Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 19/PJ/2020

Kategori : KUP

Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 Tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona


31 Maret 2020


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 19/PJ/2020

TENTANG

PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 23/PMK.03/2020 TENTANG INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK
TERDAMPAK WABAH VIRUS CORONA

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


A. Umum

Sehubungan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona (selanjutnya disebut PMK-23/PMK.03/2020), yang mengatur mengenai pemberian insentif terhadap Wajib Pajak untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan produktivitas sektor tertentu terkait dengan wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), diperlukan adanya petunjuk pelaksanaan pemberian insentif agar diperoleh kesamaan pemahaman. Selain itu untuk memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan keseragaman dalam pelaksanaan pemberian insentif dimaksud, maka perlu dibuat Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
   
B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman mengenai pelaksanaan PMK-23/PMK.03/2020 terkait tata cara pemberian insentif pajak, pengawasan atas pemanfaatan dan pelaporan realisasi atas pemanfaatan insentif pajak tersebut. 
2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan:
a. sebagai petunjuk pelaksanaan dan keseragaman pelaksanaan operasional di lapangan untuk memberikan kemudahan, keadilan serta kepastian hukum dalam pelaksanaan PMK-23/PMK.03/2020.
b. menjelaskan mengenai tata cara:
1) penyampaian pemberitahuan/permohonan pemanfaatan insentif pajak oleh pemberi kerja/Wajib Pajak;
2) penyampaian surat pemberitahuan bahwa pemberi kerja/Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif pajak; dan
3) pelaporan realisasi pemanfaatan insentif pajak.
c. memberikan kemudahan dan pelayanan kepada Wajib Pajak yang terdampak wabah virus corona yang berhak memanfaatkan insentif pajak.
   
C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Surat Edaran Direktur Jenderal ini meliputi:
  1. pengertian;
  2. tata cara pemberian insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah (DTP);
  3. tata cara pembebasan PPh Pasal 22 impor;
  4. tata cara pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
  5. ketentuan terkait penyampaian kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
  6. tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, laporan realisasi pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau laporan realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
  7. tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN;
  8. ketentuan terkait kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN;
  9. ketentuan terkait perusahaan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN. 
   
D. Dasar

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Undang-Undang PPh);
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Undang-Undang PPN);
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
  5. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019;
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2018;
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2018 tentang Penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu;
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona;
  12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2010 tentang Tata Cara dan Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2015;
  13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan PER-21/PJ/2014;
  14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
  15. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
   
