Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 17/PJ/2018

Kategori : KUP, PPN

Tata Cara Penanganan Wajib Pajak Terindikasi Sebagai Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah, Wajib Pajak Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah, Dan/Atau Wajib Pajak Terindikasi Sebagai Pengguna Faktur Pajak Tidak Sah


30 Agustus 2018


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 17/PJ/2018

TENTANG

TATA CARA PENANGANAN WAJIB PAJAK TERINDIKASI SEBAGAI PENERBIT FAKTUR
PAJAK TIDAK SAH, WAJIB PAJAK PENERBIT FAKTUR PAJAK TIDAK SAH, DAN/ATAU
WAJIB PAJAK TERINDIKASI SEBAGAI PENGGUNA FAKTUR PAJAK TIDAK SAH

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


A. Umum

Sehubungan dengan ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2018 dan dalam rangka pelaksanaan penanganan Wajib Pajak terindikasi sebagai penerbit faktur pajak tidak sah, Wajib Pajak penerbit faktur pajak tidak sah, dan Wajib Pajak terindikasi sebagai pengguna faktur pajak tidak sah yang dapat merugikan penerimaan perpajakan, perlu diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Penanganan Wajib Pajak Terindikasi sebagai Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah, Wajib Pajak Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah, dan/atau Wajib Pajak Terindikasi sebagai Pengguna Faktur Pajak Tidak Sah.
   
B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal Ini disusun sebagai pedoman bagi unit kerja di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan melaksanakan penanganan Wajib Pajak terindikasi sebagai penerbit faktur pajak tidak sah, Wajib Pajak penerbit faktur pajak tidak sah, dan/atau Wajib Pajak terindikasi sebagai pengguna faktur pajak tidak sah.
2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan keseragaman, akuntabilitas, dan transparansi dalam melaksanakan penanganan Wajib Pajak terindikasi sebagai penerbit faktur pajak tidak sah, Wajib Pajak penerbit faktur pajak tidak sah, dan/atau Wajib Pajak terindikasi sebagai pengguna faktur pajak tidak sah.
   
C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:
1. Pengertian;
2. Penanganan Wajib Pajak Terindikasi sebagai Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah;
3. Penanganan Wajib Pajak Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah; dan
4. Penanganan Wajib Pajak Terindikasi sebagai Pengguna Faktur Pajak Tidak Sah.
   
D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4999);
2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengusaha Kena Pajak;
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2018.
   
