Peraturan Pemerintah Nomor : 22 TAHUN 1985

Kategori : PPN

Pelaksanaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1985
 
TENTANG
 
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

Menimbang :

bahwa dengan penetapan saat berlakunya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 pada tanggal 1 April 1985 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1985, maka ketentuan pelaksanaan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983, perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan yang dapat lebih menjamin kelancaran pelaksanaan Undang-Undang tersebut, dengan Peraturan Pemerintah;

 

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262).

  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263).

  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264).

  5. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1983 tentang pendaftaran, Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Penyampaian Surat Pemberitahuan, dan Persyaratan Pengajuan Keberatan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 52)

  6. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1985 tentang penetapan Mulai Berlakunya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

 

MEMUTUSKAN :

dengan mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

 

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

  1. Importir adalah Pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya mengimpor Barang Kena Pajak

  2. Indentor adalah pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menyuruh Importir mengimpor Barang Kena Pajak untuk dan atas kepentingannya.

  3. Eksportir adalah Pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya mengekspor Barang Kena Pajak;

  4. Pabrikan adalah Pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c dan huruf m Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, termasuk pengusaha Real Estate dan Industrial Estate.

  5. Penyalur Utama atau Agen Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a angka 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, yang berdasarkan perjanjian dengan Pabrikan atau Importir, mempunyai hak atau kuasa untuk memasarkan Barang Kena Pajak yang dihasilkan atau di Impor oleh Pabrikan atau Importir tersebut.

  6. Pemegang Hak Paten atau Pemegang Hak Merek Dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a angka 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah pengusaha yang memiliki atau menjadi pemegang suatu Hak Paten dan Merek Dagang dari Barang Kena Pajak.

  7. Pemegang hak menggunakan Paten atau Merek Dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a angka 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah pengusaha yang berdasarkan suatu perjanjian dengan Pemegang Hak Paten atau Merek Dagang mempunyai hak atau kuasa untuk menghasilkan dan/atau memasarkan Barang Kena Pajak dengan menggunakan Paten atau Hak Merek Dagang yang dimiliki atau dipegang oleh Pemegang Hak Paten atau Merek Dagang dari Barang Kena Pajak.

  8. Pemborong atau Kontraktor adalah Pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan pembangunan, perbaikan, atau pemugaran bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, baik untuk kepentingan sendiri maupun atas suruhan pihak lain, dengan atau tanpa perjanjian tertulis.

 

BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

Pasal 2

Tempat melaporkan bagi Bentuk Usaha Tetap yang dikenakan Pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak adalah Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk atau Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat Bentuk Usaha Tetap tersebut melakukan kegiatan usaha.

 

Pasal 3

Jangka waktu bagi Pengusaha untuk melaporkan usahanya kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 ditentukan sebagai berikut :

  1. Untuk Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang sudah atau belum mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan sudah mulai menjalankan usahanya pada tanggal 1 Maret 1985, adalah selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 1985.

  2. Untuk Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang sudah atau belum mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan baru mulai menjalankan usahanya pada tanggal 1 Maret 1985 atau sesudahnya adalah selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah saat usahanya mulai dijalankan.

 

Pasal 4

(1)

Pengusaha dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebelum usahanya mulai dijalankan.

(2)

Saat usaha mulai dijalankan adalah saat pendirian atau saat usaha nyata-nyata mulai dijalankan.

 

Pasal 5

(1)

Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang akan melaporkan usahanya wajib mengisi formulir Surat Permohonan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

(2)

Formulir Surat Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diisi dan ditandatangani oleh Pengusaha atau oleh orang lain yang diberi kuasa khusus untuk itu.

(3)

Formulir Surat Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 3.

 

Pasal 6

Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha yang bersangkutan, dengan cara sebagaimana diatur dalam Pasal 5.

 

Pasal 7

(1)

Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Keputusan tentang pengukuhan Pengusaha menjadi Pengusaha Kena Pajak.

(2)

Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal diterimanya Formulir Surat Permohonan Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).

(3)

Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bagi pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku untuk 3 (tiga) tahun.

 

BAB III
OBYEK PAJAK DAN KEWAJIBAN PENCATATAN

Pasal 8

Jenis jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, adalah jasa yang dilakukan oleh Pemborong atau kontraktor.

 

Pasal 9

(1) Tindakan penyerahan Barang atau Jasa yang merupakan penyerahan kena pajak adalah :
  1. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pihak manapun yang dilakukan oleh Pabrikan, Penyalur Utama atau Agen Utama, Importir, Indentor, Pemegang Hak Paten atau Pemegang Hak Merek Dagang, Pemegang Hak Menggunakan Paten dan/atau Merek Dagang dari Barang Kena Pajak atau oleh Pengusaha Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
  2. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
(2)

Setiap penyerahan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan pajak menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

 

Pasal 10

(1)

Atas Impor Barang Kena Pajak dan Impor Barang Mewah yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan dibidang Pabean dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, maka terhadap Impor Barang Kena Pajak dan Impor Barang Mewah tersebut juga tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

