Peraturan Pemerintah Nomor : 36 TAHUN 2017

Kategori : PPh

Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih Yang Diperlakukan Atau Dianggap Sebagai Penghasilan


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2017

TENTANG

PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN
TERTENTU BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU
DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan kesederhanaan terkait pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan terkait pelaksanaan kebijakan Pengampunan Pajak, perlu menetapkan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu yang bersifat final;
  2. bahwa penetapan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Tertentu Berupa Harta Bersih yang Diperlakukan atau Dianggap sebagai Penghasilan;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899)


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN.


Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
  2. Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  3. Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan Harta.
  4. Harta Bersih adalah nilai Harta dikurangi nilai Utang.
  5. Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan Harta, Utang, nilai Harta Bersih, serta penghitungan dan pembayaran Uang Tebusan.
  6. Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan sebagai bukti pemberian Pengampunan Pajak.
  7. Surat Pembetulan atas Surat Keterangan adalah surat pembetulan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan Surat Keterangan yang diterbitkan sebelumnya.
  8. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut SPT PPh adalah Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
  9. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir yang selanjutnya disebut SPT PPh Terakhir adalah:
    1. SPT PPh untuk Tahun Pajak 2015 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Juli 2015 sampai dengan 31 Desember 2015; atau
    2. SPT PPh untuk Tahun Pajak 2014 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015.
  10. Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015.


Pasal 2


(1) Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan meliputi:
a. Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Pengampunan Pajak;
b. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pengampunan Pajak; dan/atau
c. Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pengampunan Pajak, dengan ketentuan Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Bersih dimaksud sebelum tanggal 1 Juli 2019.
(2) Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, termasuk:
a. Harta Bersih dalam SPT PPh Terakhir yang disampaikan setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak oleh Wajib Pajak yang telah memperoleh Pengampunan Pajak, namun tidak mencerminkan:
1. Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum:
a) SPT PPh Terakhir; dan
b) Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku;
2. Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan yang diperoleh pada Tahun Pajak Terakhir; dan
3. Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak Terakhir; dan/atau
b. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta berdasarkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.
(3) Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Harta Bersih yang:
  1. diperoleh Wajib Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
  2. masih dimiliki pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
(4) Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Harta yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 dengan ketentuan:
  1. masih dimiliki Wajib Pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
  2. belum dilaporkan dalam SPT PPh sampai dengan diterbitkan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan.

 

Pasal 3


(1) Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan penghasilan tertentu yang terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan Pajak Penghasilan.

  

Pasal 4


(1) Tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ditetapkan sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak badan sebesar 25% (dua puluh lima persen);
  2. Wajib Pajak orang pribadi sebesar 30% (tiga puluh persen); dan
  3. Wajib Pajak tertentu sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).
(2) Wajib Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
a. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah);
b. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak Terakhir paling banyak Rp632.000.000,00 (enam ratus tiga puluh dua juta rupiah); atau
c. Wajib Pajak yang menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf a dan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada huruf b, dengan ketentuan:
1. jumlah penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf b paling banyak Rp 632.000.000,00 (enam ratus tiga puluh dua juta rupiah); dan
2. jumlah penghasilan bruto yang bersumber:
a) dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
b) selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada huruf b,
paling banyak Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(3) Penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi seluruh penghasilan yang:
  1. merupakan objek Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
  2. merupakan objek Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final,
sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(4) Penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan:
  1. bagi Wajib Pajak yang memperoleh Surat Keterangan, berdasarkan:
    1. SPT PPh Terakhir;
    2. surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha yang dilampirkan dalam Surat Pernyataan, dalam hal SPT PPh Terakhir tidak dilampirkan dalam Surat Pernyataan; atau
    3. surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir, dalam hal tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2;
  2. bagi Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pernyataan, berdasarkan:
    1. Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas kewajiban Pajak Penghasilan Tahun Pajak Terakhir yang diterbitkan paling akhir sebelum tanggal penerbitan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan;
    2. SPT PPh Terakhir, dalam hal belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak atas kewajiban Pajak Penghasilan Tahun Pajak Terakhir; atau
    3. surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir, dalam hal tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2.
(5) Dalam hal tidak terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b.
(6) Surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 3 dan huruf b angka 3 diakui sepanjang Direktur Jenderal Pajak tidak memiliki data dan/atau informasi lain.
 

