Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 96/PMK.03/2021

Kategori : PPN

Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 96/PMK.03/2021

TENTANG

PENETAPAN JENIS BARANG KENA PAJAK SELAIN KENDARAAN
BERMOTOR YANG DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
DAN TATA CARA PENGECUALIAN PENGENAAN PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2020 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2020 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 236, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6568);
  5. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);


MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENETAPAN JENIS BARANG KENA PAJAK SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH DAN TATA CARA PENGECUALIAN PENGENAAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  2. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  4. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
  5. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  6. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
  7. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN dan PPnBM.
  8. Surat Keterangan Bebas PPnBM yang selanjutnya disebut SKB PPnBM adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak diberikan pengecualian melalui pembebasan dari pengenaan PPnBM atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor.
  9. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  10. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.


BAB II
PENETAPAN JENIS BARANG KENA PAJAK SELAIN KENDARAAN
BERMOTOR YANG DIKENAI PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH

Pasal 2


(1) Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM ditetapkan dengan tarif 20% (dua puluh persen), 40% (empat puluh persen), 50% (lima puluh persen), atau 75% (tujuh puluh lima persen).
(2) Ketentuan mengenai daftar jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB III
TATA CARA PENGECUALIAN DARI PENGENAAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR ATAU
PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG
MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR

Pasal 3


Pengenaan PPnBM dikecualikan atas impor atau penyerahan:
  1. peluru senjata api dan/atau peluru senjata api lainnya untuk keperluan negara;
  2. pesawat udara dengan tenaga penggerak untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga;
  3. senjata api dan/atau senjata api lainnya untuk keperluan negara;
  4. kapal pesiar, kapal ekskursi, dan/atau kendaraan air semacam itu terutama dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri dari semua jenis dan/atau yacht untuk kepentingan negara atau angkutan umum; dan
  5. yacht untuk usaha pariwisata.


Pasal 4


(1) Pengecualian dari pengenaan PPnBM atas impor atau penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a sampai dengan huruf d diberikan kepada Wajib Pajak tanpa harus memiliki SKB PPnBM dalam hal Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut telah memperoleh fasilitas dibebaskan atau tidak dipungut PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengecualian dari pengenaan PPnBM atas impor atau penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e diberikan kepada Wajib Pajak yang melakukan usaha pariwisata yang memiliki SKB PPnBM untuk setiap kali impor atau penyerahan.
(3) Dalam hal Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memperoleh fasilitas dibebaskan atau tidak dipungut PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, pengecualian dari pengenaan PPnBM atas impor atau penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut diberikan kepada Wajib Pajak yang memiliki SKB PPnBM untuk setiap kali impor atau penyerahan.


Pasal 5


(1) SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) harus dimiliki oleh Wajib Pajak yang melakukan impor atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor atau menerima penyerahan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan impor atau yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. tidak memiliki SKB PPnBM; atau
  2. memiliki SKB PPnBM setelah pengajuan pemberitahuan pabean impor atau menerima penyerahan,
PPnBM atas impor atau penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut tetap dipungut atau dibayar.


Pasal 6


(1) Untuk memperoleh SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Wajib Pajak mengajukan permohonan SKB PPnBM kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak atau laman yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Permohonan SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat informasi:
  1. nama;
  2. alamat;
  3. Nomor Pokok Wajib Pajak;
  4. jenis usaha atau instansi/lembaga, dalam hal Barang Kena Pajak yang tergolong mewah digunakan untuk keperluan atau kepentingan negara;
  5. nama dan/atau jenis barang;
  6. kuantitas barang;
  7. Nilai Impor, dalam hal impor atau Harga Jual, dalam hal penyerahan;
  8. PPnBM terutang;
  9. nomor dan tanggal invois (invoice), dalam hal melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
  10. nomor dan tanggal kontrak pembelian atau surat perjanjian jual beli atau dokumen yang dipersamakan, dalam hal menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
  11. kurs mata uang asing serta nomor dan tanggal Keputusan Menteri yang digunakan saat permohonan, dalam hal melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; dan
  12. identitas pengurus atau pejabat yang berwenang dari instansi yang mengajukan permohonan.
(3) Permohonan SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen pendukung yang diunggah melalui laman Direktorat Jenderal Pajak atau laman yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa fotokopi dokumen:
  1. invois (invoice), dalam hal melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
  2. kontrak pembelian atau surat perjanjian jual beli atau dokumen yang dipersamakan yang memuat keterangan nama penjual, nama pembeli, serta jenis dan spesifikasi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, dalam hal menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
  3. dokumen yang menunjukkan kegiatan usaha angkutan udara atau usaha angkutan umum di perairan berupa nomor izin berusaha dan sertifikat standar yang telah diverifikasi atau surat izin usaha angkutan udara atau izin usaha angkutan umum di perairan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perizinan berusaha, dalam hal Wajib Pajak melakukan impor atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b atau huruf d; dan
  4. dokumen yang menunjukkan kegiatan usaha pariwisata berupa nomor izin berusaha dan sertifikat standar yang telah diverifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata atau izin usaha pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perizinan berusaha, dalam hal Wajib Pajak melakukan impor atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e.
(5) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Wajib Pajak harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak memiliki utang pajak, kecuali Wajib Pajak mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak; dan
b. telah menyampaikan:
  1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan
  2. Surat Pemberitahuan Masa PPN 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
yang telah menjadi kewajibannya baik bagi pusat maupun cabang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 7


