Undang-Undang Nomor : 16 TAHUN 2000

Kategori : KUP

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2000

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994;

 

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
  2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);



Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

 

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.



Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) diubah sebagai berikut :

  1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 1

Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :

    1. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

    2. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

    3. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

    4. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak

    5. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

    6. Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.

    7. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.

    8. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.

    9. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    10. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    11. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.

    12. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

    13. Surat Setoran Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

    14. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.

    15. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.

    16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

    17. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.

    18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

    19. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.

    20. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

    21. Kredit pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

    22. Kredit pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

    23. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

    24. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    25. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    26. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir.

    27. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.

    28. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

    29. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.

    30. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

    31. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

    32. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu."
  1. Judul BAB II diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :

"BAB II 
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, 
SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA 
PEMBAYARAN PAJAK"

 

  1. Ketentuan Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 2

(1)

Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

(2)

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

(3)

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan :

  1. tempat pendaftaran dan atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan dalam ayat (1) dan ayat (2);
  2. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, di samping tempat mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
(4)

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan, apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan atau ayat (2).

(5)

Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."

  1. Ketentuan Pasal 3 diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta di antara ayat (5) dan ayat (6) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (5a), sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 3

(1)

Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan.

(1a)

Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(2)

Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (1a) harus mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(3)

Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :

  1. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
  2. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(4)

Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b untuk paling lama 6 (enam) bulan.

(5)

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.

(5a)

Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat Teguran.

(6)

Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus dilampirkan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(7)

Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).

(8)

Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Wajib Pajak Penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."

  1. Ketentuan Pasal 4 ayat (4) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (5), sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 4

(1)

Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

(2)

Dalam hal Wajib Pajak adalah badan, Surat Pemberitahuan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.

(3)

Dalam hal Surat Pemberitahuan diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan Wajib Pajak, harus dilampiri surat kuasa khusus.

(4)

Pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

(5)

Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

  1. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 6

(1)

Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu, sedangkan untuk Surat Pemberitahuan Tahunan harus diberikan juga bukti penerimaan.

(2)

Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui Kantor Pos secara tercatat atau dengan cara lain yang diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

(3)

Tanda bukti dan tanggal pengiriman untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan."

  1. Ketentuan Pasal 7 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (2), sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 7

(1)

Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa dan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan.

(2)

Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."

  1. Ketentuan Pasal 8 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat yaitu ayat (6), sehingga keseluruhan Pasal 8 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 8

(1)

Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

(2)

Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu.

(3)

Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar.

(4)

Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang mengakibatkan :

  1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau
  2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau
  3. jumlah harta menjadi lebih besar; atau
  4. jumlah modal menjadi lebih besar.
(5)

Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.

(6)

Sekalipun jangka waktu pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan, Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding mengenai surat ketetapan pajak tahun pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari ketetapan pajak yang diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan banding, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding tersebut."

  1. Ketentuan Pasal 9 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 9

(1)

Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.

(2)

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan.

(2a)

Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(3)

Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

(4)

Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."

  1. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 10

(1)

Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang di kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(2)

Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

  1. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 11

(1)

Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, atau Pasal 17C dikembalikan, namun apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.

(2)

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C.

(3)

Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak, dihitung dari saat berlakunya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat dilakukan pembayaran kelebihan.

(4)

Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

  1. Ketentuan Pasal 12 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 12

(1)

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak

(2)

Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(3)

Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya."

  1. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 14

(1)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :

  1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
  2. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
  3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
  4. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  5. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak;
  6. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.

(2)

Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.

(3)

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.

(4)

Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak."

  1. Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 15

(1)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.

(2)

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

(3)

Kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

(4)

Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut di pidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."

  1. Ketentuan Pasal 16 diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3) sehingga keseluruhan Pasal 16 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 16

(1)

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2)

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan.

(3)

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap diterima."

  1. Ketentuan Pasal 17B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17B berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 17B

(1)

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima, kecuali untuk kegiatan tertentu ditetapkan lain dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

(2)

Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.

(3)

Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar."

  1. Di antara Pasal 17B dan Pasal 18 di sisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 17C, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 17C

(1)

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Penghasilan dan paling lambat 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima untuk Pajak Pertambahan Nilai.

(2)

Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(3)

Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

(4)

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

(5)

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

  1. Ayat (2) Pasal 18 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 18

(1)

Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.

(2)

dihapus."

  1. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 19

(1)

Apabila atas pajak yang terutang menurut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(2)

Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(3)

Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan."

  1. Ketentuan Pasal 20 diubah dan dijadikan ayat (2), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (1) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 20 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 20

(1)

Jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ditagih dengan Surat Paksa.

(2)

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan dalam hal :

  1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
  2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
  3. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
  4. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
  5. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

(3)

Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

  1. Ketentuan Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 21

(1)

Negara mempunyai hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.