(2)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 11

(1) Termasuk dalam pengertian memetik hasil pertanian atau memelihara hewan dan menangkap atau memelihara ikan serta mengeringkan atau menggarami makanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf m angka ke 1, ke 2, dan ke 3 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah :
  1. Kegiatan menuai, memungut, mengupas, membersihkan, menyortir, menguliti, merajang, memotong, merangkai, mengeringkan dan mengawetkan untuk sementara barang-barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan baik yang dikerjakan dengan tangan maupun dengan cara lainnya.
  2. Kegiatan memelihara, menangkap, menyortir, menguliti, memotong, memerah atau mengeringkan dan mengawetkan untuk sementara barang-barang hasil peternakan, perikanan dan hasil laut lainnya baik yang dikerjakan dengan tangan maupun dengan cara lainnya.
(2)

Barang-barang yang dihasilkan dari kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah bukan Barang Kena Pajak sehingga atas penyerahan atau pengimporannya tidak terhutang Pajak Pertambahan Nilai.

 

Pasal 12

Kegiatan menambang yang termasuk dalam pengertian menghasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf m Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah kegiatan pada tingkat pengolahan dan pemurnian dalam rangka usaha pertambangan.

 

Pasal 13

Pencatatan dalam pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambangan Nilai 1984, selain memuat harga perolehan dan penyerahan Barang atau Jasa, juga harus mencantumkan nama barang dan satuan (kuantum) nya.

 

BAB IV
TARIF PAJAK DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK

Pasal 14

Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, tarif efektif untuk menghitung pajak yang terhutang menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah 10/110 bagian dari harga atau pembayaran itu.

 

Pasal 15

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen) atas ekspor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, berlaku bagi ekspor Barang Kena Pajak.

 

Pasal 16

(1) Kelompok Barang mewah yang terkena tarif 10% (sepuluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, adalah :
  1. minuman yang tidak mengandung alkohol yang diproduksi dengan menggunakan cara pengolahan serba otomatis;
  2. kendaraan bermotor dua tertentu baik menggunakan kereta pasangan sisi atau tidak.
  3. kendaraan bermotor jenis kombi dan minibus, kecuali untuk angkutan umum.
  4. alat-alat fotografi, pesawat rekam dan reproduksi suara beserta perlengkapannya.
  5. alat-alat mewah dengan tenaga listrik, baterai dan gas untuk rumah tangga dan hiburan.
  6. alat keperluan untuk olah raga tertentu dan untuk permainan
  7. barang-barang saniter dan perlengkapannya.
  8. permadani yang dibuat dari jenis bahan tertentu.
(2) Kelompok barang mewah yang terkena tarif 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, adalah :
  1. minuman yang mengandung alkohol.
  2. kendaraan bermotor jenis sedan, jeep, mobil balap, station wagon, dan van (kecuali untuk angkutan barang).
  3. kapal, bahtera, dan kendaraan air tertentu kecuali yang digunakan untuk keperluan negara.
  4. pesawat udara, kecuali yang digunakan untuk keperluan negara atau angkutan umum.
  5. senjata api, angin dan gas serta pelurunya kecuali yang digunakan untuk keperluan negara.
  6. perlengkapan untuk permainan dalam ruangan, diatas meja dan dalam taman hiburan untuk orang dewasa dan kanak-kanak.
  7. barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari kristal, batu pualam dan atau onnyx
  8. pesawat penerima dan pesawat pengirim penerima, kecuali yang digunakan untuk keperluan negara.
(3)

Macam dan jenis barang mewah yang termasuk dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


Pasal 17

(1)

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Barang mewah yang dikembalikan (retur) dapat dikurangkan dari pajak terhutang dalam Masa Pajak pada saat pengembalian Barang Kena Pajak tersebut dilakukan.

(2)

Tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 18

(1)

Pengusaha Kena Pajak yang tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 karena Masa Pajaknya tidak sama, dapat mengajukan permohonan pengkreditan Pajak Masukan kepada Direktur Jenderal Pajak, disertai alasan mengenai sebab terjadinya perbedaan Masa Pajak.

(2)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(3)

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan dengan disertai cara pengkreditannya, dan dalam hal permohonan ditolak, memberitahukan alasan-alasannya.

 

Pasal 19

(1)

Dalam hal ekspor Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 hanyalah sebesar Pajak Masukan yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut.

(2)

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dibayar atas ekspor Barang Mewah oleh Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dapat diminta kembali.

 

BAB V
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERHUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN PAJAK

Pasal 20

(1) Saat pajak terhutang atas :
  1. penyerahan barang bergerak adalah pada saat barang tersebut diserahkan kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat barang diserahkan kepada juru kirim, pengusaha jasa angkutan atau pengangkut;
  2. penyerahan barang tidak bergerak adalah pada saat terjadinya penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai barang tidak bergerak tersebut baik secara hukum atau secara nyata kepada pihak pembeli atau penerima barang tidak bergerak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak adalah pada saat penyerahan sebagian atau seluruh penyelesaian pekerjaan Jasa Kena Pajak;
  4. impor Barang Kena Pajak adalah pada saat barang itu dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(2) Tempat pajak terhutang atas :
  1. penyerahan barang bergerak, barang tidak bergerak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak adalah ditempat Pengusaha Kena Pajak itu dikukuhkan.
  2. impor Barang Kena Pajak adalah ditempat barang itu dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.

