Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 19/PJ.23/1989

Kategori : PPh

Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Honorarium Dokter Yang Praktek Di Rumah Sakit. (Seri PPh Pasal 21-38)


 

3 April 1989

 

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 19/PJ.23/1989

TENTANG

PEMOTONGAN PPh PASAL 21 ATAS HONORARIUM DOKTER YANG PRAKTEK DI RUMAH SAKIT
(SERI PPh PASAL 21-38)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Berdasarkan data yang diperoleh dari pemeriksaan rumah sakit sebagai pemotong pajak PPh Pasal 21 di seluruh Indonesia dan hasil pembicaraan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) serta Pengurus Pusat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), bersama ini diberikan penegasan mengenai pedoman pemotongan PPh Pasal 21 atas honorarium dokter yang praktek di rumah sakit sebagai berikut :

  1. Di rumah sakit pada umumnya terdapat tenaga dokter yang berdasarkan status hubungan kerjanya dapat dibagi dalam 4 golongan, yakni :
    1. Dokter yang menjabat sebagai pengurus atau pimpinan rumah sakit.
    2. Dokter sebagai pegawai tetap atau pegawai honorer rumah sakit.
    3. Dokter tamu, yakni dokter yang merawat atau menitipkan pasiennya untuk dirawat di rumah sakit.
    4. Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagai tempat prakteknya.

     

  2. Penghasilan para dokter sebagaimana tersebut pada butir 1 adalah sebagai berikut :
    1. Dokter yang menjabat sebagai pengurus atau pimpinan rumah sakit menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari rumah sakit tersebut berupa gaji, tunjangan-tunjangan, honorarium, serta imbalan lain.
    2. Dokter sebagai pegawai tetap atau pegawai honorer dari rumah sakit menerima atau memperoleh penghasilan berupa gaji, tunjangan-tunjangan honorarium, serta imbalan lain.
    3. Dokter tamu menerima atau memperoleh penghasilan berupa honorarium dari rumah sakit sebagai imbalan atas jasa yang diberikannya, yang berasal dari pasien dan dibayarkan melalui rumah sakit.
    4. Dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit sebagai tempat prakteknya menerima atau memperoleh penghasilan sebagai imbalan atas jasa dokter yang dibayar oleh pasien, baik yang diterima secara langsung maupun melalui kas rumah sakit.

     

  3. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Jo. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-41/PJ.23/1988 tanggal 28 April 1988 (Buku Petunjuk), maka pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan dokter pada butir 1 adalah sebagai berikut :
    1. Atas penghasilan dokter yang menjabat sebagai pengurus atau pimpinan rumah sakit, dipotong PPh Pasal 21 oleh rumah sakit tersebut sesuai dengan ketentuan pemotongan PPh Pasal 21 untuk penghasilan pegawai tetap dengan diterapkan tarip Pasal 17 atas Penghasilan Kena Pajak (PKP). Penghasilan bruto diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh penghasilan, baik berupa gaji, tunjangan maupun honorarium serta imbalan lain yang dibayar oleh rumah sakit kepada dokter tersebut.
    2. Atas penghasilan dokter sebagai pegawai tetap dari rumah sakit dipotong PPh Pasal 21 oleh rumah sakit tersebut sesuai dengan ketentuan pada butir 3.a. Sedangkan apabila dokter tersebut statusnya masih pegawai honorer, maka ia hanya berhak memperoleh potongan PTKP tetapi tidak berhak mendapat potongan biaya jabatan dan kepadanya diterapkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) Buku Petunjuk.
    3. Atas penghasilan berupa honorarium yang diterima dokter tamu, dipotong PPh Pasal 21 oleh pihak rumah sakit sebesar : 15% x 40% x Penghasilan bruto berupa honorarium. Yang dimaksud dengan penghasilan bruto berupa honorarium adalah jumlah imbalan jasa dokter dari pasien yang dirawatnya di rumah sakit tersebut, sebelum dipotong atau dikurangi dengan potongan-potongan oleh rumah sakit.
      Untuk lebih jelasnya bersama ini diberikan contoh perincian biaya perawatan dari rumah sakit sebagai berikut :
      Jenis biaya Sebesar
      1. Biaya perawatan (sewa kamar)
      2. Radiologi
      3. Laboratorium
      4. Anesthesi
      5. Biaya obat
      6. Telepon/Interlokal
      7. Jasa dokter
      8. Biaya administrasi
      Rp. 630.000,-
      Rp.   21.000,-
      Rp.   19.700,-
      Rp.   15.980,-
      Rp.   24.025,-
      Rp.     1.700,-
      Rp. 150.000,-
      Rp.   14.620,-

