Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 49/PMK.03/2019

Kategori : KUP

Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 49/PMK.03/2019

TENTANG

TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa Indonesia sebagai negara anggota G20 perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan internasional di bidang perpajakan terkait penerapan standar minimum dalam rencana aksi Nomor 14 proyek OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) mengenai pencegahan dan penyelesaian sengketa perpajakan internasional yang lebih efektif;
  2. bahwa untuk pencegahan dan penanganan sengketa perpajakan internasional yang lebih efektif, perlu dibentuk suatu peraturan yang lebih memberikan kepastian hukum terutama terkait prosedur, jangka waktu, dan tindak lanjut permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama;
  3. bahwa ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan prosedur persetujuan bersama telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure), tetapi belum sepenuhnya sesuai dengan standar minimum dalam rencana aksi Nomor 14 proyek OECD/G20 BEPS dan belum dapat memberikan kepastian hukum terutama terkait prosedur, jangka waktu, dan tindak lanjut permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
  2. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disingkat P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak.
  3. Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya disebut Mitra P3B adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam P3B.
  4. Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B yang selanjutnya disebut Otoritas Pajak Mitra P3B adalah otoritas perpajakan pada negara mitra atau otoritas perpajakan pada yurisdiksi mitra yang berwenang melaksanaan ketentuan dalam P3B.
  5. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disingkat MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B.
  6. Pejabat Berwenang terkait pelaksanaan MAP yang selanjutnya disebut Pejabat Berwenang adalah pejabat di Indonesia atau pejabat di Mitra P3B yang berwenang untuk melaksanakan MAP sebagaimana diatur dalam P3B.
  7. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh Pejabat Berwenang dari Pemerintah Indonesia dan Pejabat Berwenang dari pemerintah Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.
  8. Penentuan Harga Transfer adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
  9. Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP yang selanjutnya disingkat WNI adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kewarganegaraan yang menjadi wajib pajak dalam negeri Mitra P3B.
  10. Pemohon adalah Wajib Pajak dalam negeri dan WNI.


BAB II
PENGAJUAN PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP

Pasal 2


(1) Wajib Pajak dalam negeri dapat mengajukan permintaan pelaksanaan MAP kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Pejabat Berwenang Indonesia dalam hal terjadi perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B.
(2) Perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pengenaan pajak oleh Otoritas Pajak Mitra P3B yang mengakibatkan terjadinya pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh:
1) koreksi Penentuan Harga Transfer;
2) koreksi terkait keberadaan dan/atau laba bentuk usaha tetap; dan/atau
3) koreksi obyek pajak penghasilan lainnya;
b. pengenaan pajak termasuk pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan di Mitra P3B yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B;
c. penentuan status sebagai subjek pajak dalam negeri oleh Otoritas Pajak Mitra P3B;
d. diskriminasi perlakuan perpajakan di Mitra P3B; dan/atau
e. penafsiran ketentuan P3B.
(3) Selain permintaan pelaksanaan MAP oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permintaan pelaksanaan MAP dapat juga diajukan oleh:
a. WNI melalui Direktur Jenderal Pajak;
b. Direktur Jenderal Pajak; atau
c. Otoritas Pajak Mitra P3B melalui Pejabat Berwenang Mitra P3B sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
(4) Permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diajukan atas segala bentuk perlakuan diskriminatif di Mitra P3B yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi sebagaimana diatur dalam P3B.
(5) Permintaan pelaksanaan MAP oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diajukan dalam rangka:
a. menghindari pengenaan pajak berganda sebagai akibat koreksi Penentuan Harga Transfer yang telah dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan mengusulkan penyesuaian besarnya penghasilan kena pajak (corresponding adjustment) wajib pajak dalam negeri Mitra P3B;
b. menindaklanjuti permohonan kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/APA) yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam negeri termasuk pemberlakuannya untuk tahun pajak sebelum periode kesepakatan harga transfer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pembentukan dan pelaksanaan kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/APA); dan/atau
c. menafsirkan ketentuan P3B.
(6) Permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan huruf c dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negeri untuk mengajukan:
a. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang KUP;
b . permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang KUP; atau
c. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP.
(7) Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), materi yang diajukan permintaan pelaksanaan MAP harus tercakup dalam materi sengketa yang diajukan permohonan dimaksud.
(8) Permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak menunda:
a. kewajiban membayar pajak yang terutang; dan
b. pelaksanaan penagihan pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 3