 

Pasal 21

Apabila permohonan Pengusaha Kena Pajak untuk memilih satu tempat usaha sebagai tempat pajak terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka pajak terhutang ditempat usaha yang telah disetujui tersebut.

 

Pasal 22

(1)

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memungut pajak yang terhutang menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 atas pemasukan Barang Kena Pajak dan/atau Barang Mewah bersamaan dengan saat pemungutan Bea Masuk.

(2)

Sebagai bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuat Faktur Pajak.

(3)

Tata cara pemungutan, pembuatan Faktur Pajak serta penyetoran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 23

(1)

Untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau penerimaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 harus dibuat Faktur Pajak.

(2)

Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak Untuk membuat satu Faktur Pajak Gabungan yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari pembeli atau penerima jasa yang sama dilakukan dalam satu Masa Pajak.

(3)

Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai merupakan bukti pemungutan pajak yang sah.

 

Pasal 24

(1)

Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak harus dibuat dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(2) Faktur Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak harus dibuat sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah saat :
  1. Diterimanya pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan Jasa Kena Pajak.
  2. Penyerahan seluruh penyelesaian pekerjaan Jasa Kena Pajak.
(3)

Faktur Pajak Gabungan harus dibuat pada akhir Masa Pajak yang bersangkutan atau dalam jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 25

Kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

 

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26

Semua peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang belum dikeluarkan ketentuan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

 

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Hal-hal yang berkenaan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

 

Pasal 28

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Maret 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

SOEHARTO



PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1985
 
TENTANG
 
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984

 

 

A. UMUM

Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang disusun secara sederhana dan singkat sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), hanya memuat ketentuan pokok yang mengatur tentang ruang lingkup pengenaan pajak, tarif pajak, dasar pengenaan pajak, cara menghitung pajak, pencatatan dalam pembukuan dan laporan dalam masa pajak. Hal-hal lain yang belum diatur didalamnya yang merupakan ketentuan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut, telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983 (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 55).

Dengan penetapan saat berlakunya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dari tanggal 1 Juli 1984 menjadi tanggal 1 April 1985 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1985 (Lembaran Negara Tahun 1983) perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan yang dapat lebih menunjang kelancaran pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

Peninjauan dan penyesuaian itu dilaksanakan dengan cara melakukan perubahan, tambahan dan pembaharuan dalam ketentuan peraturan pelaksanaan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983. Untuk menciptakan suatu ketentuan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang utuh, lengkap, mudah dibaca dan difahami, maka Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983 ditarik kembali dan diganti dengan ketentuan peraturan pelaksanaan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Hal-hal yang menyangkut kebijaksanaan dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan, sedang yang mengenai pelaksanaan teknis dan administratifnya, diatur oleh Direktur Jenderal Pajak.

 

B. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Huruf a

Pengusaha disebut Importir bila mempunyai izin dari Pemerintah untuk mengimpor Barang Kena Pajak dengan maksud untuk memperdagangkannya. 

Termasuk dalam pengertian Importir adalah Pabrikan yang memperdagangkan sebagian atau seluruh Barang Kena Pajak yang diimpornya sendiri baik kegiatan itu dilakukan secara teratur maupun sekali-sekali.

Huruf b

Pengusaha disebut indentor bila menyuruh Importir untuk mengimpor Barang Kena Pajak dengan maksud untuk memperdagangkannya. Pada dasarnya Indentor ini adalah pemilik atau pengimpor dari Barang Kena Pajak yang diimpor tersebut. 

Dengan perkataan lain Indentor adalah merupakan Importir terselubung. Karena itu Indentor ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Termasuk dalam pengertian Indentor adalah Pabrikan yang memperdagangkan sebagian atau seluruh Barang Kena Pajak yang diimpornya dengan menyuruh Importir, baik kegiatan itu dilakukan secara teratur maupun sekali-sekali.

Huruf c

Pengusaha disebut Eksportir bila mempunyai izin dari Pemerintah untuk mengekspor Barang Kena Pajak. 

Eksportir dikenakan Pajak Pertambahan Nilai bila ia telah melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Huruf d

Pabrikan dapat menghasilkan Barang Kena Pajak berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak. 

Pengusaha Real Estate dan Industrial Estate adalah Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak berupa barang tidak bergerak, yaitu tanah siap bangun (developed land), bangunan dan sarana lainnya. Tidak termasuk dalam pengertian Pabrikan adalah Pengusaha yang menghasilkan barang yang tidak tergolong sebagai Barang Kena Pajak, seperti Pengusaha dibidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan, sepanjang hasilnya tidak diolah lebih lanjut. Lihat juga penjelasan Pasal 11.

