Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 48/PMK.03/2021

Kategori : PBB

Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, Dan Pendataan Objek Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 48/PMK.03/2021

TENTANG

TATA CARA PENDAFTARAN, PELAPORAN, DAN PENDATAAN OBJEK PAJAK
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa untuk meningkatkan kepastian hukum dan memberikan peraturan pelaksanaan serta meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak mengenai pendaftaran, pelaporan, dan pendataan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, perlu mengganti ketentuan mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  2. bahwa dengan beralihnya kewenangan pemungutan dan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ke Pemerintah Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kewenangan Direktorat Jenderal Pajak terkait Pajak Bumi dan Bangunan mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan Sektor Lainnya;
  3. bahwa untuk mendukung program kemudahan dalam berusaha (ease of doing business) oleh Pemerintah Indonesia, diperlukan penyederhanaan dalam rangka pendaftaran dan pelaporan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan oleh Wajib Pajak;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
  3. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);


MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN, PELAPORAN, DAN PENDATAAN OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB selain PBB Perdesaan dan Perkotaan.
  3. Wajib Pajak PBB yang selanjutnya disebut Wajib Pajak adalah subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar PBB.
  4. Objek Pajak PBB yang selanjutnya disebut Objek Pajak adalah bumi dan/atau bangunan yang merupakan objek pajak PBB Sektor Perkebunan, PBB Sektor Perhutanan, PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan PBB Sektor Lainnya.
  5. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Objek Pajak menurut ketentuan Undang-Undang PBB yang dilampiri dengan lampiran SPOP yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan SPOP.
  6. SPOP Elektronik adalah SPOP dalam bentuk dokumen elektronik.
  7. Pendaftaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak untuk mendaftarkan Objek Pajak yang belum terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
  8. Pelaporan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Objek Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak.
  9. Pendataan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data Objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis Objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan.
  10. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan mencari, menghimpun, dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti, yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban PBB dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan PBB.
  11. Penelitian PBB yang selanjutnya disebut Penelitian adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban PBB berdasarkan keterangan lain yang diperoleh dan/atau dimiliki Direktur Jenderal Pajak atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
  12. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang mengadministrasikan PBB, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
  13. Nomor Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NOP adalah nomor identitas Objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
  14. Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak PBB yang selanjutnya disingkat SKT PBB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala KPP sebagai pemberitahuan bahwa Objek Pajak dan Wajib Pajak telah terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
  15. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  16. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.


BAB II
PENDAFTARAN OBJEK PAJAK

Pasal 2


(1) Setiap Wajib Pajak wajib melakukan Pendaftaran pada Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terpenuhinya persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PBB untuk diberikan SKT PBB.
(2) Saat terpenuhinya persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. tanggal izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau tanggal hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan;
  2. tanggal izin usaha atau penugasan, yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan;
  3. tanggal kontrak kerja sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama, untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;
  4. tanggal izin, kuasa, atau penugasan, yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, atau tanggal kontrak ditandatangani, untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi;
  5. tanggal izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau pemerintah daerah, atau tanggal kontrak atau perjanjian, untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara; atau
  6. tanggal izin usaha perikanan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau tanggal izin perairan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan, untuk objek pajak PBB Sektor Lainnya.
(3) KPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
  1. KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak Objek Pajak;
  2. KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak;
  3. KPP Minyak dan Gas Bumi; dan
  4. KPP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, merupakan KPP tempat Objek Pajak terdaftar untuk Objek Pajak yang meliputi:
  1. objek pajak PBB Sektor Perkebunan;
  2. objek pajak PBB Sektor Perhutanan;
  3. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk permukaan bumi onshore;
  4. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk permukaan bumi onshore;
  5. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk tubuh bumi di bawah permukaan bumi onshore;
  6. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk permukaan bumi offshore yang terintegrasi dengan permukaan bumi onshore;
  7. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi untuk tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi offshore yang terintegrasi dengan permukaan bumi onshore;
  8. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk permukaan bumi onshore;
  9. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk tubuh bumi di bawah permukaan bumi onshore;
  10. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk permukaan bumi offshore yang terintegrasi dengan permukaan bumi onshore; dan
  11. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara untuk tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi offshore yang terintegrasi dengan permukaan bumi onshore.
(5) KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, merupakan KPP tempat Objek Pajak terdaftar untuk objek pajak PBB Sektor Lainnya untuk perikanan tangkap atau pembudidayaan ikan.
(6) KPP Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, merupakan KPP tempat Objek Pajak terdaftar untuk Objek Pajak yang meliputi:
  1. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk permukaan bumi offshore;
  2. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi untuk tubuh bumi;
  3. objek pajak PBB Sektor Lainnya untuk jaringan pipa, jaringan kabel, ruas jalan tol, dan fasilitas penyimpanan dan pengolahan; dan/atau
  4. objek pajak PBB Sektor Lainnya untuk perikanan tangkap atau pembudidayaan ikan, dalam hal Wajib Pajak tidak terdaftar pada KPP Pratama.
(7) KPP yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, merupakan KPP tempat Objek Pajak terdaftar untuk Objek Pajak selain Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).
(8) SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat identitas Objek Pajak berupa NOP.
(9) SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  