E. Materi

1. Pengertian
  1. Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh;
  2. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja;
  3. Nomor Pokok Wajib Pajak, yang selanjutnya disingkat NPWP, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya;
  4. Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak (DJP);
  5. Wajib Pajak Berstatus Pusat, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Pusat, adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan kode 3 (tiga) digit terakhirnya adalah 000;
  6. Wajib Pajak Berstatus Cabang, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Cabang, adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sama dengan Wajib Pajak Pusat untuk kode 9 (sembilan) digit pertama dan dengan kode 3 (tiga) digit terakhirnya selain 000;
  7. Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, yang selanjutnya disebut KITE, meliputi Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
  8. Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan insentif KITE sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
  9. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
  10. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender;
  11. Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN;
  12. Pengusaha Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat PKP, adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN;
  13. Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, yang selanjutnya disingkat SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memperoleh insentif dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor berdasarkan PMK-23/PMK.03/2020.
2. Tata cara pemberian insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP)
a. PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada Pegawai dengan kriteria:
1) menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja yang:
a) memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A PMK- 23/PMK.03/2020; dan/atau
b) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE.
2) memiliki NPWP; dan
3) pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
b. Tata cara penyampaian pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP sebagai berikut:
Sehubungan dengan penetapan status kondisi tanggap darurat akibat dari semakin mewabahnya COVID-19, maka penyampaian pemberitahuan dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan DJP sebagai berikut:
1) pemberi kerja, baik Wajib Pajak Pusat maupun Wajib Pajak Cabang, mengajukan pemberitahuan memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP melalui DJP Online;
2) dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi DJP Online pemberi kerja dinyatakan berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP; sistem aplikasi DJP Online akan menyampaikan notifikasi bahwa pemberi kerja telah berhasil menyampaikan pemberitahuan;
3) dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi DJP Online pemberi kerja dinyatakan tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, sistem aplikasi DJP Online akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa pemberi kerja tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP;
c. Tata cara pembuatan Surat Setoran Pajak PPh Pasal 21 DTP dan cetakan kode billing sebagai berikut:
1) pemberi kerja, baik Wajib Pajak Pusat maupun Wajib Pajak Cabang, yang telah menyampaikan pemberitahuan atas PPh Pasal 21 DTP sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2) wajib membuat Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan “PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 23/PMK.03/2020”;
2) dalam hal pemberi kerja telah menggunakan aplikasi e-SPT PPh Pasal 21 sebagai sarana penyampaian SPT, maka proses pembuatan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada angka 1) diganti dengan perekaman kode NTPN (9999999999999999) secara elektronik pada aplikasi e-SPT.
d. Insentif PPh Pasal 21 DTP diberikan sejak Masa Pajak pemberitahuan disampaikan sampai dengan Masa Pajak September 2020;
e. Dalam hal Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE dicabut, insentif PPh Pasal 21 DTP berakhir sampai dengan Masa Pajak dilakukannya pencabutan.
f. Dalam hal pegawai yang menerima insentif PPh Pasal 21 DTP menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2020 dan menyatakan kelebihan pembayaran, maka kelebihan pembayaran yang berasal dari Pajak Penghasilan Pasal 21 DTP sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dapat dikembalikan.
3. Tata cara pembebasan PPh Pasal 22 impor
a. Wajib Pajak dibebaskan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor, dengan kriteria:
1) memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F PMK-23/PMK.03/2020; dan/atau
2) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE.
b. Pembebasan dari pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada huruf a diberikan melalui SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor;
c. Tata cara penyampaian permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai berikut:
1) sehubungan dengan penetapan status kondisi tanggap darurat seiring dengan semakin mewabahnya virus corona, maka Wajib Pajak menyampaikan permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor secara daring (Online) pada menu Permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor melalui DJP Online.
2) atas permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1), diterbitkan:
a) SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, apabila Wajib Pajak memenuhi; atau
b) Surat Penolakan, apabila Wajib Pajak tidak memenuhi;
kriteria KLU dan/atau Perusahaan KITE sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan menggunakan format sebagaimana diatur dalam PMK- 23/PMK.03/2020.
3) SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor atau Surat Penolakan diterbitkan segera setelah Wajib Pajak mengisi menu Permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor di laman DJP Online.
d. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dapat melakukan konfirmasi kebenaran SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor yang diperoleh Wajib Pajak melalui sarana daring (Online) atau layanan (Service) yang disediakan oleh DJP.
e. Tata cara pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagai berikut:
1) Dalam hal KMK mengenai pencabutan Perusahaan KITE diterbitkan oleh DJBC, DJBC mengirimkan data dan/atau informasi KMK dan Perusahaan KITE yang dicabut kepada DJP.
2) Berdasarkan data sebagaimana dimaksud pada angka 1), DJP secara jabatan melakukan pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor secara sistem melalui DJP Online.
3) Atas pencabutan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada angka 2):
a) Wajib Pajak tidak berhak atas pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor sejak tanggal KMK mengenai pencabutan Perusahaan KITE diterbitkan; dan
b) PPh Pasal 22 impor yang telah dibebaskan sejak tanggal SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor diterbitkan sampai dengan sebelum tanggal KMK mengenai pencabutan Perusahaan KITE diterbitkan, tidak ditagih kembali oleh DJP.
4. Tata cara pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25
a. Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 diberikan kepada Wajib Pajak dengan kriteria:
1) memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F PMK- 23/PMK.03/2020; dan/atau
2) telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE.
b. Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah 30% (tiga puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang untuk setiap Masa Pajak berdasarkan:
1) perhitungan angsuran PPh Pasal 25 sesuai dengan SPT Tahunan Tahun 2019;
2) besarnya angsuran PPh asal 25 Masa Pajak Desember 2019 dalam hal Wajib Pajak belum menyampaikan SPT Tahunan Tahun 2019;
3) Keputusan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 karena penurunan kondisi usaha; atau
4) perhitungan angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai penghitungan angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
c. Tata cara penyampaian pemberitahuan memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagai berikut:
Sehubungan dengan penetapan status kondisi tanggap darurat akibat dari semakin mewabahnya virus corona, maka penyampaian pemberitahuan dilakukan melalui sarana elektronik yang disediakan DJP sebagai berikut:
1) Wajib Pajak mengajukan pemberitahuan memanfaatkan insentif PPh Pasal 25 melalui DJP Online;
2) dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi DJP Online Wajib Pajak dinyatakan berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 25, sistem aplikasi DJP Online akan menyampaikan notifikasi bahwa pemberi kerja telah berhasil menyampaikan pemberitahuan;
3) dalam hal berdasarkan pengecekan sistem aplikasi DJP Online Wajib Pajak dinyatakan tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 25, sistem aplikasi DJP Online akan menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
d. Insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 diberikan sejak Masa Pajak pemberitahuan memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 disampaikan sampai dengan Masa Pajak September 2020.
e. Dalam hal Keputusan Menteri Keuangan tentang penetapan Perusahaan KITE dicabut, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berakhir sampai dengan Masa Pajak dilakukannya pencabutan.
5. Ketentuan terkait penyampaian kembali pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
a. Dalam hal pemberi kerja atau Wajib Pajak mendapat:
1) surat pemberitahuan bahwa pemberi kerja tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP;
2) surat penolakan atas permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor; dan/atau
3) surat pemberitahuan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
sehubungan dengan tidak terpenuhinya persyaratan bahwa pemberi kerja/Wajib Pajak telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE, maka pemberi kerja atau Wajib Pajak dapat kembali menyampaikan pemberitahuan pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, permohonan SKB Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pemberitahuan memanfaatkan insentif pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 melalui DJP Online sepanjang memenuhi ketentuan kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A atau huruf F PMK- 23/PMK.03/2020 dan/atau telah mendapatkan KMK mengenai penetapan perusahaan KITE.
b. Insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah, pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan disampaikan, dan/atau tanggal SKB pemungutan PPh Pasal 22 impor diterbitkan sampai dengan Masa Pajak September 2020.
6. Tata cara penyampaian laporan realisasi pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor, dan/atau laporan realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
a. pemberi kerja dan/atau Wajib Pajak mengunduh format dan jenis file Laporan Realisasi:
1) pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 DTP;
2) pembebasan pemungutan PPh Pasal 22 Impor; dan/atau
3) pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25;
di laman DJP Online;
b. file laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1), angka 2), dan/atau angka 3) yang telah diisi dengan lengkap dan benar, diunggah melalui DJP Online paling lambat:
1) tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
2) tanggal 20 Oktober 2020, untuk Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
7. Tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
a. KPP tempat PKP terdaftar/diadministrasikan memproses permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah yang diterima berdasarkan:
1) SPT, apabila PKP mengisi kolom Pengembalian Pendahuluan dalam SPT; atau