Huruf e

Pengertian Penyalur Utama atau Agen Utama berbeda dengan Penyalur Tunggal atau Agen Tunggal. 

Penyalur Utama atau Agen Utama dapat menjadi Penyalur Tunggal atau Agen Tunggal dari Pabrikan atau Importir, tetapi dapat juga beberapa Pengusaha menjadi Penyalur Utama atau Agen Utama dari satu Pabrikan atau Importir. 

Sebaliknya satu Pengusaha dapat juga menjadi Penyalur Utama atau Agen Utama dari lebih dari satu Pabrikan atau Importir. 

Pengusaha dikategorikan sebagai Penyalur Utama atau Agen Utama apabila ia dalam lajur kegiatan pemasaran, menerima penyerahan Barang Kena Pajak langsung dari Pabrikan atau Importir berdasarkan perjanjian yang menyangkut pelimpahan hak dan kewajiban dalam penyediaan, pembiayaan, dan wilayah pemasaran tertentu dari Barang Kena Pajak yang dihasilkan atau di impor oleh Pabrikan atau Importir.

Huruf f

Sebagai penemu atau pencipta suatu paten atau merek dagang, seorang atau suatu badan dapat menjadi pemilik atau suatu badan dapat menjadi pemilik atau pemegang suatu hak atas paten atau merek dagang. Pengusaha inilah yang dimaksud dengan Pemegang Hak Paten atau Merek Dagang tersebut. Dan mereka akan menjadi Pengusaha Kena Pajak bila mereka menghasilkan Barang Kena Pajak atas dan untuk kepentingannya dengan tujuan untuk diperdagangkan.

Huruf g

Pengusaha dapat menjadi Pemegang Hak Menggunakan Paten atau Merek Dagang berdasarkan perjanjian pelimpahan hak dari Pemegang Hak Paten atau Pemegang Hak Merek Dagang. 

Pelimpahan hak tersebut dapat berlaku untuk selamanya maupun untuk suatu jangka waktu tertentu. 

Pengusaha ini akan menjadi Pengusaha Kena Pajak bila mereka menghasilkan dan/atau memperdagangkan Barang Kena Pajak yang hak paten atau merek dagangnya telah dilimpahkan kepadanya.

Huruf h

Pemborong atau Kontraktor melakukan penyerahan Jasa pemborongan pembangunan, perbaikan, atau pemugaran bangunan atau barang tidak bergerak lainnya baik atas permintaan atau suruhan dan untuk kepentingan pihak lain maupun atas kehendak dan untuk kepentingan sendiri, misalnya membangun gedung kantornya untuk sebagian atau seluruhnya dipakai sendiri. 

Pelaksanaan pekerjaan pemborongan tersebut dapat dilakukan diatas tanah atau dibawah tanah atau diatas permukaan dan atau didalam air. 

Dalam pengertian Pemborong atau Kontraktor termasuk juga Sub dan Sub-sub Kontraktor adalah Pemborong atau Kontraktor.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Pengukuhan menjadi Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, perlakuan tarif 0% (nol persen) dan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas ekspor Barang Kena Pajak, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara jabatan dan sanksi administrasi.

Karena itu adalah sudah sewajarnya bila Pengusaha Kena Pajak melaporkan usahanya sebelum melakukan pembelian Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak. 

Dengan demikian Pajak Pertambahan Nilai akan terlaksana secara efektif dan lancar pada waktunya.

  1. Tanggal 31 Maret 1985 ditetapkan sebagai batas waktu bagi Pengusaha Kena Pajak yang telah memulai usaha sebelum 1 April 1985 dengan maksud agar pergantian sistem Pajak Penjualan ke Pajak Pertambahan Nilai dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. 
  2. Batas waktu 30 (tiga puluh) hari untuk melaporkan usaha diberikan kepada Pengusaha yang baru memulai usahanya pada dan sesudah 1 April dengan maksud agar mereka dapat mempersiapkan dengan sebaik-baiknya segala hal yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai itu. 

Hal ini juga dimaksudkan untuk mengatasi masalah kesulitan komunikasi yang mungkin masih ada diberbagai daerah dalam wilayah Republik Indonesia.

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Saat usaha mulai dijalankan bagi Pengusaha Kena Pajak terbentuk badan adalah saat dan tanggal yang tercantum dalam akte pendirian yang dibuat didepan Notaris. 

Bila akte pendirian dibuat dibawah tangan, maka saat usaha mulai dijalankan adalah saat dan tanggal akte tersebut ditanda tangani oleh para pihak atau saat dan tanggal legalisasi yang dibubuhkan pada akte itu oleh Notaris atau pejabat yang berwenang. 

Ketentuan tentang saat diperoleh izin usaha atau saat usaha nyatanya mulai berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak perseorangan. 

Adakalanya Pengusaha Kena Pajak perseorangan telah memulai usahanya secara nyata sebelum izin untuk itu diperolehnya dari Pemerintah. 