Pasal 3


(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik atau tertulis.
(2) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui saluran tertentu meliputi:
  1. laman Direktorat Jenderal Pajak; atau
  2. saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
(3) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 4


(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilampiri dokumen Wajib Pajak dan dokumen Objek Pajak.
(2) Dokumen Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
  1. kartu tanda penduduk untuk orang pribadi, atau akta pendirian perusahaan dan/atau perubahannya serta kartu tanda penduduk salah satu pengurus untuk badan; dan
  2. NPWP.
(3) Dokumen Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
  1. dokumen izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan/atau hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan;
  2. dokumen izin atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan;
  3. dokumen kontrak kerja sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama, untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;
  4. dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, atau dokumen kontrak, untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi;
  5. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau pemerintah daerah, dokumen kontrak, atau perjanjian, untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara; dan
  6. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, atau di bidang perhubungan, untuk objek pajak PBB Sektor Lainnya.


Pasal 5


(1) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kepala KPP melakukan penelitian administrasi.
(2) Berdasarkan penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP menerbitkan keputusan berupa:
  1. menerima permohonan dengan menerbitkan SKT PBB; atau
  2. menolak permohonan dengan menerbitkan surat penolakan permohonan pendaftaran Objek Pajak, 
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan dianggap dikabulkan dan Kepala KPP menerbitkan SKT PBB paling lama 1 (satu) hari kerja setelah jangka waktu pemberian keputusan berakhir.


Pasal 6


(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Kepala KPP melakukan Pemeriksaan atau penelitian administrasi.
(2) Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP menerbitkan SKT PBB berdasarkan kewenangan secara jabatan.
(3) SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan kepada Wajib Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerbitan SKT PBB.


Pasal 7


(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan perubahan data yang tercantum dalam SKT PBB.
(2) Perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. perubahan data objek pajak dan/atau Wajib Pajak untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi berdasarkan kuasa atau kontrak; dan
  2. perubahan data objek pajak untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi berdasarkan izin atau penugasan, dan objek pajak PBB Sektor Lainnya.
(3) Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik atau tertulis ke KPP tempat Objek Pajak terdaftar.
(4) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu meliputi:
  1. laman Direktorat Jenderal Pajak; atau
  2. saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(6) Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7) Terhadap perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPP melakukan pencetakan kembali SKT PBB.
(8) SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikirimkan kepada Wajib Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal pencetakan kembali SKT PBB.
(9) SKT PBB yang telah diterbitkan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku setelah terdapat pencetakan kembali SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (7).


Pasal 8


(1) Kepala KPP berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan pencabutan SKT PBB terhadap Objek Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PBB.
(2) Permohonan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan ke KPP tempat Objek Pajak terdaftar.
(3) Permohonan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik atau tertulis, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(4) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dokumen izin usaha, hak guna usaha, penugasan, kontrak, kuasa, perjanjian dan/atau izin, yang sudah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan masa berlakunya.
(5) Permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui saluran tertentu meliputi:
  1. laman Direktorat Jenderal Pajak; atau
  2. saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(6) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(7) Permohonan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(8) Pencabutan SKT PBB berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala KPP berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(9) Pencabutan SKT PBB atas permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi.
(10) Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Kepala KPP menerbitkan keputusan berupa:
  1. menerima permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan surat keputusan pencabutan SKT PBB; atau
  2. menolak permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan surat penolakan pencabutan SKT PBB.
(11) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diterbitkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
(12) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (11) terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
(13) Kepala KPP harus menerbitkan surat keputusan pencabutan SKT PBB paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (11) berakhir.
(14) Surat keputusan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf a dan surat penolakan pencabutan SKT PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b, dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

