Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 24/PJ/2019

Kategori : Lainnya

Implementasi Compliance Risk Management Dalam Kegiatan Ekstensifikasi, Pengawasan, Pemeriksaan, Dan Penagihan Di Direktorat Jenderal Pajak


11 September 2019


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 24/PJ/2019

TENTANG
 
IMPLEMENTASI COMPLIANCE RISK MANAGEMENT DALAM KEGIATAN EKSTENSIFIKASI,
PENGAWASAN, PEMERIKSAAN, DAN PENAGIHAN DI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

A. UMUM

1. Compliance Risk Management secara sederhana dapat digambarkan sebagai sebuah proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan secara sistematis oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan membuat pilihan perlakuan (treatment) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan secara efektif sekaligus mencegah ketidakpatuhan berdasarkan perilaku Wajib Pajak dan kapasitas sumber daya yang dimiliki.
2. Compliance Risk Management memiliki tujuan untuk membantu Direktorat Jenderal Pajak mencapai tujuan strategis organisasi dengan memanfaatkan suatu alat bantu (tools) pengambilan keputusan.
3. Compliance Risk Management memerhatikan risiko dasar yang memengaruhi kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yaitu risiko pendaftaran (registration), pelaporan (filing), pembayaran pajak (payment), dan kebenaran pelaporan (correct reporting). Semua langkah dalam proses Compliance Risk Management mengarah pada tingkat kepatuhan dan kepuasan Wajib Pajak yang lebih tinggi.
4. Compliance Risk Management membedakan Wajib Pajak berdasarkan tingkat risiko kepatuhannya melalui Peta Kepatuhan Wajib Pajak. Kebijakan Tax Amnesty yang selaras dengan tujuan mewujudkan kepatuhan secara sukarela dan era Exchange of Information (Eal) menjadi kesempatan bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk memetakan Wajib Pajak berdasarkan risiko kepatuhan menjadi lebih akurat.
5. Diferensiasi Wajib Pajak berdasarkan risiko kepatuhan menjadi dasar pengembangan risk engine dalam Compliance Risk Management, sehingga Wajib Pajak dapat dipetakan secara sistematis sesuai best practice di dunia perpajakan internasional, terukur berdasarkan skor dan bobot risiko, dan objektif berdasarkan data.
6. Implementasi Compliance Risk Management dapat membantu Direktorat Jenderal Pajak dalam menangani Wajib Pajak dengan lebih adil dan transparan, manajemen sumber daya menjadi lebih efektif dan lebih efisien sehingga pada akhirnya akan mewujudkan paradigma kepatuhan yang baru bagi Direktorat Jenderal Pajak yaitu kepatuhan yang berkelanjutan.
   
B. MAKSUD DAN TUJUAN

1. Maksud
Surat Edaran Direktur Jenderal ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan penjelasan umum dalam rangka implementasi Compliance Risk Management dalam kegiatan ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan di unit kerja Direktorat Jenderal Pajak.
2. Tujuan
Surat Edaran Direktur Jenderal ini bertujuan untuk memberikan petunjuk pelaksanaan implementasi Compliance Risk Management dalam kegiatan ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan.
   
C. Ruang Lingkup

Surat Edaran ini merupakan petunjuk implementasi Compliance Risk Management oleh unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak terkait dengan:
1. Pengertian;
2. Ketentuan Implementasi Compliance Risk Management dalam Kegiatan Ekstensifikasi;
3. Ketentuan Implementasi Compliance Risk Management dalam Kegiatan Pemeriksaan dan Pengawasan;
4. Ketentuan Implementasi Compliance Risk Management dalam Kegiatan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; dan
5. Penutup.
   
D. Dasar

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak;
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.01/2017 Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK.01/2019 tanggal 11 Juni 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;
9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-29/PJ/2012 tentang Kebijakan Penagihan Pajak;
10. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-10/PJ/2015 tentang Pedoman Administrasi Pembangunan, Pemanfaatan, dan Pengawasan Data;
11. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-39/PJ/2015 tentang Pengawasan Wajib Pajak dalam Bentuk Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan, dan Kunjungan (Visit) Kepada Wajib Pajak;
12. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-49/PJ/2016 tentang Pengawasan Wajib Pajak Melalui Sistem Informasi;
13. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-15/P J/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan;
14. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-14/PJ/2019 tentang Tata Cara Ekstensifikasi.
   
