Peraturan Pemerintah Nomor : 24 TAHUN 2021

Kategori : Lainnya

Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif Di Bidang Kehutanan


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2021

TENTANG

TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI DENDA
ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI DENDA ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
  2. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan tetap.
  3. Hutan Produksi adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil Hutan.
  4. Hutan Lindung adalah Kawasan Hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
  5. Hutan Konservasi adalah Kawasan Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
  6. Rencana Tata Ruang adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
  7. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  8. Perizinan Berusaha adalah izin usaha yang diberikan kepada Setiap Orang sebagai legalitas untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  9. Pejabat yang berwenang adalah Pemerintah, Gubernur, atau Bupati/Walikota yang menerbitkan Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  10. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya.
  11. Izin Usaha Perkebunan adalah izin usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan.
  12. Perizinan di bidang kehutanan adalah izin usaha di bidang kehutanan yang diterbitkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang meliputi izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu, izin pinjam pakai Kawasan Hutan, izin perhutanan sosial, atau pelepasan Kawasan Hutan.
  13. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan adalah persetujuan tentang perubahan peruntukan kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi dan/atau Hutan Produksi Tetap menjadi bukan Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri.
  14. Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan adalah persetujuan penggunaan atas sebagian Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan Kawasan Hutan.
  15. Sanksi Administratif adalah perangkat sarana hukum administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali Keputusan Tata Usaha Negara yang dikenai kepada Setiap Orang atas dasar ketidaktaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
  16. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
  17. Provisi Sumber Daya Hutan yang selanjutnya disingkat PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan dan/atau hasil usaha yang dipungut dari hutan negara.
  18. Dana Reboisasi yang selanjutnya disingkat DR adalah dana yang dipungut atas pemanfaatan kayu yang tumbuh alami dari hutan negara.
  19. Surat Pemberitahuan adalah pemberitahuan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri atau pejabat yang berwenang terhadap kegiatan usaha yang telah terbangun di Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  20. Denda Administratif adalah Sanksi Administratif berupa pembebanan kewajiban bagi Setiap Orang untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu akibat pelanggaran penggunaan Kawasan Hutan secara tidak sah.
  21. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha adalah tindakan yang dilakukan oleh Menteri untuk menghentikan kegiatan pelanggaran pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan.
  22. Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha adalah persetujuan yang diberikan oleh Menteri untuk menjalankan kegiatan usaha yang telah terbangun dan/atau beroperasi di kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi.
  23. Surat Peringatan adalah pemberitahuan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri terhadap tindakan pelanggaran oleh Setiap Orang karena tidak melaksanakan Sanksi Administratif.
  24. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  25. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  26. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.


Pasal 2


(1) Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang kehutanan, persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan.
(2) Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 3


(1) Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku.
(2) Jika penyelesaian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, Setiap Orang dikenai Sanksi Administratif.
(3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, dikenai Sanksi Administratif.
(4) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berupa:
  1. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
  2. Denda Administratif;
  3. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
  4. paksaan pemerintah.


Pasal 4


(1) Kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang pada saat usaha pertama kali dibangun dan/atau dioperasikan.
(2) Kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) meliputi bidang:
  1. pertambangan yang:
    1. melakukan kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan;
    2. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan; dan/atau
    3. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan.
  2. perkebunan yang:
    1. melakukan kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan;
    2. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil kebun yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan; dan/atau
    3. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan.
  3. kegiatan lain yang meliputi:
    1. minyak dan gas bumi;
    2. panas bumi;
    3. tambak;
    4. pertanian;
    5. permukiman;
    6. wisata alam;
    7. industri; dan/atau
    8. sarana dan prasarana.


Pasal 5


Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
  1. inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perijinan di bidang kehutanan;
  2. tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan yang memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  3. tata cara pengenaan Sanksi Administratif terhadap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  4. tata cara perhitungan Denda Administratif;
  5. PNBP yang berasal dari Denda Administratif; dan
  6. paksaan pemerintah.


BAB II
INVENTARISASI DATA DAN INFORMASI KEGIATAN USAHA
YANG TELAH TERBANGUN DI DALAM KAWASAN HUTAN YANG
TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 6


(1) Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan dilakukan oleh Menteri.
(2) Inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  2. data dan informasi kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan; dan
  3. penetapan data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan.


Bagian Kedua
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit
yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Telah Memiliki Izin
 Lokasi dan/atau Izin Usaha di Bidang Perkebunan yang
Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan

Paragraf 1
Umum

Pasal 7


Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri atas:
  1. data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang sesuai Rencana Tata Ruang; dan
  2. data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang.


Paragraf 2
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun
di dalam Kawasan Hutan yang Sesuai Rencana Tata Ruang

Pasal 8


Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a yang sesuai Rencana Tata Ruang terdiri atas:
  1. tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan; dan
  2. tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan.


Pasal 9


Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dan huruf b, berada di dalam:
  1. Kawasan Hutan Produksi;
  2. Kawasan Hutan Lindung; dan/atau
  3. Kawasan Hutan Konservasi.


Paragraf 3
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun
di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Sesuai Rencana Tata Ruang

Pasal 10


Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b terdiri atas:
  1. tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan; dan
  2. tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan.


Pasal 11


Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dan huruf b berada di dalam:
  1. Kawasan Hutan Produksi;
  2. Kawasan Hutan Lindung; dan/atau
  3. Kawasan Hutan Konservasi.