Dalam hal demikian maka saat usaha dimulai bagi Pengusaha Kena Pajak ini adalah saat usahanya nyata-nyata mulai dijalankan. 

Sebaliknya ada pula Pengusaha Kena Pajak perseorangan telah memperoleh izin usaha dari Pemerintah, meskipun kegiatan usaha belum dimulai. Dalam hal ini saat usaha dimulai adalah saat dan tanggal yang tercantum dalam surat izin usaha itu.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 6

Pengusaha yang dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak pada dasarnya bukan Pengusaha Kena Pajak. 

Akan tetapi jika ia melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak, maka untuk transaksi ini, Pengusaha tersebut dapat menyatakan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak. 

Sejak ia menyatakan memilih untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka semua penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak terhutang Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian mekanisme kredit pajak dalam sistem pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.

Pasal 7

Ayat (1)

Bila Pengusaha yang melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak belum mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, maka Surat Keputusan tentang pengukuhan menjadi Pengusaha Kena Pajak dikeluarkan bersamaan dengan atau setelah Nomor Pokok Wajib Pajak diberikan.

Ayat (2)

Tanggal diterimanya Formulir Surat Permohonan Pengukuhan adalah tanggal diterimanya surat tersebut secara nyata oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Ayat (3)

Pemberian batas waktu 3 (tiga) tahun disini, dimaksudkan untuk menegakkan prinsip kepastian hukum dan kepastian administrasi Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 8

Pajak Pertambahan Nilai yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 pada dasarnya baru dikenakan pada tingkat pabrikasi atau importasi Barang Kena Pajak. Pekerjaan pemborongan bangunan atau barang tidak bergerak lainnya adalah usaha jasa yang prosesnya mirip dengan pekerjaan membuat (menghasilkan) Barang-barang Kena Pajak. 

Oleh karena itu untuk pertama kali berlakunya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa Pemborong atau Kontraktor.

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dimaksud dalam ketentuan ini tidak memperhatikan siapa pihak penerimanya. 

Apabila penyerahan itu dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam lingkungan Perusahaan atau Pekerjaannya dan penyerahan itu didasarkan pada perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, maka Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu adalah Penyerahan Kena Pajak.
Contoh :

1)

PT. A sebuah pabrik mesin jahit menjual mesin jahit hasil produksinya didalam Daerah Pabean. Penyerahan mesin jahit (Barang Kena Pajak) oleh PT. A (Pengusaha Kena Pajak) berdasarkan perjanjian jual beli ini adalah penyerahan kena pajak.

2)

PT. A tersebut menjual mesin-mesin pembuat mesin jahit yang selama ini dipakainya untuk memproduksi mesin jahit. Penyerahan mesin bekas ini (Barang Kena Pajak) bukan merupakan penyerahan kena pajak, karena syarat "dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya" tidak terpenuhi. PT. A bukanlah Pabrikan, Importir atau Agen Utama/ Penyalur Utama dari Mesin Pembuat Mesin Jahit itu.

3)

PT. A tersebut menjual suku cadang mesin jahit yang diimpor atau dibelinya dari Pengusaha Kena Pajak lain, karena terjadi kelebihan persediaan atau karena alasan lain. Penyerahan suku cadang (Barang Kena Pajak) ini adalah penyerahan kena pajak, karena seluruh syarat penyerahan kena pajak telah terpenuhi. Perolehan dan penyerahan suku cadang ini dilakukan Pengusaha Kena Pajak dalam rangka menjalankan (lingkungan) perusahaan atau pekerjaannya.

Huruf b

Ditinjau dari sudut Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam Penyerahan Barang Kena Pajak, yaitu :

1)

Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak. Penyerahan ini adalah penyerahan kena pajak.

2)

Penyerahan Barang Kena Pajak kepada bukan Pengusaha Kena Pajak. Penyerahan ini bukan penyerahan kena pajak.

Contoh :

PT. A pedagang tekstil memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan tekstil (Barang Kena Pajak) sebagai berikut :

  1. Menjual tekstil kepada Pabrik kemeja.
  2. Menyumbangkan tekstil untuk korban bencana alam.
  3. Memberikan tekstil kepada Karyawan sebagai Hadiah Lebaran atau untuk pakaian kerja.
  4. Menjual tekstil kepada Pemerintah.
  5. Menjual tekstil kepada tuan B.

Penyerahan tekstil yang terhutang Pajak Pertambahan Nilai hanyalah penyerahan tekstil Pabrik Kemeja, karena Pabrik Kemeja adalah Pengusaha Kena Pajak (Pabrikan).