2) surat permohonan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F PMK-39/PMK.03/2018, untuk permohonan pengembalian pendahuluan atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP yang diterbitkan sebelumnya, sepanjang terhadap PKP belum mulai dilakukan tindakan pemeriksaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atas Masa Pajak yang dimohonkan Pengembalian Pendahuluan.
b. Satu surat permohonan yang disampaikan tersendiri, digunakan untuk 1 (satu) Masa Pajak;
c. Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN memenuhi persyaratan:
1) Diajukan oleh PKP yang memiliki KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F PMK-23/PMK.03/2020 atau telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE;
2) jumlah Lebih Bayar dalam SPT yang diajukan Pengembalian Pendahuluan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
3) Masa Pajak yang diajukan Pengembalian Pendahuluan adalah Masa Pajak April 2020 sampai dengan September 2020; dan
4) Permohonan Pengembalian Pendahuluan disampaikan paling lama tanggal 31 Oktober 2020.
maka permohonan Pengembalian Pendahuluan PPN tersebut ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur pengembalian pendahuluan PKP Risiko Rendah sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini;
d. Dalam hal PKP yang mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf c maka permohonan pengembalian pendahuluan PPN tersebut ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur pengembalian pendahuluan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-10/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah;
e. PKP sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi PKP yang telah ditetapkan sebagai PKP Berisiko Rendah maupun PKP yang belum ditetapkan sebagai PKP Berisiko Rendah;
f. Kepala KPP menerbitkan SKPPKP berdasarkan penelitian administrasi yang meliputi penelitian kewajiban formal dan penelitian materiil pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah;
g. Penelitian kewajiban formal pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam huruf f meliputi:
1) PKP:
a) memiliki kode KLU sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F PMK- 23/PMK.03/2020; atau
b) melampirkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE pada SPT Masa PPN yang di dalamnya terdapat permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN;
2) jumlah lebih bayar dalam SPT Masa PPN termasuk pembetulan SPT Masa PPN secara akumulatif tidak melebihi Rp5.000.000.000;
3) SPT Masa PPN, pembetulan SPT Masa PPN, termasuk pengajuan surat permohonan tersendiri, yang diajukan pengembalian pendahuluan merupakan Masa Pajak April sampai dengan September 2020 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Oktober 2020;
4) PKP tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
5) PKP tidak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir sebelum SPT Masa PPN disampaikan.
h. Penelitian materiil pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam huruf c meliputi:
1) memastikan kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, meliputi kebenaran penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan dalam penghitungan pajak;
2) Pajak Masukan, meliputi Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang dikreditkan oleh PKP Berisiko Rendah telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh PKP yang menerbitkan Faktur Pajak; dan
3) Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh PKP Berisiko Rendah telah divalidasi dengan NTPN.
i. Petugas peneliti tidak perlu melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) PMK-39/PMK.03/2018 pada Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan. Kegiatan tertentu tersebut meliputi:
1) ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
2) penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN;
3) penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang PPN-nya tidak dipungut;
4) ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
5) ekspor Jasa Kena Pajak.
j. Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam huruf h angka 2) dilakukan berdasarkan aplikasi atau data dan/atau informasi yang tersedia di sistem informasi DJP;
k. Penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf h dilakukan, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pajak Masukan yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon dan tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat Faktur Pajak, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak; dan/atau
2) Pajak Masukan yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN PKP yang membuat Faktur Pajak dan tidak dikreditkan Wajib Pajak pemohon, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak.
l. Penelitian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam huruf h hanya terbatas pada Pajak Masukan yang dilaporkan pada SPT Lebih Bayar Masa Pajak yang diajukan permohonan pengembalian, tidak termasuk Pajak Masukan pada SPT Masa Pajak sebelumnya yang menyatakan kelebihan pembayaran yang dikompensasikan;
m. Atas nilai lebih bayar yang dikompensasikan di Masa Pajak yang dimintakan pengembalian pendahuluan diakui sebesar nilai PPN lebih bayar yang dikompensasikan dalam SPT Masa PPN Masa Pajak sebelumnya atau SPT Masa PPN Masa Pajak yang dilakukan pembetulan dan mengakibatkan lebih bayar yang selanjutnya dikompensasikan ke Masa Pajak saat dimintakan pengembalian pendahuluan;
n. Setelah SKPPKP diterbitkan, atas SPT lebih bayar kompensasi pada Masa Pajak sebelumnya diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
o. Berdasarkan hasil penelitian, Kepala KPP:
1) menerbitkan SKPPKP sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H PMK-39/PMK.03/2018, dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan:
a) memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada huruf g; dan
b) berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan; atau
2) tidak menerbitkan SKPPKP dan menerbitkan surat pemberitahuan kepada PKP sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G PMK-39/PMK.03/2018, dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan:
a) tidak memenuhi kewajiban formal sebagaimana dimaksud pada huruf g; atau
b) berdasarkan penelitian materiil sebagaimana dimaksud pada huruf h tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang dapat dikembalikan.
p. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian PKP tidak diterbitkan SKPPKP karena tidak memenuhi kewajiban formal, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP;
q. Dalam hal saat penelitian kewajiban formal dalam rangka pengembalian pendahuluan sesuai PMK-23/PMK.03/2020 juga diketahui PKP memiliki penetapan sebagai PKP Berisiko Rendah yang diterbitkan berdasarkan PMK- 39/PMK.03/2018 namun tidak memenuhi syarat berlakunya Keputusan penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, maka KPP menindaklanjuti dengan melakukan pencabutan atas Penetapan sebagai PKP Berisiko Rendah yang dilakukan berdasarkan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf E angka 9 SE-10/PJ/2018;
r. Dalam hal berdasarkan hasil penelitian PKP tidak diterbitkan SKPPKP karena tidak memenuhi persyaratan materiil, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP;
s. Dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SKPPKP tidak sama dengan jumlah lebih bayar dalam SPT, maka pengembalian atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP tersebut diproses apabila PKP Berisiko Rendah mengajukan kembali permohonan pengembalian pendahuluan melalui surat tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Huruf F PMK-39/PMK.03/2018;
t. Dalam hal PKP menyampaikan pembetulan SPT yang diajukan permohonan Pengembalian Pendahuluan sebelum diterbitkan SKPPKP dan SPT pembetulan tersebut telah diterima secara lengkap, maka dasar penerbitan SKPPKP adalah SPT Pembetulan, dan jangka waktu pengembalian pendahuluan dihitung sejak diterimanya SPT pembetulan;
u. Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT pembetulan yang menyatakan lebih bayar dan mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan, serta atas SPT pembetulan tersebut telah dinyatakan lengkap maka kelebihan pembayaran pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan yaitu kredit pajak yang belum dilaporkan dalam SPT yang dilakukan pembetulan yang telah diterbitkan SKPPKP;
v. Dalam hal setelah diterbitkan SKPPKP, PKP menyampaikan SPT Masa PPN pembetulan yang menyatakan kurang bayar, nihil atau lebih bayar yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai SKPPKP pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111 dan PKP mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan, serta atas SPT pembetulan tersebut telah dinyatakan lengkap maka SPT Masa PPN pembetulan tersebut akan mengakibatkan PPN kurang bayar pada bagian II huruf F Formulir SPT Masa PPN 1111 setelah memperhitungkan nilai SKPPKP pada bagian II huruf E Formulir SPT Masa PPN 1111. Untuk selanjutnya:
1) SKPPKP tetap ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP; dan
2) PKP dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP.
w. Dalam hal PKP menyampaikan SPT masa PPN pembetulan tidak memperhitungkan nilai SKPPKP pada bagian II huruf D Formulir SPT Masa PPN 1111, dan dalam hal jika nilai SKPPKP tersebut diperhitungkan mengakibatkan SPT Masa PPN Pembetulan menjadi kurang bayar, maka ditindak lanjuti dengan menyampaikan SP2DK kepada PKP tersebut dan menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP;
x. Dalam hal telah diterbitkan SKPPKP dan PKP menyampaikan SPT pembetulan dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP, atas kelebihan pembayaran pajak berdasarkan SPT Pembetulan diproses melalui ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP;
y. SKPPKP atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada huruf p, diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan;
z. Yang dimaksud dengan tanggal diterimanya permohonan adalah:
1) tanggal bukti penerimaan SPT atau surat permohonan, dalam hal SPT atau surat permohonan disampaikan secara langsung;
2) tanggal penyampaian atau surat permohonan secara lengkap, dalam hal SPT atau surat permohonan disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau
3) tanggal penyampaian SPT atau surat permohonan secara lengkap, dalam hal SPT atau surat permohonan disampaikan melalui saluran tertentu (e-filing) yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
aa. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf y terlampaui dan Kepala KPP tidak menerbitkan SKPPKP atau pemberitahuan, permohonan PKP dianggap dikabulkan dan Kepala KPP menerbitkan SKPPKP paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf y berakhir;
bb. SKPPKP yang telah diterbitkan ditindaklanjuti dengan penerbitan SKPKPP sesuai dengan ketentuan dan prosedur sebagaimana dimaksud dalam PMK-244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
cc. Prosedur penyelesaian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini.
8. Ketentuan terkait kode KLU yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN.
a. bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh pada tahun 2018, kode KLU yang digunakan adalah kode KLU sebagaimana yang tercantum dan telah dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT PPh Tahun Pajak 2018 baik:
a. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 status normal, atau
b. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 status pembetulan, yang disampaikan oleh Wajib Pajak baik sebelum maupun setelah tanggal berlakunya PMK- 23/PMK.03/2020.
b. bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar setelah tahun 2018, kode KLU yang digunakan adalah kode KLU sebagaimana yang tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar yang dikeluarkan oleh KPP tempat Wajib Pajak terdaftar;