(2)

Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.

(3)

Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap :

  1. biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
  2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
  3. biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

(4)

Hak mendahulu itu hilang setelah lampau waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, kecuali apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut, Surat Paksa untuk membayar itu diberitahukan secara resmi, atau diberikan penundaan pembayaran.

(5)

Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi, jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa, atau dalam hal diberikan penundaan pembayaran jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut ditambah dengan jangka waktu penundaan pembayaran."

  1. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 22

(1)

Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.

(2)

Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tertangguh apabila :

  1. diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;
  2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
  3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4)."

  1. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) diubah, dan ayat (1) dan ayat (3) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 23

(1)

dihapus.

(2)

Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap :

  1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
  2. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
  3. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak;
  4. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak; hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak

(3)

dihapus."

  1. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 24 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 24

Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

  1. Ketentuan Pasal 25 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 25

(1)

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :

  1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
  4. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
  5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2)

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

(3)

Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

(4)

Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.

(5)

Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.

(6)

Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak.

(7)

Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak."

  1. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) diubah, dan ayat (4) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 27 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 27

(1)

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(2)

Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.

(3)

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

(4)

dihapus.

(5)

Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

(6)

Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang."

  1. Ketentuan Pasal 27A diubah dan dijadikan ayat (1), dan ditambah 2 (dua) ayat yaitu ayat (2) dan ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 27A berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 27A

(1)

Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.

(2)

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

(3)

Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan bayar dan pemberian imbalan bunga diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

  1. Ketentuan Pasal 28 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 28 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 28

(1)

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.

(2)

Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

(3)

Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

(4)

Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

(5)

Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.

(6)

Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak

(7)

Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

(8)

Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.

(9)

Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

(10)

Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

(11)

Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak badan.

(12)

Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."

  1. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 29 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 29

(1)

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2)

Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.

(3)

Wajib Pajak yang diperiksa wajib :

  1. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
  2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
  3. memberikan keterangan yang diperlukan.

(4)

Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)."

  1. Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 31

Tata cara pemeriksaan diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

  1. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan ayat (4) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 32 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 32

(1)

Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili, dalam hal :

  1. badan oleh pengurus;
  2. badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang di bebani untuk melakukan pemberesan;
  3. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
  4. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunnya.

(2)

Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk di bebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.

(3)

Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(3a)

Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(4)

Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan."

  1. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 33 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 33

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar."

  1. Ketentuan Pasal 34 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) di sisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), sehingga keseluruhan Pasal 34 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 34

(1)

Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2a)

Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah :

  1. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
  2. Pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pihak lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(3)

Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.

(4)

Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.

(5)

Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut."

  1. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 36 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 36

(1)

Direktur Jenderal Pajak dapat :

 

  1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  2. mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.

(2)

Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan utang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan."

  1. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 di sisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 36A, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 36A

Apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka petugas pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

  1. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 37

Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah."

  1. Ketentuan Pasal 38 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 38

Setiap orang yang karena kealpaannya :

    1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
    2. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar."
  1. Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 39 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 39

(1)

Setiap orang yang dengan sengaja :

  1. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
  2. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
  3. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
  4. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau
  5. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
  6. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau
  7. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau di pungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, di pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2)

Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lipatkan 2 (dua) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

(3)

Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang di mohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak."

  1. Ketentuan Pasal 41 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 41

(1)

Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

(2)

Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, di pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(3)

Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar."

  1. Ketentuan Pasal 41A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41A berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 41A

Setiap orang yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar, di pidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."

  1. Ketentuan Pasal 41B diubah, sehingga keseluruhan Pasal 41B berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 41B

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, di pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda , paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."

  1. Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 44 berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 44

(1)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

(2)

Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

 

  1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
  2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  4. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
  6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
  7. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
  8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  10. menghentikan penyidikan;
  11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang bertanggungjawab.

(3)

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku."

  1. Di antara Pasal 47 dan BAB XI di sisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 47A, yang berbunyi sebagai berikut :

"Pasal 47A

Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994."



Pasal II

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan".



Pasal III

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.





  Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ABDURRAHMAN WAHID


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DJOHAN EFFENDI



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 126






PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2000

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

 

I. UMUM

  1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
    Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya berlaku bagi undang-undang pajak materiil, kecuali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya.

  2. Dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994, disadari masih terdapat hal-hal yang belum tertampung sehingga menuntut perlunya penyempurnaan sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebijaksanaan Pemerintah. Selain itu harapan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih, tetap diperhatikan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam Undang-undang ini.