E. Materi

1. Pengertian
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
  1. Faktur Pajak Tidak Sah adalah Faktur Pajak yang diterbitkan tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dan/atau Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
  2. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau penyelenggara sertifikasi elektronik.
  3. Status Suspend adalah suatu keadaan di mana Sertifikat Elektronik yang dimiliki oleh Wajib Pajak dinonaktifkan untuk sementara waktu secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak sehingga Wajib Pajak tidak dapat menerbitkan Faktur Pajak.
  4. Wajib Pajak yang Terindikasi sebagai Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Terindikasi Penerbit adalah Wajib Pajak yang memiliki indikasi sebagai Wajib Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah.
  5. Wajib Pajak Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Penerbit adalah Wajib Pajak yang berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan sebagai Wajib Pajak yang telah menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah.
  6. Wajib Pajak yang Terindikasi sebagai Pengguna Faktur Pajak Tidak Sah yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Terindikasi Pengguna adalah Wajib Pajak yang menggunakan Faktur Pajak Tidak Sah yang diterbitkan oleh Wajib Pajak Terindikasi Penerbit dan/atau Wajib Pajak Penerbit.
  7. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disingkat KPP adalah kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
  8. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disingkat Kanwil DJP adalah kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan unit vertikal di atas KPP.
  9. Unit Eselon II Pelaksana Analisis Intelijen dalam rangka Pengembangan dan Analisis Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP) yang selanjutnya disebut Unit Pelaksana Pengembangan dan Analisis IDLP adalah Direktorat Intelijen Perpajakan atau Kanwil DJP yang melaksanakan analisis intelijen dalam rangka Pengembangan dan Analisis IDLP terhadap Wajib Pajak.
  10. Unit Eselon II Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan yang selanjutnya disebut Unit Pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Direktorat Penegakan Hukum atau Kanwil DJP yang melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap Wajib Pajak.
  11. Unit Eselon II Pelaksana Penyidikan yang selanjutnya disebut Unit Pelaksana Penyidikan adalah Direktorat Penegakan Hukum atau Kanwil DJP yang melaksanakan Penyidikan terhadap Wajib Pajak.
2. Penanganan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit
a. Direktur Intelijen Perpajakan atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend untuk menonaktifkan sementara Sertifikat Elektronik Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak Terindikasi Penerbit.
b. Yang dimaksud dengan menonaktifkan sementara Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah menonaktifkan sementara akun Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada aplikasi e-faktur Wajib Pajak.
c. Dalam rangka penentuan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit perlu dilakukan analisis terhadap indikasi awal bahwa Wajib Pajak sebagai penerbit Faktur Pajak Tidak Sah, antara lain berupa:
1) Wajib Pajak belum dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan Faktur Pajak;
2) Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit atau Wajib Pajak Penerbit;
3) Wajib Pajak yang Faktur Pajak keluarannya belum atau tidak dilaporkan di dalam SPT Masa PPN namun sudah dikreditkan oleh lawan transaksi;
4) Wajib Pajak yang:
a) akta pendirian badan hukumnya disahkan oleh dan dibuat di hadapan notaris yang sama dengan yang digunakan oleh Wajib Pajak Terindikasi Penerbit atau Wajib Pajak Penerbit atau notaris yang sama dengan yang digunakan oleh satu atau beberapa Wajib Pajak lain;
b) pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lain; atau
c) memiliki alamat kedudukan atau kegiatan usaha yang sama dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lain; dan/atau
d)  memiliki pengurus yang sama dengan pengurus Wajib Pajak Terindikasi Penerbit atau Wajib Pajak Penerbit atau pengurus yang sama dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lain.
5) Wajib Pajak yang memiliki kegiatan usaha tidak wajar, dengan karakteristik antara lain:
a) Wajib Pajak Non-Efektif (NE) tiba-tiba kegiatan usahanya aktif dan melakukan penyerahan yang terutang PPN dalam jumlah besar;
b) Wajib Pajak melakukan penyerahan terutang PPN yang tidak sebanding dengan jumlah modal atau jumlah harta perusahaan;
c) Wajib Pajak melakukan penyerahan terutang PPN yang tidak sebanding dengan jumlah karyawan yang bekerja pada perusahaan;
d) Wajib Pajak melakukan penyerahan terutang PPN yang sangat beragam sehingga tidak diketahui dengan pasti kegiatan usaha utama Wajib Pajak tersebut;
e) Wajib Pajak memiliki persediaan besar namun tidak memiliki gudang atau tidak terdapat biaya sewa gudang;
f) Wajib Pajak yang sebagian besar pembeliannya adalah impor namun kegiatan penyerahannya tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan barang yang diimpor; dan/atau
g) Wajib Pajak yang melakukan penyerahan BKP namun tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan barang yang dibeli;
h) Wajib Pajak yang memiliki rasio laba usaha bersih (net profit margin) sangat kecil.
6) Wajib Pajak yang memiliki administrasi pelaporan pajak dengan karakteristik antara lain:
a) Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN dengan status Lebih Bayar dan dikompensasikan ke masa pajak berikutnya secara terus-menerus, namun:
(1) Wajib Pajak bukan Wajib Pajak yang baru berdiri;
(2) Wajib Pajak tidak sedang berinvestasi pada barang modal;
(3) tidak terdapat peningkatan persediaan yang signifikan; dan/atau
(4)  Wajib Pajak tidak melakukan, atau melakukan dengan jumlah persentase yang kecil, atas:
(a) penyerahan yang terutang PPN namun tidak dipungut;
(b) penyerahan ekspor; dan/atau
(c) penyerahan kepada Pemungut PPN;
b) Wajib Pajak memiliki penyerahan terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam jumlah besar namun secara konsisten PPN Kurang Bayar yang dibayar atau disetor kecil;
c) Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang mengakibatkan jumlah Pajak Keluaran menjadi lebih besar namun diimbangi juga dengan penambahan Pajak Masukan yang besar sehingga tidak mengubah PPN Kurang Bayar yang telah dilaporkan atau menambah PPN Kurang Bayar tetapi nilainya kecil; dan/atau
d) Wajib Pajak rutin menyampaikan SPT Masa PPN namun tidak atau kurang patuh dalam menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 23 dan/atau Pasal 26, Pasal 25, Pasal 4 ayat (2), dan/atau SPT Tahunan PPh.
7) terdapat IDLP yang mengindikasikan Wajib Pajak telah atau sedang atau akan menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah.
d. Untuk mendapatkan keyakinan yang memadai, terhadap Wajib Pajak yang memenuhi indikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c harus dilakukan penelitian lebih lanjut atas kriteria sebagai berikut:
1) keabsahan dokumen identitas Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
2) keberadaan Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak dan kesesuaian atau kewajaran profil Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
3) keberadaan dan kewajaran lokasi usaha Wajib Pajak; dan
4) kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak.
e. Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf d dapat dilakukan melalui:
1) kunjungan (visit) ke tempat Wajib Pajak, alamat domisili Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
2) pemeriksaan lapangan;
3) konfirmasi kepada instansi atau pejabat berwenang;
4) kegiatan intelijen perpajakan; dan/atau
5) pengamatan.
f. Penelitian keabsahan dokumen identitas Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 1) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) melakukan pengecekan terhadap keabsahan:
a) dalam hal Wajib Pajak adalah Orang Pribadi:
(1) data dan/atau informasi pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) Wajib Pajak dan data dan/atau informasi pada Kartu Keluarga atas nama Wajib Pajak, bagi Warga Negara Indonesia (WNI), seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK), tanggal lahir, dan foto diri; atau
(2) data dan/atau informasi pada Paspor yang masih berlaku, bagi Warga Negara Asing (WNA);
b) dalam hal Wajib Pajak adalah Badan:
(1) akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap (BUT);
(2) data dan/atau informasi pada KTP dan Kartu Keluarga atas nama pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak dalam hal pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak merupakan WNI; dan/atau
(3) data dan/atau informasi pada Paspor pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak yang masih berlaku dalam hal pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak merupakan WNA;
2) dokumen identitas Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak dapat diyakini keabsahannya, antara lain dalam hal:
(a) NIK dan informasi yang ada pada KTP Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak pada Masterfile Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak sesuai dengan data NIK dan informasi pada database nasional kependudukan;
(b) data dan/atau informasi di dalam KTP Wajib Pajak, dan Kartu Keluarga atas nama Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak, seperti seperti NIK, tanggal lahir, dan foto diri, berbeda dengan data dan/atau informasi pada database nasional kependudukan;
(c) Paspor Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak sesuai dengan data yang ada di instansi atau pejabat berwenang;
(d) data akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan tidak terkonfirmasi (tidak ditemukan atau tidak sesuai) dengan Data Perseroan Terbatas pada instansi berwenang misalnya, Listing Perusahaan Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Direktori Notaris Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam hal Wajib Pajak adalah Perseroan Terbatas (PT);
(e) data akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan tidak terkonfirmasi (tidak ditemukan atau tidak sesuai) dengan data dan/atau informasi pada register notaris atau notaris pengganti, dalam hal Wajib Pajak adalah badan yang pendirian atau perubahannya melalui akta notaris;
g. Penelitian keberadaan Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak dan kesesuaian atau kewajaran profil Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 2) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) melakukan pengecekan terhadap alamat berdasarkan identitas (KTP, Kartu Keluarga, atau Paspor) maupun alamat tempat tinggal sebenarnya dari Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
2) melakukan pengecekan terhadap kewajaran atau kesesuaian profil Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
3) keberadaan, kewajaran, dan kesesuaian profil Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak dapat diyakini, antara lain dalam hal:
a) alamat sebenarnya Wajib Pajak, pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak diketahui keberadaanya;
b) pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak yang tercantum dalam akta pendirian atau perubahan bukan orang yang nyata-nyata mempunyai kewenangan dalam melakukan pengurusan kegiatan Wajib Pajak;
