruh tahun pajak yang dihitung berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 23

Ayat (1)

Pembayaran dividen, bunga, sewa, royalti, imbalan atas jasa teknik dan jasa manajemen yang merupakan penghasilan, harus dilunasi Pajak Penghasilannya selama tahun berjalan melalui pemotongan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri di Indonesia atau badan pemerintah yang melakukan pembayaran itu.

Pembayaran bunga dan imbalan lain sehubungan dengan peminjaman uang dari Bank atau lembaga keuangan lainnya, tidak dipotong Pajak Penghasilan oleh pihak yang membayarkan.

Tarip yang diterapkan di sini adalah tarip terendah, yaitu 15% (lima belas persen), karena Wajib Pajak yang Pajak Penghasilannya dipotong, masih wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk melakukan penghitungan pajak yang terhutang untuk seluruh penghasilannya dalam satu tahun pajak.

Ayat (2)

Disamping badan, baik swasta maupun pemerintah, orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat juga ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong Pajak Penghasilan dari pembayaran-pembayaran tersebut di atas.

Wewenang menunjuk orang pribadi untuk menjadi pemotong pajak atas penghasilan dari modal ini ada pada Direktur Jenderal Pajak. Orang pribadi berkewajiban memotong pajak sejak ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan bunga dan dividen tertentu dalam ayat ini adalah :

  1. bunga yang dibayarkan oleh bank atau Kantor Pos atas tabungan dari penabung kecil;
  2. dividen yang diterima atau diperoleh pemegang sertifikat saham PT Danareksa, yang jumlahnya tidak melebihi suatu jumlah yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan ini dimaksudkan agar terhadap penabung kecil atau pemegang sertifikat saham PT Danareksa yang pada umumnya penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam setahun tidak melampaui jumlah penghasilan tidak kena pajak.

Apabila terhadap penabung kecil atau pemegang sertifikat saham tersebut dilakukan pemotongan pajak, maka hal tersebut menjadikan beban bagi mereka untuk mengurus pengembaliannya.

Pembebasan pemotongan pajak atas bunga dan dividen tersebut tidak berarti bahwa bunga dan dividen itu dikecualikan sebagai Obyek Pajak, tetapi dikenakan pajak apabila bunga atau dividen jumlahnya melampaui penghasilan tidak kena pajak.

Pasal 24

Ayat (1)

Pajak Penghasilan luar negeri adalah pajak yang dipungut di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di sana, yang merupakan bagian dari seluruh penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia.

Pajak Penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan luar negeri dari Wajib Pajak dalam negeri.

Dengan demikian, maka Pajak Penghasilan luar negeri yang dikenakan atas badan luar negeri yang membayarkan dividen tidak dapat dikreditkan ada pajak dari Wajib Pajak Indonesia yang menerima dividen itu. Dengan perkataan lain Pajak Penghasilan yang dikreditkan dari pajak yang terhutang di Indonesia hanya Pajak Penghasilan yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bersangkutan.

Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas semua penghasilan dari manapun diperoleh, termasuk penghasilan yang diperoleh dari sumber penghasilan di luar negeri.

Atas penghasilan yang diperoleh dari luar negeri tersebut, dengan sendirinya telah dikenakan pajak oleh negara asal penghasilan tersebut. Pajak Penghasilan yang telah dibayar di negara asing tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang, sepanjang mengenai tahun pajak yang sama.

Dengan perkataan lain, Pajak Penghasilan yang dibayar di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di sana dapat dikurangkan dari Pajak Penghasilan yang terhutang, untuk tahun pajak yang sama.

Contoh :

  1. Seorang konsultan Indonesia A bekerja selama setahun di Philipina dan memperoleh imbalan (fee) dari jasa yang dilakukan di sana sebesar x. Pajak yang dikenakan di Philipina atas fee tersebut misalnya 50% x X. Maka jumlah sebesar 50% x X tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang atas A.
  2. Seorang pribadi B mendepositokan uangnya di salah satu bank di Inggris.
    Bunga deposito yang diterima sebesar Y.
    Tarip pajak atas bunga deposito di sana, misalnya sebesar 30%.
    Maka jumlah sebesar 30% x Y tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang atas B. 
  3. PT AB di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z, Incorporated di Amerika.
    Misalnya Z, Incorporated memperoleh keuntungan sebesar ...  US$ 100.000
    Pajak Penghasilan atas Z,  
    Incorporated (Corporate income tax) : 48%  (US$. 48.000,-)
     
      US$. 52.000,-
    Pajak atas dividen misalnya 38%  (US$. 19.760,-)
     
    Dividen yang dikirimkan ke Indonesia US$. 32.240,-

    Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang atas PT AB adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$. 19.760,-

    Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z, Incorporated sebesar US$.48.000,- tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang atas PT AB, karena pajak sebesar US$. 48.000,- tersebut tidak dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT. AB dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z, Incorporated di Amerika.