Paragraf 4
Tata Cara Inventarisasi Data dan Informasi

Pasal 12


Inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 11 dilakukan melalui kegiatan:
  1. evaluasi berdasarkan data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang sudah diajukan penyelesaiannya;
  2. inventarisasi terestris dan nonterestris yang dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah bersama Pemerintah Daerah;
  3. operasi pengamanan Hutan yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan;
  4. pengumpulan bahan dan keterangan atau penyelidikan yang dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan/atau
  5. pengawasan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup.


Bagian Ketiga
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha Pertambangan, Perkebunan,
dan/atau Kegiatan Lain di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki
Perizinan di Bidang Kehutanan

Paragraf 1
Umum

Pasal 13


Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b, terdiri atas:
  1. tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan; dan
  2. tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan.


Paragraf 2
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha Pertambangan, Perkebunan,
dan/atau Kegiatan Lain

Pasal 14


Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan huruf b, berada di dalam:
  1. Kawasan Hutan Produksi;
  2. Kawasan Hutan Lindung; dan/atau
  3. Kawasan Hutan Konservasi.


Paragraf 3
Tata Cara Inventarisasi Data dan Informasi

Pasal 15


Inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui kegiatan:
  1. inventarisasi terestris dan nonterestris yang dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah bersama Pemerintah Daerah;
  2. operasi pengamanan Hutan yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan;
  3. pengumpulan bahan dan keterangan atau penyelidikan yang dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan/atau
  4. pengawasan yang dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup.


Bagian Keempat
Penetapan Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Tidak Memiliki Perizinan
di Bidang Kehutanan di dalam Kawasan Hutan

Paragraf 1
Klasifikasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Tidak Memiliki Perizinan
di Bidang Kehutanan di dalam Kawasan Hutan

Pasal 16


(1) Hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 11 memuat data dan informasi mengenai:
  1. Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  2. luasan Kawasan Hutan yang dikuasai;
  3. jangka waktu kegiatan usaha yang dilakukan di dalam Kawasan Hutan; dan
  4. lokasi yang terdiri atas:
    1. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang sesuai Rencana Tata Ruang dan tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di dalam kawasan Hutan Produksi;
    2. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang sesuai Rencana Tata Ruang dan tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi;
    3. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang sesuai Rencana Tata Ruang dan tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di dalam kawasan Hutan Produksi;
    4. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang sesuai Rencana Tata Ruang dan tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi;
    5. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang dan tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di dalam kawasan Hutan Produksi;
    6. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang dan tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi;
    7. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang dan tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di dalam kawasan Hutan Produksi; dan
    8. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang dan tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi.
(2) Hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 disusun berdasarkan kriteria:
  1. Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  2. jenis pelanggaran;
  3. luasan Kawasan Hutan yang dikuasai;
  4. jangka waktu pelanggaran; dan
  5. lokasi yang terdiri atas:
    1. kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain dan tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di kawasan Hutan Produksi;
    2. kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain dan tidak tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi;
    3. kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain dan tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di kawasan Hutan Produksi; dan
    4. kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain dan tumpang-tindih dengan keberadaan Perizinan di bidang kehutanan yang berada di kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi.


Paragraf 2
Penetapan Data dan Informasi Kegiatan Usaha di dalam
Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 17


Data dan informasi kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan yang telah disusun berdasarkan klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan oleh Menteri.


BAB III
TATA CARA PENYELESAIAN TERHADAP KEGIATAN USAHA PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT YANG TELAH TERBANGUN DI DALAM KAWASAN HUTAN
YANG MEMILIKI IZIN LOKASI DAN/ATAU IZIN USAHA DI BIDANG
PERKEBUNAN YANG TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 18


Tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki Izin Lokasi dan/atau izin, usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, dilakukan melalui tahapan:
  1. pemberitahuan pemenuhan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan;
  2. pengajuan permohonan penyelesaian persyaratan Perizinan di bidang kehutanan;
  3. verifikasi permohonan;
  4. penerbitan surat perintah tagihan pelunasan PSDH dan DR;
  5. pelunasan PSDH dan DR; dan
  6. penerbitan:
    1. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan di dalam kawasan Hutan Produksi; atau
    2. Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi.


Bagian Kedua
Pemberitahuan Pemenuhan Persyaratan Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 19


(1) Pemberitahuan pemenuhan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan disampaikan kepada Setiap Orang yang memenuhi klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dilakukan oleh Menteri.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
  1. kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  2. kewajiban untuk mengajukan permohonan penyelesaian persyaratan Perizinan di bidang kehutanan;
  3. perintah untuk melaksanakan kewajiban pelunasan PSDH dan DR;
  4. batas waktu pengajuan permohonan Perizinan di bidang kehutanan paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku;
  5. pengenaan Sanksi Administratif berupa kewajiban pembayaran Denda Administratif jika batas waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf d terlampaui; dan
  6. penetapan status tidak berlakunya Perizinan Berusaha yang dimilikinya apabila batas waktu Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud dalam huruf e terlampaui.
(3) Penyampaian pemberitahuan dari Menteri kepada Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.


Bagian Ketiga
Pengajuan Permohonan Penyelesaian Persyaratan
Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 20


(1) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Setiap Orang mengajukan  permohonan Perizinan di bidang kehutanan kepada Menteri.
(2) Selain berdasarkan pemberitahuan, permohonan juga dapat dilakukan atas inisiatif sendiri oleh Setiap Orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilengkapi dengan persyaratan:
  1. administratif, paling sedikit meliputi:
    1. identitas pemohon; dan
    2. nomor induk berusaha.
  2. teknis, paling sedikit meliputi:
    1. peta permohonan sesuai Rencana Tata Ruang;
    2. Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan; dan
    3. dokumen lingkungan hidup.