  3. Falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar Undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia karena kedudukan Undang-undang ini yang akan menjadi ketentuan umum bagi perundang-undangan perpajakan yang lain.
    Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :

    1. bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
    2. tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
    3. anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak

     

    Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pula pelaksanaan administrasi yang terlalu membebani Wajib Pajak dan birokratis akan dapat dihindari. Sejalan dengan harapan dalam upaya peningkatan pelayanan masyarakat tersebut wewenang Direktur Jenderal Pajak yang bersifat teknis administratif dapat dilimpahkan kepada aparat bawahannya.
    Dalam Undang-undang ini digariskan bahwa administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat.

  4. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan pokok sebagai berikut :

    1. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
    2. menunjang usaha pembangunan secara merata, mendorong investasi secara merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, terutama untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil yang selama ini dirasakan terbelakang atau terlambat perkembangannya, baik dalam rangka pemerataan pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam maupun dalam rangka peningkatan penerimaan pajak dalam jangka panjang;
    3. menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil olahan, dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa;
    4. menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan dalam rangka pengentasan sebagian masyarakat dari kemiskinan;
    5. menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi;
    6. menunjang usaha pelestarian ekosistem, sumber daya alam, dan lingkungan hidup;
    7. menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya; dan
    8. menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, serta peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.

 

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I

Angka 1

Pasal 1

Cukup jelas

Angka 2

Cukup jelas

Angka 3

Pasal 2

Ayat (1)

Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem "self assessment" wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (2)

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Sedangkan bagi Pengusaha badan, kewajiban melaporkan usahanya tersebut adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.

Dengan demikian Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.

Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (3)

Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan dalam ayat (1) dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Selain itu bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.

Ayat (4)

Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. 

Ayat (5)

Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.

Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan pencabutan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

 

Angka 4

Pasal 3

Ayat (1)

Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

 

  1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
  2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  4. memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
  6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
  7. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
  8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
  9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  10. menghentikan penyidikan;
  11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut hukum yang bertanggungjawab.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku."

 

Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Pengisian Surat Pemberitahuan yang tidak benar yang mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan Perpajakan.

Ayat (1a)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.

Ayat (3)

Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak maupun penyelesaian pembukuannya.
Bagi Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, diperkenankan untuk melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa.

Ayat (4)

Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi atau badan ternyata tidak dapat menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca perusahaan beserta laporan laba rugi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam ayat (3) huruf b karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan hanya dapat diberikan paling lama 6 (enam) bulan.

Ayat (5)

Untuk mencegah usaha penghindaran diri dan atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terutang dalam satu Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu pemasukan Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Persyaratan tersebut berupa keharusan memberikan pernyataan tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara dalam satu Tahun Pajak, sebagai lampiran surat permohonan penundaan kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Ayat (5a)

Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, maka terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan Surat Teguran.

Ayat (6)

Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak antara lain untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, maka dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi.

Untuk Wajib Pajak yang wajib melakukan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.

Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan keterangan dan dokumen yang dapat berupa antara lain surat kuasa, surat keterangan tentang perkawinan dengan pisah harta dan penghasilan, dokumen yang berkenaan dengan impor atau ekspor dan Surat Setoran Pajak.

Ayat (7)

Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Dengan demikian apabila Surat Pemberitahuan disampaikan tetapi tidak atau tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan yang diharuskan, maka Surat Pemberitahuan tersebut dianggap tidak disampaikan.

Ayat (8)

Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak namun karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Angka 5

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai antara lain penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Angka 6

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, maka perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya selain melalui Kantor Pos secara tercatat. Oleh karena itu, cara lain perlu diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (3)

Tanda bukti dan tanggal pengiriman penyampaian Surat Pemberitahuan melalui Kantor Pos merupakan bukti penerimaan, sepanjang Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).

Angka 7

Pasal 7

Ayat (1)

Untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan untuk menjaga disiplin Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak yang dalam batas waktu yang ditentukan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, maka dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa dan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan.

Ayat (2)

Menteri Keuangan berwenang menetapkan Wajib Pajak tertentu untuk tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), misalnya Wajib Pajak Non Efektif dan Wajib Pajak orang pribadi yang penghasilan netonya di bawah jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Angka 8

Pasal 8

Ayat (1)

Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan mulai melakukan tindakan pemeriksaan adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, atau wakil, atau kuasa, atau pegawai, atau diterima oleh anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Penetapan batas waktu pembetulan tersebut, di satu pihak dipandang cukup waktu bagi Wajib Pajak untuk meneliti dan membetulkan Surat Pemberitahuannya apabila terdapat kesalahan, di lain pihak masih tersedia cukup waktu bagi Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan terhadap pembetulan yang dilakukan Wajib Pajak sebelum batas waktu daluwarsa terlampaui.

