Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 28/PMK.03/2020

Kategori : PPh, PPN

Pemberian Fasilitas Pajak Terhadap Barang Dan Jasa Yang Diperlukan Dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28/PMK.03/2020

TENTANG

PEMBERIAN FASILITAS PAJAK TERHADAP BARANG DAN JASA YANG
DIPERLUKAN DALAM RANGKA PENANGANAN
PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), diperlukan dukungan pemerintah dalam penanganan pandemi virus tersebut;
  2. bahwa untuk mendukung ketersediaan obat-obatan, alat kesehatan, dan alat pendukung lainnya untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu memberikan fasilitas perpajakan untuk mendukung penanganan dampak virus dimaksud;
  3. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf e Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (8), Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu mengatur pemberian fasilitas pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Fasilitas Pajak terhadap Barang dan Jasa yang Diperlukan dalam rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1983, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
  6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PAJAK TERHADAP BARANG DAN JASA YANG DIPERLUKAN DALAM RANGKA PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
  3. Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  4. Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  5. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  6. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  7. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  8. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
  9. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
  10. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  11. Surat Keterangan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang selanjutnya disebut SKJLN, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  12. Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
  13. Pihak Tertentu adalah pihak yang menerima insentif perpajakan.
  14. Badan/Instansi Pemerintah adalah badan/instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang ditunjuk untuk melakukan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
  15. Rumah Sakit adalah rumah sakit yang ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan untuk penanganan pasien pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
  16. Pihak Lain adalah pihak selain Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Badan/Instansi Pemerintah atau Rumah Sakit untuk membantu penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
  17. Pihak Ketiga adalah pihak yang bertransaksi dengan Badan/Instansi Pemerintah, Rumah Sakit atau Pihak Lain untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
  18. Saluran Tertentu adalah saluran yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai sarana layanan pengajuan permohonan perpajakan tanpa tatap muka melalui email resmi masing-masing KPP yang diumumkan melalui akun media sosial KPP atau di laman www.pajak.go.id/unit-kerja.


BAB II
FASILITAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Pasal 2


(1) Insentif PPN diberikan kepada Pihak Tertentu atas impor atau perolehan Barang Kena Pajak, perolehan Jasa Kena Pajak, dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
(2) Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. Badan/Instansi Pemerintah;
  2. Rumah Sakit; atau
  3. Pihak Lain.
(3) Barang Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
  1. obat-obatan;
  2. vaksin;
  3. peralatan laboratorium;
  4. peralatan pendeteksi;
  5. peralatan pelindung diri;
  6. peralatan untuk perawatan pasien; dan/atau
  7. peralatan pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
(4) Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
  1. jasa konstruksi;
  2. jasa konsultasi, teknik, dan manajemen;
  3. jasa persewaan; dan/atau
  4. jasa pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
(5) PPN yang terutang atas:
  1. impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) oleh Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditanggung pemerintah; dan
  3. pemanfaatan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean oleh Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditanggung pemerintah.
(6) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, termasuk juga penyerahan berupa pemberian cuma-cuma.
(7) Dalam hal Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan impor Barang Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, impor Barang Kena Pajak tersebut tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sepanjang Pihak Tertentu dimaksud memiliki SKJLN sebelum melakukan impor, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  

Pasal 3


(1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat keterangan “PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR .../PMK.03/2020”.
(3) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b:
  1. harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR .../PMK.03/2020"; dan
  2. harus membuat Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A.1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Pihak Tertentu yang melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf c:
  1. harus membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR .../PMK.03/2020"; dan
  2. harus membuat Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A.2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (4) huruf b dibuat untuk periode:
  1. Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
  2. Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
(6) Laporan Realisasi Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah dan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), disampaikan ke KPP tempat Pengusaha Kena Pajak paling lama:
  1. tanggal 20 Juli 2020, untuk periode Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
  2. tanggal 20 Oktober 2020, untuk periode Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.


Pasal 4


Pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja subsidi pajak ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) huruf b dan huruf c dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung pemerintah.