Bagian Keempat
Verifikasi Permohonan

Pasal 21


(1) Verifikasi permohonan dilakukan terhadap:
  1. persyaratan administratif; dan
  2. persyaratan teknis.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya dilakukan verifikasi fakta lapangan.


Pasal 22


(1) Verifikasi persyaratan administratif dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemenuhan persyaratan berupa:
  1. administratif dan teknis atas kelengkapan dan kebenaran dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3); dan
  2. kesesuaian antara dokumen permohonan dengan fakta lapangan.
(3) Berdasarkan hasil verifikasi administratif dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan dinyatakan:
  1. diterima, dalam hal persyaratan lengkap dan benar; atau
  2. ditolak, dalam hal persyaratan tidak lengkap dan/atau tidak benar.
(4) Dalam hal permohonan dinyatakan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Menteri melakukan verifikasi kesesuaian antara data administratif dan teknis dengan fakta lapangan.
(5) Dalam hal permohonan dinyatakan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Menteri dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja mengembalikan persyaratan administratif dan teknis kepada Setiap Orang untuk dilengkapi.
(6) Setiap Orang dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari mengembalikan persyaratan administratif dan teknis yang sudah dilengkapi kepada Menteri.
(7) Apabila Setiap Orang tidak mengembalikan persyaratan yang lengkap dan benar melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dikenai Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha.


Pasal 23


(1) Verifikasi fakta lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), dilakukan oleh Menteri terhadap kesesuaian antara persyaratan administratif dan teknis dengan fakta lapangan.
(2) Menteri dalam melakukan verifikasi fakta lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membentuk tim terpadu.
(3) Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas untuk melakukan validasi atas kesesuaian dokumen administratif dan teknis dengan fakta lapangan terhadap:
  1. nomor induk berusaha;
  2. kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang;
  3. dokumen Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan;
  4. dokumen lingkungan hidup;
  5. luas Kawasan Hutan yang dikuasai;
  6. perhitungan besaran PSDH dan DR; dan
  7. tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang kehutanan.
(4) Validasi yang dilakukan oleh tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(5) Hasil validasi yang dilakukan oleh tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaporkan kepada Menteri.
(6) Dalam hal hasil validasi tim terpadu terdapat tumpang-tindih antara Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan dengan Perizinan di bidang kehutanan, penyelesaiannya dilakukan dengan cara:
  1. Apabila Perizinan di bidang kehutanan terbit terlebih dahulu dari Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan maka luasan areal permohonan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan produksi atau permohonan Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi, dikurangi dengan luasan areal yang masuk dalam Perizinan di bidang kehutanan.
  2. Apabila Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan terbit terlebih dahulu dari Perizinan di bidang kehutanan, Menteri berwenang melakukan revisi luasan Perizinan di bidang kehutanan.
  3. Terhadap perkebunan kelapa sawit yang masuk dalam areal Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengelolaannya dilakukan melalui:
    1. kerja sama dengan pemegang Perizinan di bidang kehutanan untuk kawasan Hutan Produksi; atau
    2. kemitraan atau kerja sama dengan Pemerintah untuk kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi.
(7) Terhadap perkebunan kelapa sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c angka 1 dan angka 2, dikenai pembayaran PNBP di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Dalam hal Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan terbit terlebih dahulu daripada Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b berupa izin pinjam pakai Kawasan Hutan yang dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau merupakan proyek strategis nasional, luasan areal permohonan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan produksi atau permohonan Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi dikurangi dengan luasan areal izin pinjam pakai Kawasan Hutan.


Bagian Kelima
Penerbitan Surat Perintah Tagihan Pelunasan
Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi

Pasal 24


(1) Berdasarkan hasil verifikasi administratif dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), Menteri menerbitkan surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR.
(2) Surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
  1. identitas Setiap Orang;
  2. besaran tagihan PSDH dan DR yang harus dilunasi; dan
  3. jangka waktu pelunasan.


Bagian Keenam
Pelunasan Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi

Pasal 25


(1) Setiap Orang yang telah menerima surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), wajib melakukan pelunasan tagihan PSDH dan DR.
(2) Pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diangsur.
(3) Pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud pada ayai (1), disetorkan ke kas negara.
(4) Setiap Orang melaporkan pelunasan tagihan PSDH dan DR kepada Menteri disertai bukti pelunasan pembayaran.
(5) Dalam hal Setiap Orang telah melakukan pembayaran dan pelunasan PSDH dan DR sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, bukti pembayaran dapat digunakan sebagai bukti pengganti pelunasan PSDH dan DR.


Bagian Ketujuh
Penerbitan

Paragraf 1
Penerbitan Persetujuan Kegiatan Usaha yang
Tidak Tumpang-Tindih dengan Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 26


Setelah menerima pelaporan pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), Menteri menerbitkan:
  1. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan di dalam kawasan Hutan Produksi; atau
  2. Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi.


Paragraf 2
Penerbitan Persetujuan Kegiatan Usaha yang
Tumpang-Tindih dengan Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 27


(1) Dalam hal kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang kehutanan di kawasan Hutan Produksi, dilakukan kerja sama pengelolaannya antara pemohon dengan pemegang Perizinan di bidang kehutanan.
(2) Jangka waktu kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 1 (satu) daur paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sejak masa tanam.
(3) Menteri memfasilitasi kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kewajiban kepada Setiap Orang untuk:
  1. melakukan kegiatan jangka benah dengan tanaman pokok kehutanan sesuai silvikultur di sela-sela tanaman sawit;
  2. tidak melakukan penanaman sawit baru (replanting); dan
  3. setelah habis 1 (satu) daur selama 25 (dua puluh lima) tahun sejak masa tanam sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengembalikan areal usaha di dalam Kawasan Hutan kepada negara.