Ayat (2)

Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan atas kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula.
Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.

Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sampai dengan tanggal pembayaran karena adanya pembetulan Surat Pemberitahuan tersebut.

Ayat (3)

Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali dari jumlah pajak yang kurang dibayar, maka terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.

Namun bilamana telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, maka kesempatan untuk membetulkan sendiri sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

Ayat (4)

Walaupun jangka waktu dua tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun-tahun atau masa-masa sebelumnya. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut terbatas pada hal-hal sebagai berikut :

a.

pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau

b.

rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau

c.

jumlah harta menjadi lebih besar; atau

a.

jumlah modal menjadi lebih besar.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Terhadap Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang mengakibatkan rugi fiskal berbeda dengan ketetapan pajak yang diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan banding, masih terbuka kesempatan bagi Wajib Pajak untuk melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun berikutnya walaupun telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan Surat Pemberitahuan tersebut.

Untuk jelasnya diberikan contoh sebagai berikut :

a. PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar Rp100.000.000,00.

Terhadap Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp50.000.000,00.
Atas surat ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak mengajukan keberatan pada tanggal 16 Maret 2006. Pada tanggal 10 November 2006 diterbitkan Keputusan Keberatan yang menetapkan rugi fiskal PT A tahun 2002 menjadi Rp110.000.000,00.
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2003 pada tanggal 26 Maret 2004 yang menyatakan :

Penghasilan Neto sebesar

Rp 200.000.000,00

Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002

Rp 100.000.000,00
------------------------

Penghasilan Kena Pajak

Rp 100.000.000,00
==============


Tanggal 21 November 2006 Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2003 tersebut dilakukan pembetulan menurut Pasal 8 ayat (6), sehingga menjadi :

Penghasilan Neto sebesar

Rp 200.000.000,00

Rugi menurut Keputusan Keberatan

Rp 110.000.000,00
------------------------

Penghasilan Kena Pajak

 Rp 90.000.000,00
=============

(2) PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar Rp150.000.000,00.

Atas Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp100.000.000,00.
Atas surat ketetapan pajak tersebut Wajib Pajak mengajukan keberatan pada tanggal 16 Maret 2006.
Pada tanggal 10 November 2006 diterbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menolak keberatan Wajib Pajak.
Terhadap Keputusan Keberatan tersebut Wajib Pajak mengajukan banding pada tanggal 22 Desember 2006. Pada tanggal 18 Mei 2007 diterbitkan Putusan Banding yang menambah rugi Wajib Pajak menjadi Rp160.000.000,00.

PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2003 pada tanggal 26 Maret 2004 yang menyatakan :

Penghasilan Neto sebesar

Rp250.000.000,00

Kompensasi kerugian menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002

Rp150.000.000,00 (-)
------------------------

Penghasilan Kena Pajak

Rp100.000.000,00
==============


Tanggal 21 Juli 2007 Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2003 tersebut dilakukan pembetulan menurut Pasal 8 ayat (6), sehingga menjadi :

Penghasilan Neto sebesar

Rp250.000.000,00

Rugi menurut Putusan Banding

Rp160.000.000,00 (-)
-----------------------

Penghasilan Kena Pajak

Rp 90.000.000,00
=============

Angka 9

Pasal 9

Ayat (1)

Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi sesuai ketentuan yang berlaku.

Ayat (2)

Apabila pada waktu pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran pajak yang terutang, maka kekurangan pembayaran pajak tersebut harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan itu disampaikan.

Misalnya Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus disampaikan pada tanggal 31 Maret, kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau setoran akhir harus sudah dilunasi paling lambat tanggal 25 Maret, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

Ayat (2a)

Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut :

- Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun 2002 sejumlah Rp10.000.000,00 sebulan
- Angsuran Masa Pajak Mei Tahun 2002 dibayar tanggal 18 Juni 2002 dan dilaporkan tanggal 19 Juni 2002
- Tanggal 15 Juli 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak
- Sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan = 1 x 2% x Rp10.000.000,00 = Rp200.000,00

 

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

Angka 10

Pasal 10

Ayat (1)

Direktorat Jenderal Pajak tidak diperbolehkan menerima setoran pajak dari Wajib Pajak. Semua penyetoran pajak-pajak negara, harus disetorkan ke kas negara melalui tempat-tempat pembayaran yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, seperti Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Dengan usaha memperluas tempat pembayaran pajak yang mudah dijangkau oleh Wajib Pajak, dimaksudkan untuk mempermudah Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya sekaligus menghindarkan adanya rasa keengganan dalam melaksanakan pembayaran pajak.

Ayat (2)

Dengan adanya penentuan tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan demikian juga mengenai tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak, diharapkan akan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.