Ayat (2)

Pajak Penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang adalah sebesar Pajak Penghasilan yang sebenarnya terhutang (untuk Wajib Pajak yang memakai Stelsel Akrual) dan telah dibayar (untuk Wajib Pajak yang memakai Stelsel Kas) di luar negeri, akan tetapi paling banyak sebesar hasil penerapan tarip pajak Indonesia, terhadap penghasilan luar negeri tersebut yang dihitung menurut undang-undang ini.

Ayat (3)

Ini merupakan penegasan bahwa penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, berasal dari sumber penghasilan di Indonesia (ketentuan tentang sumber penghasilan) ini berlaku juga bagi beberapa jenis penghasilan lainnya yang ada kaitannya dengan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, ketentuan tentang sumber penghasilan misalnya dalam hal penghasilan yang berkenaan dengan harta (berupa sewa), menurut ketentuan tentang sumber yang dianut oleh Pasal 26, penghasilan diperoleh di negara tempat harta itu dipergunakan.

Jenis penghasilan lainnya berkenaan dengan harta tersebut misalnya dalam hal harta tersebut dijual, keuntungan dari penjualan harta tersebut merupakan penghasilan yang diperoleh di negara tempat harta itu berada atau dipergunakan, sebab di negara tersebut sewa itu dikenakan Pajak Penghasilan, jadi sumbernya berada di negara tempat menghasilkan sewa yang bersangkutan.

Ayat (4)

Misalnya apabila ternyata dalam tahun 1985 terdapat pengurangan atau pengembalian Pajak Penghasilan luar negeri mengenai Pajak Penghasilan luar negeri tahun 1984 sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), maka pengurangan atau pengembalian pajak sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terhutang tahun pajak 1985.

Pasal 25

Ketentuan dalam pasal ini mengatur tentang pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan, yang mengandung pengertian-pengertian :

  1. berapa besarnya angsuran;
  2. dasar penghitungan besarnya angsuran.

Ayat (1)

Untuk mempermudah pengertian, diberikan contoh penghitungan angsuran pembayaran pajak untuk tahun 1985 sebagai berikut :

  Pajak Penghasilan yang terhutang tahun pajak 1984  Rp.10.000.000,-
  Dikurangi :
  a. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja Rp.3.000.000,-  
  b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain dari kegiatan usaha Rp.2.000.000,-
  c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain atas penghasilan dari modal (sewa,bunga dsb). Rp. 500.000,-
  d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri Rp.1.500.000,-
        Rp. 7.000.000,-
    Selisih Rp. 3.000.000,-
        ============

Selisih sebesar Rp. 3.000.000,- ini dibagi dengan banyaknya masa pajak dalam tahun 1985. Apabila masa pajak yang dipakai untuk melunasi pajak dalam tahun berjalan adalah satu bulan, maka dalam satu tahun pajak ada dua belas masa pajak, maka jumlah angsuran setiap masa pajak

  Rp.3.000.000,-
---------------------
12

= Rp.250.000,-

 

Ayat (2)

Dengan dilakukannya pembaharuan undang-undang perpajakan ini, maka apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak telah diisi sebagaimana mestinya, dan penghitungan pajak yang terhutang telah dilakukan dengan benar serta jumlah pajak yang terhutang itu telah dibayar lunas, maka tidak akan ada lagi ketetapan pajak yang akan dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Apabila ada ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak, maka itu berarti, bahwa pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan dan yang telah dibayar atau dilunasi oleh Wajib Pajak, ternyata kurang daripada yang seharusnya menurut undang-undang.

Oleh karena itu, apabila ada ketetapan pajak, maka pengertian Pajak Penghasilan yang terhutang pada dasarnya adalah berdasarkan ketetapan pajak itu. Kecuali apabila dalam tahun berikutnya penghasilan Wajib Pajak bertambah besar dan penghitungan pajak dilakukan dengan benar, maka Pajak Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan tahun yang berikutnya akan lebih besar.

Jumlah angsuran pajak dalam tahun berjalan sesudah itu yang dilunasi oleh Wajib Pajak sendiri adalah pajak menurut Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya itu dibagi dua belas. Pada prinsipnya, dengan demikian, Pajak Penghasilan yang terhutang adalah jumlah Pajak Penghasilan yang diketahui dari tahun pajak yang terakhir.

