Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-12/PJ/2020

Kategori : PPN

Batasan Kriteria Tertentu Pemungut Serta Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 12/PJ/2020

TENTANG

BATASAN KRITERIA TERTENTU PEMUNGUT SERTA
PENUNJUKAN PEMUNGUT, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN
PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN
BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK
DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN
MELALUI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Menimbang : 

bahwa untuk pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Batasan Kriteria Tertentu Pemungut serta Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik;

Mengingat :

 

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 445);

 

 

MEMUTUSKAN :


Menetapkan :    

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BATASAN KRITERIA TERTENTU PEMUNGUT SERTA PENUNJUKAN PEMUNGUT, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN MELALUI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  2. Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang PPN.
  3. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik.
  4. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang selanjutnya disingkat PMSE, adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui Sistem Elektronik.
  5. Barang Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat BKP, adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  6. Jasa Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat JKP, adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  7. Barang Digital adalah setiap barang tidak berwujud yang berbentuk informasi elektronik atau digital meliputi barang yang merupakan hasil konversi atau pengalihwujudan maupun barang yang secara originalnya berbentuk elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada piranti lunak, multimedia, dan/atau data elektronik.
  8. Jasa Digital adalah jasa yang dikirim melalui internet atau jaringan elektronik, bersifat otomatis atau hanya melibatkan sedikit campur tangan manusia, dan tidak mungkin untuk memastikannya tanpa adanya teknologi informasi, termasuk tetapi tidak terbatas pada layanan jasa berbasis piranti lunak.
  9. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Sistem Elektronik, yang terdiri dari Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa.
  10. Pembeli Barang adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan BKP Tidak Berwujud dan yang membayar atau seharusnya membayar penggantian BKP Tidak Berwujud karena pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Sistem Elektronik.
  11. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan JKP dan yang membayar atau seharusnya membayar penggantian JKP karena pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Sistem Elektronik.
  12. Penjual adalah orang pribadi atau badan yang melakukan transaksi dengan Pembeli, yang terdiri dari Pedagang Luar Negeri dan/atau Penyedia Jasa Luar Negeri.
  13. Pedagang Luar Negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan Pembeli Barang di dalam Daerah Pabean melalui Sistem Elektronik.
  14. Penyedia Jasa Luar Negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan Penerima Jasa di dalam Daerah Pabean melalui Sistem Elektronik.
  15. Penyelenggara PMSE, yang selanjutnya disingkat PPMSE, adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
  16. PPMSE Luar Negeri adalah PPMSE yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean.
  17. PPMSE Dalam Negeri adalah PPMSE yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean.
  18. Pelaku Usaha PMSE adalah orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan usaha di bidang PMSE yang terdiri dari Penjual, PPMSE Luar Negeri, dan/atau PPMSE Dalam Negeri.
  19. Pemungut PPN PMSE adalah Pelaku Usaha PMSE yang ditunjuk oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE.
  20. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Pemungut PPN PMSE untuk menghitung, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE dalam jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.

 


Pasal 2


(1) PPN dikenakan atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE.
(2) PPN yang dikenakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh Pelaku Usaha PMSE yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE.
(3) Atas pemanfaatan barang tidak berwujud dan/atau jasa yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak dikenai PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, dikecualikan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


BAB II
PENUNJUKAN PEMUNGUT

Pasal 3


(1) Direktur Jenderal Pajak menunjuk Pelaku Usaha PMSE sebagai Pemungut PPN PMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terhadap Pelaku Usaha PMSE yang telah memenuhi batasan kriteria tertentu dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Penunjukan sebagai Pemungut PPN PMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku awal bulan berikutnya setelah tanggal penetapan keputusan penunjukan.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal 4


Batasan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) meliputi:
  1. nilai transaksi dengan Pembeli di Indonesia melebihi Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun atau Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) bulan; dan/atau
  2. jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 (dua belas ribu) dalam 1 (satu) tahun atau 1.000 (seribu) dalam 1 (satu) bulan.

 


Pasal 5


(1) Pelaku Usaha PMSE yang belum ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE, tetapi memilih untuk ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE, dapat menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui alamat posel (email) atau melalui aplikasi atau sistem, yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi pertimbangan bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menunjuk Pelaku Usaha PMSE sebagai Pemungut PPN PMSE.
(4) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

     

Pasal 6


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat mencabut penunjukan Pelaku Usaha PMSE sebagai Pemungut PPN PMSE, dalam hal tidak memenuhi batasan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 atau berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(3) Pencabutan penunjukan sebagai Pemungut PPN PMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku awal bulan berikutnya setelah tanggal penetapan keputusan pencabutan penunjukan.
(4) Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal 7


(1) Pemungut PPN PMSE diberikan nomor identitas perpajakan sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Pemungut PPN PMSE dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
(2) Nomor identitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar dan Kartu Nomor Identitas Perpajakan.
(3) Dalam hal terhadap Pemungut PPN PMSE diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai pencabutan penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), nomor identitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihapus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Kartu Nomor Identitas Perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

     

Pasal 8


(1) Pemungut PPN PMSE wajib melakukan aktivasi akun dan pemutakhiran data secara online melalui aplikasi atau sistem yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak paling lama sebelum penunjukan sebagai Pemungut PPN PMSE mulai berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(2) Pemungut PPN PMSE yang telah melakukan aktivasi akun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan aplikasi atau sistem yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai Pemungut PPN PMSE.