Angka 11

Pasal 11

Ayat (1)

Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak. Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan bilamana masih terdapat sisa lebih, baru dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak.

Ayat (2)

Untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan menjamin ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian oleh Direktur Jenderal Pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan :

a. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
c. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C, dihitung sejak tanggal penerbitan sampai dengan saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak diterbitkan.

Ayat (3)

Untuk terciptanya keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak dengan kecepatan pelayanan oleh Direktorat Jenderal Pajak, ayat ini menentukan bahwa atas setiap kelambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu seperti tersebut dalam ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan oleh Pemerintah berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan saat dilakukan pembayaran, yaitu saat Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak diterbitkan.

Ayat (4)

Cukup jelas

Angka 12

Pasal 12

Ayat (1)

Pada prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenakan pajak, namun untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah :

a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah;
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.

Jumlah pajak terutang yang telah dipotong, dipungut, ataupun yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank badan usaha milik Negara atau bank badan usaha milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Berdasarkan Undang-undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

Ayat (2)

Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, kepadanya tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak ataupun surat keputusan dari administrasi perpajakan.

Ayat (3)

Apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain, bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Angka 13

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.

Ayat (3)

Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena :

- penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan atau salah hitung;
- Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.

Untuk jelasnya cara penghitungannya diberikan contoh sebagai berikut :

1. Hasil penelitian Surat Pemberitahuan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2003 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 13 Juni 2003 dengan penghitungan sebagai berikut :

-

Kekurangan bayar Pajak Penghasilan

Rp     1.000.000,00

-

Bunga = 3 x 2% x Rp1.000.000,00 =

Rp          60.000,00

------------------------(+)

-

Jumlah yang harus dibayar

Rp     1.060.000,00

   
2. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar:
Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2002 setiap bulan sebesar Rp100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Bulan Juni 2002, dibayar tepat waktu sebesar Rp40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2002 dengan penghitungan sebagai berikut :

-

Kekurangan bayar Pajak Penghasilan

Pasal 25 bulan Juni 2002 =

 

Rp 60.000.000,00

-

Bunga = 3 x 2% x Rp60.000.000,00 =

Rp   3.600.000,00 

------------------------(+)

-

Jumlah yang harus dibayar

Rp 63.600.000,00

Ayat (4)

Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka ia telah melanggar kewajibannya dengan itikad tidak baik dan melalaikan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Oleh karena itu selain harus menyetor pajak terutang dengan tidak diperkenankan memperhitungkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak juga dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak yang timbul sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Di samping itu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya, dan oleh karena itu terhadapnya dikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian pula terhadap Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tetapi tidak melaksanakan, tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu, dikenakan sanksi yang sama.

Angka 14

Pasal 15

Ayat (1)

Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila telah pernah diterbitkan ketetapan pajak. Dengan perkataan lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu maka setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan atau data baru yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.

Yang dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.

Sedangkan yang dimaksud dengan data yang semula belum terungkap adalah data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang, yang :

- tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan atau
- pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.

Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkan pada waktu pemeriksaan, akan tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap, misalnya :

1. Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp 10.000.000,00 sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri dari Rp 5.000.000,00 biaya iklan di media masa dan Rp 5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah.

Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, maka data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut adalah tergolong data yang semula belum terungkap.

2. Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut, sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud.

Dalam pengelompokan tersebut sesungguhnya terdapat kesalahan, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3 namun dikelompokkan ke dalam kelompok 2.

Oleh karena pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian yang dimaksud maka tidak dilakukan koreksi atas kesalahan pengelompokan harta tersebut, dan sebagai akibatnya pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila kemudian diketahui adanya kesalahan, maka data pengelompokan harta tersebut adalah data yang semula belum terungkap.

3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan Faktur Pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya dan sebagian yang lain tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh Faktur Pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan perincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut, dan sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, maka apabila kemudian diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.

Ayat (2)

Dalam hal setelah diterbitkan ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru dan atau data yang belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, maka atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Dalam hal Wajib Pajak di pidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, meskipun jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dilampaui.

Angka 15

Pasal 16

Ayat (1)

Pembetulan ketetapan pajak menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik, sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dengan Wajib Pajak.

Apabila kesalahan atau kekeliruan ditemukan baik oleh fiskus atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak maka kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah :

- Surat ketetapan pajak, antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Nihil;
- Surat Tagihan Pajak;
- Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
- Surat Keputusan Keberatan;
- Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi;
- Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar.

Ruang lingkup pembetulan yang diatur dalam ayat ini terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari :

a. Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo.
b. Kesalahan hitung yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan;
c. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase. Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan.