Pasal 5


(1) Dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Harta Bersih tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a adalah sebesar jumlah Harta Bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan;
b. Harta Bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b adalah sebesar jumlah Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan;
c. Harta Bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c adalah sebesar jumlah Harta Bersih yang belum dilaporkan dalam SPT PPh;
d. Harta Bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a adalah sebesar selisih lebih antara Harta Bersih yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir dengan jumlah yang mencerminkan:
1. Harta Bersih yang telah dilaporkan dalam SPT PPh yang disampaikan sebelum:
a) SPT PPh Terakhir; dan
b) Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku;
2. Harta Bersih yang bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak Terakhir; dan
3. Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak Terakhir; dan/atau
e. Harta Bersih yang belum atau kurang diungkapkan akibat penyesuaian nilai Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b merupakan nilai Harta Bersih per akhir Tahun Pajak Terakhir yang tidak dilunasi Uang Tebusannya sebagaimana tercantum dalam Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.
(2) Nilai Harta untuk menghitung besarnya nilai Harta Bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c ditentukan sebagai berikut:
  1. Harta berupa kas berdasarkan nilai nominal; atau
  2. Harta selain kas berdasarkan nilai dari hasil penilaian yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak sesuai kondisi dan keadaan Harta selain kas,
pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
 

Pasal 6


Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terutang pada:
  1. akhir Tahun Pajak 2016, untuk penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a;
  2. saat diterbitkan surat perintah pemeriksaan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan, untuk penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)  huruf b dan huruf c dan Pasal 2 ayat (2) huruf a; dan/atau
  3. saat diterbitkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan yang berisi penyesuaian nilai Harta yang diberikan Pengampunan Pajak, untuk penghasilan tertentu berupa Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b.


Pasal 7


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 September 2017
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 September 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY 



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 202






PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2017

TENTANG

PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU
BERUPA HARTA BERSIH YANG DIPERLAKUKAN ATAU DIANGGAP
SEBAGAI PENGHASILAN


I. UMUM

Kebijakan Pengampunan Pajak yang terbatas dalam periode mulai tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017 telah memberikan dampak signifikan dalam bidang ekonomi dan sosial. Namun demikian, hasil dari pelaksanaan program Pengampunan Pajak menunjukkan bahwa realisasi atas deklarasi dan repatriasi Harta dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum sesuai dengan data Harta Wajib Pajak yang berada di luar wilayah NKRI. Selain itu, masih terdapat Harta Wajib Pajak yang berada di dalam wilayah NKRI yang tidak atau belum sepenuhnya diungkapkan dalam Surat Pernyataan atau dilaporkan dalam SPT PPh. Hal ini mengindikasikan bahwa masih terdapat warga negara Indonesia yang mempunyai atau menyimpan Harta baik di dalam maupun di luar wilayah NKRI yang kemungkinan kewajiban perpajakannya belum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dengan memperhatikan kondisi tersebut, setelah program Pengampunan Pajak berakhir perlu diikuti dengan penegakan hukum di bidang perpajakan. Penegakan hukum dimaksud dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah mengikuti program Pengampunan Pajak namun tidak memenuhi ketentuan pengungkapan Harta dan/atau pengalihan dan investasi Harta ke dalam wilayah NKRI, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, dan bagi Wajib Pajak yang tidak mengikuti program Pengampunan Pajak dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi terkait Harta yang tidak atau kurang dilaporkan dalam SPT PPh.

Atas Harta yang belum diungkap dalam Surat Pernyataan, tidak atau kurang dilaporkan dalam SPT PPh, Harta Bersih tambahan yang tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI, dan Harta Bersih tambahan yang dialihkan ke luar wilayah NKRI, akan diperlakukan atau dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi tersebut dan akan dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan serta ditambah sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Bahwa pelaksanaan penegakan hukum di bidang perpajakan tersebut di atas harus segera dilakukan mengingat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pernyataan yaitu pada tanggal 31 Maret 2017 dan Direktur Jenderal Pajak hanya diberikan waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak untuk menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak yang belum dilaporkan dalam SPT PPh.

