Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 40/PJ.3/1985

Kategori : PPN

Pajak Pertambahan Nilai Atas Usaha Periklanan (Seri PPN-49)


24 Mei 1985


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 40/PJ.3/1985

TENTANG

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS USAHA PERIKLANAN (SERI PPN-49)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Bersama ini disampaikan rumusan bersama hasil pertemuan Direktorat Pajak Tidak Langsung Direktorat Jenderal Pajak dengan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 9 dan 15 Mei 1985, dalam rangka membahas pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai atas usaha periklanan.

Mengingat bahwa rumusan bersama ini hanya memuat garis besar, maka dengan ini diberikan penegasan lebih lanjut sebagai berikut :

  1. Pengusaha Kena Pajak :

    Dalam rangka usahanya, Perusahaan Periklanan dapat menghasilkan sendiri atau menyuruh orang atau badan lain untuk menghasilkan barang-barang yang diserahkan kepada pengiklan atau sponsor. Dengan demikian berdasarkan Pasal 1 huruf k Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 Perusahaan Periklanan adalah Pengusaha Kena Pajak.

     

  2. Kegiatan Perusahaan Periklanan dan Barang Kena Pajak dalam bidang periklanan :

    Kegiatan Perusahaan periklanan pada umumnya terbagi 2, yaitu :

    2.1.

    Bidang Jasa :
    Pemasangan/penempatan iklan di media massa (koran, majalah, radio dan bioskop) dan proposal yang meliputi penelitian, rekomendasi pemasaran, disain dan tata-rupa gambar iklan (lay out). 

    Kegiatan tersebut adalah kegiatan dibidang jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. 

    Dengan demikian baik Perusahaan Periklanan maupun perusahaan media massa tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai atas penerimaan biaya pemasangan iklan.

     

    2.2. Bidang Pabrikasi :
    Kegiatan Perusahaan Periklanan membuat atau menyuruh orang atau badan lain membuat barang-barang sebagai berikut :
    1. Papan reklame, neon sign dan spanduk.
    2. Gambar iklan (artwork).
    3. Film atau pemisah warna (colour separation).
    4. Potret/Foto.
    5. Rekaman iklan radio.
    6. Film iklan bioskop dan audio visual lainnya
    7. Lain-lain yang lazim dalam usaha periklanan seperti misalnya : baju kaos, gantungan kunci, ball-point dan sebagainya;
    dengan maksud untuk diserahkan kepada pihak lain. Kegiatan tersebut diatas merupakan kegiatan "menghasilkan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf m Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan barang-barang tersebut merupakan Barang Kena Pajak. Dalam pelaksanaan kegiatan "menghasilkan" inilah Perusahaan Periklanan berkedudukan sebagai Pengusaha Kena Pajak (Pabrikan) dan atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut diatas terhutang Pajak Pertambahan Nilai.
     
  3. Pengukuhan Menjadi Pengusaha Kena Pajak :
    Semua Perusahaan Periklanan wajib melaporkan usahanya ke Kantor Inspeksi Pajak setempat untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Menurut informasi dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) diketahui sampai saat ini masih banyak Perusahaan Periklanan yang belum melapor usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak karena merasa dirinya bukan Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu untuk taraf pertama ini, dipandang perlu untuk memberikan tenggang waktu pelaporan usaha sampai dengan tanggal 30 Juni 1985 dan atas keterlambatan pelaporan usaha sampai dengan waktu tersebut tidak dikenakan sanksi. 

     

    Sejalan dengan ketentuan tersebut maka perhitungan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang dimulai untuk Masa Pajak bulan Juni 1985.

     

  4. Dasar Pengenaan Pajak :
    Berdasarkan Pasal 1 huruf n dan huruf o Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terhutang yang harus dipungut oleh Perusahaan Periklanan adalah jumlah Harga Jual Barang Kena Pajak tersebut pada butir 2.2. termasuk semua biaya yang diminta oleh Perusahaan Periklanan dari pengiklan atau sponsor, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga. 


    Potongan harga yang diberikan oleh Perusahaan Periklanan dapat dikurangkan dari Harga Jual, asal dalam batas kewajaran dalam usaha periklanan dan harus dicantumkan di dalam Faktur Pajak yang dibuat oleh Perusahaan Periklanan.

     

  5. Pencatatan dalam Pembukuan :
    Dengan adanya dua macam kegiatan seperti tersebut pada butir 2, maka Perusahaan Periklanan wajib melakukan pencatatan secara terpisah dalam pembukuannya mengenai kegiatan usaha tersebut sehingga jumlah harga perolehan dan penyerahan barang yang terhutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terhutang Pajak Pertambahan Nilai dapat diketahui dengan mudah dan pasti.

     
  6. Hak dan Kewajiban Perusahaan Periklanan :
    Hak dan kewajiban lainnya dari Perusahaan Periklanan sebagai Pengusaha Kena Pajak seperti membuat Faktur Pajak, Faktur Pajak Gabungan, penyetoran pajak, pelaporan perhitungan pajak (SPT Masa) dan sebagainya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

     
  7. Lain-lain :
    7.1. Untuk terlaksananya ketentuan tersebut diatas dengan baik, maka Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) telah menyanggupi untuk menyampaikan daftar anggotanya kepada para Kepala Inspeksi Pajak setempat, dan memberitahukan para anggotanya untuk melaporkan usahanya kepada Kepala Inspeksi Pajak untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
    7.2. Kepada para Kepala Inspeksi Pajak diminta agar secara aktif menghubungi Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) di wilayahnya untuk menyampaikan dan memberikan penjelasan dan bimbingan mengenai ketentuan atas usaha periklanan ini.

 

Demikianlah untuk mendapat perhatian Saudara.





A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK
DIREKTUR PAJAK TIDAK LANGSUNG,

ttd


Drs. DJAFAR MAHFUD