Surat Edaran Bersama Dirjen Nomor : SE - 37/PJ/1988

Kategori : PPh

Pungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 Dan PPh Pasal 26 Oleh Direktorat Jenderal Anggaran Dan Bendaharawan Pemerintah


21 Juli 1988


SURAT EDARAN BERSAMA
DIREKTUR JENDERAL ANGGARAN
DAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE-69/A/1988, SE-37/PJ/1988

TENTANG

PUNGUTAN PPh PASAL 21, PPh PASAL 23 DAN PPh PASAL 26
OLEH DIREKTORAT JENDERAL ANGGARAN DAN BENDAHARAWAN PEMERINTAH

DIREKTUR JENDERAL ANGGARAN DAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

I. PENDAHULUAN

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, khususnya mengenai pelaksanaan Pajak Penghasilan yang dipungut oleh badan-badan tertentu, seperti yang telah di atur oleh Menteri Keuangan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 965/KMK.04/1983 Tanggal 31 Desember 1983 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 258/KMK.04/1985 tanggal 11 Maret 1985 ternyata masih di perlukan petunjuk lebih lanjut, mengingat bahwa pembayaran yang di lakukan oleh badan-badan Pemerintah/Bendaharawan Pemerintah bukan saja terhutang Pajak Penghasilan Pasal 22, tetapi mungkin juga terhutang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26.

Jika pungutan PPh Pasal 22 yang sudah berjalan selama ini adalah bersifat umum, yaitu untuk barang dan jasa, maka pungutan/potongan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 adalah bersifat khusus, yakni jika pembayaran itu adalah untuk imbalan jasa tertentu seperti yang di uraikan pada butir II.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka di pandang perlu di terbitkan Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Pajak, yang mengatur tata cara dan tata usaha pungutan pajak-pajak seperti tersebut di atas.
   
II. PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21, PPh PASAL 23 DAN PPh PASAL 26.

  1. Obyek, dasar pemotongan tarif PPh Pasal 21.
    Atas pembayaran yang berkenaan dengan imbalan jasa yang di lakukan oleh konsultan orang pribadi atau jasa profesional yang di berikan oleh orang pribadi atau partnership yang terdiri dari para tenaga ahli di potong PPh Pasal 21. Dasar pungutan pada saat ini adalah sebesar persentase tertentu dari penghasilan bruto sebagaimana di atur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 356/KMK.04/1986 tanggal 25 Mei 1986 sebagai berikut :
       
    No. Jenis Tenaga Ahli Persentase dari
    penghasilan bruto
     
       
    1. Pengacara/advokad/penasehat ahli hukum lainnya 60  
    2. Akuntan 60  
    3. Arsitek 50  
    4. Dokter 40  
    5. Konsultan 60  
    6. Notaris 60  
    7. Tenaga ahli pemberi kerja lainnya 50  
       
    Besarnya potongan adalah 15% x Dasar pungutan.
    Contoh : Untuk konsultan : 15% x 60% x jumlah pembayaran.

  2. Obyek, dasar potongan dan tarif PPh Pasal 23.
    Atas pembayaran yang berkenaan dengan imbalan/jasa berupa : bunga, sewa, royalty dan penghasilan lain karena penggunaan harta, jasa tehnik dan jasa manajemen yang di lakukan di Indonesia oleh Wajib Pajak dalam negeri di potong PPh Pasal 23.
    Besarnya pungutan adalah 15% dari jumlah pembayaran bruto.

  3. Obyek, dasar potongan dan tarif PPh Pasal 26.
    Atas pembayaran yang berkenaan dengan imbalan/jasa berupa : bunga, sewa, royalty dan imbalan lain karena penggunaan harta, jasa teknik, jasa manajemen dari jasa lainnya yang dilakukan di Indonesia oleh Wajib Pajak Luar negeri di potong PPh Pasal 26.
    Besarnya potongan adalah 20% dari jumlah pembayaran bruto
   