Penyerahan lainnya bukan merupakan penyerahan kena Pajak karena pembeli atau penerimanya bukan Pengusaha Kena Pajak.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Semua Impor Barang Kena Pajak pada dasarnya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 1984. Namun untuk menyelaraskan dengan perundang-undangan Pabean khususnya yang mengatur lalu lintas barang-barang tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Bea Masuk, maka atas beberapa kegiatan memasukkan Barang kena Pajak tertentu ke dalam wilayah Republik Indonesia ditetapkan bukan sebagai Impor Barang Kena Pajak dan karena itu Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Kegiatan-kegiatan yang diuraikan dalam ketentuan ini umumnya adalah merupakan bagian dari kegiatan memetik atau mengawetkan hasil pertanian dalam arti luas yang meliputi juga bidang perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan. Melalui kegiatan ini barulah hasil dari bidang tersebut menjadi berdaya guna atau lebih berdaya guna bagi produsen dan konsumen. 

Meskipun karena kegiatan itu telah terjadi perubahan sifat atau bentuk barang, kegiatan tersebut bukanlah merupakan kegiatan proses pengolahan atau proses pabrikasi.
Contoh :

1)

Menuai, mengupas padi atau kacang-kacangan, mengupas dan membersihkan kapok atau kapas dari kulit, biji dan hati kapok/kapas.

2)

 Memotong dan menguliti kayu menjadi kayu bulat, atau hewan menjadi daging segar dalam bentuk potongan kecil dan besar baik dibekukan atau tidak, atau buah kopi menjadi biji kopi.

3)

Merangkai bunga atau buah segar.

4)

Membersihkan, mengupas, mengeringkan dan menggarami udang, kodok, ikan dan hasil laut lainnya atau hasil pertanian sepanjang dilakukan tidak melalui proses memasak.

5)

Menyortir dan merajang tembakau, bawang dan cengkeh.

6)

Memungut hasil hutan seperti buah, daun, getah dan sebagainya atau memungut hasil peternakan dan perikanan seperti telur, kulit mutiara dan sebagainya. 

Apakah kegiatan itu dilakukan dengan tangan atau dengan cara lainnya tidak menjadi masalah sepanjang kegiatan tersebut dilakukan dalam bidang pertanian dimaksud diatas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 12

Usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan. 

Dilihat dari sifat kegiatannya, maka kegiatan sampai tingkat eksploitasi masih bersifat ekstraksi (penggalian). 

Ruang lingkup pengenaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 terbatas pada Barang Kena Pajak sebagai hasil proses pabrikasi. 

Ketentuan Pasal ini memberikan penegasan bahwa yang dimaksud dengan menambang yang bahan galiannya terhutang Pajak Pertambahan Nilai adalah apabila bahan galian tersebut sudah mengalami proses pengolahan dan pemurnian. Sedangkan bahan galian yang belum mengalami proses pengolahan dan pemurnian dan semata-mata baru merupakan hasil yang diambil dari permukaan atau dari dalam tanah baik didarat maupun dilaut yang sifat dan bentuknya berubah adalah Bukan Barang Kena Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 13

Pencantuman nama barang dimaksudkan agar dengan mudah dapat dibedakan antara Barang Kena Pajak dan Bukan Barang Kena Pajak. 

Sedangkan satuan (kuantum) diperlukan untuk mempermudah penghitungan Dasar Pengenaan Pajak.

Pasal 14

Untuk penyerahan Barang Kena Pajak tertentu, sering terjadi bahwa didalam harga atau pembayaran yang diterima oleh Pengusaha Kena Pajak sudah diperhitungkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang. Dalam hal demikian tanpa meninggalkan prinsip tarif tunggal dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, maka bagian Pajak Pertambahan Nilai yang sudah termasuk di dalam harga tersebut, harus dihitung kembali dengan pedoman hitungan yang jumlahnya sama dengan 10/110 bagian dari harga atau pembayaran yang diterima oleh Pengusaha Kena Pajak

Contoh :
Pabrik Roti menyerahkan sepotong roti dengan harga Rp. 1.100,- Di dalam harga tersebut sudah terhitung Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang. Pajak Pertambahan Nilai dihitung sebesar 10/110 x Rp. 1.100,- = Rp. 100,-

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk menetapkan pengelompokkan barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Ayat (1)

Ketentuan dalam ayat ini mengatur pengelompokan barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen).

Ayat (2)

Ketentuan dalam ayat ini mengatur pengelompokan barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 17

Ayat (1)

Penjualan retur mengandung arti bahwa sebagian atau seluruh penyerahan Barang Kena Pajak telah batal. Bila sebelumnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah telah dipungut, maka pemungutan itu telah dilakukan tidak sebagaimana mestinya. 

Oleh karena itu Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas penjualan retur yang terjadi dalam Masa Pajak yang berbeda dengan saat penyerahan Barang Kena Pajak, dapat dikreditkan atau diperhitungkan dengan pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadinya penjualan retur tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 ditetapkan bahwa Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dalam Masa Pajak yang sama. 

Jika karena sesuatu hal Pengusaha Kena Pajak tidak dapat melakukan pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran karena Masa Pajaknya berbeda, maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak supaya diizinkan untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan dari suatu Masa Pajak tertentu terhadap Pajak Keluaran dari Masa Pajak yang lain.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Pengusaha yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran atas bagian Barang Kena Pajak yang diserahkannya kepada Pengusaha Kena Pajak atau di ekspor. 

