Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER - 08/PJ/2017

Kategori : PPh

Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 08/PJ/2017

TENTANG

SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI
INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai surat keterangan domisili bagi subjek pajak dalam negeri Indonesia dalam rangka penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda sebelumnya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2010 tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
  2. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak;
  3. bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia untuk memperoleh manfaat persetujuan penghindaran pajak berganda di negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda maka manfaat dari persetujuan dimaksud hanya berlaku bagi orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri Indonesia yang dibuktikan dengan surat keterangan domisili;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SURAT KETERANGAN DOMISILI BAGI SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI INDONESIA DALAM RANGKA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA.


Pasal 1


Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  2. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
  3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
  4. Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia yang selanjutnya disebut SKD SPDN adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak dimaksud adalah subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  5. Kantor Pelayanan Pajak Domisili yang selanjutnya disebut KPP Domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar.
  6. Surat Pemberitahuan Masa yang selanjutnya disebut SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
  7. Surat Pemberitahuan Tahunan yang selanjutnya disebut SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
  8. Formulir Khusus adalah formulir yang diterbitkan oleh otoritas pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang berisi permintaan konfirmasi status subjek pajak dalam negeri Indonesia.


Pasal 2


SKD SPDN digunakan oleh Wajib Pajak untuk memperoleh manfaat P3B antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.


Pasal 3


(1) Wajib Pajak yang dapat memperoleh SKD SPDN yaitu Wajib Pajak yang pada Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan SKD SPDN memenuhi ketentuan:
  1. berstatus subjek pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang PPh; dan
  2. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta pengesahan Formulir Khusus.
(3) SKD SPDN diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengajuan permohonan SKD SPDN.
(4) Pengajuan permohonan SKD SPDN dilakukan untuk:
  1. Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak saat permohonan SKD SPDN diajukan; atau
  2. Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sebelum tahun saat permohonan SKD SPDN diajukan yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan belum melewati daluwarsa penetapan.


Pasal 4


(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan SKD SPDN untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak saat permohonan SKD SPDN diajukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a, Wajib Pajak harus telah menyampaikan SPT Masa:
  1. PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir yang telah jatuh tempo penyampaiannya pada saat pengajuan permohonan SKD SPDN dilakukan, bagi Wajib Pajak yang memiliki kewajiban penyampaian SPT Masa PPh Pasal 25; atau
  2. PPh Pasal 4 ayat (2) untuk Masa Pajak terakhir yang telah jatuh tempo penyampaiannya pada saat pengajuan permohonan SKD SPDN dilakukan, bagi Wajib Pajak yang dikenai pajak penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu pada Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak dimaksud harus melampirkan surat pernyataan penghasilan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan SKD SPDN untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak sebelum tahun saat permohonan SKD SPDN diajukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b, Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan:
  1. telah menyampaikan SPT Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal pengajuan permohonan SKD SPDN dilakukan sebelum batas penyampaian SPT Tahunan;
  2. telah memberitahukan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan dan jangka waktu dimaksud belum terlampaui; atau
  3. telah menyampaikan SPT Tahunan,
untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan dalam permohonan SKD SPDN.


Pasal 5


Dalam hal Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD SPDN merupakan:
  1. Wajib Pajak yang baru terdaftar dan belum memiliki kewajiban penyampaian SPT Masa PPh Pasal 25 yang melewati batas waktu penyampaiannya;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang menurut ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Tahunan; atau
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas yang saat SKD SPDN diajukan belum melewati batas waktu penyampaian SPT Tahunan untuk Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan SKD SPDN,
Wajib Pajak dimaksud harus melampirkan surat pernyataan kedudukan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tecantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal 6


(1) Permohonan SKD SPDN diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Domisili dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Pengajuan permohonan SKD SPDN harus memenuhi ketentuan:
  1. diajukan untuk:
    1. satu Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
    2. satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
  2. diisi dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia;
  3. paling sedikit berisi informasi berupa:
    1. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, nomor telepon, dan alamat surat elektronik (email) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD SPDN;
    2. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, nomor telepon, dan alamat surat elektronik (email) wakil atau kuasa dari Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD SPDN, dalam hal diwakilkan atau dikuasakan;
    3. nama Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra tempat penghasilan bersumber;
    4. Masa Pajak dan Tahun Pajak yang diajukan SKD SPDN;
    5. nama dan taxpayer identification number lawan transaksi di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra; dan
    6. penjelasan mengenai penghasilan yang bersumber dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra;
  4. ditandatangani oleh Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
  5. dilampiri dengan:
    1. surat pernyataan penghasilan bermeterai, dalam hal memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
    2. surat pernyataan kedudukan bermeterai, dalam hal memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
    3. Formulir Khusus, dalam hal Wajib Pajak meminta pengesahan Formulir Khusus; dan/atau
    4. surat kuasa khusus, dalam hal permohonan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak; dan
  6. menyertakan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf c dalam bentuk salinan digital (softcopy).