E. Materi

1. Pengertian 
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
  1. Compliance Risk Management yang selanjutnya disingkat CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh yang meliputi identifikasi, pemetaan, pemodelan, dan mitigasi atas risiko kepatuhan Wajib Pajak serta evaluasinya sehingga menjadi kerangka kerja yang sistematis, terukur, dan objektif.
  2. Peta Kepatuhan CRM Fungsi Ekstensifikasi adalah peta yang menggambarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak yang disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dan tingkat kontribusi Wajib Pajak terhadap penerimaan.
  3. Peta Kepatuhan CRM Fungsi Pemeriksaan dan Pengawasan adalah peta yang menggambarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pelaporan, pembayaran, dan kebenaran pelaporan yang disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dan tingkat kontribusi Wajib Pajak terhadap penerimaan.
  4. Peta Kepatuhan CRM Fungsi Penagihan adalah peta yang menggambarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran piutang pajak yang disusun berdasarkan tingkat ketertagihan piutang pajak, keberadaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, serta kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
  5. Peta Kepatuhan CRM disusun berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan oleh Direktorat yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang data dan informasi perpajakan beserta Direktorat teknis di lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
  6. Alat Keterangan adalah data dan informasi terkait perpajakan yang dihasilkan oleh unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan tugas dan fungsinya yang dapat digunakan sebagai bahan untuk mendukung upaya intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan.
  7. Daftar Sasaran Ekstensifikasi yang selanjutnya disingkat DSE adalah daftar Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun belum mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
  8. Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi yang selanjutnya disingkat DSP3 adalah daftar Wajib Pajak yang menjadi sasaran prioritas penggalian potensi sepanjang tahun berjalan baik melalui kegiatan pengawasan maupun pemeriksaan.
  9. Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat DSPP adalah daftar Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan sepanjang tahun berjalan.
  10. Daftar Prioritas Pengawasan yang selanjutnya disingkat OPP adalah daftar Wajib Pajak yang menjadi prioritas yang akan dilakukan pengawasan sepanjang tahun berjalan.
  11. Komite Kepatuhan Wajib Pajak adalah komite yang berfungsi menentukan tindak lanjut Wajib Pajak yang dimasukkan ke dalam DSP3, yang terdiri dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai ketua Komite dan beranggotakan Kepala Seksi Pemeriksaan, Kepala Seksi Penagihan, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi II, III, dan IV, Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan, Kepala Seksi Pengolahan Data dan Informasi dan Supervisor Fungsional Pemeriksa Pajak.
  12. Daftar Prioritas Tindakan adalah daftar yang memuat prioritas penagihan kepada Wajib Pajak yang memiliki satu atau lebih ketetapan yang diperkirakan akan daluwarsa dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
  13. Daftar Prioritas Pencairan adalah daftar yang memuat prioritas penagihan kepada Wajib Pajak yang diperkirakan memiliki kemampuan untuk membayar dan/atau melunasi ketetapan.
2. Implementasi CRM dalam Kegiatan Ekstensifikasi, Pengawasan, Pemeriksaan, dan Penagihan
a. Implementasi CRM Fungsi Ekstensifikasi.
Ketentuan terkait implementasi CRM dalam kegiatan Ekstensifikasi adalah sebagai berikut:
1) Tahap pertama tata cara Ekstensifikasi adalah tahap perencanaan Ekstensifikasi yang diakhiri dengan penyusunan DSE;
2) Wajib Pajak yang tercantum dalam DSE diurutkan berdasarkan hasil analisis risiko yang dilakukan DJP;
3) Hasil analisis risiko sebagaimana dimaksud pada angka 2) merupakan output dari CRM Fungsi Ekstensifikasi yang ditampilkan pada sistem informasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak;
4) Wajib Pajak yang tercantum dalam DSE sebagaimana dimaksud pada angka 2) ditampilkan dalam Peta Kepatuhan CRM Fungsi Ekstensifikasi sebagai berikut:
Keterangan:
a) Risiko Ekstensifikasi adalah tingkat kemungkinan tidak dipenuhinya kewajiban perpajakan akibat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif namun tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
b) Tingkat Kemungkinan Ketidakpatuhan (sumbu X) adalah tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif namun tidak mendaftarkan diri.
c) Dampak Fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi hilangnya penerimaan dari Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif namun tidak mendaftarkan diri.
5) DSE sebagaimana output CRM Fungsi Ekstensifikasi ditindaklanjuti sesuai urutan risiko kepatuhan Wajib Pajak; dan
6) Dalam hal terdapat DSE yang belum dapat dilakukan analisis risiko, ditindaklanjuti sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan oleh Direktorat teknis yang memiliki tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang ekstensifikasi; dan
7) Tata cara dan ketentuan terkait pelaksanaan, tindak lanjut, pemantauan dan evaluasi kegiatan Ekstensifikasi dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengenai tata cara Ekstensifikasi.
b. Implementasi CRM dalam Kegiatan Pemeriksaan dan Pengawasan Wajib Pajak.
Ketentuan terkait implementasi CRM dalam kegiatan pemeriksaan dan pengawasan adalah sebagai berikut:
1) Peta Kepatuhan dan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3) disusun untuk menentukan secara spesifik daftar Wajib Pajak yang akan dilakukan penggalian potensi;
2) Peta Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada angka 1), menggunakan Peta Kepatuhan CRM Fungsi Pemeriksaan dan Pengawasan yang disajikan ke dalam sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak dengan tampilan sebagai berikut;