Agar penegakan hukum di bidang perpajakan dapat dilaksanakan dalam tataran operasional perlu dibentuk peraturan pelaksanaan. Mengingat pengenaan pajak atas Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan maka peraturan pelaksanaan tersebut harus mendasarkan pada pengenaan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Undang-Undang Pengampunan Pajak pada hakikatnya mengatur penerapan pengenaan Pajak Penghasilan atas Harta Bersih yang diperlakukan atau dianggap sebagai penghasilan dan pengenaan sanksi melalui pengenaan Pajak Penghasilan dengan mekanisme tersendiri yang mudah, sederhana, dan berkepastian hukum. Terhadap penghasilan dimaksud diperlakukan sebagai penghasilan tertentu lainnya yang merupakan objek Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Untuk menetapkan suatu penghasilan tertentu lainnya sebagai objek Pajak Penghasilan yang bersifat final maka perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Adapun materi pokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi jenis penghasilan yang merupakan objek Pajak Penghasilan yang bersifat final, tarif, dan cara penghitungan serta saat terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
   
   
II.
PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.



Pasal 2

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Angka 1

Cukup jelas.


Angka 2

Cukup jelas.


Angka 3

Harta Bersih yang bersumber dari setoran modal dari pemilik atau pemegang saham pada Tahun Pajak Terakhir dimaksudkan bagi Wajib Pajak yang memiliki setoran modal.


Huruf b

Surat Pembetulan atas Surat Keterangan dapat terjadi antara lain karena:
a. kesalahan penerapan tarif Uang Tebusan; atau
b. kesalahan penghitungan Uang Tebusan.
Yang dimaksud dengan “kesalahan penerapan tarif Uang Tebusan” antara lain bagi Wajib Pajak yang mempunyai peredaran usaha sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dan total Harta lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) seharusnya menggunakan tarif Uang Tebusan sebesar 2% (dua persen), namun Wajib Pajak tersebut menggunakan tarif Uang Tebusan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
Yang dimaksud dengan “kesalahan penghitungan Uang Tebusan” antara lain bagi Wajib Pajak orang pribadi yang seharusnya mengurangkan nilai Utang paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai Harta, namun Wajib Pajak mengurangkan nilai Utang lebih dari 50% (lima puluh persen) dari nilai Harta.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.



Pasal 3

Cukup jelas.



Pasal 4

Ayat (1)

Kewenangan Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu dengan memperhatikan kesederhanaan dalam pemungutan pajak, adanya pemerataan dalam pengenaan pajak baik Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan, dalam hal ini termasuk Wajib Pajak yang memiliki penghasilan bruto setahun sampai dengan jumlah tertentu.
Tarif dalam Peraturan Pemerintah ini merupakan tarif pajak tertinggi untuk masing-masing Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan, namun demikian untuk Wajib Pajak dengan penghasilan bruto sampai dengan jumlah tertentu dalam rangka keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak perlu diberikan tarif tersendiri dengan pertimbangan bahwa Wajib Pajak ini masih perlu dibina dan dikembangkan.


Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pekerjaan bebas” meliputi:

  a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  c. olahragawan;
  d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  f. agen iklan;
  g. pengawas atau pengelola proyek;
  h. perantara;
  i. petugas penjaja barang dagangan;
  j. agen asuransi; dan
  k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Contoh:

Tuan A merupakan pengusaha katering. Pada Tahun Pajak 2015, Tuan A hanya menerima penghasilan berupa

  1. penghasilan usaha katering sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
  2. penghasilan sebagai pembawa acara di televisi sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final.