Pengertian membetulkan dalam ayat ini dapat berarti menambah atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.

Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam Surat Keputusan Pembetulan tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.

Ayat (2)

Guna memberikan kepastian hukum, terhadap permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima.

Ayat (3)

Dalam hal batas waktu 12 (dua belas) bulan terlewati dan Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusannya, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan untuk hal-hal yang dimohonkannya.

Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak. Atas hal-hal yang dianggap dikabulkan tidak dapat lagi dimohonkan pembetulan.

Angka 16

Pasal 17B

Ayat (1)

Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C harus diterbitkan surat ketetapan pajak paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Untuk kegiatan tertentu yaitu ekspor dan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jangka waktu tersebut dapat dipersingkat dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri.

Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.

Ayat (2)

Dengan batas waktu tersebut dalam ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak, sehingga bila batas waktu tersebut dilewati dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.

Ayat (3)

Dalam hal Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, maka kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, bagian dari bulan dihitung satu bulan.

Angka 17

Pasal 17C

Ayat (1)

Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat :

a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan;
b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai;

sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kriteria tertentu antara lain :

1. Kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi penyampaian Surat Pemberitahuan, tidak mempunyai tunggakan pajak;
2. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian;
3. Penghitungan jumlah peredaran usaha dan pajaknya mudah diketahui karena berkaitan dengan aturan Pemerintah lainnya, seperti peredaran usaha dan Pajak Pertambahan Nilai atas produsen rokok diketahui dari pelaksanaan cukai.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.

Ayat (5)

Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. 

Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai berikut :

1) Pajak Penghasilan
- Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp80.000.000,00.
- Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut :
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu :
- Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut :
- Pajak Penghasilan yang terutang sebesar  Rp 100.000.000,00
- Kredit Pajak :
- Pajak Penghasilan Pasal 22  Rp20.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp40.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 25

Rp90.000.000,00 (+)

   
    Rp150.000.000,00  
  Jumlah Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak

Rp 80.000.000,00 (-)

 
Jumlah pajak yang dapat dikreditkan  Rp 70.000.000,00
Pajak yang tidak/kurang dibayar  Rp 30.000.000,00
Sanksi administrasi berupa kenaikan 100%

Rp 30.000.000,00 (+)

Jumlah yang masih harus dibayar  Rp 60.000.000,00
2) Pajak Pertambahan Nilai
- Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp 60.000.000,00.
- Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut :
a. Pajak Keluaran Rp 100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu :
- Pajak Masukan Rp 150.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut :
- Pajak Keluaran  Rp 100.000.000,00
- Kredit Pajak :
- Pajak Masukan Rp 150.000.000,00
- Jumlah Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak

Rp   60.000.000,00 (-)

 
Jumlah pajak yang dapat dikreditkan  Rp   90.000.000,00
Pajak yang tidak/kurang dibayar  Rp   10.000.000,00
Sanksi administrasi kenaikan 100%

Rp   10.000.000,00 (+)

Jumlah yang masih harus dibayar  Rp   20.000.000,00

Angka 18

Pasal 18

Ayat (1)

Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak.

Ayat (2)

dihapus.

Angka 19

Pasal 19

Ayat (1)

Ayat ini mengatur pengenaan bunga penagihan atas jumlah yang masih harus dibayar menurut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut :

  1. Atas jumlah pajak yang kurang dibayar.

    Surat Ketetapan Pajak Penghasilan.
    Pajak terutang atau ditagih (dianggap tidak ada jumlah pajak yang dikreditkan) Rp100.000,00. Surat ketetapan pajak diterbitkan tanggal 10 Oktober 2002. Harus dilunasi paling lambat tanggal 9 November 2002, tetapi baru dibayar sejumlah Rp60.000,00 pada tanggal 1 November 2002. Sampai pada tanggal batas waktu pembayaran terakhir (9 November 2002) sisa tagihan tidak dibayar lagi oleh Wajib Pajak.

    Pada tanggal 18 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dengan penghitungan sebagai berikut :

    Pajak terutang

    Rp 100.000,00

    Dibayar pada waktunya

    Rp   60.000,00
    -------------------

    Kurang dibayar

    Rp   40.000,00

    Bunga dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp40.000,00 = Rp  800,00

     

    Bunga tersebut ditagih dengan Surat Tagihan Pajak.

     

     

  2. Atas jumlah pajak yang terlambat dibayar.

    Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
    Dibayar penuh tetapi terlambat, misalnya dibayar tanggal 20 November 2002. Tanggal 25 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak.

     

    Bunga terutang dalam Surat Tagihan Pajak dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp100.000,00 = Rp2.000,00.
     