      Jumlah biaya

      Rp. 877.025,-
      ===========

       

      Dari jumlah jasa dokter sebesar Rp. 150.000,- tersebut, rumah sakit akan memotong pungutan rumah sakit (bagian rumah sakit) sebesar 15% s/d 20%, tergantung persetujuan antara dokter dengan rumah sakit tersebut. PPh Pasal 21 atas honorarium dokter yang harus dipotong oleh rumah sakit adalah sebagai berikut :
      15% x 40% x Rp. 150.000,- = Rp. 9.000,-

      Dalam hubungan ini berdasarkan kesepakatan antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Pengurus Pusat Persi, jasa dokter wajib dibayarkan melalui rumah sakit.

    4. Atas penghasilan berupa imbalan jasa dokter dari pasien yang diterima langsung oleh dokter yang menyewa ruangan di rumah sakit untuk tempat prakteknya rumah sakit tidak wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21. Namun dalam hal pasien membayar jasa dokter melalui kas rumah sakit dan rumah sakit tersebut memotong pungutan rumah sakit, maka atas imbalan jasa dokter yang dibayarkan kepada dokter tersebut berlaku ketentuan sebagaimana tersebut pada butir 3.c.

  4. Perlu ditegaskan bahwa rumah sakit dan Yayasan Pengelola Rumah Sakit wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para dokter sebagaimana tersebut pada butir 2 sesuai ketentuan sebagaimana tersebut pada butir 3. Fihak rumah sakit bertanggung jawab sepenuhnya atas pelaksanaan pemotongan tersebut.

  5. Pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi (Formulir 1770) dari dokter dilaksanakan sebagai berikut :
    1. Penghasilan bruto berupa honorarium dari rumah sakit (dalam contoh pada butir 4.c sebesar Rp. 150.000,-) digabungkan atau dijumlahkan dengan penerimaan bruto dari pekerjaan bebas, yakni penerimaan bruto dari praktek di rumah atau di tempat praktek lainnya.
    2. Apabila hasil penjumlahan sebagaimana tersebut pada butir 5.a, yakni jumlah seluruh penerimaan bruto dari pekerjaan bebas, berjumlah kurang dari Rp. 120.000.000,- setahun, maka dokter tersebut berhak dan boleh memilih menggunakan Norma Penghitungan penghasilan netto. Besarnya Norma Penghitungan penghasilan netto untuk dokter adalah 40% dari penghasilan bruto. Untuk maksud ini dokter tersebut diwajibkan memberitahukan kepada KIP selambat-lambatnya pada akhir bulan Maret dari tahun pajak yang bersangkutan.
    3. Apabila hasil penjumlahan sebagaimana tersebut pada butir 5.a., yakni jumlah seluruh penerimaan bruto dari pekerjaan bebas telah mencapai jumlah Rp. 120.000.000,- atau lebih setahun, maka dokter tersebut tidak diperkenankan untuk menggunakan Norma. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, ia diwajibkan menyelenggarakan pembukuan, penghitungan penghasilannya didasarkan pada keadaan yang sebenarnya sesuai dengan pembukuan yang diselenggarakannya.
    4. Dalam hal dokter tersebut belum memiliki NPWP, maka kepadanya supaya segera diberikan NPWP agar ia dapat segera mengisi SPT Tahunan.

     

  6. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran ini maka dengan ini kami nyatakan bahwa Surat Edaran terdahulu yang mengatur mengenai hal yang sama yang tidak sesuai dengan Surat Edaran ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan pemotongan PPh Pasal 21 atas honorarium dokter yang praktek di rumah sakit ini berlaku sejak tanggal dikeluarkannya Surat Edaran ini.


Demikian, untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.





DIREKTUR JENDERAL PAJAK


ttd.

Drs. MAR'IE MUHAMMAD