BAB III
FASILITAS PAJAK PENGHASILAN

Pasal 5


(1) PPh Pasal 22 Impor dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang.
(2) PPh Pasal 22 dipungut oleh:
  1. Instansi Pemerintah berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
  2. badan usaha tertentu berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya; atau
  3. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri farmasi atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Besarnya tarif PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
(4) Pihak Tertentu yang melakukan impor dan/atau pembelian barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor dan/atau PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
(5) Pihak Ketiga yang melakukan penjualan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) kepada Pihak Tertentu diberikan pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
(6) Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
  1. Badan/Instansi Pemerintah;
  2. Rumah Sakit; atau
  3. Pihak Lain.
(7) Barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), meliputi:
  1. obat-obatan;
  2. vaksin;
  3. peralatan laboratorium;
  4. peralatan pendeteksi;
  5. peralatan pelindung diri;
  6. peralatan untuk perawatan pasien; dan/atau
  7. peralatan pendukung lainnya yang dinyatakan untuk keperluan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
(8) Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tanpa Surat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor.
(9) Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.


Pasal 6


(1) Untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9), Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6) harus mengajukan permohonan secara tertulis sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9), Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) harus mengajukan permohonan secara tertulis sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada Kepala KPP tempat Pihak Tertentu atau Pihak Ketiga terdaftar melalui Saluran Tertentu.
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala KPP memberikan keputusan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap, dengan menerbitkan:
  1. Surat Keterangan Bebas Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; atau
  2. Surat Penolakan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala KPP belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(6) Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala KPP wajib menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlewati.
(7) Pembebasan dari pemungutan terhadap:
  1. PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (8) berlaku sejak Peraturan Menteri ini diundangkan; dan
  2. PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9) berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan,
sampai dengan tanggal 30 September 2020.
(8) Pihak Tertentu yang telah memperoleh pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (8) atau PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9) harus menyampaikan:
  1. Laporan Realisasi Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf E; atau
  2. Laporan Realisasi Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf F,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, kepada Kepala KPP tempat Pihak Tertentu terdaftar.
(9) Pihak Ketiga yang telah memperoleh pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9) harus menyampaikan Laporan Realisasi Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf F, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, kepada Kepala KPP tempat Pihak Ketiga terdaftar.
(10)  Laporan Realisasi Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor atau Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) wajib disampaikan dengan waktu:
  1. Paling lambat tanggal 20 Juli 2020, untuk periode Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
  2. Paling lambat tanggal 20 Oktober 2020, untuk periode Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.


Pasal 7


(1) Penghasilan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, berupa imbalan dengan nama dan bentuk apapun, dipotong PPh Pasal 21, selain penghasilan atas jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
(2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh imbalan dari Pihak Tertentu atas jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), diberikan pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 21 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
(3) Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
  1. Badan/Instansi Pemerintah;
  2. Rumah Sakit; atau
  3. Pihak Lain.
(4) Pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan tanpa melalui Surat Keterangan Bebas Pemotongan PPh Pasal 21.


Pasal 8


(1) Penghasilan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh, yang dilakukan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, berupa imbalan dengan nama dan bentuk apapun, dipotong PPh Pasal 23.
(2) Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang menerima atau memperoleh imbalan dari Pihak Tertentu atas jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), diberikan pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 dalam Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
(3) Pihak Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
  1. Badan/Instansi Pemerintah;
  2. Rumah Sakit; atau
  3. Pihak Lain.
(4) Pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemotongan PPh Pasal 23.


Pasal 9


(1) Untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), Wajib Pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap, mengajukan permohonan secara tertulis sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini dan menyampaikan kepada Kepala KPP dimana SPT Tahunan PPh Wajib Pajak melalui Saluran Tertentu.
(2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP memberikan keputusan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima lengkap dengan menerbitkan:
  1. Surat Keterangan Bebas Pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); atau
  2. Surat Penolakan sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(4) Dalam hal permohonan Wajib Pajak dianggap diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala KPP harus menerbitkan Surat Keterangan Bebas dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlewati.
(5) Pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 8 ayat (2) berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan sampai dengan tanggal 30 September 2020.
(6) Wajib Pajak yang telah memperoleh pembebasan dari pemotongan PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus membuat Laporan Realisasi Pembebasan dari Pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7) Laporan Realisasi Pembebasan dari pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib disampaikan dengan waktu:
  1. paling lambat tanggal 20 Juli 2020, untuk periode Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
  2. paling lambat tanggal 20 Oktober 2020, untuk periode Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.


BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 10


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


 


  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 April 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 April 2020
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 335