(1) Permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh Pemohon, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. mengemukakan ketidaksesuaian penerapan ketentuan P3B menurut Pemohon;
c. diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam P3B atau paling lambat 3 (tiga) tahun apabila tidak diatur dalam P3B, terhitung sejak:
1) tanggal surat ketetapan pajak;
2) tanggal bukti pembayaran, pemotongan, atau pemungutan pajak penghasilan; atau
3) saat terjadinya perlakuan perpajakan yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B.
d. ditandatangani oleh Pemohon atau wakil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP; dan
e. dilampiri dengan:
1) surat keterangan domisili atau dokumen lain yang berisi identitas wajib pajak dalam negeri Mitra P3B yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b;
2) daftar informasi dan/atau bukti atau keterangan yang dimiliki oleh Pemohon yang menunjukkan bahwa perlakuan perpajakan oleh Otoritas Pajak Mitra P3B tidak sesuai dengan ketentuan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (4); dan
3) surat pernyataan yang menyatakan kesediaan Pemohon untuk menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada angka 2) secara lengkap dan tepat waktu.
(2) Permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan huruf c diajukan dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam P3B.
(3) Permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Pasal 2 ayat (3) huruf c disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui:
a. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak dalam negeri terdaftar; atau
b. Direktur Perpajakan Internasional, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP diajukan oleh:
1) WNI; atau
2) Pejabat Berwenang Mitra P3B.
(4) Permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
a. secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. dengan cara lain melalui:
1) perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
2) saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
(5) Permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam:
a. Lampiran huruf A.1., untuk Pemohon Wajib Pajak dalam negeri; atau
b. Lampiran huruf A.2., untuk Pemohon WNI,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e angka 3) dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam Lampiran huruf A.3. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


BAB III
PENANGANAN PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP

Pasal 4


(1) Atas permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dilakukan penelitian terhadap:
a. kelengkapan pemenuhan persyaratan permintaan pelaksanaan MAP berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) atau ayat (2); dan
b. kesesuaian materi yang diajukan permintaan pelaksanaan MAP dengan perlakuan perpajakan yang dapat diajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), ayat (3) huruf c, atau ayat (4),
untuk menentukan dapat atau tidaknya permintaan pelaksanaan MAP ditindaklanjuti.
(2) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh Pemohon dengan menerbitkan:
a. pemberitahuan tertulis kepada Pemohon bahwa permintaan pelaksanaan MAP dapat ditindaklanjuti dan permintaan pelaksanaan MAP secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP memenuhi persyaratan dan kesesuaian materi; atau
b. surat penolakan permintaan pelaksanaan MAP kepada Pemohon yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP tidak memenuhi persyaratan dan/atau tidak memenuhi kesesuaian materi,
dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permintaan pelaksanaan MAP.
(3) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra P3B dengan menerbitkan:
a. pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B dan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP bahwa permintaan pelaksanaan MAP dapat ditindaklanjuti, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP memenuhi persyaratan; atau
b. surat penolakan permintaan pelaksanaan MAP kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B yang mencantumkan hal-hal yang menjadi dasar penolakan, dalam hal permintaan pelaksanaan MAP tidak memenuhi persyaratan,
dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya permintaan pelaksanaan MAP.
(4) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan pemberitahuan tertulis, permintaan pelaksanaan MAP dianggap dapat ditindaklanjuti.
(5) Atas permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
a. permintaan pelaksanaan MAP secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B; dan
b. pemberitahuan tertulis mengenai pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP.
(6) Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (5) huruf a tidak mendapatkan jawaban tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra P3B dalam batas waktu paling lama 8 (delapan) bulan sejak disampaikan permintaan pelaksanaan MAP, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
a. Pemohon atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP bahwa permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat ditindaklanjuti; dan
b. Pejabat Berwenang Mitra P3B bahwa permintaan pelaksanaan MAP dicabut.
(7) Atas permintaan pelaksanaan MAP yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan permintaan pelaksanaan MAP yang tidak dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a, Pemohon dapat mengajukan kembali permintaan pelaksanaan MAP sepanjang batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c belum terlampaui.