   

Pasal 9


(1) Dalam hal elemen data dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berbeda dengan keadaan sebenarnya, Pemungut PPN PMSE menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui alamat posel (email) atau melalui aplikasi atau sistem, yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau dalam hal terdapat kekeliruan dalam penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan pembetulan.
(4) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penunjukan sebagai Pemungut PPN PMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tetap berlaku.

   

BAB III
PEMUNGUTAN PPN

Pasal 10


(1) Jumlah PPN yang wajib dipungut oleh Pemungut PPN PMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) adalah 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar oleh Pembeli, tidak termasuk PPN yang dipungut.
(3) Pemungutan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat pembayaran oleh Pembeli.

 

Pasal 11


(1)  Atas transaksi yang dilakukan oleh Penjual yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE secara langsung kepada Pembeli, PPN yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh Penjual.
(2) Atas transaksi yang dilakukan oleh Penjual melalui PPMSE, PPN yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh Penjual atau PPMSE yang:
  1. ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE; dan
  2. menerbitkan commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis.
(3) Dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), PPN yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib dipungut, disetorkan, dan dilaporkan sendiri oleh Pembeli sesuai dengan ketentuan Pasal 3A Undang-Undang PPN.


Pasal 12


(1) Atas PPN yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pemungut PPN PMSE membuat bukti pungut PPN.
(2) Bukti pungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis, yang menyebutkan pemungutan PPN dan telah dilakukan pembayaran.
(3) Penyebutan pemungutan PPN dalam bukti pungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicantumkan:
  1. secara terpisah dari Dasar Pengenaan Pajak; atau
  2. sebagai bagian dari nilai pembayaran.
(4) Commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen sejenis, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan dokumen yang dibuat sesuai dengan kelaziman usaha Pemungut PPN PMSE.
(5) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagai Pembeli bermaksud untuk mengkreditkan PPN yang dibayar sebagaimana tercantum dalam bukti pungut PPN, Pengusaha Kena Pajak harus memberitahukan keterangan berupa nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada Pemungut PPN PMSE untuk dicantumkan dalam bukti pungut PPN.
(6) Bukti pungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sepanjang mencantumkan:
  1. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (5); atau
  2. alamat posel (email) Pembeli yang terdaftar pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(7) Dalam hal bukti pungut PPN belum dapat mencantumkan nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak, atau alamat posel (email), sebagaimana dimaksud pada ayat (6), bukti pungut PPN dimaksud termasuk dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sepanjang dilampiri dengan dokumen yang membuktikan bahwa akun Pembeli pada Sistem Elektronik Pemungut PPN PMSE memuat:
  1. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli; atau
  2. alamat posel (email) Pembeli yang terdaftar pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(8) PPN yang tercantum dalam dokumen tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan di bidang perpajakan.


BAB IV
PENYETORAN PPN

Pasal 13


(1) Pemungut PPN PMSE wajib menyetorkan PPN yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) untuk setiap Masa Pajak paling lama diterima oleh bank/pos persepsi atau lembaga persepsi lainnya pada akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Penyetoran PPN yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
  1. secara elektronik ke rekening kas negara melalui bank/pos persepsi atau lembaga persepsi lainnya di Indonesia; dan/atau
  2. melalui cara lain yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Transaksi penyetoran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan kode billing Direktorat Jenderal Pajak yang diperoleh secara mandiri oleh Pemungut PPN PMSE melalui aplikasi billing Direktorat Jenderal Pajak yang terdapat pada aplikasi atau sistem yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Pemungut PPN PMSE dapat melakukan penyetoran PPN yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan:
  1. mata uang Rupiah, dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal penyetoran;
  2. mata uang Dollar Amerika Serikat; atau
  3. mata uang asing lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5) Penggunaan mata uang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan mata uang yang dipilih oleh Pemungut PPN PMSE di akun Pemungut PPN PMSE pada aplikasi atau sistem yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(6) Dalam hal penyetoran PPN dalam mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b atau mata uang asing lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, penyetoran dilakukan ke kas negara melalui bank persepsi mata uang asing atau lembaga persepsi lainnya yang melayani penerimaan negara dalam mata uang asing.
(7) Penyetoran PPN yang dilakukan oleh Pemungut PPN PMSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal setor yang tertera pada bukti penerimaan negara.
(8) Tata cara penyetoran PPN dalam mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b atau mata uang asing lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c mengikuti ketentuan yang mengatur mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
(9) Dalam hal masih terdapat PPN yang telah dipungut oleh Pelaku Usaha PMSE yang telah dicabut penunjukannya sebagai Pemungut PPN PMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), tetapi belum disetorkan, PPN yang telah dipungut wajib disetorkan ke kas negara.