(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
  1. menerbitkan SKB PPnBM yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan, dalam hal permohonan Wajib Pajak telah dilengkapi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dokumen yang sesuai dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5); atau
  2. tidak memproses permohonan, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dilengkapi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), tidak dilengkapi dokumen yang sesuai dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dan/atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5),
melalui laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau laman yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak, segera setelah permohonan disampaikan.
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak diproses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kembali dengan melengkapi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dokumen yang sesuai dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dan/atau ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor atau menerima penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).


Pasal 8


(1) Kepala kantor pelayanan pajak melakukan penelitian administrasi terhadap SKB PPnBM yang telah diterbitkan melalui laman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, meliputi:
  1. kelengkapan dan kesesuaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dalam permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); dan
  2. kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak.
(2) Dalam hal dokumen pendukung permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) tidak disampaikan atau disampaikan namun tidak lengkap, kepala kantor pelayanan pajak menyampaikan permintaan kelengkapan dokumen kepada Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak dapat menyampaikan kelengkapan dokumen pendukung secara langsung ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirim.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala kantor pelayanan pajak melakukan penelitian terhadap kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak berdasarkan dokumen, data, dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.


Pasal 9


(1) Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak atau laman yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan SKB PPnBM secara langsung ke kantor pelayanan pajak tempat terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. kepala kantor pelayanan pajak dengan melampirkan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4).
(2) Permohonan SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sah apabila ditandatangani oleh orang pribadi, pengurus, pejabat yang berwenang, atau kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala kantor pelayanan pajak:
  1. menerbitkan SKB PPnBM, dalam hal permohonan Wajib Pajak telah dilengkapi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dokumen yang sesuai dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5); atau
  2. menerbitkan surat penolakan, dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak dilengkapi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), tidak dilengkapi dokumen yang sesuai dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dan/atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5),
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah permohonan SKB PPnBM diterima.
(4) Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau Pasal 6 ayat (1).


Pasal 10


(1) Wajib Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat menyampaikan fotokopi surat keterangan bebas PPN atau surat keterangan tidak dipungut PPN atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut pada saat mengajukan pemberitahuan pabean impor ke kantor pelayanan bea dan cukai tempat dokumen impor diselesaikan.
(2) Wajib Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) harus mencantumkan informasi nomor dan tanggal SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a atau Pasal 9 ayat (3) huruf a yang menjadi dasar pengecualian pengenaan PPnBM pada dokumen pemberitahuan pabean di bidang impor.
(3) Wajib Pajak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menyerahkan fotokopi surat keterangan bebas PPN atau surat keterangan tidak dipungut PPN atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan.
(4) Wajib Pajak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) harus menyerahkan SKB PPnBM atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut kepada Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan.
(5) Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dikecualikan dari pengenaan PPnBM, harus membuat Faktur Pajak dengan mencantumkan:
  1. informasi berupa “PPnBM DIKECUALIKAN SESUAI DENGAN PP NOMOR 61 TAHUN 2020” atau informasi yang menunjukkan bahwa atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut telah memperoleh fasilitas dibebaskan atau tidak dipungut PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
  2. nomor dan tanggal SKB PPnBM, dalam hal Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3).


Pasal 11


(1) Dalam hal terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dalam penerbitan SKB PPnBM, kepala kantor pelayanan pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau melalui permohonan Wajib Pajak yang melakukan impor atau yang menerima penyerahan dapat mengganti SKB PPnBM dengan menerbitkan SKB PPnBM Pengganti.
(2) Permohonan penggantian SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan alasan tertulis dilakukannya penggantian dengan dilampiri asli SKB PPnBM yang telah diterbitkan.
(3) Berdasarkan permohonan penggantian SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala kantor pelayanan pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian administrasi atas kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala kantor pelayanan pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan berupa:
  1. menerbitkan SKB PPnBM Pengganti, dalam hal terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
  2. menerbitkan surat penolakan permohonan penggantian SKB PPnBM, dalam hal tidak terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah surat permohonan diterima lengkap.
(6) SKB PPnBM Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a berlaku terhitung sejak tanggal mulai berlakunya SKB PPnBM yang dilakukan penggantian.