Apabila terhadap Tuan A diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini maka penghasilan bruto Tuan A perlu untuk diuji sebagai berikut:

 
Penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas Jumlah
  Dikenai PPh final (a)   Rp  2.000.000.000,00
  Dikenai PPh tidak final (b)   Rp     500.000.000,00
  Penghasilan bruto (a+b)   Rp  2.500.000.000,00

Mengingat Tuan A menerima penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) maka tarif yang berlaku bagi Tuan A sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).

Huruf b

Contoh:
Tuan B merupakan karyawan yang menerima gaji dari perusahaan tempat bekerja. Tuan B tidak melakukan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Pada Tahun Pajak 2015, Tuan B menerima penghasilan berupa:

  1. gaji sebesar Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final;
  2. bunga deposito sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
  3. sewa tanah dan bangunan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Apabila terhadap Tuan B diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini maka penghasilan bruto Tuan B perlu untuk diuji sebagai berikut:

 
Penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas Jumlah
  Dikenai PPh final (a)   Rp       5.000.000,00
  Dikenai PPh tidak final (b)   Rp   120.000.000,00
  Dikenai PPh final (c)   Rp     50.000.000,00
  Penghasilan bruto (a+b+c)   Rp   175.000.000,00

Mengingat Tuan B menerima penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp 175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) maka tarif yang berlaku bagi Tuan B sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).

Huruf c

Contoh:
Tuan C merupakan karyawan yang menerima gaji dari perusahaan tempat bekerja. Selain itu Tuan C merupakan pengusaha jasa pencucian motor. Pada Tahun Pajak 2015, Tuan C menerima penghasilan berupa:

  1. gaji sebesar Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final;
  2. penghasilan usaha pencucian motor sebesar Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final;
  3. bunga deposito sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
  4. sewa tanah dan bangunan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Apabila terhadap Tuan C diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini maka penghasilan bruto Tuan C perlu untuk diuji sebagai berikut:

 
Penghasilan Jumlah
1. Penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas  
Dikenai PPh final (a) Rp           5.000.000,00
Dikenai PPh tidak final (b) Rp       120.000.000,00
Dikenai PPh final (c) Rp         50.000.000,00
Penghasilan bruto selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas (d= a+b+c)  Rp       175.000.000,00
2. Penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas  
Dikenai PPh final (e) Rp   1.500.000.000,00
Dikenai PPh tidak final (f) Rp                        0,00
Penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas (g= e+f) Rp   1.500.000.000,00
3. Jumlah penghasilan bruto (d+g) Rp   1.675.000.000,00

Mengingat Tuan C:

  1. menerima penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebesar Rp 175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah); dan
  2. memiliki jumlah penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp 1.675.000.000,00 (satu miliar enam ratus tujuh puluh lima juta rupiah),

maka tarif yang berlaku bagi Tuan C sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen).


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha yang dilampirkan dalam Surat Pernyataan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi Wajib Pajak yang melakukan usaha saat mengikuti Pengampunan Pajak apabila tidak terdapat SPT PPh Terakhir. Untuk kepentingan penghitungan batasan penghasilan bruto menurut Peraturan Pemerintah ini, peredaran usaha dalam surat pernyataan tersebut merupakan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
Surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir merupakan surat pernyataan yang dibuat oleh Wajib Pajak yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir.
Penghasilan bruto yang diterima oleh Wajib Pajak adalah penghasilan yang sesungguhnya diterima oleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak Terakhir.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Data atau informasi lain merupakan data atau informasi yang dimiliki Direktur Jenderal Pajak selain data atau informasi yang diperoleh dari Wajib Pajak pada saat pemeriksaan.
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak tidak memiliki data dan/atau informasi lain maka penghasilan bruto setahun adalah sesuai dengan surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto yang dibuat oleh Wajib Pajak.