Pasal 28


(1) Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dilaksanakan dengan mekanisme kerja sama atau kemitraan dengan Menteri.
(2) Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, berlaku 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam.
(3) Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b memuat kewajiban kepada Setiap Orang untuk:
  1. melakukan kegiatan jangka benah dengan tanaman pokok kehutanan sesuai silvikultur di sela-sela tanaman sawit;
  2. tidak melakukan penanaman sawit baru (replanting); dan
  3. setelah habis 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengembalikan areal usaha di dalam Kawasan Hutan kepada negara.


Bagian Kedelapan
Pengenaan Sanksi Administratif

Paragraf 1
Umum

Pasal 29


(1) Sanksi Administratif dikenakan kepada Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
(2) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. pembayaran Denda Administratif; dan/atau
  2. pencabutan Perizinan Berusaha.
(3) Besaran Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dihitung sebesar 10 (sepuluh) kali besaran PSDH dan DR.


Paragraf 2
Pengenaan Denda Administratif Bagi Setiap Orang yang
Tidak Menyelesaikan Persyaratan Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 30


(1) Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, dikenai Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif.
(2) Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(3) Pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib disetorkan ke kas negara dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya pengenaan Sanksi Administratif.
(4) Setiap Orang melaporkan bukti pelunasan Denda Administratif kepada Menteri.
(5) Berdasarkan bukti pelunasan Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri menerbitkan:
  1. Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan di kawasan Hutan Produksi; atau
  2. Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi.


Pasal 31


(1) Setiap Orang yang tidak melakukan pelunasan Denda Administratif dikenai Sanksi Administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha.
(2) Pencabutan Perizinan Berusaha dilakukan oleh penerbit izin berdasarkan rekomendasi dari Menteri.
(3) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rekomendasi dari Menteri diterima, penerbit izin wajib mencabut Perizinan Berusaha.
(4) Dalam hal penerbit izin tidak mencabut Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perizinan Berusaha dinyatakan tidak berlaku demi hukum.
(5) Pernyataan tidak berlakunya Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 32


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha, kemitraan, dan kerja sama dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.


BAB IV
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP
KEGIATAN USAHA DI DALAM KAWASAN HUTAN YANG
TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 33


(1) Terhadap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dikenai Sanksi Administratif berupa:
  1. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha;
  2. Denda Administratif; dan/atau
  3. paksaan pemerintah.
(2) Selain Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang wajib menyelesaikan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui tahapan:
  1. verifikasi dan validasi data dan informasi; dan
  2. penetapan pengenaan Sanksi Administratif.


Bagian Kedua
Verifikasi dan Validasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha di dalam Kawasan
Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan

Pasal 34


(1) Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) huruf a, dilakukan terhadap data dan informasi yang tertuang dalam penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(2) Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Dalam melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membentuk tim yang terdiri atas:
  1. Polisi Kehutanan;
  2. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup;
  3. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan; dan/atau
  4. Pejabat lain yang ditunjuk.


Pasal 35


(1) Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Menteri menerbitkan Sanksi Administratif kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan.
(2) Dalam hal 1 (satu) lokasi Kawasan Hutan terdapat lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, Menteri menerbitkan Sanksi Administratif kepada Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang lebih dahulu beroperasi dan selanjutnya dapat diproses Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.
(3) Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat:
  1. identitas Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  2. jenis pelanggaran;
  3. jenis Sanksi Administratif:
    1. Penghentian Sementara Kegiatan Usaha dan pembayaran Denda Administratif; dan
    2. paksaan pemerintah, apabila tidak melakukan pelunasan pembayaran Denda Administratif;
  4. jangka waktu pelunasan Denda Administratif; dan
  5. perintah pengurusan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan untuk pelanggaran di kawasan Hutan Produksi.
(4) Pelunasan Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disetorkan ke kas negara.
(5) Pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, dapat diangsur dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dalam tahun anggaran berjalan terhitung sejak surat persetujuan pengangsuran ditetapkan.
(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melewati tahun anggaran, surat persetujuan keringanan berupa pengangsuran harus terlebih dahulu mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(7) Menteri melakukan pengawasan ketaatan pemenuhan Sanksi Administratif.


Bagian Ketiga
Tata Cara Penyelesaian

Paragraf 1
Umum

Pasal 36


(1) Terhadap Setiap Orang yang telah melakukan pelunasan pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), Menteri:
  1. menerbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan di kawasan Hutan Produksi;
  2. memfasilitasi kerja sama dalam hal kegiatan usaha terdapat tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang kehutanan di kawasan Hutan Produksi; atau
  3. memerintahkan pengembalian areal kegiatan usaha kepada Negara jika kegiatan usaha berada di kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi.
(2) Dalam hal pengembalian areal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dilaksanakan oleh Setiap Orang, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.


Pasal 37


(1) Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib memiliki perizinan di bidangnya.
(2) Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a adalah selama 1 (satu) daur maksimal 25 (dua puluh lima) tahun sejak masa tanam untuk perkebunan kelapa sawit atau sesuai dengan perizinan di bidangnya untuk kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain.
(3) Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib membayar PNBP di bidang kehutanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.