     

Pasal 9


(1) Selain memperhatikan persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), pencabutan SKT PBB dapat dilakukan jika Wajib Pajak tidak:
  1. mempunyai utang pajak PBB;
  2. sedang dilakukan tindakan penegakan hukum di bidang perpajakan PBB;
  3. sedang mengajukan upaya hukum di bidang perpajakan PBB; dan/atau
  4. sedang dalam proses penyelesaian peninjauan kembali di bidang perpajakan PBB.
(2) Tindakan penegakan hukum di bidang perpajakan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
  1. pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  2. pemeriksaan bukti permulaan;
  3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
  4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Upaya hukum di bidang perpajakan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
  1. pengurangan PBB;
  2. pengurangan denda administrasi PBB;
  3. pengurangan atau pembatalan surat pemberitahuan pajak terutang yang tidak benar;
  4. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak PBB yang tidak benar;
  5. pembatalan surat tagihan pajak PBB yang tidak benar;
  6. keberatan PBB;
  7. pembatalan hasil Pemeriksaan atau Penelitian;
  8. gugatan; dan/atau
  9. banding.


Pasal 10


(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat pemberitahuan pajak terutang dan/atau surat ketetapan pajak untuk Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan SKT PBB, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan PBB yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat pemberitahuan pajak terutang, surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak sebelum dan/atau setelah pencabutan SKT PBB, apabila setelah pencabutan SKT PBB diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan PBB yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(3) Surat pemberitahuan pajak terutang dan/atau surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah saat berakhirnya Tahun Pajak.


BAB III
PELAPORAN OBJEK PAJAK YANG TELAH TERDAFTAR

Pasal 11


(1) Wajib Pajak wajib melakukan Pelaporan atas Objek Pajak yang telah terdaftar dengan menggunakan SPOP yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap Tahun Pajak.
(3) Tanggal penyampaian SPOP oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggal diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak, meliputi:
  1. tanggal 1 Februari Tahun Pajak PBB terutang, untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi;
  2. tanggal 31 Maret Tahun Pajak PBB terutang, untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan objek pajak PBB Sektor Lainnya; atau
  3. tanggal Objek Pajak terdaftar sebagaimana tercantum dalam SKT PBB, dalam hal Pendaftaran Objek Pajak diterbitkan SKT PBB setelah 1 Februari Tahun Pajak PBB terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau tanggal 31 Maret Tahun Pajak PBB terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan terpenuhi kondisi saat terutang PBB menurut keadaan Objek Pajak pada 1 Januari Tahun Pajak PBB terutang.


Pasal 12


(1) SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) merupakan SPOP Elektronik.
(2) Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan SPOP Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak secara elektronik melalui saluran tertentu meliputi:
  1. laman Direktorat Jenderal Pajak; atau
  2. saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penyampaian SPOP Elektronik kepada Wajib Pajak.
(4) Wajib Pajak wajib menyampaikan SPOP Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik dengan cara mengunggah melalui saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Tanggal penyampaian SPOP Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan elektronik.


Pasal 13


(1) Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) mengalami gangguan dan/atau terjadi keadaan kahar, Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar dan/atau Wajib Pajak menyampaikan SPOP tidak secara elektronik.
(2) Penyampaian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. secara langsung;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(3) Tanggal penyampaian SPOP yang dilakukan tidak secara elektronik oleh Wajib Pajak merupakan:
  1. tanggal tanda terima, dalam hal SPOP disampaikan secara langsung; atau
  2. tanggal bukti pengiriman, dalam hal SPOP dikirim melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir.


Pasal 14


(1) SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) wajib diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP.
(2) Jelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa pengisian data dalam SPOP tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri.
(3) Benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa semua data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(4) Lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa SPOP memuat semua unsur yang harus dilaporkan dan dilampiri dokumen pendukung isian SPOP.
(5) Dalam hal yang menjadi Wajib Pajak merupakan badan, SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
(6) Dalam hal SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, SPOP harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Direktur Jenderal Pajak menentukan bentuk dan format SPOP.