Contoh kasus:

Tuan D telah memperoleh Surat Keterangan, namun Direktur Jenderal Pajak menemukan Harta berupa mobil yang belum pernah dilaporkan dalam SPT PPh dan tidak diungkapkan dalam Surat Pernyataan. Atas Tuan D diterapkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Tuan D tidak menyampaikan SPT PPh Terakhir dan surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha. Pada saat pemeriksaan, Tuan D membuat surat pernyataan mengenai besaran penghasilan bruto pada Tahun Pajak Terakhir dengan komponen penghasilan bruto sebagai berikut:

  1. penghasilan usaha bengkel sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final; dan
  2. penghasilan deposito sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Contoh WP tidak memenuhi persyaratan penghasilan bruto:

Direktur Jenderal Pajak memiliki data dan/atau informasi lain yang menyatakan bahwa penghasilan Tuan D adalah sebagai berikut:

  1. penghasilan usaha bengkel sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
  2. penghasilan deposito sebesar Rp 650.000.000,00 (enam ratus lima puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Mengingat Tuan D berdasarkan data dan/atau informasi lain yang dimiliki Direktur Jenderal Pajak:

  1. menerima penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebesar Rp 650.000.000,00 (enam ratus lima puluh juta rupiah); dan
  2. memiliki jumlah penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp 1.650.000.000,00 (satu miliar enam ratus lima puluh juta rupiah),

maka tarif yang berlaku bagi Tuan D sebesar 30% (tiga puluh persen). Tarif tersebut berlaku karena WP memiliki penghasilan bruto melebihi jumlah tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

Contoh WP memenuhi persyaratan penghasilan bruto:

Direktur Jenderal Pajak memiliki data dan/atau informasi lain yang menyatakan bahwa penghasilan Tuan D adalah sebagai berikut:
1. penghasilan usaha bengkel sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final; dan
2. penghasilan deposito sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Mengingat Tuan D berdasarkan data dan/atau informasi lain yang dimiliki Direktur Jenderal Pajak:

  1. menerima penghasilan bruto yang bersumber selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); dan
  2. memiliki jumlah penghasilan bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas pada Tahun Pajak 2015 sebesar Rp 260.000.000,00 (dua ratus enam puluh juta rupiah),

maka tarif yang berlaku bagi Tuan D sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen). Tarif tersebut berlaku karena WP memiliki penghasilan bruto dibawah jumlah tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.



Pasal 5

Ayat (1)

Huruf a

Contoh Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban untuk tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah NKRI dan/atau tidak melaksanakan pengalihan harta dan investasi ke dalam wilayah NKRI.

1. Tuan A mengikuti Pengampunan Pajak dengan rincian Harta di dalam Surat Pernyataan sebagai berikut:


 
Harta Bersih Tambahan Nilai
Berada di dalam NKRI Rp 12.000.000.000,00
Berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI Rp        50.000.000,00

Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:

 
1 September 2016 Penyampaian Surat Pernyataan ke Kantor Pelayanan Pajak.
13 September 2016 Diterbitkan Surat Keterangan.
1 Desember 2018 Diketahui Tuan A membeli apartemen di luar negeri dari Harta tambahan yang berada di dalam NKRI.

Berdasarkan informasi di atas, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai berikut:

 
Harta Bersih tambahan berada di dalam NKRI (a)  Rp 12.000.000.000,00
Harta Bersih tambahan berada di luar NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI (b) Rp        50.000.000,00
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan (a + b) Rp 12.050.000.000,00

2. Nyonya B mengikuti Pengampunan Pajak dengan rincian Harta di dalam Surat Pernyataan sebagai berikut:


 
Harta Bersih Tambahan Nilai
Berada di dalam NKRI Rp 1.000.000.000,00
Berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI Rp 5.000.000.000,00

Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:

 
30 September 2016  Penyampaian Surat Pernyataan ke Kantor Pelayanan Pajak.
11 Oktober 2016 Diterbitkan Surat Keterangan.
31 Desember 2016 Harta tersebut sampai dengan batas waktu belum sepenuhnya dialihkan ke dalam wilayah NKRI.
s.d. 31 Maret 2017 Tidak ada penyampaian Surat Pernyataan kedua maupun ketiga untuk menyatakan perubahan dari yang semula akan mengalihkan Harta ke dalam wilayah NKRI menjadi tidak mengalihkan Harta ke dalam wilayah NKRI.