Pasal 7


(1) Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKD SPDN dalam hal permohonan SKD SPDN memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) SKD SPDN diterbitkan dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat penolakan permohonan SKD SPDN beserta alasannya dalam hal permohonan SKD SPDN tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6.
(4) Surat penolakan permohonan SKD SPDN diterbitkan dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung setelah tanggal pengajuan permohonan SKD SPDN diterima.


Pasal 8


(1) Dalam hal Wajib Pajak meminta pengesahan Formulir Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Wajib Pajak harus:
  1. mengajukan permohonan SKD SPDN; dan
  2. melampirkan Formulir Khusus,
kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Domisili.
(2) Formulir Khusus yang diajukan oleh Wajib Pajak untuk disahkan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. menggunakan bahasa Inggris;
  2. mencantumkan nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat Wajib Pajak, dan Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak yang diajukan permohonan SKD SPDN;
  3. menerangkan status subjek pajak dalam negeri Wajib Pajak; dan
  4. terdapat kolom atau ruang pengesahan untuk Kepala KPP Domisili.


Pasal 9


(1) Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKD SPDN dan mengesahkan Formulir Khusus, dalam hal:
  1. permohonan SKD SPDN memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6; dan
  2. Formulir Khusus yang diajukan untuk disahkan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2) Dalam hal Formulir Khusus yang dimintai pengesahan berisikan informasi selain status subjek pajak dalam negeri Wajib Pajak, pengesahan Formulir Khusus hanya terbatas pada pengesahan status subjek pajak dalam negeri Wajib Pajak yang mengajukan permohonan SKD SPDN.
(3) Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKD SPDN dan surat penolakan permohonan pengesahan Formulir Khusus beserta alasannya, dalam hal:
  1. permohonan SKD SPDN memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6; dan
  2. Formulir Khusus yang diajukan untuk disahkan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(4) Dalam hal permohonan SKD SPDN tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6, Kepala KPP Domisili atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat penolakan permohonan SKD SPDN dan surat penolakan permohonan pengesahan Formulir Khusus beserta alasannya.
(5) Surat penolakan permohonan pengesahan Formulir Khusus diterbitkan dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung setelah tanggal pengajuan permohonan SKD SPDN diterima.


Pasal 10


(1) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) dan Pasal 9 ayat (6) telah terlampaui dan Kepala KPP Domisili belum menerbitkan SKD SPDN atau penolakan atas permohonan SKD SPDN, permohonan SKD SPDN dan/atau permintaan pengesahan Formulir Khusus dianggap dikabulkan.
(2) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) dan Pasal 9 ayat (6) terlampaui, Kepala KPP Domisili harus menerbitkan SKD SPDN dan/atau mengesahkan Formulir Khusus.


Pasal 11


(1) SKD SPDN diterbitkan untuk 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak dengan menyebutkan lawan transaksi di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c angka 5.
(2) SKD SPDN berlaku selama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan.
(3) Dalam hal SKD SPDN diterbitkan bagi:
  1. Wajib Pajak yang menyelenggarakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, pembiayaan, dan jasa keuangan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai otoritas jasa keuangan; atau
  2. Wajib Pajak yang sahamnya terdaftar di bursa efek di Indonesia,
SKD SPDN dimaksud diterbitkan tanpa menyebutkan lawan transaksi dan berlaku selama 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan.


Pasal 12


Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, terhadap:
  1. permohonan SKD SPDN dan/atau permintaan pengesahan Formulir Khusus yang belum diselesaikan, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-35/PJ/2010 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; dan
  2. SKD SPDN yang telah diterbitkan atau Formulir Khusus yang telah disahkan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-35/PJ/2010 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan dalam SKD SPDN atau Formulir Khusus yang telah disahkan tersebut.


Pasal 13


Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-35/PJ/2010 tentang Surat Keterangan Domisili bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 14


Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI
NIP 195711081984081001