Pembatasan jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak ini adalah sejalan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang menetapkan bahwa bagi Pengusaha yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak hanyalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan kena pajak yang dapat dikreditkan. 

Dengan demikian Pajak Masukan dari Barang Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha ini kepada Bukan Pengusaha Kena Pajak, sama sekali tidak dapat dikreditkan, sedang Pajak Masukan dari persediaan Barang Kena Pajak, masih dapat dikreditkan dalam Masa Pajak berikutnya sepanjang Barang Kena Pajak tersebut diserahkan Pengusaha Kena Pajak atau diekspor.

Ayat (2)

Jika Pengusaha tersebut dalam ayat (1) diatas selain mengekspor Barang Kena Pajak juga mengekspor Barang Mewah, maka Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Mewah tersebut dapat diminta kembali. 

Sebagai contoh, Eksportir membeli mobil sedan dari Pabrikan di dalam negeri. Kemudian mobil sedan tersebut di ekspor. Karena ia telah menyatakan memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, maka Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dibayar atas pembelian mobil sedan yang kemudian diekspor tersebut dapat diminta kembali.

Pasal 20

Dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 ditetapkan bahwa pajak terhutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak dan ditempat tinggal, tempat kedudukan atau di tempat usaha dilakukan. Di dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah ini ditegaskan lebih lanjut saat timbulnya hutang pajak dan tempat hutang ini dapat ditagih.

Ayat (1)

Ketentuan dalam ayat ini memberikan penegasan lebih lanjut tentang saat timbulnya hutang pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Huruf a

Saat penyerahan barang bergerak tidak selalu dikaitkan dengan berbagai syarat penyerahan yang lazim terjadi dalam dunia dagang. Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan barang bergerak telah terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. 

Karena itu pajak terhutang pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha jasa angkutan, perusahaan angkutan atau pihak ketiga lainnya untuk atau atas nama pihak kedua atau pembeli.

Huruf b

Dalam penentuan saat penyerahan barang tidak bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan hanya dapat dilakukan bila barang tersebut secara phisik telah ada. Oleh karena itu pajak terhutang pada saat penyerahan barang tidak bergerak itu dilakukan, yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditanda tangani oleh para pihak.

Contoh :
Perjanjian jual beli sebuah rumah ditanda tangani tanggal 1 Mei 1985.Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditanda tangani tanggal 1 September 1985. Saat pajak terhutang adalah tanggal 1 September 1985. 

Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditanda tangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka pajak terhutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.

Contoh :
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 1985. Saat pajak terhutang adalah tanggal 1 Agustus 1985. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditanda tangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka pajak terhutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.

Contoh :
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 1985. Perjanjian jual beli ditanda tangani tanggal 1 September 1985. Saat pajak terhutang adalah tanggal 1 Agustus 1985. Penyerahan barang tidak bergerak yang dilakukan dengan suatu perjanjian akan menyerahkan barang tersebut dalam suatu masa tertentu tidak dapat digunakan untuk menentukan saat terhutangnya pajak.

Huruf c

Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Dan sebelum jasa pemborong itu selesai dan siap untuk diserahkan telah diterima pembayaran dimuka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. 

Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, pajak terhutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh Pemborong atau Kontraktor. 

Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima jasa. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, pajak terhutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.

Contoh :

1)

Tanggal 1 April 1985, perjanjian pemborongan ditanda tangani dan diterima uang muka sebesar 20%.

2)

Tanggal 1 Mei 1985, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-1.

3)

Tanggal 1 Juni 1985, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran tahap ke-2.

4)

Tanggal 20 Juni 1985, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran tahap ke-3.

5)

Tanggal 25 Agustus 1985, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan.

6)

Tanggal 1 September 1985, diterima pembayaran tahap terakhir (ke-4) sebesar 95% dari harga borongan.

7)

Tanggal 1 Maret 1986, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa borongan. 

Pada angka 1) s/d angka 4) pajak terhutang pada tanggal diterimanya pembayaran (tahap), sedang angka 5) s/d angka 7) pajak terhutang pada tanggal 25 Agustus 1985 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. 

Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6) dan 7) tidak perlu diperhatikan, karena tidak termasuk saat yang menentukan terhutangnya pajak sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Huruf d

Saat terhutangnya pajak atas impor Barang Kena Pajak adalah saat barang itu dimasukkan ke dalam Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pabean, sedangkan saat pemungutan pajaknya adalah bersamaan dengan saat pemungutan Bea Masuk.

Ayat (2)

Ketentuan dalam ayat ini memberikan penegasan lebih lanjut mengenai tempat terhutangnya pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

Huruf a

Tempat pajak terhutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dianggap penting untuk menetapkan kompetensi wilayah masing-masing Kantor Direktorat Jenderal Pajak c. q. Inspeksi Pajak untuk mengenakan pajak.

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak diberi izin memilih satu tempat pajak terhutang, maka tempat pajak terhutang adalah ditempat yang dipilih tersebut.