Berdasarkan informasi di atas, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai berikut:

 
Harta Bersih tambahan berada di dalam NKRI (a)  Rp 1.000.000.000,00
Harta Bersih tambahan berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI (b)   Rp 5.000.000.000,00
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan (a + b) Rp 6.000.000.000,00

3. Tuan C mengikuti Pengampunan Pajak dengan rincian Harta di dalam Surat Pernyataan sebagai berikut:

 
Harta Bersih Tambahan Nilai
Berada di dalam NKRI Rp   3.000.000.000,00
Berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI  Rp 10.000.000.000,00

Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:

 
9 September 2016  Penyampaian Surat Pernyataan ke Kantor Pelayanan Pajak.
16 September 2016 Diterbitkan Surat Keterangan.
31 Desember 2016 Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) telah dialihkan sepenuhnya dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI.
1 Maret 2018 Tuan C mengalihkan Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) ke luar wilayah NKRI, sehingga tidak memenuhi ketentuan untuk menginvestasikan Harta tersebut selama 3 (tiga) tahun di dalam wilayah NKRI.

Berdasarkan informasi di atas, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai berikut:

 
Harta Bersih tambahan berada di dalam NKRI (a)     Rp   3.000.000.000,00
Harta Bersih tambahan berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI (b) Rp 10.000.000.000,00
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan (a + b)  Rp 13.000.000.000,00

Huruf b

Contoh Wajib Pajak mengikuti Pengampunan Pajak namun belum atau kurang mengungkapkan Harta Bersih dalam Surat Pernyataan.

Tuan D mengikuti Pengampunan Pajak dengan informasi sebagai berikut:

 
Harta Bersih Tambahan Nilai
Berada di dalam NKRI Rp 1.000.000.000,00
Berada di luar wilayah NKRI dan akan dialihkan dan diinvestasikan ke dalam wilayah NKRI  Rp    400.000.000,00

Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:

 
10 Maret 2017   Penyampaian Surat Pernyataan ke Kantor Pelayanan Pajak.
20 Maret 2017 Diterbitkan Surat Keterangan.
09 Agustus 2019 Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta berupa tanah dan bangunan yang diperoleh tahun 2010 yang belum diungkapkan dalam Surat Pernyataan.

Berdasarkan nilai dari hasil penilaian Direktur Jenderal Pajak, besarnya dasar pengenaan Pajak Penghasilan dihitung sebagai berikut:

 
Nilai Harta berupa tanah dan bangunan pada tanggal 31 Desember 2015 (a)  Rp 20.000.000.000,00
Sisa pokok Utang terkait Harta pada tanggal 31 Desember 2015 (b) Rp 12.000.000.000,00
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan (a-b) Rp   8.000.000.000,00

Huruf c

Contoh Wajib Pajak tidak mengikuti Pengampunan Pajak namun Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi terkait dengan Harta yang belum dilaporkan dalam SPT PPh.


Tuan E tidak mengikuti Pengampunan Pajak dan diketahui informasi sebagai berikut:


 
31 Desember 2015 Tuan E memiliki rekening tabungan senilai Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) namun belum dilaporkan dalam SPT PPh.
30 April 2018 Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta berupa rekening tabungan tersebut yang pada tanggal 30 April 2018 memiliki nilai Rp 4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah).
Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan  Sebesar saldo tabungan pada akhir Tahun Pajak Terakhir yaitu Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Huruf d

Contoh Harta Bersih yang tidak mencerminkan penghasilan dari Tahun Pajak Terakhir.


PT ABC yang terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tanggal 2 Januari 2014 melaporkan SPT PPh Terakhir tanggal 30 Agustus 2016 dan menyampaikan Surat Pernyataan pada tanggal 1 September 2016. Surat Keterangan diterbitkan pada tanggal 9 September 2016.