III. TATA CARA PENATAUSAHAAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21, PPh PASAL 23 DAN PPh PASAL 26

  1. Pembayaran kepada rekanan Pemerintah dari UUDP Bendaharawan yang berasal dari Direktorat Jenderal Anggaran/Bank Indonesia.
    1. Pelaksanaan penatausahaannya sama dengan tata cara pemungutan PPh Pasal 22 sebagaimana diatur terakhir dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 258/KMK.04/1985 tanggal 11 Maret 1985 yakni dengan memotong pembayaran sesuai dengan dasar dan tarif PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26 atas pembayaran yang berkenaan seperti dimaksud pada butir II.1, butir II.2 atau butir II.3 dan kepada rekanan Pemerintah tersebut di berikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (KP.PPh 4A), Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 (KP.PPh 4B) atau Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 (KP.PPh 4F) warna putih.
      Contoh Bukti Pemotongan terlampir (Lampiran Ia, Ib dan Ic ).
    2. Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 jika Wajib Pajak menyerahkan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26.
    3. Hasil pemotongan PPh Pasal 21 (KP.PPh 4A), PPh Pasal 23 (KP.PPh 4B ) dan PPh Pasal 26 (KP.PPh 4F), selanjutnya disebut Bukti Pemotongan PPh, dimasukkan/di bukukan sebagai penerimaan dalam Buku Kas Umum Bendaharawan untuk di keluarkan/dibukukan sebagai pengeluaran sewaktu penyetoran PPh.
    4. Hasil pemotongan PPh tersebut dengan sendirinya akan terlihat dalam Laporan Keadaan Kas Rutin (LKKR) maupun Laporan Keadaan Kas Proyek (LKKP).
    5. PPh yang telah di potong dalam suatu masa pajak harus disetorkan ke Kas Negara atau rekening Kas Negara pada Bank Pemerintah/Sentral Giro Pos, selambat-lambatnya sepuluh hari setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan, dengan menggunakan KPU-35 (Lampiran II).
      Untuk tiap jenis PPh, Bendaharawan membuat daftar Pengantar bukti pungutan PPh, yaitu KP.PPh 5A, KP.PPh 5B dan/atau KP.PPh 5E, seperti contoh terlampir (Lampiran IV).

    Selanjutnya semua ketentuan tentang tatacara penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22 sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 258/KMK.04/1985 berlaku pula bagi penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 (Surat Pemberitahuan/SPT Lampiran IIIa dan IIIb).

  2. Pembayaran kepada rekanan Pemerintah Sebagai beban tetap oleh KPN.
    1. Bendaharawan mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dengan lampiran-lampiran berupa tagihan rekanan Pemerintah Kepada Kantor Perbendaharawan Negara (KPN).
    2. Setelah SPP tersebut diteliti oleh KPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Kontak, SPK, Kwitansi, berita acara dsb), selanjutnya KPN menerbitkan SPM/Giro atas nama rekanan sebesar nilai tagihan, dipotong PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan/atau pasal 26 dengan memberikan KP.PPh 4A, KP.PPh 4B atau KP.PPh 4F warna putih kepada rekanan sebagai bukti potongan PPh.
    3. Untuk tiap jenis PPh, KPN membuat daftar bukti pemotongan PPh yaitu KP.PPh 5A, KP.PPh 5B dan/atau KP.PPh 5E, seperti contoh terlampir (Lampiran IV).
    4. Dari jumlah pemotongan PPh pada masing-masing Daftar Bukti Pemotongan (KP.PPh 5A, KP.PPh 5B, KP.PPh 5E), KPN mengisi SSP (KPU-35) dan mencantumkan NPWP-nya pada setiap SSP tersebut serta menanda-tanganinya.
    5. KPU-35 tersebut pada butir 2 d diatas, dibuat rangkap 4 (empat) oleh KPN dan disampaikan kepada Kas Negara bersama asli SPM.
      Kantor Kas Negara (KKN) melakukan teraan dengan mesin cash-register semua lembar KPU-35 (1 s/d 4), yang selanjutnya diatur sebagai berikut :
      - KPU-35 warna merah dan warna putih dikembalikan kepada KPN.
      - KPU-35 warna merah oleh KPN bersama bukti Pemotongan PPh warna kuning dan Daftar Bukti Pemotongan (KP.PPh 5A, KP. PPh 5B, KP. PPh 5E) dikirimkan kepada Kepala Inspeksi Pajak (KIP) yang bersangkutan.
      - KPU-35 warna kuning bersama KK. 26 Pot dikirimkan kepada KIP oleh Kas Negara.
      - KPU-35 warna hijau sebagai pertinggal KKN yang bersangkutan.


Demikian Surat Edaran Bersama ini untuk diperhatikan dan di sebarluaskan kepada semua Pimpinan Proyek dan Bendaharawan dalam lingkungan masing-masing. Surat edaran ini berlaku terhitung mulai tanggal 1 Agustus 1988.




DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd.

SALAMUN A. T 
DIREKTUR JENDERAL ANGGARAN

ttd.

BENJAMIN PARWOTO