Keterangan:
a) Risiko Pemeriksaan dan Pengawasan adalah tingkat kemungkinan hilangnya penerimaan pajak akibat ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pelaporan, pembayaran, dan pelaporan dengan benar.
b) Tingkat Kemungkinan Ketidakpatuhan (sumbu X) adalah tingkat kemungkinan tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan dalam hal melakukan pelaporan, pembayaran, dan pelaporan dengan benar.
c) Dampak Fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan dalam hal melakukan pelaporan, pembayaran, dan pelaporan dengan benar.
3) menyampaikan pemberitahuan telah diterimanya Pertukaran Informasi secara Spontan kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dan menyampaikan Informasi yang diterima dari Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada pimpinan Unit di Lingkungan DJP, dalam hal Informasi yang diterima oleh Direktur Perpajakan Internasional dianggap telah jelas dan/atau lengkap; atau
4) menyampaikan permintaan penjelasan tambahan kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dalam hal informasi yang diterima oleh Direktur Perpajakan Internasional dianggap belum jelas dan/atau belum lengkap,
5) Data dan/atau keterangan lain yang digunakan sebagai dasar penyusunan DSP3 yang bersumber selain dari Peta Kepatuhan, dimasukkan ke dalam sistem informasi alat keterangan yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
6) Kepala Kantor Pelayanan Pajak selaku Ketua Komite Kepatuhan Wajib Pajak bersama dengan anggota Komite Kepatuhan Wajib Pajak melakukan pembahasan DSP3 untuk menentukan DSPP dan OPP;
7) Berdasarkan hasil pembahasan DSP3, Komite Kepatuhan Wajib Pajak membuat Berita Acara Pembuatan Peta Kepatuhan dan Pembahasan DSP3 untuk Ditetapkan Menjadi DSPP dan OPP dengan menggunakan format sebagaimana terdapat dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini yang berlaku sebagai pengganti Berita Acara Pembuatan Peta Kepatuhan dan Pembahasan DSP3 sebagaimana dimaksud dalam aturan pemeriksaan Wajib Pajak;
8) Terhadap Wajib Pajak yang ditetapkan ke dalam DSPP, Kantor Pelayanan Pajak menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentang pemeriksaan Wajib Pajak;
9) Terhadap Wajib Pajak yang ditetapkan ke dalam OPP, Kantor Pelayanan Pajak menindaklanjuti sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentang pengawasan Wajib Pajak;
10) Kantor Pelayanan Pajak membuat OPP dengan menggunakan format sebagaimana terdapat dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini untuk disampaikan ke Kantor Wilayah DJP;
11) Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Kantor Wilayah DJP merekapitulasi OPP dengan menggunakan format sebagaimana terdapat dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini untuk disampaikan ke Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan;
12) Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Kantor Wilayah DJP merekapitulasi DSPP hasil pembahasan Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP dan OPP dengan menggunakan format sebagaimana terdapat dalam lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Edaran Direktur Jenderal ini untuk disampaikan ke Direktorat Data dan Informasi Perpajakan
c. Implementasi CRM dalam Kegiatan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Ketentuan terkait implementasi CRM dalam kegiatan penagihan pajak dengan surat paksa adalah sebagai berikut:
1) Dalam rangka optimalisasi pencairan piutang pajak, Kantor Pelayanan Pajak diwajibkan menetapkan prioritas penagihan dengan mengacu pada Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak;
2) Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a disusun menggunakan CRM Fungsi Penagihan.
3) CRM Fungsi Penagihan menghasilkan Daftar Prioritas Tindakan dan Daftar Prioritas Pencairan yang ditampilkan dalam sistem informasi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak;
4) Wajib Pajak dalam Daftar Prioritas Tindakan dan Daftar Prioritas Pencairan dipetakan sesuai tingkat risikonya ke dalam posisi risiko yang ditampilkan pada Peta Kepatuhan CRM Fungsi Penagihan sebagai berikut:
Keterangan:
a) Risiko Penagihan adalah hilangnya penerimaan pajak akibat tidak terpenuhinya kewajiban pembayaran atas piutang pajak yang dapat diakibatkan antara lain karena hilangnya kesempatan untuk menagih dan/atau mencairkan piutang pajak.
b) Kecenderungan WP untuk Membayar (sumbu X) adalah tingkat kemungkinan ketertagihan piutang berdasarkan keberadaan dan kemampuan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak memenuhi kewajiban pembayaran piutang pajak, serta kondisi piutang.
c) Dampak Fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi tidak terpenuhinya kewajiban pembayaran piutang pajak.
5) Prioritas penagihan yang disusun berdasarkan Daftar Prioritas Tindakan dan Daftar Prioritas Pencairan yang merupakan output CRM Fungsi Penagihan ditindaklanjuti sesuai urutan risiko masing-masing Wajib Pajak atau sesuai dengan kebijakan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
6) Pelaksanaan tindak lanjut atas Wajib Pajak dalam Daftar Prioritas Tindakan dan Daftar Prioritas Pencairan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
   
F. Penutup

1. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, ketentuan lainnya terkait pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan yang tidak diatur dalam Surat Edaran ini, tetap mengacu pada ketentuan dan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur tentang kegiatan dimaksud.
2. Dengan berlakunya Surat Edaran Direktur Jenderal ini, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ/2016 Tentang Pembuatan Benchmark Behavioral Model dan Tindak Lanjutnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
3. Surat Edaran ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
  
Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.
 
    
 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 September 2019
DIREKTUR JENDERAL,

ttd

ROBERT PAKPAHAN