 
  SPT PPh Tahun 2014 (dilaporkan tanggal 30 April 2015) SPT PPh Tahun 2015 (dilaporkan tanggal 30 Agustus 2016)
Harta Bersih
-    Tabungan
-    Tanah
-    Bangunan
-    Mobil
Total Harta Bersih

Rp 1.500.000.000,00
Rp 1.000.000.000,00
Rp 2.000.000.000,00
Rp                      0,00
Rp 4.500.000.000,00

Rp 3.000.000.000,00
Rp 1.000.000.000,00
Rp 2.000.000.000,00
Rp    500.000.000,00
Rp 6.500.000.000,00
Posisi Modal Rp    250.000.000,00 Rp    300.000.000,00
Penghasilan neto 2015   Rp 1.500.000.000,00

Penghitungan dasar pengenaan Pajak Penghasilan sebagai berikut:

 
Total Harta Bersih 2015 (a)  Rp 6.500.000.000,00
Total Harta Bersih 2014 (b) Rp 4.500.000.000,00
Penambahan Harta Bersih 2015 (c) = (a - b) Rp 2.000.000.000,00
Penghasilan neto 2015 (d) Rp 1.500.000.000,00
Selisih antara penambahan Harta Bersih 2015 dengan Penghasilan neto 2015 (e) = (c - d) Rp 500.000.000,00
Setoran modal 2015 (f) Rp 50.000.000,00
Dasar Pengenaan Pajak (e - f) Rp  450.000.000,00

Huruf e

1. Contoh kesalahan penerapan tarif Uang Tebusan.


Tuan F peredaran usahanya dibawah Rp4,8 miliar, mengikuti Pengampunan Pajak dengan informasi di dalam Surat Pernyataan sebagai berikut:

 
Harta Bersih tambahan di dalam NKRI
- Mobil 
Rp 300.000.000,00
Uang Tebusan
(0,5% x Rp300.000.000,00) 
Rp     1.500.000,00

Informasi pelaksanaan Pengampunan Pajak sebagai berikut:

 
10 Oktober 2016 Penyampaian Surat Pernyataan ke Kantor Pelayanan Pajak.
20 Oktober 2016 Diterbitkan Surat Keterangan.
6 Desember 2017 Direktur Jenderal Pajak menghitung total harta yang dimiliki lebih dari Rp 10 miliar, sehingga seharusnya menggunakan tarif 2% (dua persen).
29 Desember 2017 Diterbitkan surat klarifikasi kepada Tuan F untuk melakukan pelunasan atas kekurangan pembayaran Uang Tebusan tersebut.
11 Januari 2018 Tuan F tidak melakukan pelunasan sehingga Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pembetulan atas Surat Keterangan.

Contoh 2:

Tuan B tidak mengikuti program Pengampunan Pajak. Pada tahun 2017, Direktur Jenderal Pajak menemukan data bahwa Tuan B memiliki harta berupa rumah dengan luas tanah 400 m2 dan luas bangunan 100 m2 yang tidak dilaporkan dalam SPT PPh Tahun 2015.

Dalam SPPT PBB Tahun 2015 atas rumah tersebut diketahui:

 
Objek pajak Luas
(m2) 
NJOP per m2 (Rp) Total NJOP
(Rp)
Bumi 400 1.000.000,00 400.000.000,00
Bangunan - - -
Bumi dan Bangunan 400.000.000,00

Mengingat luas tanah dalam SPPT PBB sama dengan luas tanah sesuai data yang ditemukan Direktur Jenderal Pajak, maka nilai tanah mengacu pada NJOP bumi, yaitu sebesar Rp 400.000.000,00. Untuk nilai bangunan ditentukan berdasarkan hasil penilaian Direktur Jenderal Pajak karena NJOP bangunan tidak tersedia dalam SPPT PBB Tahun 2015. Setelah dilakukan penilaian oleh Direktur Jenderal Pajak, diperoleh nilai bangunan sebesar Rp 300.000.000,00. Berdasarkan perhitungan di atas, nilai Harta berupa rumah tersebut sebesar Rp 700.000.000,00. Nilai Harta tersebut merupakan hasil penjumlahan nilai tanah dan nilai bangunan (Rp 400.000.000,00 + Rp 300.000.000,00 = Rp 700.000.000,00).



Pasal 6

Cukup jelas.



Pasal 7

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6120