Pasal 14


(1) Apabila dalam suatu Masa Pajak jumlah PPN yang disetorkan kurang dari jumlah PPN yang seharusnya disetor, atas kekurangan PPN dimaksud wajib disetorkan ke kas negara untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
(2) Apabila dalam suatu Masa Pajak jumlah PPN yang disetorkan melebihi jumlah PPN yang seharusnya disetor, selisihnya merupakan kelebihan PPN yang dapat dikompensasikan ke Masa Pajak kelebihan PPN ditemukan.

   

BAB V
PELAPORAN PPN

Pasal 15


(1) Pemungut PPN PMSE wajib melaporkan PPN yang telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), secara triwulanan untuk periode 3 (tiga) Masa Pajak, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.
(2) Periode triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Triwulan I   : Masa Pajak Januari sampai dengan Maret;
b. Triwulan II   : Masa Pajak April sampai dengan Juni;
c. Triwulan III  : Masa Pajak Juli sampai dengan September; dan
d. Triwulan IV  : Masa Pajak Oktober sampai dengan Desember.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
  1. jumlah Pembeli;
  2. jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN yang dipungut;
  3. jumlah PPN yang dipungut; dan
  4. jumlah PPN yang telah disetor, 
untuk setiap Masa Pajak.
(4) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemungutan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku, dalam hal jumlah PPN yang dipungut pada periode triwulan yang bersangkutan nihil.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlakukan sebagai Surat Pemberitahuan, yang selanjutnya disebut SPT Masa PPN PMSE.
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan PPN yang dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), yang berasal dari triwulan sebelumnya, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga memuat:
  1. jumlah kelebihan PPN yang dikompensasikan; dan
  2. periode triwulan terjadinya kelebihan PPN yang dikompensasikan.
(7)  Apabila setelah laporan triwulan dilaporkan diketahui terdapat kekurangan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) atau kelebihan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pemungut PPN PMSE wajib melakukan pembetulan laporan triwulan yang bersangkutan.
(8) Atas permintaan Direktur Jenderal Pajak, Pemungut PPN PMSE wajib menyampaikan laporan rincian transaksi PPN yang dipungut untuk setiap periode 1 (satu) tahun kalender, yang selanjutnya disebut Laporan Tahunan PPN PMSE.
(9)  Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemungut PPN PMSE terdaftar.
(10)  Laporan rincian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling sedikit memuat:
  1. nomor dan tanggal bukti pungut PPN;
  2. jumlah pembayaran, tidak termasuk PPN yang dipungut, pada setiap bukti pungut PPN;
  3. jumlah PPN yang dipungut pada setiap bukti pungut PPN;
  4. nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli, dalam hal bukti pungut PPN mencantumkan nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli; dan
  5. nomor telepon, alamat posel (email), atau identitas lain Pembeli.
(11) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8) menggunakan mata uang yang dipilih oleh Pemungut PPN PMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
(12) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8) dapat menggunakan bahasa Indonesia dan/atau bahasa Inggris.
(13) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8) berbentuk elektronik dan disampaikan melalui aplikasi atau sistem yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(14)  Atas penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8), Pemungut PPN PMSE diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
(15) Bukti Penerimaan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dibuat menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
    
     

BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 16


Dalam hal telah dilakukan pemungutan PPN oleh Pemungut PPN PMSE sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), tetapi Pembeli juga memungut dan menyetorkan sendiri PPN yang terutang atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan Pasal 3A Undang-Undang PPN, PPN yang disetor sendiri dapat:
  1. diajukan permohonan pemindahbukuan ke setoran pajak lainnya sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pembayaran dan penyetoran pajak melalui pemindahbukuan;
  2. diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
  3. dikreditkan dengan Pajak Keluaran sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan di bidang perpajakan; atau
  4. dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.

 


Pasal 17


Dalam hal diperlukan pengujian terhadap Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (8) dalam rangka pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan, pengujian dimaksud dilakukan terhadap bukti yang dimiliki Pengusaha Kena Pajak berupa:
  1. bukti pungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) atau ayat (7); dan
  2. bukti pembayaran atas PPN yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).

 


Pasal 18


Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2020.


 


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2020
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

SURYO UTOMO