c) pekerjaan nyata atau sebenarnya pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak mencerminkan profil wajar dirinya sebagai pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak;
d) nama atau jabatan pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak sama atau tidak saling bersesuaian di antara beberapa dokumen Wajib Pajak seperti akta pendirian atau perubahan, Surat Pemberitahuan, dan/atau Laporan Keuangan;
e) nama atau jabatan pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak tidak sama atau tidak saling bersesuaian antara dokumen Wajib Pajak dengan pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak sebenarnya di tempat kegiatan usaha Wajib Pajak;
f) pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan atau Penuntutan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk kasus penerbitan Faktur Pajak Tidak Sah; dan/atau
g) pengurus dan/atau penanggung jawab Wajib Pajak telah terbukti bersalah dan telah mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk kasus penerbitan Faktur Pajak Tidak Sah.
h. Penelitian keberadaan dan kewajaran lokasi usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 3) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) melakukan pengecekan terhadap alamat lokasi usaha Wajib Pajak berdasarkan Masterfile Wajib Pajak pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak;
2) melakukan pengecekan kewajaran lokasi dan tempat atau bangunan yang digunakan untuk usaha Wajib Pajak;
3) keberadaan dan kewajaran lokasi usaha Wajib Pajak tidak dapat diyakini, antara lain dalam hal:
a) lokasi usaha Wajib Pajak tidak ditemukan keberadaannya;
b) Wajib Pajak memiliki alamat lokasi usaha yang sama dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lainnya; dan/atau
c) lokasi usaha Wajib Pajak sering berpindah-pindah alamat atau sering mengajukan permohonan perpindahan alamat lokasi usaha atau tempat kedudukan.
i. Penelitian kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d angka 4) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) melakukan pengecekan kebenaran adanya kegiatan usaha Wajib Pajak;
2) melakukan pengecekan kesesuaian kegiatan usaha sebenarnya/nyata Wajib Pajak dengan Kelompok Lapangan Usaha (KLU) pada Masterfile Wajib Pajak pada sistem informasi di Direktorat Jenderal Pajak;
3) kesesuaian kegiatan usaha Wajib Pajak tidak dapat diyakini, antara lain dalam hal:
a) lokasi usaha Wajib Pajak tidak mencerminkan kegiatan dan besaran usaha wajar Wajib Pajak;
b) tempat/bangunan kegiatan usaha tidak mencerminkan kegiatan dan besaran kegiatan usaha Wajib Pajak;
c) Wajib Pajak secara nyata-nyata tidak memiliki kegiatan usaha; dan/atau,
d) kegiatan usaha sebenarnya atau nyata Wajib Pajak tidak sesuai dengan KLU pada Masterfile Wajib Pajak di Direktorat Jenderal Pajak.
j. Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf e selanjutnya dituangkan dalam Lembar Hasil Penelitian Indikasi Penerbit berdasarkan:
1) hasil penelitian indikasi penerbit;
2) hasil Pengembangan dan Analisis IDLP;
3) hasil pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan Wajib Pajak lain;
4) hasil pengembangan Penyidikan Wajib Pajak lain;
5) informasi yang diperoleh pada saat Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau
6) informasi yang diperoleh pada saat Wajib Pajak sedang dilakukan Penyidikan, 
yang merupakan dasar penetapan status Suspend Wajib Pajak.
k. Dasar penetapan status Suspend sebagaimana dimaksud pada huruf j berisi indikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c dan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf d.
l. Terhadap Lembar Hasil Penelitian Indikasi Penerbit sebagaimana dimaksud pada huruf j yang memenuhi kriteria status Suspend ditindaklanjuti dengan Usulan Wajib Pajak Memenuhi Kondisi Status Suspend atau Usulan Wajib Pajak Sedang atau Telah Dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan/Penyidikan Untuk Ditetapkan Status Suspend.
m. Penetapan status Suspend sebagaimana dimaksud pada huruf k dilakukan melalui Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend yang ditandatangani oleh Direktur Intelijen Perpajakan untuk dan atas nama Direktur Jenderal Pajak.
n. Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend sebagaimana dimaksud pada huruf m, Wajib Pajak dengan Status Suspend dapat menyampaikan klarifikasi kepada Kepala Kanwil DJP sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2018.
o. Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf n, dapat dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang terhadap Wajib Pajak tersebut belum dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan.
p. Kepala Kanwil DJP melakukan penelaahan atas klarifikasi Wajib Pajak untuk mengabulkan atau menolak klarifikasi Wajib Pajak tersebut dan memberikan usulan kepada Direktur Intelijen Perpajakan untuk mencabut status Suspend atau mencabut pengukuhan PKP.
q. Klarifikasi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf p dikabulkan, dalam hal Wajib Pajak:
1) tidak memenuhi indikasi sebagai Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah; dan
2) tidak memenuhi kriteria penetapan status suspend sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2018
r. Dalam hal Wajib Pajak Terindikasi Penerbit sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan, maka:
1) Pemeriksa Bukti Permulaan atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJP meminta informasi, bukti dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak atau Pengurus dan/atau Penanggung Jawab Wajib Pajak serta pihak-pihak yang terkait indikasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam huruf d segera setelah Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend ditetapkan;
