Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE - 21/PJ.3/1985

Kategori : PPN

Permohonan Untuk Penetapan Suatu Tempat Usaha Sebagai Tempat Terhutang Pajak Pertambahan Nilai (Seri PPN - 36)


14 Maret 1985


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 21/PJ.3/1985

TENTANG

PERMOHONAN UNTUK PENETAPAN SUATU TEMPAT USAHA SEBAGAI TEMPAT TERHUTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SERI PPN - 36)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Menyambung surat edaran Direktur Jenderal Pajak tanggal 23 Januari 1985 Nomor : SE-02/PJ.3/1985 tentang penetapan satu tempat usaha sebagai tempat terhutang Pajak Pertambahan Nilai (Seri PPN-23), maka mengingat banyaknya surat yang diterima Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (Direktorat Pajak Tidak Langsung) dari para Pengusaha Kena Pajak yang mengajukan permohonan sentralisasi tempat terhutang Pajak Pertambahan Nilai dengan alasan antara lain bahwa pembukuan/keuangan dikelola secara terpusat tanpa memberikan penjelasan mengenai fungsi cabang/kantor perwakilan dalam kaitannya dengan kegiatan penjualan dan pembuatan Faktur Pajak, maka dengan ini perlu diberikan penegasan lebih lanjut mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh Pengusaha Kena Pajak untuk dapat diberikan izin penetapan satu tempat usaha sebagai tempat terhutang pajak. 

 

Hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut :

  1. Tempat Pajak Terhutang :
    1.1.

    Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dicantumkan bahwa Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, terhutang pajak ditempat tinggal atau kedudukan mereka dan/atau ditempat usaha dilakukan. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 tanggal 13 Maret 1985 dicantumkan bahwa tempat pajak terhutang atas penyerahan barang bergerak, barang tidak bergerak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak adalah ditempat pengusaha Kena Pajak itu dikukuhkan.

     

    1.2.

    Dengan demikian kalau Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat usaha (Kantor Pusat, Cabang, Perwakilan Penjualan, Pabrikan dsb.), maka bila tempat-tempat usaha tersebut melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, maka tempat-tempat usaha tersebut harus melaporkan usahanya kepada para Kepala Inspeksi Pajak ditempat usaha yang bersangkutan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

     

  2. Sentralisasi tempat Pajak terhutang :
    2.1.

    Dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dicantumkan bahwa Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai lebih dari satu tempat usaha (lihat butir 1.2.) dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terhutang (Sentralisasi tempat pajak terhutang). Bila permohonan sentralisasi tersebut disetujui oleh Direktur Jenderal Pajak, maka pajak terhutang hanya ditempat usaha yang disetujui tersebut. Dan dengan demikian hanya tempat usaha itu saja yang harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Tempat-tempat usaha lainnya tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

     

    2.2.

    Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dicantumkan bahwa orang atau badan yang tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak. Berdasarkan ketentuan ini, maka bila Direktur Jenderal Pajak menyetujui permohonan sentralisasi yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak, maka yang boleh membuat Faktur Pajak hanya tempat usaha yang disetujui itu. Tempat usaha lainnya (cabang-perwakilan penjualan dsb.) dilarang membuat Faktur Pajak, karena tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

     

    2.3.

    Dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dicantumkan bahwa setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Berdasarkan ketentuan ini maka dalam hal diberikan izin sentralisasi, maka penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak hanya dilakukan oleh tempat usaha yang disetujui itu dan tidak dilakukan oleh tempat-tempat usaha (cabang, perwakilan penjualan dsb.), yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Jadi kegiatan penjualan, administrasi penjualan dan pembuatan Faktur Pajak hanya dipusatkan pada satu tempat usaha.

     

  3. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Direktur Jenderal Pajak hanya dapat memberikan persetujuan untuk menetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terhutang bila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

    a) Kantor Cabang/Perwakilan dsb. tidak melakukan kegiatan penjualan (penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak). Semua kegiatan penjualan dan administrasi penjualan hanya dilakukan ditempat usaha yang dipilih sebagai tempat pajak terhutang (pada umumnya dipilih Kantor Pusatnya).
    b) Fungsi cabang/perwakilan penjualan hanya menyimpan persediaan dan menyerahkan persediaan tersebut kepada pembeli atas perintah Kantor Pusatnya yang menangani kegiatan penjualan.
    c) Kantor Cabang/Perwakilan tidak membuat Faktur Pajak baik untuk cabang yang bersangkutan maupun atas nama Kantor Pusatnya.

     

    Semua Faktur Pajak hanya dikeluarkan oleh Kantor Pusatnya dan selanjutnya disampaikan kepada pembeli baik langsung atau dapat melalui cabang/perwakilan penjualan yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak penyerahan Barang Kena Pajak oleh Kantor Pusat/Cabang kepada pembeli, sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 432/KMK.04/1984 tanggal 11 Mei 1984.


    Apabila dalam kenyataannya cabang/perwakilan masih melakukan penjualan dan mengeluarkan baik Faktur Dagang maupun Faktur Pajak, maka seyogyanya diberitahukan supaya Cabang/Kantor Perwakilan yang bersangkutan segera melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

     

  4. Harap penjelasan ini dapat Saudara sampaikan kepada semua Kantor Cabang/Perwakilan Penjualan yang ada dalam wilayah Saudara.




A.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
DIREKTUR PAJAK TIDAK LANGSUNG,


ttd

 

Drs. DJAFAR MAHFUD