Pasal 5


(1) Direktur Jenderal Pajak melaksanakan perundingan dengan Pejabat Berwenang Mitra P3B dalam batas waktu selama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak:
a. diterimanya permintaan pelaksanaan MAP secara tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf c; atau
b. disampaikannya permintaan pelaksanaan MAP secara tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dan ayat (5) huruf a.
(2) Perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pertemuan langsung;
b. sambungan telepon;
c. konferensi video; dan/atau
d. saluran lain yang disepakati oleh Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat Berwenang Mitra P3B.
(3) Direktur Jenderal Pajak membentuk delegasi perunding dalam rangka perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Hasil perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Persetujuan Bersama yang dapat berisi kesepakatan atau ketidaksepakatan atas materi yang diajukan permintaan pelaksanaan MAP.
(5) Persetujuan Bersama yang berisi ketidaksepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat terjadi dalam kondisi sebagai berikut:
a. perundingan menghasilkan kesepakatan untuk membuat Persetujuan Bersama yang berisi ketidaksepakatan;
b. perundingan tidak menghasilkan kesepakatan sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
c. perundingan dilaksanakan bersamaan dengan proses banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf b dan sampai dengan putusan banding diucapkan, perundingan belum menghasilkan kesepakatan;
d. telah terlampauinya daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan MAP dan perundingan belum menghasilkan kesepakatan; atau
e. Wajib Pajak dalam negeri mengikuti program pengampunan pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak yang dicakup dalam permintaan pelaksanaan MAP.
(6) Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan menerbitkan surat keputusan dalam batas waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak:
a. diterimanya pemberitahuan tertulis dari Pejabat Berwenang Mitra P3B bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan; dan
b. disampaikannya pemberitahuan tertulis kepada Pejabat Berwenang Mitra P3B bahwa Persetujuan Bersama dapat dilaksanakan.
(7) Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam:
a. Lampiran huruf B.1., untuk Persetujuan Bersama Terkait Pengenaan Pajak Berganda; atau
b. Lampiran huruf B.2., untuk Persetujuan Bersama Selain Terkait Pengenaan Pajak Berganda,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(8) Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada:
a. Pemohon;
b. Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan huruf c; dan/atau
c. unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang menindaklanjuti.


Pasal 6


(1) Dalam rangka perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1):
a. Pemohon harus menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 2) secara langsung kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional dalam bentuk hardcopy dan elektronik paling lama 2 (dua) bulan setelah:
1) tanggal diterbitkannya pemberitahuan tertulis bahwa permintaan pelaksanaan MAP dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a; atau
2) terlampauinya batas waktu 1 (satu) bulan sehingga permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh Pemohon dianggap dapat ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
b. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:
1) meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e angka 2 kepada:
a) Pemohon;
b) Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan huruf c; dan/atau
c) pihak terkait lainnya;
2) melakukan pembahasan dengan Pemohon, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan huruf c, dan/atau pihak terkait lainnya;
3) melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Pemohon dan/atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan huruf c;
4) melakukan pertukaran informasi perpajakan dalam rangka MAP kepada Otoritas Pajak Mitra P3B; dan/atau
5) melakukan pemeriksaan tujuan lain dalam rangka MAP untuk mendapatkan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian MAP.
(2) Untuk keperluan perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pejabat Berwenang Mitra P3B dapat meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1).
(3) Permintaan informasi dan/atau bukti atau keterangan oleh Pejabat Berwenang Mitra P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan melalui:
a. prosedur pertukaran informasi berdasarkan permintaan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam P3B atau perjanjian internasional yang mengatur mengenai pertukaran informasi perpajakan; dan/atau
b. permintaan secara langsung kepada delegasi perunding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) selama proses perundingan.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dalam hal:
a. Pemohon tidak menyampaikan informasi dan/atau bukti atau keterangan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
b. Pejabat Berwenang Mitra P3B meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penghentian perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada:
a. Pemohon;
b. Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP; dan/atau
c. Pejabat Berwenang Mitra P3B.
(6) Pemberitahuan tertulis mengenai penghentian perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf b dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 7


Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


BAB IV
PENCABUTAN PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP

Pasal 8


(1) Atas permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) dapat diajukan permohonan pencabutan oleh:
a. Pemohon;
b. Direktur Jenderal Pajak; dan/atau
c. Pejabat Berwenang Mitra P3B.
(2) Permohonan pencabutan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Pejabat Berwenang Mitra P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Perpajakan Internasional.
(3) Permohonan pencabutan yang diajukan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  2. diajukan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak dimulainya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
  3. mencantumkan alasan pencabutan; dan
  4. ditandatangani oleh Pemohon atau wakil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang KUP.
(4) Permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam:
  1. Lampiran huruf D.1., untuk Pemohon Wajib Pajak dalam negeri; atau
  2. Lampiran huruf D.2., untuk Pemohon WNI,
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Atas permohonan pencabutan yang diajukan oleh Pemohon, Direktur Jenderal Pajak meneliti pemenuhan persyaratan pencabutan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
  1. Pemohon bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
  2. Pejabat Berwenang Mitra P3B bahwa permintaan pelaksanaan MAP dicabut, dalam hal permohonan pencabutan disetujui dan diajukan setelah dimulainya perundingan,
dalam batas waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan pencabutan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(6) Pengajuan permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dilaksanakan sepanjang permohonan diajukan sebelum diperoleh Persetujuan Bersama.
(7) Atas permohonan pencabutan permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh Pejabat Berwenang Mitra P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Direktur Jenderal Pajak meneliti pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan menerbitkan pemberitahuan tertulis kepada:
  1. Pejabat Berwenang Mitra P3B bahwa permohonan pencabutan disetujui atau tidak disetujui; dan
  2. Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP oleh Pejabat Berwenang Mitra P3B bahwa perundingan dihentikan, dalam hal permohonan pencabutan disetujui.
(8) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak mencabut permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tertulis bahwa perundingan dihentikan kepada:
  1. Pejabat Berwenang Mitra P3B; dan
  2. Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP oleh Direktur Jenderal Pajak.
(9) Pemberitahuan tertulis mengenai penghentian perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dan ayat (8) huruf b dibuat dengan menggunakan format sesuai dengan contoh tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan pencabutan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (9) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


BAB V
TINDAK LANJUT PERSETUJUAN BERSAMA

Pasal 9


(1) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan, Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan pelaksanaan MAP melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan atau pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dengan memperhatikan hasil kesepakatan dalam Persetujuan Bersama dalam batas waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan pelaksanaan MAP tidak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan atau pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterbitkannya surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6) atau dengan memperhatikan daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dengan memperhatikan hasil kesepakatan dalam Persetujuan Bersama.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah surat ketetapan pajak diterbitkan tetapi tidak diajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a atau tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf c, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan melakukan pembetulan surat ketetapan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP dengan memperhatikan hasil kesepakatan dalam Persetujuan Bersama.
(4) Dalam hal pelaksanaan MAP yang dilakukan bersamaan dengan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a atau pengajuan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf c menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum surat keputusan atas keberatan atau pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tersebut diterbitkan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan tersebut dengan memperhatikan hasil kesepakatan dalam Persetujuan Bersama.
(5) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf c, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan melakukan pembetulan surat keputusan tersebut sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP dengan memperhatikan hasil kesepakatan dalam Persetujuan Bersama.
(6) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan keberatan tetapi tidak diajukan banding atau Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan pelaksanaan MAP mengajukan banding tetapi dicabut dan pengadilan pajak telah memberikan persetujuan tertulis atas pencabutan banding tersebut, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan melakukan pembetulan atas surat keputusan keberatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP dengan memperhatikan hasil kesepakatan dalam Persetujuan Bersama.
(7) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama yang mengakibatkan terjadinya kelebihan atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang terutang, wajib pajak dalam negeri Mitra P3B mengajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(8) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) juga dapat dilaksanakan berdasarkan permohonan Wajib Pajak dalam negeri yang terkait dengan pelaksanaan MAP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian tindak lanjut Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 10


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pelaksanaan MAP yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) dan belum diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai Persetujuan Bersama, ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan Menteri ini.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 11


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1952), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 12


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 April 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 468