Tempat itulah yang menentukan wewenang Kantor Inspeksi Pajak untuk mengenakan pajak. 

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai cabang-cabang dan masing-masing mempunyai administrasi penjualan dan melakukan penyerahan barang dan tidak memilih atau tidak diberi izin memilih salah satu tempat kedudukan dan/atau tempat usaha masing-masing cabang yang menyerahkan barang tersebut, dan masing-masing tempat itulah yang menentukan wilayah wewenang masing-masing Kantor Inspeksi Pajak untuk mengenakan pajak.

Huruf b

Tempat pajak terhutang atas impor Barang Kena Pajak dianggap perlu untuk menetapkan kompetensi wilayah Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk memungut pajak. Oleh karena itu tempat tersebut ditetapkan dokumen pemberitahuan pemasukan barang untuk dipakai diselesaikan di masing-masing Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 21

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai lebih dari satu tempat sebagai tempat terhutangnya pajak. 

Pengusaha Kena Pajak yang ingin memilih salah satu tempat untuk tempat pajak terhutang, harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak. 

Jika Direktur Jenderal Pajak memberikan persetujuan atas permohonan Pengusaha Kena Pajak tersebut, maka pajak terhutang ditempat yang telah disetujui tersebut.

Pasal 22

Ayat (1)

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terhutang atas impor Barang Kena Pajak dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bersama-sama dengan saat pemungutan Bea Masuknya. 

Oleh karena itu dalam hal pemungutan Bea Masuk ditangguhkan berdasarkan ketentuan Perundang-undangan Pabean yang berlaku, maka pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewahnya turut tertunda.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Ketentuan ini merupakan penyimpangan dari ketentuan yang diatur dalam ayat (1). 

Bagi Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai langganan atau pembeli tetap dan penyerahan Barang Kena Pajak kepada mereka itu terjadi beberapa kali dalam suatu masa pajak, maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan tertulis untuk diizinkan membuat satu Faktur Pajak Gabungan meliputi seluruh penyerahan Barang Kena Pajak yang terjadi dalam masa pajak yang bersangkutan. Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan atas permohonan tersebut. Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak tersebut tidak perlu membuat satu Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Pemberian jangka waktu untuk pembuatan Faktur Pajak dimaksudkan untuk memberikan tenggang waktu yang wajar sehingga dapat meringankan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan transaksi secara kredit. 

Hal ini mengingat Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menganut dasar akrual. Disamping itu pemberian jangka waktu tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kebiasaan administrasi dunia usaha, yang pada umumnya suatu Faktur dibuat setelah penyerahan barang. 

Apabila pembayaran dilakukan sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak juga harus dibuat dalam jangka waktu yang sama. 

Agar lebih mudah untuk menyesuaikan jangka waktu dimaksud dengan perkembangan dunia usaha, Menteri Keuangan berwenang menentukan jangka waktu lain untuk membuat Faktur Pajak.

Ayat (2)

Ketentuan dalam ayat ini mengatur tentang saat pembuatan Faktur Pajak dalam pelaksanaan penyerahan Jasa Kena Pajak :

  1. Apabila selama masa pelaksanaan pekerjaan Jasa Kena Pajak tersebut telah diterima pembayaran yang didasarkan pada bagian-bagian atau tahap dalam waktu tertentu setelah diterimanya pembayaran tersebut meskipun seluruh pekerjaan Jasa Kena Pajak belum selesai. 

    Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang menetapkan bahwa, bila pembayaran terjadi sebelum penyerahan, maka pajak terhutang pada saat pembayaran diterima;

  2. Jika pekerjaan Jasa Kena Pajak telah selesai seluruhnya dan diserahkan kepada pemesan atau pemilik, maka Faktur Pajak harus dibuat dalam waktu tertentu setelah saat penyerahan hasil pekerjaan Jasa Kena Pajak tersebut, meskipun masih ada bagian pekerjaan yang belum diterima pembayarannya.

Ayat (3)

Faktur Pajak Gabungan harus dibuat pada akhir bulan takwim dalam masa penyerahan Barang Kena Pajak tersebut. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan yang relatif sama dengan Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat Faktur Pajak Gabungan dihubungkan dengan jangka waktu pembayaran pajak ke Kas Negara.

Pasal 25

Ketentuan ini merupakan penegasan lebih lanjut dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 tentang kelebihan pembayaran yang dapat diminta kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. 

Kelebihan tersebut meliputi pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. 

Kelebihan ini adalah hak Pengusaha Kena Pajak. Sepanjang ketentuan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak diatur secara khusus oleh Menteri Keuangan, maka tata cara pengembaliannya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 26

Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983 telah dikeluarkan berbagai peraturan dan pedoman pelaksanaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 berupa Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Surat Keputusan atau Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak. Dengan dicabutnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1983, maka peraturan pelaksanaan tersebut dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum dikeluarkan ketentuan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dengan maksud untuk menghindarkan terjadinya kekosongan hukum.

Pasal 27

Cukup Jelas.

Pasal 28

Cukup Jelas