Jika Pajak Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan lebih kecil daripada pajak yang telah disetor selama tahun pajak yang bersangkutan dan oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk memperhitungkan dengan hutang pajak lain, sebelum diputus oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai pengembalian atau perhitungan kelebihan tersebut, besarnya angsuran bulanan sama besar dengan bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan itu disampaikan. Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak, maka angsuran dari bulan yang berikutnya, setelah tanggal keputusan itu, didasarkan atas jumlah pajak yang terhubung menurut keputusan tersebut. Apabila pajak yang terhutang menurut ketetapan atau Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir mengandung kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya, maka pajak yang menjadi dasar untuk menentukan besarnya angsuran dalam tahun berjalan, dihitung kembali berdasarkan pajak yang terhutang sebelum dilakukan kompensasi kerugian. Dalam hal ketetapan atau Surat Pemberitahuan Tahunan tidak ada, maka pengaturan tentang besarnya angsuran sebagai perkiraan jumlah pajak yang akan terhutang, diatur dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal 27.

Ayat (3)

Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak untuk setiap masa pajak sedapat mungkin diusahakan sesuai dengan besarnya pajak yang terhutang untuk masa pajak yang bersangkutan. Untuk Wajib Pajak lembaga keuangan misalnya, besarnya angsuran ini adalah lebih sesuai jika didasarkan pada Laporan Keuangan terakhir, sedang Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha milik Daerah didasarkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja perusahaan tahun pajak yang bersangkutan.

Jenis usaha apa saja yang dapat menghitung besarnya angsuran pajak untuk setiap masa pajak dengan menggunakan dasar lain daripada Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Ketetapan pajak terakhir akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

Pasal ini mengatur tentang pemotongan pajak bagi Wajib Pajak luar negeri, yang memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. dasar pemotongan pajak, adalah jumlah bruto dari pembayaran-pembayaran tersebut kepada Wajib Pajak luar negeri;
  2. tarip pajak, adalah 20% (dua puluh persen);
  3. sifat pemotongan, yaitu bahwa Pajak Penghasilan yang dipotong tersebut bersifat final.

Yang diwajibkan oleh undang-undang ini untuk memotong pajak adalah juga Wajib Pajak orang pribadi yang membayar atau terhutang bunga, dividen, dan sebagainya. Final berarti Wajib Pajak tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan hal mana berbeda dengan istilah rampung dalam sistem baru, yang berarti bahwa Wajib Pajak masih wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Pasal 27

Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut pemenuhan kewajiban pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25, termasuk penerapan tarip rata-rata atas penghasilan berupa uang pesangon dan uang tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus.

Pasal 28

Pajak Penghasilan yang telah dilunaskan dalam tahun berjalan baik yang dibayar oleh Wajib Pajak sendiri maupun yang dipungut atau dipotong oleh pihak lain, jumlah keseluruhannya dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang.

Contoh :

  Pajak Penghasilan yang terhutang..........................  Rp.10.000.000,-
  Kredit-kredit pajak :
  - Pemotongan pajak dari pekerjaan berdasarkan Pasal 21 Rp.1.000.000,-  
  - Pungutan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari usaha berdasarkan Pasal 22 Rp.2.000.000,-
  - Pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari modal berdasarkan pasal 23 Rp. 1.000.000
  - Kredit pajak penghasilan luar negeri berdasarkan Pasal 24 Rp.3.000.000,-
  - Pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan berdasarkan Pasal 25 Rp.2.000.000,-
    Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan   Rp. 9.000.000,-
    Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar   Rp. 1.000.000,-
        ============

 

Pasal 29

Dalam contoh seperti dikemukakan pada penjelasan Pasal 28, maka kekurangan Pajak Penghasilan yang terhutang sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) harus dilunasi terlebih dahulu sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan Tahunan, yaitu selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak yang bersangkutan berakhir.

Pasal 30

Ayat (1)

Setiap Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran atau penerimaan bruto Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) atau lebih, harus dilampiri dengan Laporan Keuangan.

Ayat (2)

Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, merupakan kewajiban untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan tentang materi pengenaan pajak menjadi pembayaran uang pajak ke Kas Negara. Oleh sebab itu undang-undang ini menetapkan bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan harus memuat data-data yang dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang, serta kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak.

Ayat (3)

Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. Kewajiban ini tidak berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi :

  1. yang tidak mempunyai penghasilan lain dari pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, kecuali Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja.
  2. yang menerima atau memperoleh penghasilan netto yang tidak melebihi jumlah penghasilan tidak kena pajak, misalnya :
    seorang Wajib Pajak kawin dengan tanggungan keluarga 3 orang sedang isterinya tidak memperoleh penghasilan dari pekerjaan atau dari usaha, maka penghasilan tidak kena pajak adalah sebesar Rp. 2.880.000,- (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah).
  3. Apabila penghasilan netto sebesar Rp. 2.880.000,- (dua juta delapan ratus delapan puluh delapan ribu rupiah) atau kurang, maka ia tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Ayat (4)

Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terhutang secara benar berdasarkan ketentuan undang-undang ini, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, kepadanya tidak perlu lagi diberikan Surat Ketetapan Pajak ataupun surat keputusan dari administrasi perpajakan.