2) Pemeriksa Bukti Permulaan atau PPNS DJP dapat menyampaikan usulan kepada Direktur Intelijen Perpajakan, melalui Direktur Penegakan Hukum atau Kepala Kanwil DJP untuk mencabut status Suspend terhadap Wajib Pajak, paling lama 60 (enam puluh) hari kalender sejak Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend dikirimkan kepada Wajib Pajak dalam hal informasi, bukti dan/atau keterangan yang diperoleh dari Wajib Pajak atau Pengurus dan/atau Penanggung Jawab Wajib Pajak serta pihak-pihak yang terkait menunjukan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kondisi status Suspend;
3) informasi, bukti dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 2) dituangkan dalam Lembar Hasil Penelitian Indikasi Penerbit dan disampaikan kepada Direktur Intelijen Perpajakan;
s. Klarifikasi Wajib Pajak Terindikasi Penerbit sebagaimana dimaksud pada huruf n atau usulan dari Pemeriksa Bukti Permulaan atau PPNS DJP sebagaimana dimaksud pada huruf r menjadi dasar untuk:
1) mencabut status Suspend; atau
2) mengusulkan pencabutan pengukuhan PKP.
t. Usul pencabutan pengukuhan PKP juga dilakukan dalam hal Wajib Pajak Terindikasi Penerbit dengan Status Suspend tidak menyampaikan klarifikasi atau Pemeriksa Bukti Permulaan atau PPNS DJP tidak menyampaikan usulan pencabutan Status Suspend.
u. Direktur Intelijen Perpajakan menyampaikan usulan kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar untuk mencabut pengukuhan PKP atas Wajib Pajak dengan status Suspend dalam hal:
1) Wajib Pajak atau Pengurus dan/atau Penanggung Jawab Wajib Pajak tidak menyampaikan Klarifikasi setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend dikirimkan kepada Wajib Pajak atau menyampaikan Klarifikasi namun hasil penelaahan Klarifikasi ditolak; atau
2) Pemeriksa Bukti Permulaan atau PPNS DJP tidak menyampaikan usulan pencabutan status Suspend Wajib Pajak setelah jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak Keputusan Direktorat Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend dikirimkan kepada Wajib Pajak.
v. Kepala KPP berdasarkan usulan sebagaimana pada huruf u melakukan pencabutan pengukuhan PKP sesuai dengan tata cara pendaftaran dan pemberian nomor pokok wajib pajak, pelaporan usaha dan pengukuhan pengusaha kena pajak, penghapusan nomor pokok wajib pajak dan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak, serta perubahan data dan pemindahan wajib pajak.
w. Tata Cara Penanganan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit sebagaimana tercantum pada Lampiran I huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
3. Penanganan terhadap Wajib Pajak Penerbit
a. Unit Pelaksana Penyidikan menyampaikan daftar Wajib Pajak Penerbit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Direktur Intelijen Perpajakan.
b. Tata Cara Penanganan Wajib Pajak Penerbit di Direktorat Intelijen Perpajakan sebagaimana dimaksud pada Lampiran I huruf B yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
4. Penanganan terhadap Wajib Pajak Terindikasi Pengguna
a. Wajib Pajak Terindikasi Pengguna ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai pengawasan Wajib Pajak dalam bentuk permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, dan kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak;
b. Tata Cara Penanganan Wajib Pajak Terindikasi Pengguna sebagaimana tercantum pada Lampiran I huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
   
F. Lain-Lain

1. Terhadap Wajib Pajak yang tercantum dalam daftar Wajib Pajak Suspect List sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-105/PJ/2011 tentang Daftar Wajib Pajak Suspect List sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-132/PJ/2010 tentang Langkah-Langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2015, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) terhadap Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dan telah diterbitkan Surat Keterangan, status Suspect Wajib Pajak tersebut dicabut;
b) terhadap Wajib Pajak yang tidak mengikuti Pengampunan Pajak ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2018;
c) dalam hal dikemudian hari dapat diketahui bahwa Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a) sejak tanggal 1 Januari 2016 dan setelahnya terindikasi menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah, terhadap Wajib Pajak tersebut dapat ditetapkan status Suspend sesuai dengan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 tentang Perlakuan terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2018.
2. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, maka:
a) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-105/PJ/2011 tentang Daftar Wajib Pajak Suspect List sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-132/PJ/2010 tentang Langkah-Langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2015;
b) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 132/PJ/2010 tentang Langkah-Langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah; dan
c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.52/2003 tentang Daftar dan Sanksi atas Wajib Pajak yang Diduga Menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah, yang sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.52/2006;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
   
G. Penutup

Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2018
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

ROBERT PAKPAHAN
NIP 195910201980121001