Pasal 15


(1) Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) tidak dapat dipenuhi, Wajib Pajak dapat menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian SPOP ke KPP tempat Objek Pajak terdaftar.
(2) Surat pemberitahuan penundaan penyampaian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterima oleh KPP tempat Objek Pajak terdaftar sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) berakhir.
(3) Penundaan penyampaian SPOP dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) berakhir.
(4) Surat pemberitahuan penundaan penyampaian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 16


(1) Dalam hal SPOP belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dan Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Kepala KPP menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak.
(2) Dalam hal SPOP belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), Kepala KPP menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan SPOP dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan:
  1. tanggal tanda terima dalam hal surat teguran disampaikan secara langsung; atau
  2. tanggal bukti pengiriman dalam hal surat teguran disampaikan secara elektronik, melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan SPOP dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPP dapat melakukan Penelitian atau membuat analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan.
(6) Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 17


(1) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Perkebunan, meliputi:
  1. dokumen izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan/atau hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan; dan
  2. laporan perkembangan usaha perkebunan dan peta tahun tanam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(2) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Perhutanan, meliputi:
  1. dokumen izin atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan;
  2. rencana kerja usaha Tahun Pajak PBB terutang; dan
  3. rencana kerja tahunan beserta peta kerja Tahun Pajak PBB terutang atau tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(3) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, meliputi:
  1. dokumen kontrak kerja sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama;
  2. peta wilayah kerja minyak dan gas bumi;
  3. authorization for expenditure, dan financial quarterly report triwulan IV tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang; dan
  4. dokumen kontrak atau perjanjian jual beli gas untuk pertambangan gas bumi tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(4) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, meliputi:
  1. dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, atau dokumen kontrak;
  2. peta wilayah kerja panas bumi; dan
  3. rencana kerja dan anggaran biaya Tahun Pajak PBB terutang.
(5) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, meliputi:
  1. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau pemerintah daerah, dokumen kontrak atau perjanjian; dan
  2. rencana kerja dan anggaran biaya tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
(6) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) untuk PBB Sektor Lainnya, meliputi:
  1. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, atau bidang perhubungan; dan
  2. dokumen lain yang menjadi dasar pengisian SPOP.
(7) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada SPOP jika sudah dilampirkan pada saat Pendaftaran atau sudah dilaporkan pada saat Pelaporan pada Tahun Pajak sebelumnya.
(8) Dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada SPOP jika tidak ada perubahan.
(9) Dalam hal terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) yang belum dapat dilampirkan, SPOP dianggap lengkap sepanjang Wajib Pajak melampirkan pernyataan tertulis yang:
  1. ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
  2. mencantumkan jenis dokumen yang belum dapat dilampirkan;
  3. menjelaskan alasan belum dapat dilampirkannya dokumen dimaksud; dan
  4. menyatakan akan menyampaikan dokumen dimaksud paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak:
    1. berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1);
    2. SPOP disampaikan oleh Wajib Pajak melalui penundaan penyampaian SPOP; atau
    3. SPOP disampaikan oleh Wajib Pajak setelah diterbitkan surat teguran penyampaian SPOP.
(10) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    

Pasal 18


(1) Direktorat Jenderal Pajak melakukan penelitian formal terhadap SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak, atas:
  1. kelengkapan pengisian SPOP;
  2. SPOP yang ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
  3. SPOP yang dilengkapi dengan dokumen pendukung isian SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan
  4. SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (3), atau Pasal 16 ayat (3).
(2) Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan.
(3) Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, SPOP dianggap tidak disampaikan.
(4) Bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
  1. bukti penerimaan elektronik, dalam hal SPOP disampaikan secara elektronik; atau
  2. bukti penerimaan surat, dalam hal SPOP disampaikan secara langsung, melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).
(5) Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar menyampaikan surat pemberitahuan SPOP dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mengembalikan SPOP kepada Wajib Pajak, jika SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak dikirim melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b dan huruf c.