  3. Atas jumlah pajak yang kurang dan terlambat dibayar.

    Dasarnya sama dengan contoh nomor 1.
    Dibayar sejumlah Rp60.000,00 pada tanggal 20 November 2002.
    Tanggal 25 November 2002 diterbitkan Surat Tagihan Pajak.
    Bunga terutang dihitung satu bulan = 1 x 2% x Rp100.000,00 = Rp2.000,00.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Angka 20

Pasal 20

Ayat (1)

Dalam hal jumlah tagihan pajak tersebut tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran atau tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilakukan dengan Surat Paksa. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.

Ayat (3)

Cukup jelas

Angka 21

Pasal 21

Ayat (1)

Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.Setelah utang pajak dilunasi baru diselesaikan pembayaran kepada kreditur lain. Maksud dari ayat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada Pemerintah untuk mendapatkan bagian lebih dahulu dari kreditur lain atas hasil pelelangan barang-barang milik Penanggung Pajak di muka umum guna menutupi atau melunasi utang pajaknya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Angka 22

Pasal 22

Ayat (1)

Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.

Ayat (2)

Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 10 (sepuluh) tahun apabila :

  1. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Teguran dan menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
  2. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara :

    -

    Wajib Pajak mengajukan permohonan angsuran dan penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran.
    Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

    -

    Wajib Pajak mengajukan permohonan pengajuan keberatan.
    Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan Wajib Pajak diterima Direktur Jenderal Pajak.

    -

    Wajib Pajak melaksanakan pembayaran sebagian utang pajaknya.
    Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian utang pajak tersebut.

  3. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu daluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan pajak tersebut.

Angka 23

Pasal 23

Ayat (1)

dihapus

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

dihapus

Angka 24

Pasal 24

Menteri Keuangan akan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan telah daluwarsa. Melalui cara ini akan dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.

Angka 25

Pasal 25

Ayat (1)

Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak

Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan pajak yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan, jumlah besarnya pajak, pemotongan atau pemungutan pajak

Perkataan "suatu" pada ayat ini dimaksudkan bahwa satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak, misalnya :
Pajak Penghasilan Tahun Pajak 1995 dan Tahun Pajak 1996 keberatannya harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri. Untuk dua tahun pajak tersebut harus diajukan dua buah surat keberatan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan maksud agar supaya Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force mayeur), maka tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak atau oleh Kantor Pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya, maka batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterimanya surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.

Ayat (6)

Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan-alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar-dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan, sebaliknya Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut di atas.

Ayat (7)

Untuk mencegah usaha penghindaran atau penundaan pembayaran pajak melalui pengajuan surat keberatan, maka pengajuan keberatan tidak menghalangi tindakan penagihan sampai dengan pelaksanaan lelang.

Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak dengan dalih mengajukan keberatan, untuk tidak melakukan kewajiban membayar pajak yang telah ditetapkan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan negara.

Angka 26

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

dihapus

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Angka 27

Pasal 27A

Ayat (1)

Imbalan bunga hanya diberikan berkenaan dengan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang menyangkut Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

Ayat (2)

Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga. 

Pengurangan atau penghapusan dimaksud merupakan akibat dari adanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang menerima sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Ayat (3)

Cukup jelas

Angka 28

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya, untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan :

a.

Stelsel pengakuan penghasilan;

b.

Tahun buku;

c.

Metode penilaian persediaan;

d.

Metode penyusutan dan amortisasi

Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar tunai.

Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai di bidang konstruksi dan metode lainnya yang dipakai di bidang usaha tertentu seperti Build Operate and Transfer (BOT), Real Estate, dan lain-lain.

Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai

Menurut stelsel ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode tertentu

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan, dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, jasa, dan biaya operasi lainnya

Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut :

1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).

Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.

Ayat (6)

Pada dasarnya metode-metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, metode penilaian persediaan dan sebagainya. Namun demikian, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan-alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat-akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.

Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri. Misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.

Contoh :

Wajib Pajak dalam tahun 2002 menggunakan metode penyusutan garis lurus atau straight line method. Dalam tahun 2003 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining balance method.

Untuk keperluan tersebut, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2003 dengan menyebutkan alasan-alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.

Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak, oleh karena itu perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.

Tahun Pajak adalah sama dengan tahun takwim (tahun kalender) kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.

Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, maka penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) enam bulan pertama atau lebih.

Contoh :

  1. Pembukuan 1 Juli 2002 sampai dengan 30 Juni 2003, tahun pajaknya adalah tahun 2002.
  2. Pembukuan 1 Oktober 2002 sampai dengan 30 September 2003, tahun pajaknya adalah tahun 2003.

Ayat (7)

Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 26. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. 

Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak-pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar maka pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. 

Dengan demikian pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.

Ayat (8)

Cukup jelas

Ayat (9)

Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan.

Di samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

Ayat (10)

Cukup jelas

Ayat (11)

Buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen termasuk hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penetapan pajak.

Ayat (12)

Cukup jelas

Angka 29

Pasal 29

Ayat (1)

Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk :

  1. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  2. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.

Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang dilakukan dengan :

  1. menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan Pemeriksaan Lengkap;
  2. menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan, yang dinamakan Pemeriksaan Sederhana.

Selain itu, Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan untuk tujuan lain diantaranya :

  • menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penghasilan Pasal 21;
  • mengukuhkan atau mencabut Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  • memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.

Ayat (2)

Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya, oleh karena itu harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.

Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.

Pendapat dan kesimpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (3)

Wajib Pajak yang diperiksa dalam rangka pengujian tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memperlihatkan dan meminjamkan buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan yang berkaitan dengan perolehan penghasilan atau kegiatan usaha.

Bilamana buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak dengan dalih untuk menghindarkan diri, berdasarkan ayat ini petugas pemeriksa diperbolehkan untuk memasuki tempat atau ruangan yang menurut dugaan petugas digunakan sebagai tempat penyimpanan buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen tersebut.

Ayat (4)

Untuk mencegah adanya dalih terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.

Angka 30

Pasal 31

Cukup jelas

Angka 31

Pasal 32

Ayat (1)

Dalam Undang-undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan dalam pembubaran, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya, oleh karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.

Ayat (2)

Ayat ini menegaskan bahwa wakil dari Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-undang ini bertanggungjawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang.

Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan tidak mungkin dimintakan pertanggung jawaban secara pribadi atau secara renteng.

Ayat (3)

Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan materiil serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (3a)

Cukup jelas

Ayat (4)

Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi Komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.

Angka 32

Pasal 33

Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.

Angka 33

Pasal 34

Ayat (1)

Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain :

a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
b. data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
c. dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
d. dokumen dan atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.

 

Ayat (2)

Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan, adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Ayat (2a)

Yang dimaksud dengan pihak lain antara lain lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan di bidang keuangan negara. Dalam pengertian keterangan yang dapat diberitahukan, antara lain identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.

Ayat (3)

Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk dan nama pejabat atau ahli atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.

Ayat (4)

Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), atas permintaan tertulis Hakim ketua sidang.

Ayat (5)

Maksud dari ayat ini adalah merupakan pembatasan dan penegasan, bahwa keterangan perpajakan yang diminta tersebut adalah hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.

Angka 34

Pasal 36

Ayat (1)

Dapat saja terjadi dalam praktek, bahwa sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak, karena ketidaktelitian petugas pajak dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal yang demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Demikian juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan Surat Keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.

Ayat (2)

Cukup jelas

Angka 35

Pasal 36A

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan meningkatkan kemampuan petugas pajak maka terhadap petugas pajak yang menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan yang berlaku sehingga menimbulkan kerugian negara, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Angka 36

Pasal 37

Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena itu undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan.

Angka 37

Pasal 38

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan, dikenakan sanksi pidana. Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana.

Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.Kealpaan yang dimaksud dalam Pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya, sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Angka 38

Pasal 39

Ayat (1)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.

Ayat (2)

Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, maka bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenakan pidana lebih berat, ialah di lipatkan 2 (dua) dari ancaman pidana yang diatur dalam ayat (1).

Ayat (3)

Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan atau kompensasi pajak yang tidak benar, sangat merugikan negara. Oleh karena itu percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.

Angka 39

Pasal 41

Ayat (1)

Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan undang-undang perpajakan, maka perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.

Pengungkapan kerahasiaan menurut ayat ini adalah dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan, sehingga kewajiban untuk merahasiakan, keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh undang-undang perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut dihukum dengan hukuman yang setimpal.

Ayat (2)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenakan sanksi yang lebih berat dibanding dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan, agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.

Ayat (3)

Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.

Angka 40

Pasal 41A

Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini.

Angka 41

Pasal 41B

Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan misalnya menghalangi Penyidik melakukan penggeledahan, menyembunyikan bahan bukti dan sebagainya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, dikenakan sanksi pidana.

Angka 42

Pasal 44

Ayat (1)

Penyidik di bidang perpajakan adalah pejabat pegawai negeri tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Angka 43

Pasal 47A

Dalam rangka memberikan kepastian kepada Wajib Pajak maka mengenai hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan untuk tahun pajak 2000 dan sebelumnya tetap diberlakukan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994.

Pasal II

Cukup jelas

Pasal III

Cukup jelas

 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3984