Pasal 38


Areal atas kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dikenai PNBP di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 2
Tata Cara Penyelesaian Terhadap Kegiatan Strategis
dan Kepentingan Umum

Pasal 39


(1) Dalam hal kegiatan usaha yang berada di kawasan Hutan Lindung merupakan kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya, Menteri memberikan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan.
(2) Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan sesuai jangka waktu perizinan di bidangnya.
(3) Dalam hal kegiatan usaha yang berada di kawasan Hutan Konservasi merupakan kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya, Menteri:
  1. menerbitkan perizinan berusaha pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan Hutan Konservarsi; atau
  2. melakukan kerja sama.
(4) Jangka waktu izin pemanfaatan jasa lingkungan atau kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan sesuai jangka waktu perizinan di bidangnya.
(5) Kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) meliputi:
  1. minyak dan gas bumi;
  2. panas bumi;
  3. sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan/atau strategis; dan/atau
  4. kegiatan pertambangan sebagaimana dimaksud pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan.
(6) Dalam hal masa berlaku Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu perizinan berusaha pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan Hutan Konservarsi atau kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir, Setiap Orang wajib mengembalikan areal kegiatan usahanya kepada negara.


Pasal 40


(1) Sarana dan prasarana untuk kepentingan umum milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang berada di:
  1. Hutan Produksi diselesaikan dengan mekanisme Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan;
  2. Hutan Lindung diselesaikan dengan mekanisme Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan; atau
  3. Hutan Konservasi diselesaikan dengan mekanisme kerja sama.
(2) Sarana dan prasarana untuk kepentingan umum milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai kewajiban pembayaran Denda Administratif dan Menteri menerbitkan Surat Pemberitahuan untuk mengurus perizinan.


Paragraf 3
Tata Cara Penyelesaian Kegiatan Usaha Masyarakat
yang Bertempat Tinggal di dalam dan/atau di Sekitar Kawasan Hutan

Pasal 41


(1) Dalam hal kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar, dikecualikan dari Sanksi Administratif dan diselesaikan melalui penataan Kawasan Hutan.
(2) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
  1. kartu tanda penduduk; atau
  2. surat keterangan tempat tinggal dan/atau domisili yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau Lurah setempat, yang alamatnya di dalam Kawasan Hutan atau di desa yang berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan.
(3) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan memiliki tempat tinggal tetap dan surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau Lurah setempat.
(4) Orang perseorangan yang menguasai Kawasan Hutan dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
  1. bukti penguasaan tanah;
  2. surat keterangan dari Kepala Desa atau Lurah setempat; atau
  3. surat pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan termasuk di dalamnya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
(5) Pembuktian terhadap orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan melalui verifikasi teknis.


Pasal 42


(1) Penataan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi:
  1. perhutanan sosial;
  2. tanah obyek reforma agraria; atau
  3. perubahan peruntukan dan fungsi Kawasan Hutan.
(2) Penataan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.


BAB V
TATA CARA PERHITUNGAN DENDA ADMINISTRATIF

Pasal 43


(1) Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b ditetapkan berdasarkan formula perhitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(2) Pemerintah dapat menggunakan jasa penaksir (appraisal) dalam menentukan besaran Denda Administratif.
(3) Dalam hal kegiatan usaha belum beroperasi dan tidak dapat ditentukan besaran keuntungan, perhitungan keuntungan per tahun per hektar disetarakan dengan sepuluh kali besaran Tarif PNBP Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan.
(4) Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha di Kawasan Hutan tanpa memiliki Perizinan di bidang kehutanan yang atas inisiatif sendiri melaporkan kegiatan usahanya kepada Menteri dan melunasi Denda Administratif dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini diberikan insentif berupa keringanan pengenaan denda dengan penetapan tarif Denda Administratif sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.


BAB VI
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI
DENDA ADMINISTRATIF

Pasal 44


PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 35 ayat (4) merupakan PNBP Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.


Pasal 45


Penggunaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP.


BAB VII
PAKSAAN PEMERINTAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 46


Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c angka 2, dilakukan terhadap Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, berupa:
  1. pemblokiran;
  2. pencegahan ke luar negeri;
  3. penyitaan aset; dan/atau
  4. paksa badan (gijzeling).


Bagian Kedua
Pemblokiran

Pasal 47


(1) Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, dilakukan terhadap rekening bank, akta pendirian, dan/atau akta perubahan terakhir perusahaan.
(2) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh instansi yang berwenang atas permintaan Menteri.


Bagian Ketiga
Pencegahan ke Luar Negeri

Pasal 48


(1) Pencegahan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keimigrasian atas permintaan Menteri.
(2) Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
  1. nama;
  2. umur;
  3. pekerjaan;
  4. alamat;
  5. jenis kelamin; dan
  6. kewarganegaraan, dari orang atau pengurus perusahaan.
(3) Dalam hal keputusan pencegahan telah habis masa berlakunya, Menteri dapat mengajukan permohonan perpanjangan pencegahan ke luar negeri.


Bagian Keempat
Penyitaan Aset

Pasal 49


(1) Penyitaan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c, dilakukan oleh Menteri dengan menerbitkan surat perintah pelaksanaan penyitaan aset.
(2) Dalam melakukan penyitaan aset, Menteri membentuk tim yang terdiri atas:
  1. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan;
  2. Polisi Kehutanan; dan/atau
  3. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup.
(3) Pelaksanaan penyitaan aset dilengkapi dengan berita acara pelaksanaan sita.


Pasal 50


(1) Penyitaan aset dapat dilaksanakan terhadap barang milik Setiap Orang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk di areal pelabuhan, baik yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berupa:
  1. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, akta perusahaan dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan/atau
  2. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
(2) Penyitaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi Denda Administratif.


Pasal 51


Menteri dapat menitipkan barang yang telah disita kepada Setiap Orang atau disimpan di kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dan/atau di tempat lain.