Ayat (5)

Apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan yang diperoleh lain daripada pemeriksaan, bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terhutang sebagaimana mestinya menurut Undang-undang.

Pasal 31

Ayat (1)

Kelebihan pembayaran pajak dapat dikembalikan atau diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya;

Contoh :

  Pajak Penghasilan yang terhutang Rp.10.000.000,-
  Kredit-kredit pajak :
  - Pemotongan pajak dari pekerjaan berdasarkan Pasal 21 Rp.1.000.000,-  
  - Pemungutan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari usaha berdasarkan Pasal 22 Rp.4.000.000,-
  - Pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari modal berdasarkan Pasal 23 Rp.1.000.000,-
  - Pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan berdasarkan Pasal 25 Rp.6.000.000,-
    Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan   Rp.12.000.000,-
    Kelebihan pembayaran pajak   Rp. 2.000.000,-
        ============

 

Kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp. 2.000.000,- ini dapat dikembalikan atau diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya.

Ayat (2)

Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan dan sebagainya dari Wajib Pajak, sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.

Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah :

  1. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang;
  2. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Oleh karena itu, untuk kepentingan penelitian dan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan, buku-buku dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang kebenaran jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan. Maksud pemeriksaan ini adalah untuk memastikan, bahwa uang yang akan dibayarkan kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak.

Yang dimaksud dengan pemeriksaan lain-lain termasuk pemeriksaan setempat, melakukan pencocokan terhadap pihak lain yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak, dan sebagainya.

Pasal 32

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian Umum dari penjelasan ini, ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan tata cara pengenaan pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang cara pemungutan, sanksi-sanksi berkenaan dengan kesalahan, ketidakpatuhan, pelanggaran, dan kejahatan, kecuali apabila tata cara pengenaan pajak ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Pasal 33

Ayat (1)

Bagi Wajib Pajak yang tahun pajaknya merupakan tahun buku, maka ada kemungkinan bahwa sebagian dari tahun pajak itu termasuk di dalam tahun takwim 1984. Menurut ketentuan ayat ini, maka apabila 6 (enam) bulan dari tahun pajak itu termasuk dalam tahun takwim 1984 Wajib Pajak diperkenankan untuk memilih apakah mau mempergunakan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 atau Ordonansi Pajak Perseroan 1925, ataupun memilih penerapan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam undang-undang ini. Kesempatan memilih semacam itu berlaku pula bagi Wajib Pajak yang lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun pajaknya termasuk di dalam tahun takwim 1984.

Ayat (2)

Huruf a

Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya terbatas misalnya fasilitas perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang sudah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember 1983 masih tetap dapat dinikmati sampai dengan habisnya fasilitas perpajakan tersebut.

Huruf b

Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya tidak ditentukan, tidak dapat dinikmati lagi terhitung mulai tanggal berlakunya undang-undang ini, misalnya

  • fasilitas perpajakan yang diberikan kepada PT Danareksa, berupa pembebasan Pajak Perseroan atas laba usaha dan pembebasan Bea Meterai Modal atas penempatan dan penyetoran modal saham, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. KEP-1680/MK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976;
  • fasilitas perpajakan yang diberikan kepada perusahaan Perseroan Terbatas yang menjual saham-sahamnya melalui Pasar Modal, berupa keringanan tarip Pajak Perseroan, berdasarkan Keputusan Menteri keuangan No. 112/KMK.04/1979 tanggal 27 Maret 1979.

Ayat (3)

Ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi dan dalam bidang penambangan lainnya yang dilakukan dalam rangka perjanjian Kontrak Karya dan kontrak Bagi Hasil, sepanjang perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini.

Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi yang dilakukan dalam bentuk perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut dibuat setelah berlakunya undang-undang ini.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini. Peraturan Pemerintah dimaksud antara lain mengenai :

  1. Penerapan faktor penyesuaian untuk menghitung penghasilan yang berasal dari keuntungan karena penjualan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan penerapan tarip efektip rata-rata atas keuntungan tersebut ;
  2. Pedoman penyusutan dan amortisasi;
  3. Semua peraturan yang diperlukan, agar Undang-undang ini dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.

Pasal 36

Ayat (1)

Ayat ini menegaskan bahwa Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.

Bagi Wajib Pajak yang tahun pajaknya sama dengan tahun takwim, maka Undang-undang ini berlaku bagi mereka itu sejak tahun pajak 1984. Untuk Wajib Pajak yang mempergunakan tahun buku yang berlainan dengan tahun takwim, maka Undang-undang ini akan berlaku untuk tahun buku yang dimulai sesudah 1 Januari 1984.

Ayat (2)

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3263