Pasal 19


(1) Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar melakukan penelitian material terhadap SPOP yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak dan telah dilakukan penelitian formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat indikasi kewajiban perpajakan dalam pengisian SPOP tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar dapat meminta klarifikasi kepada Wajib Pajak.
(3) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan dan menyampaikan surat permintaan klarifikasi.
(4) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan dengan melakukan peninjauan Objek Pajak.
(5) Berdasarkan surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak menanggapi dengan:
  1. membuat surat tanggapan atas surat permintaan klarifikasi; dan/atau
  2. melakukan pembetulan SPOP.
(6) Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar membuat laporan pelaksanaan klarifikasi berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Laporan pelaksanaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat digunakan sebagai bahan Penelitian atau analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan dalam hal:
  1. Wajib Pajak tidak membuat surat tanggapan atas surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a;
  2. Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b; atau
  3. Wajib Pajak melakukan pembetulan SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b tetapi tidak sesuai dengan surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Pasal 20


(1) Wajib Pajak dapat membetulkan SPOP yang telah disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui penyampaian SPOP pembetulan.
(2) SPOP pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(3) Dalam hal surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, SPOP pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) huruf b disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi.
(4) Tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan:
  1. tanggal tanda terima dalam hal surat permintaan klarifikasi disampaikan secara langsung; atau
  2. tanggal bukti pengiriman dalam hal surat permintaan klarifikasi disampaikan secara elektronik, melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir.


Pasal 21


(1) Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPOP harus menyampaikan SPOP pembetulan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) atau ayat (3).
(2) Dalam hal SPOP pembetulan disampaikan Wajib Pajak melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SPOP pembetulan dianggap tidak disampaikan.
(3) Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar menyampaikan surat pemberitahuan SPOP pembetulan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan mengembalikan SPOP pembetulan kepada Wajib Pajak, jika SPOP pembetulan yang disampaikan oleh Wajib Pajak dikirim melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir.


BAB IV
PENDATAAN OBJEK PAJAK YANG TELAH TERDAFTAR

Pasal 22


(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pendataan terhadap Objek Pajak yang telah terdaftar.
(2) Jenis Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. Pendataan kantor; dan/atau
  2. Pendataan lapangan.
(3) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas Pendataan.
(4) Hasil Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan.

 

Pasal 23


(1) Pendataan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara mengolah data Objek Pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan/atau mengolah data dan informasi yang terdapat dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Ruang lingkup Pendataan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. pengumpulan data; dan
  2. pemetaan.
(3) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan yang meliputi:
  1. pengumpulan data Objek Pajak yang dilaporkan dalam SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); dan
  2. pengolahan data Objek Pajak yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
(4) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengonversian peta Objek Pajak, yang meliputi:
  1. transformasi antar sistem proyeksi; dan/atau
  2. digitasi peta analog ke peta digital.


Pasal 24


(1) Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara melakukan peninjauan pada lokasi fisik Objek Pajak dan/atau lokasi lain di luar lokasi fisik Objek Pajak, atas data Objek Pajak yang seharusnya dilaporkan dalam SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2) Ruang lingkup Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. pengumpulan data; dan
  2. pemetaan.
(3) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan pengumpulan data Objek Pajak yang tidak atau belum dilaporkan dalam SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(4) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengukuran Objek Pajak, yang meliputi:
  1. pengukuran menggunakan sistem pengukuran berbasis satelit;
  2. pengukuran dengan bantuan data penginderaan jauh; dan/atau
  3. pengukuran dengan alat ukur manual.


Pasal 25


(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Pendataan membuat berita acara penolakan Pendataan yang ditandatangani oleh petugas Pendataan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak, wakil dari Wajib Pajak, atau kuasa dari Wajib Pajak, menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas Pendataan tetap melakukan Pendataan berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki dan/atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan.
(5) Surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 26


Laporan hasil Pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 25 ayat (4) merupakan dokumen yang dapat digunakan sebagai:
  1. bahan penelitian material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1); atau
  2. bahan Penelitian atau analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan.


BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 27


(1) Objek Pajak dan Wajib Pajak yang telah teradministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, tidak diwajibkan melakukan Pendaftaran.
(2) Direktorat Jenderal Pajak melalui KPP tempat Objek Pajak terdaftar menerbitkan SKT PBB atas Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kewenangan secara jabatan melalui kegiatan penelitian administrasi.
(3) SKT PBB yang diterbitkan berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2009), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan
  2. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2009), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini.


Pasal 29


Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Mei 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 519