Pasal 52


(1) Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dilarang:
  1. memindahkan hak, memindah tangankan, menyewakan, meminjamkan, atau merusak barang yang telah disita;
  2. membebani barang yang telah disita dengan hak jaminan; dan
  3. merusak, mencabut, atau menghilangkan salinan berita acara pelaksanaan sita atau segel sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 53


Pelaksanaan penyitaan aset dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang sita jaminan.


Pasal 54


(1) Dalam hal Denda Administratif tidak dilunasi setelah dilakukan penyitaan aset, Menteri melakukan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang Negara.
(2) Dalam hal barang yang disita, berupa:
  1. uang tunai;
  2. deposito berjangka;
  3. tabungan;
  4. saldo rekening koran;
  5.  giro;
  6. akta perusahaan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
  7. obligasi;
  8. saham;
  9. surat berharga lainnya;
  10. piutang; atau
  11. penyertaan modal pada perusahaan, dikecualikan dari penjualan secara lelang.
(3) Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan untuk membayar Denda Administratif.
(4) Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan untuk membayar Denda Administratif dengan cara:
  1. uang tunai disetor ke kas negara;
  2. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke rekening kas umum negara atas permintaan Menteri kepada bank yang bersangkutan;
  3. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Menteri;
  4. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Menteri;
  5. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Setiap Orang kepada Menteri; dan
  6. penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akta persetujuan pengalihan hak menjual dari Setiap Orang kepada Menteri.


Pasal 55


(1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penyitaan aset dilakukan.
(2) Menteri yang bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang.


Pasal 56


(1) Hasil penjualan secara lelang digunakan untuk membayar Denda Administratif.
(2) Dalam hal hasil penjualan secara lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi Denda Administratif, pelaksanaan lelang dihentikan.
(3) Menteri segera mengembalikan sisa barang hasil penyitaan aset beserta kelebihan uang hasil penjualan secara lelang kepada Setiap Orang setelah pelaksanaan lelang.


Pasal 57


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan lelang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kelima
Paksa Badan

Pasal 58


(1) Dalam hal Setiap Orang:
  1. tidak memenuhi kewajiban pembayaran Sanksi Administratif dengan nilai paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
  2. tidak mempunyai itikad baik untuk membayar Denda Administratif,
Menteri menerbitkan Surat Peringatan.
(2) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan untuk jangka waktu 14 (empat belas) hari.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Setiap Orang tidak melunasi Denda Administratif, Menteri menerbitkan surat perintah paksa badan untuk pengenaan paksa badan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf d.
(4) Surat perintah paksa badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling sedikit memuat:
  1. identitas orang atau pengurus perusahaan;
  2. alasan paksa badan;
  3. jangka waktu paksa badan; dan
  4. tempat paksa badan.
(5) Pelaksanaan paksa badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Polisi Kehutanan dan/atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup.
(6) Pelaksanaan paksa badan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan dengan meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia.
(7) Jangka waktu pelaksanaan paksa badan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.


Pasal 59


(1) Setiap Orang yang dikenai sanksi paksa badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dilepas:
  1. apabila Setiap Orang telah melunasi pembayaran Denda Administratif;
  2. apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah paksa badan berakhir;
  3. berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
  4. berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri.
(2) Pertimbangan tertentu dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan apabila:
  1. Setiap Orang sudah membayar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah Denda Administratif dan sisanya dilunasi dengan cara mengangsur;
  2. Setiap Orang sanggup melunasi Denda Administratif dengan menyerahkan bank garansi;
  3. Setiap Orang sanggup melunasi Denda Administratif dengan menyerahkan harta kekayaannya yang sama nilainya dengan Denda Administratif;
  4. orang atau pengurus perusahaan yang berumur 70 (tujuh puluh) tahun atau lebih; dan/atau
  5. orang atau pengurus perusahaan dengan alasan kesehatan yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
(3) Menteri memberitahukan pelepasan serta alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara tertulis kepada pimpinan tempat paksa badan.


Pasal 60


Paksa badan terhadap orang atau pengurus perusahaan tidak mengakibatkan hapusnya sanksi Denda Administratif.


BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 61


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 F5ebruari 2021
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 34





 

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2021

TENTANG

TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI DENDA
ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN

 


I. UMUM

Kebijakan pembangunan di bidang kehutanan mengamanatkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan peran dan fungsi Hutan dalam mendukung keberlanjutan pembangunan dan menjaga fungsi ekologis Hutan sebagai penyangga kehidupan, seluruh kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan wajib memiliki perizinan berusaha di bidang kehutanan, persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan dengan ancaman sanksi pidana bagi siapapun yang melakukan pelanggaran. Dalam kenyataannya, tidak jarang ditemukan adanya kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki perizinan dimaksud. Berdasarkan hasil identifikasi, terdapat perkebunan kelapa sawit dalam Kawasan Hutan seluas + 3,3 juta hektar yang belum mendapat kepastian hukum. Perkebunan kelapa sawit tersebut dimiliki oleh badan usaha maupun masyarakat yang memerlukan kepastian pengaturan hukum yang adil, bermartabat, dan tuntas. Hal itu untuk menjamin kepastian hukum terhadap keberadaan aktivitas kegiatan nonkehutanan di dalam Kawasan Hutan. Selain perkebunan kelapa sawit, kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan juga meliputi kegiatan pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain seperti minyak dan gas bumi, panas bumi, tambak, pertanian, permukiman, wisata alam, industri, dan/atau sarana dan prasarana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat terobosan kebijakan baru dengan menerapkan prinsip ultimum remedium yaitu mengedepankan pengenaan Sanksi Administratif sebelum dikenai sanksi pidana terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan (K2L). Pengaturan prinsip ultimum remidium tersebut tercermin dalam pengaturan norma Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya:
  1. Pasal 110A yang pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai Rencana Tata Ruang tetapi belum mempunyai Perizinan di bidang kehutanan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tidak dikenai sanksi pidana tetapi diberikan kesempatan untuk menyelesaikan pengurusan Perizinan di bidang kehutanan dengan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).
  2. Pasal 110B yang pada prinsipnya mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan belum mempunyai Perizinan di bidang kehutanan, tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai Sanksi Administratif berupa Penghentian Sementara Kegiatan Usaha, perintah pembayaran Denda Administratif, dan/atau paksaan pemerintah untuk selanjutnya diberikan persetujuan sebagai alas hak untuk melanjutkan kegiatan usahanya di dalam kawasan Hutan Produksi.

Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan. Adapun substansi norma pengaturan tersebut terdiri atas:
  1. inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  2. tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  3. tata cara pengenaan Sanksi Administratif terhadap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan;
  4. tata cara perhitungan Denda Administratif;
  5. PNBP yang berasal dari Denda Administratif; dan
  6. paksaan pemerintah.

Peraturan Pemerintah ini disusun dalam rangka menyelesaikan kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan dengan tujuan untuk:
  1. menjamin kepastian hukum bagi masyarakat;
  2. menjamin kepastian berusaha;
  3. mempertahankan keberadaan Hutan secara optimal;
  4. menjaga fungsi lingkungan hidup;
  5. mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial;
  6. memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat setempat; dan
  7. meningkatkan pendapatan negara.

Secara umum, Peraturan Pemerintah ini mengatur secara tuntas, transparan, dan berkeadilan mekanisme penyelesaian kegiatan usaha di Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku sebagai berikut:
  1. Terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang sesuai rencana tata ruang, setelah membayar PSDH dan DR maka: a. Untuk di kawasan Hutan Produksi, diterbitkan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan; b. Untuk di kawasan Hutan Lindung dan/atau Kawasan Hutan Konservasi, diterbitkan persetujuan melanjutkan usaha selama 1 (satu) daur maksimal 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam.
  2. Terhadap kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lainnya, setelah melaksanakan Sanksi Administratif berupa Denda Administratif, maka: a. Untuk di kawasan Hutan Produksi, diterbitkan persetujuan penggunaan Kawasan Hutan; b. Untuk di kawasan  Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi, diwajibkan menyerahkan areal kegiatan usahanya kepada negara.

Diharapkan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dengan memberikan Perizinan di bidang kehutanan setelah pelaku usaha melakukan perintah pembayaran PSDH dan DR atau Sanksi Administratif berupa Denda Administratif dapat menjadi model penyelesaian kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan yang saat ini menjadi salah satu persoalan utama dalam tata kelola Kawasan Hutan.

Untuk mendukung efek eksekutorial dari pengenaan Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif maka Peraturan Pemerintah ini mengatur tata cara dan mekanisme paksaan pemerintah berupa pemblokiran, pencegahan ke luar negeri, penyitaan aset, dan paksa badan (gijzelling) bagi Setiap Orang yang tidak melaksanakan Sanksi Administratif.
   
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Cukup jelas.


Pasal 3

Cukup jelas.


Pasal 4

Cukup jelas.


Pasal 5

Cukup jelas.


Pasal 6

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Huruf a


Data dan informasi perkebunan kelapa sawit di dalam Kawasan Hutan baik yang memiliki maupun tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan dapat merujuk antara lain pada hasil evaluasi tindak lanjut Instruksi Presiden mengenai Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Pasal 7

Cukup jelas.


Pasal 8

Cukup jelas.


Pasal 9

Cukup jelas.


Pasal 10

Cukup jelas.


Pasal 11

Cukup jelas.


Pasal 12

Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "inventarisasi terestris dan nonterestris" yang dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah bersama Pemerintah Daerah merupakan hasil kegiatan penelitian atau pendataan kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak mempunyai Perizinan di bidang kehutanan yang berasal dari data internal kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, data interpretasi citra satelit yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan lapangan (aktual/sampel) dan lain-lain.


Huruf c


Cukup jelas.


Huruf d


Cukup jelas.


Huruf e


Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Cukup jelas.


Pasal 15

Cukup jelas.


Pasal 16

Cukup jelas.


Pasal 17

Cukup jelas.


Pasal 18

Yang dimaksud dengan "izin usaha di bidang perkebunan" terdiri atas:

  1. usaha budi daya Tanaman Perkebunan berupa Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) atau Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan (STD-B); atau
  2. usaha budi daya Tanaman Perkebunan (IUP-B atau STD-B) dan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan (Izin Usaha Perkebunan Pengolahan (IUP-P) atau Surat Tanda Daftar Usaha Pengolahan (STD-P)),

yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya pada saat dimulainya kegiatan perkebunan.

Dalam hal terdapat perbedaan luasan antara Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan dengan Hak Guna Usaha, yang digunakan sebagai dasar pengajuan permohonan adalah Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan.


Pasal 19

Cukup jelas.


Pasal 20

Cukup jelas.


Pasal 21

Cukup jelas.


Pasal 22

Cukup jelas.


Pasal 23

Cukup jelas.


Pasal 24

Cukup jelas.


Pasal 25

Cukup jelas.


Pasal 26

Cukup jelas.


Pasal 27

Cukup jelas.


Pasal 28

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "jangka benah" adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur Huran dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan pengelolaan.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Pasal 29

Cukup jelas.


Pasal 30

Cukup jelas.