c. dalam hal terdapat ketidaksesuaian kode KLU sehingga Wajib Pajak tidak termasuk dalam kode KLU dalam lampiran PMK-23/PMK.03/2020 padahal KLU yang sebenarnya termasuk dalam lampiran tersebut, karena beberapa sebab di antaranya:
1) Wajib Pajak tidak menuliskan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018;
2) Wajib Pajak belum melakukan pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018; atau
3) Wajib Pajak salah mencantumkan kode KLU pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018;
Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan KLU tersebut melalui penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 baik berstatus normal atau pembetulan, sepanjang atas SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 belum dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KUP.
d. Dalam hal SPT Tahunan Tahun Pajak 2018 sudah atau sedang dilakukan pemeriksaan, kode KLU yang digunakan adalah kode KLU sebagaimana yang tercantum dalam Masterfile Wajib Pajak, dengan ketentuan bahwa:
1) Wajib Pajak dapat melakukan perubahan kode KLU melalui penyampaian permohonan perubahan data sehingga sesuai dengan kode KLU yang sebenarnya; atau
2) Wajib Pajak tidak perlu melakukan perubahan kode KLU dalam hal kode KLU Wajib Pajak telah sesuai dengan KLU yang sebenarnya.
e. Dalam hal Wajib Pajak mencantumkan kode KLU dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018, baik yang berstatus normal atau pembetulan, termasuk dalam kode KLU dalam lampiran PMK-23/PMK.03/2020, namun kode KLU dalam SPT tersebut berbeda dengan kode KLU pada:
(1) Surat Keterangan Terdaftar Wajib Pajak; atau
(2) Masterfile Wajib Pajak;
maka Wajib Pajak tersebut tetap berhak mendapatkan fasilitas Insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dan atas perbedaan data tersebut ditindaklanjuti dengan perubahan data secara jabatan atas kode KLU dalam master file Wajib Pajak.
f. Dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan fasilitas insentif PPh Pasal 21 DTP kemudian diketahui berdasarkan data dan/atau informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa pemberi kerja tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-23/PMK.03/2020 atau tidak berhak mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, maka diterbitkan SP2DK agar pemberi kerja melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan menyetorkan kembali PPh Pasal 21 terutang yang seharusnya dipotong.
g. Dalam hal Wajib Pajak telah memanfaatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor, dan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 padahal berdasarkan data dan/atau informasi yang diketahui bahwa Wajib Pajak tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-23/PMK.03/2020 atau tidak termasuk perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE, maka diterbitkan SP2DK agar Wajib Pajak melakukan pembayaran PPh Pasal 22 Impor dan PPh Pasal 25.
h. Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan sebagaimana dimaksud pada huruf f, dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP untuk menagih kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 terutang sebagaimana dimaksud pada huruf f.
i. Penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf h tidak dilakukan jika Wajib Pajak selaku Pemberi Kerja telah memperhitungkan dan membayar kekurangan pemotongan PPh Pasal 21 yang seharusnya tidak mendapatkan fasilitas PPh Pasal 21 DTP dalam perhitungan PPh Pasal 21 terutang di Masa Pajak Desember.
j. Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan sebagaimana dimaksud pada huruf g, dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP untuk menagih kekurangan pembayaran PPh Pasal 22 atau Pasal 25 terutang.
k. Penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf j tidak dilakukan jika Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2020.
l. Penerbitan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf h atau huruf j, dilakukan dengan terlebih dahulu memastikan kebenaran KLU dalam SPT Tahunan PPh Tahun 2018 melalui pelaksanaan pemeriksaan tujuan lain dalam rangka pencocokan data dan/atau alat keterangan atau pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
m. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf I juga dapat digunakan sebagai dasar perubahan data KLU Wajib Pajak dalam Masterfile Wajib Pajak.
n. Dalam hal PKP telah diterbitkan SKPPKP, namun berdasarkan data dan/atau informasi yang menunjukkan keadaan sebenarnya bahwa Wajib Pajak tidak termasuk KLU dalam lampiran PMK-23/PMK.03/2020 atau tidak termasuk  perusahaan yang mendapatkan pengembalian pendahuluan, maka terhadap Masa Pajak diterbitkannya SKPPKP diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan.
9. Ketentuan terkait perusahaan KITE yang mendapatkan insentif PPh Pasal 21 DTP, pembebasan PPh Pasal 22 Impor, pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25, dan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN
  1. pengajuan pemberitahuan/permohonan dilampiri dengan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai Perusahaan KITE;
  2. Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a yaitu Keputusan Menteri Keuangan yang ditetapkan sebelum dan setelah PMK- 23/PMK.03/2020 berlaku.
   
F. Penutup

  1. Surat Edaran Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2020;
  2. Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, diminta agar seluruh unit terkait di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan sehubungan dengan pelaksanaan Surat Edaran Direktur Jenderal ini di lingkungan wilayah kerja masing-masing.

Demikian Surat Edaran Direktur Jenderal ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Maret 2020
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

SURYO UTOMO