Pasal 12


(1) Kepala kantor pelayanan pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan pembatalan SKB PPnBM atau SKB PPnBM Pengganti dalam hal:
  1. diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) tidak berhak memperoleh SKB PPnBM; atau
  2. hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memperoleh SKB PPnBM.
(2) Wajib Pajak yang melakukan impor atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib membayar PPnBM yang dikecualikan dan/atau PPN yang kurang dibayar dalam hal dilakukan pembatalan atas:
  1. SKB PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
  2. fasilitas dibebaskan atau tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(3) PPN yang kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan PPN yang seharusnya dibayar dengan memperhitungkan PPnBM dalam Dasar Pengenaan Pajak PPN apabila atas penyerahan tersebut tidak dikecualikan dari PPnBM.
(4) PPnBM dan/atau PPN yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) PPnBM dan/atau PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayarkan ke kas negara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(6) PPN yang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dikreditkan sebagai pajak masukan sesuai dengan ketentuan pengkreditan pajak masukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Terhadap keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat tagihan pajak untuk menagih sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(8) Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 13


(1) PPnBM yang telah dikecualikan dan/atau PPN yang kurang dibayar atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak berupa yacht sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e wajib dibayar apabila dalam jangka waktu 4 (empat) tahun terhitung sejak saat dilakukannya impor atau perolehan Barang Kena Pajak tersebut:
  1. digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula; atau
  2. dipindahtangankan kepada pihak lain.
(2) PPN yang kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan PPN yang seharusnya dibayar dengan memperhitungkan PPnBM dalam Dasar Pengenaan Pajak PPN apabila atas penyerahan tersebut tidak dikecualikan dari PPnBM.
(3) PPnBM dan/atau PPN yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat Barang Kena Pajak tersebut digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain.
(4) PPnBM dan/atau PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibayarkan ke kas negara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Barang Kena Pajak tersebut digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(5) PPN yang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dikreditkan sebagai pajak masukan.
(6) Dalam hal pembayaran dilakukan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat tagihan pajak untuk menagih sanksi administratif berupa bunga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(8) Dikecualikan dari kewajiban membayar PPnBM dan/atau PPN yang kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e dipindahtangankan kepada pihak lain yang memiliki kegiatan usaha yang sama.


Pasal 14


(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat mengajukan permohonan pengembalian PPnBM atas impor atau penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikecualikan dari pengenaan PPnBM, dengan ketentuan:
  1. untuk impor, PPnBM telah disetor ke kas negara pada saat dilakukannya impor dan tidak dibiayakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipungut atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan; atau
  2. untuk penyerahan, PPnBM telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN Wajib Pajak yang melakukan pemungutan PPN dan/atau PPnBM dan tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Permohonan pengembalian PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 12 (dua belas) bulan setelah dilakukannya impor atau penyerahan Barang Kena Pajak.
(3) Permohonan pengembalian PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen yang sesuai dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) dan dokumen berupa:
  1. fotokopi bukti kepemilikan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3);
  2. Faktur Pajak dari Pengusaha Kena Pajak penjual yang merupakan bukti pemungutan PPnBM;
  3. dalam hal pengembalian PPnBM diajukan atas impor Barang Kena Pajak yang dikecualikan dari pengenaan PPnBM, dilengkapi dengan dokumen impor berupa pemberitahuan impor barang dan dilampiri asli bukti pembayaran berupa surat setoran pajak, surat setoran pabean, cukai dan pajak, dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemberitahuan impor barang tersebut dan invois (invoice);
  4. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
  5. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.


Pasal 15


(1) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, kepala kantor pelayanan pajak melakukan penelitian, terhadap:
  1. kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak dengan kelengkapan dokumen yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
  2. untuk impor, PPnBM telah dibayar ke kas negara pada saat dilakukannya impor; dan/atau
  3. untuk penyerahan, PPnBM telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN oleh Wajib Pajak yang melakukan pemungutan PPN dan/atau PPnBM.
(2) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala kantor pelayanan pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak:
  1. menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dalam hal terdapat PPnBM yang seharusnya dikembalikan; atau
  2. menerbitkan surat penolakan permohonan pengembalian PPnBM, dalam hal tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak terdapat PPnBM yang seharusnya dikembalikan.
(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau surat penolakan permohonan pengembalian PPnBM sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak surat permohonan diterima lengkap.
(4) Dalam hal permohonan pengembalian PPnBM ditolak, Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat mengajukan permohonan kembali sepanjang permohonan tersebut disampaikan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan setelah dilakukannya impor atau penyerahan Barang Kena Pajak.


Pasal 16


Ketentuan mengenai contoh format:
a. surat permintaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2);
b. permohonan SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
c. SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a;
d. surat penolakan permohonan SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b;
e. permohonan penggantian SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
f. SKB PPnBM Pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf a;
g. surat penolakan permohonan penggantian SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf b;
h. surat keterangan pembatalan SKB PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1);
i. permohonan pengembalian PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1);
j. surat penolakan permohonan pengembalian PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b;
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 362) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.010/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 640), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 18


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juli 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juli 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BENNY RIYANTO



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 835