Pasal 31

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Yang dimaksud dengan "Pernyataan tidak berlakunya Perizinan Berusaha" adalah keputusan yang diterbitkan oleh Menteri yang menegaskan bahwa Perizinan Berusaha dinyatakan tidak berlaku karena dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya rekomendasi Menteri, penerbit izin tidak mencabut Perizinan Berusaha yang diterbitkannya.


Pasal 32

Cukup jelas.


Pasal 33

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan" meliputi kegiatan menduduki, merambah, mengerjakan, dan/atau mengusahakan Kawasan Hutan tanpa izin atau dilakukan secara tidak sah untuk kegiatan pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Pasal 34

Cukup jelas.


Pasal 35

Cukup jelas.


Pasal 36

Cukup jelas.


Pasal 37

Ayat (1)


Yang dimaksud dengan "perizinan di bidangnya" antara lain: Izin Usaha Pertambangan untuk kegiatan usaha pertambangan, Izin Usaha Perkebunan untuk kegiatan usaha perkebunan, atau Perizinan Berusaha lainnya.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Pasal 38

Cukup jelas.


Pasal 39

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan/atau strategis" meliputi:

  1. sarana dan prasarana kelistrikan;
  2. sarana dan prasarana perhubungan;
  3. sarana dan prasarana telekomunikasi; atau
  4. sarana dan prasarana penunjang tambang antara lain meliputi: sarana dan prasarana pelabuhan, terminal khusus/pelabuhan khusus angkutan produksi dan pengelolaan dampak kegiatan pertambangan.

Huruf d


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Pasal 40

Cukup jelas.


Pasal 41

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Huruf a


Yang dimaksud dengan "bukti penguasaan tanah" adalah surat hak atas tanah antara lain sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Girik, Letter C, Verklaring, Eingendom, atau Surat Keterangan Tanah.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Ayat (5)


Verifikasi teknis dilakukan melalui verifikasi data administratif dan lapangan dengan menggunakan metode sosiometri.


Pasal 42

Cukup jelas.


Pasal 43

Cukup jelas.


Pasal 44

Cukup jelas.


Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Huruf a


Yang dimaksud dengan "pemblokiran" adalah pembekuan sementara atas harta kekayaan Setiap Orang yang tersimpan di Bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dan pelaksanaannya mengacu pada ketentuan mengenai kerahasiaan bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Yang dimaksud dengan "penyitaan aset" adalah tindakan untuk menguasai barang Setiap Orang, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Denda Administratif menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.


Huruf d


Yang dimaksud dengan "paksa badan" adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Setiap Orang yang tidak membayar Denda Administratif dengan menempatkannya di tempat tertentu. Paksa badan berupa penyanderaan atau pengekangan sementara waktu kebebasan Setiap Orang dengan tujuan untuk mendorong agar Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif membayar atau melunasi Denda Administratif. Penyanderaan dilakukan dengan dititipkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan terpisah dari tahanan lain. Apabila Setiap Orang yang akan disandera tidak dapat ditemukan, bersembunyi, atau melarikan diri, maka dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif.


Pasal 47

Cukup jelas.


Pasal 48

Cukup jelas.


Pasal 49

Cukup jelas.


Pasal 50

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)

 

Dalam hal hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi Denda Administratif, Menteri dapat melaksanakan penyitaan tambahan terhadap barang milik Setiap Orang yang belum disita. Dengan demikian, penyitaan aset dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi Denda Administratif.


Pasal 51

Meskipun barang yang telah disita penguasaannya beralih dari Setiap Orang kepada Menteri, penyimpanannya dititipkan kepada Setiap Orang, misalnya tanah dan/atau bangunan. Namun, ada barang yang karena sifatnya atau karena pertimbangan tertentu dari Menteri, penyimpanannya dapat dititipkan pada Bank atau disimpan di kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, seperti perhiasan atau peralatan elektronik.


Pasal 52

Ayat (1)


Huruf a


Karena penguasaan barang yang disita telah beralih dari Setiap Orang kepada Menteri, maka Setiap Orang dilarang untuk memindahtangankan atau memindahkan hak atas barang yang disita, misalnya, dengan cara menjual, menghibahkan, mewariskan, mewakafkan, atau menyumbangkan kepada pihak lain. Selain itu, Setiap Orang juga dilarang untuk membebani barang yang telah disita dengan hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu atau menyewakan. Larangan dimaksud berlaku untuk seluruh maupun sebagian barang yang disita.


Huruf b


Cukup jelas.


Huruf c


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Pasal 53

Cukup jelas.


Pasal 54

Ayat (1)


Cukup jelas.


Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, Menteri memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar. Dalam hal tertentu, Menteri dapat meminta bantuan jasa penaksir (appraisal).


Ayat (4)


Cukup jelas.


Pasal 55

Cukup jelas.


Pasal 56

Cukup jelas.


Pasal 57

Cukup jelas.


Pasal 58

Ayat (1)


Huruf a


Cukup jelas.


Huruf b


Yang dimaksud dengan "tidak mempunyai itikad baik" adalah Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif apabila:

  1. tidak merespons imbauan untuk melunasi Denda Administratif;
  2. tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi Denda Administratif baik secara sekaligus maupun angsuran;
  3. tidak bersedia menyerahkan hartanya untuk melunasi Denda Administratif;
  4. akan meninggalkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
  5. memindah tangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; dan/atau
  6. akan membubarkan badan usahanya atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya.

Ayat (2)


Cukup jelas.


Ayat (3)


Cukup jelas.


Ayat (4)


Cukup jelas.


Ayat (5)


Cukup jelas.


Ayat (6)


Cukup jelas.


Ayat (7)


Cukup jelas.


Pasal 59

Cukup jelas.


Pasal 60

Cukup jelas.


Pasal 61

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6636